Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ


AMOR & DOLOR (TRUE STORY)


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
175K
3K
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#82
Impian_Part 1
Sudah hampir jam 10 malam. Waktu selalu terasa berlalu begitu cepat kalau gue sudah bersama Emi. Satu jam rasanya seperti 10 menit, dua jam rasanya seperti 30 menit. Bahkan gue sama dia sudah ngobrol hampir 3 jam dan semuanya rasanya kayak baru 1 jam doang. Rasanya gue masih belum puas bersama dia. Gue nggak mau pulang dari rumah dia.

Mungkin karena gue pernah ngerasain sakitnya kehilangan dia, sekarang rasanya gue selalu berat hati kalau harus pergi ninggalin dia. Walaupun cuma sesaat. Seharusnya setelah ini, kami bisa ngobrol banyak lagi dan chat nonstop seperti dulu saat kami masih bersama. Tapi, chattingatau video call sama dia, rasanya belum cukup untuk mengobati rindu gue akan kehadiran dia di hidup gue selama kita pisah selama ini.

“Kamu pulang dulu. Kamu omongin sama Mama dulu. Ijin juga sama adik kamu.” Seperti dulu, dia selalu membantu gue mempersiapkan segala sesuatu kebutuhan gue dan memeriksa kembali segalanya.

Selama ini gue merasa kalau gue adalah orang yang cukup perfeksionis. Tapi setelah kenal sama Emi, gue berasa nggak ada apa-apanya. Emi itu jauh lebih perfeksionis daripada gue. Apalagi untuk urusan segala sesuatu yang sudah jadi rutinitas, gue nggak boleh skip sama sekali. Atau gue akan dapet ceramah dari Negeri Dongeng dari si Penulis Kata-Kata Mutiara ini.

“Ngomong sama Mama, yes. Ijin sama adik gue, no.” Kata gue sembari memakai sneaker berlogo centang. Gue tidak perlu memeriksa apapun lagi, gue percaya Emi sudah mempersiapkan segalanya. Gue selalu percaya sama dia.

“Kalau kamu mau semua masalahnya bener-bener selesai, ya kamu tetap harus ngomong sama adik kamu juga. Percuma kamu jelasin panjang lebar sama Mama kalau nanti ternyata adik kamu nggak setuju dan merubah mindset Mama kamu lagi. Mending diomongin dulu semuanya. Diselesaiin dulu semuanya. Baru aku mau kita omongin kelanjutan hubungan ini.”

“Sebentar… Hubungan INI PASTI AKAN LANJUT. Cuman tinggal nunggu gue nyelesaiin masalah nggak penting di rumah gue doang—”

“KELUARGA ITU NOMOR 1, ZY! Kok malah jadi masalah nggak penting sih?”

“Masalah yang gue hadapin di rumah itu adalah masalah nggak penting. Kenapa gue bilang gitu? Karena masalahnya dibikin sendiri sama mereka. Mereka sendiri yang mikir gue nggak bener terus dijadiin perkara sampai bikin kita putus. Kan kalau dari dulu mereka percaya aja sama gue, masalah ini nggak perlu ada bukan?”

Emi megang kedua pipi gue dan mengarahkan wajah gue tepat di hadapan dia. “Tapi kalau nggak ada masalah ini, entah kapan kamu bakalan mau belajar berubah… Dan entah kapan kamu mau ngelamar seorang cewek buat kamu nikahin…” Gue terdiam. Emi tersenyum. Manis banget. Ternyata senyum ini yang selalu gue rindukan… Bukan Ara. “Tuhan udah ngerencanain semuanya, Zy. Semuanya harus berjalan kayak begini… Biar apa? Biar kita sama-sama belajar dan sama-sama diingetin buat bersyukur. Tuhan juga yang jadinya ingetin aku via Fazli, kalau yang aku sayang itu kamu… Cuma kamu—”

Tanpa menunggu dia untuk menyelesaikan omongan dia, gue langsung mencium bibir merahnya yang masih berbalut lipstik Revlon merah favorit dia. Gue rindu aroma tubuh dia. Gue rindu bibir merahnya. Gue rindu pelukan hangat dia. Gue rindu tawa dia yang nggak pernah gagal untuk menularkan tawa ke gue juga. Gue rindu Emi gue ini.

Gue tarik badan dia hingga dia duduk di pangkuan gue. Gue peluk pinggang dia dan dia melingkarkan tangannya di leher gue. Gue yakin, dia juga rindu sama gue. Dia membalas ciuman gue dengan penuh perasaan. Kami berbalas gigitan di bibir kami masing-masing. Kecupan dan isapan silih berganti di antara jeda napas kami yang menipis saking kami tidak ingin menghentikan ciuman ini. Tapi ciuman kali ini murni ciuman penuh rasa rindu, tanpa keinginan yang lain.

Dia menghentikan ciumannya dan melepas bibir gue sesaat. “Pulang, Zy.” Bisik dia perlahan tepat di depan bibir gue.

Gue membantu dia turun dari pangkuan gue. “Padahal malem masih panjang. Banci aja masih dandan nih.” Gue merapihkan rambut gue yang dibuat berantakan oleh dia. Gue paham, gue bakalan make helm. Tapi gue sudah terbiasa untuk selalu merapihkan rambut.

“Kamu masih ada yang harus diselesaiin, Zy…”

“Iya paham… Kan kalau semuanya udah beres, waktu kita barengan itungannya kan SELAMANYA ya?”

“InsyaAllah…” Jawab dia sambil senyum dan mendorong gue keluar dari rumah dia.

“Aku janji, Mi. Aku bakal ngedapetin hati kamu lagi… Aku janji bakal ngobatin semua luka yang aku bikin sendiri. Aku janji, Mi.” Ucap gue di dalam hati gue sebelum gue pergi untuk pulang ke rumah gue. Gue harus nyelesein urusan gue sama Mama malam ini juga. Kali ini gue nggak boleh bikin Emi nunggu kepastian lagi. Gue nggak mau Emi berubah pikiran nantinya dan berpikir kalau gue masih jadi Ija yang main-main sama dia.

---

Dari depan gerbang rumah, gue bisa liat kalau lampu-lampu yang ada di rumah gue sudah dimatiin. Pertanda semuanya sudah terlelap. Mungkin baru saja terlelap atau malah mungkin hanya belum kebangun aja.

Semenjak sudah ada keponakan gue, Mama dan adik gue suka bergantian bangun tengah malem buat ngasih susu keponakan gue itu. Mama ngasih ASI yang udah dimasukin ke kulkas khusus ASI yang sengaja disewa adik gue untuk nyimpen stok ASI dia, kalau adik gue udah kecapekkan banget ngurus anaknya seharian.

Mama dulu udah ribet ngurus gue dan adik gue sendirian. Eh sekarang Mama masih harus tetap ribet ngurus anak dari adik gue, sendirian. Maklum, ipar gue itu nggak ada di sini weekdays begini. Dia baru pulang weekend nanti. Itu pun Sabtu malam. Suka-suka merekalah. Selama gue nggak ikut direpotin, gue nggak masalah.

Gue bukan nggak sayang atau nggak suka sama keponakan gue kok. Gue sayang banget sama dia bahkan. Dia mirip banget sama adik gue pas dia masih kecil. Putih, dahinya lebar, dan botak. Hahaha. Gue bantu-bantu mereka di rumah dengan main sama keponakan gue atau sekedar ngawasin dia pas dia lagi tidur dan harus ditinggal sama Mamanya. Gue pun masih sayang sama adik gue, walaupun setelah perdebatan sengit antara kami kemarin itu. Gue hanya masih merasa sedikit sakit hati karena ucapan dan kelakuan dia. Selain itu, gue juga mau nunjukin ke Mama kalau bukan gue yang nggak bisa apa-apa dan bukan cuma Dania yang paling hebat di antara kita.

“Assalamualaikum…” Ucap gue sambil menggantungkan kunci motor gue di gantungan tempat semua kunci kendaraan dan rumah gue. Tapi tidak ada jawaban. Pertanda mereka memang bener-bener terlelap. Suara gerbang dibuka dan suara motor gue nggak membangunkan mereka sama sekali.

Gue simpen perlengkapan gue di kamar dan langsung masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri gue. Hari ini bener-bener hari yang panjang buat gue. Nggak cuma badan gue yang lelah, tetapi hati dan pikiran gue juga ikut lelah. Walaupun memang bukan lelah yang sama seperti rasa lelah yang dirasain Emi terhadap gue. Tetapi hati gue lelah karena tegang meyakinkan Emi untuk menerima gue kembali.

Gue nyalain shower gue. Air hangat mulai membasahi badan kepala dan badan gue. Badan gue mulai dimanjakan oleh air hangat itu untuk sekedar menghilangkan fatigue di badan gue. Gue tersenyum. Tersenyum karena senang bercampur bangga mengingat momen dimana Emi kembali menerima gue. “Kamu akan selalu jadi milik aku, Mi… Aku sayang banget sama kamu.” Kalimat itu terus menerus berulang di kepala gue. Tanpa gue sadari, gue melantunkan lagu Marry Your Daughter karya Brian McKnight sembari mandi. Ya, karena gue akan menikahi seorang cewek yang paling sempurna yang pernah gue temukan. Harapan gue setelah ini gue bisa berbicara dan berusaha menyelesaikan masalah sama Mama dengan kepala dingin.

Tok. Tok. Tok.

“Le… Kalau mandi malem-malem jangan lama-lama. Nggak baik buat kesehatan, Le…” Suara Mama cukup mengagetkan gue. Mama ternyata belum tidur atau malah sudah terbangun lagi. Karena gue yakin, suara gue di kamar mandi nggak sebegitu kencengnya sampai bisa membangunkan dia.

“Iya, Ma…” Jawab gue.

Gue menyelesaikan mandi gue dan bergegas keluar dari kamar mandi. “Mama belum tidur?”

“Tadi Mama abis nyiapin ASI buat Dian. Emang kamu nggak denger suara Dian tadi haus minta susu? Bundanya masih pules aja itu tidur, nggak kebangun sama sekali anaknya melengking nangisnya. Capek banget kayaknya bundanya…”

“Capek banget? Emang seharian ini dia ngapain aja? Kan masih belum masuk kan dia?”

“Ya dia ngurus anaknya lah, Kak…”

Pumping doang kan?”

“Dia pagi-pagi ngejemur anaknya. Terus—”

“Yang masak di rumah Mama kan? Yang beresin rumah Mama juga kan? Yang gendongin Dian kalau nangis juga Mama juga… Dia mah tinggal tidur, makan, terus pumping. Yang nyuciin baju dia sama anaknya juga Mama. Dia paling mandiin sama nyebokin aja.”

Kayaknya Mama kurang suka gue ngebahas hal begini malem-malem begini. “Mau kamu apa toh, Kak? Malah ngebahas kayak begitu malem-malem. Mama itu cuman kasian sama Dania----”

“Ija mau minta restu, Ma. Ija udah datengin orangtua calon istri Ija kalau Ija mau nikahin dia, Ma…”

Mama terdiam. Beliau yang tadinya fokus dengan handphone nya, kini menatap gue dengan ekspresi serius. “Kamu kesambet apaan malem-malem mendadak minta restu begitu, Kak? Mama kira bahasan masalah nikah-nikah ini nggak dilanjutin lagi sama kamu. Eh malem-malem begini malah ngebahas mau nikah toh, Kak… Kayak nggak ada hari lain aja.”

“Kalau ditunda-tunda lagi, nanti Mama malah sibuk ngurus yang lain dan nggak akan pernah jadi ngebahas urusan Ija.” Karena Mama sekarang fokus ngurusin kehidupan adik gue doang.

“Hmm. Kamu yakin Kak? Nggak mau mikir-mikir dulu? Mama itu baru banget beres capeknya ngurusin nikahan Dania taun kemaren loh, Kak. Masa mendadak kamu juga mau nikah taun ini? Kalian nikah kok malah jadi kayak kejar-kejaran sih, Kak? Mama aja ini masih sibuk ngurusin—”

“Dian itu anaknya Dania kan, Ma? Dian itu masih lengkap kan kedua orangtuanya? Kenapa harus Mama yang mikirin sih? Aku anaknya Mama loh. Papa udah nggak ada. Kalau Mama juga nggak ada waktu untuk sebentar aja buat aku, terus aku harus kemana lagi, Ma? Aku harus nunggu sampai Dian gede? Apa sampai Dian sekolah? Terus kapan aku nikah kalau patokannya nunggu Dian udah bisa ditinggal Mama… Emang Mama yakin nanti Dian bakalan full diurus sama ibu bapaknya bukan sama Mama juga?”

“………”

“Mama itu ngajarin Dania buat ngurus anaknya, bukan Mama yang ngurusin semuanya…. Mama ngurusin emaknya juga, cucunya juga. Ya Mama jadinya sibuk aja terus. Mana Mama kepikiran mikirin aku sampai kapan pun. Lagipula… Kenapa harus banyak mikir lagi sih? Apa lagi emang yang harus aku pikirin? Emang Mama tau apa aja yang udah aku pikirin? Apa aja yang udah aku pertimbangin selama ini? Wong Mama aja mikirinnya cuman Dania doang.”

“Mama kasian sama Dania ngurusin Dian sendirian… Dania juga belum telaten ngurusin Diannya. Bapaknya apa lagi…”

“Mama… Aku cuma mau minta restu Mama kalau aku mau nikah. Aku janji aku nggak akan ngerepotin Mama. Biar aku ngurus semuanya sendiri. Insyaallah aku yakin kalau aku bisa ngurusin semuanya sendiri.” Gue ngeliat Mama terdiam dengan omongan gue. Gue nggak mau adu debat sama Mama malam-malam begini. Gue juga udah janji sama Emi buat nggak emosi ngebahas ini. Kalau gue masih aja bikin Mama marah, yang ada gue bener-bener nggak dapet restu dari beliau. “Ma… Ija udah nggak muda lagi. Mama sama Dania sadar itu bukan? Makanya kalian kepingin Ija biar hidup lebih baik? Ija bener-bener udah siap nikah, Ma… Ija sekarang cuma mau minta restu Mama.”

Kayaknya Mama mendadak jadi ngerasa bersalah setelah mendengar ucapan gue barusan. Ekspresi beliau berubah. “Mama cuma khawatir, Le… Kamu modalnya apa? Mama nggak tau bisa bantu kamu apa lagi sekarang… Kuliah kamu juga gimana kalau kamu mau ngurus nikahan begitu?”

Mungkin aslinya, ini adalah hal utama yang dikhawatirkan Mama. Beliau dalam kondisi saat ini nggak bisa bantuin gue apapun. Beliau sudah nggak bekerja. Beliau nggak berpenghasilan dan gue (terlihat di mata beliau) tidak memiliki modal (finansial dan mental) yang mumpuni untuk menjadi seorang kepala keluarga. Walaupun ujung-ujungnya dengan bumbu dari adik gue, beliau jadinya mempertanyakan kapabilitas gue menjadi seorang suami sekaligus ayah di masa depannya nanti.

Tapi jauh di dalam diri gue, gue yakin kalau gue bisa menjadi sosok suami dan ayah yang bertanggungjawab seperti Almarhum Papa. Gue yakin gue bisa. Gue yakin, selama ada Emi mendampingi gue seumur hidup gue, gue pasti bisa.

“Mama tenang aja. Soal biaya lamaran, pernikahan, dan segala macamnya itu biar Ija yang ngurusin. Terus masalah kuliah S2 aku pun semuanya aku udah pikirin juga kedepannya gimana.” Sebenernya ini belum 100% gue pikirin. Sebenernya gue masih butuh masukan dari Emi. Semenjak gue ditinggal Emi, gue stuck. Gue cuma bisa fokus sama kerjaan kantor gue. Band dan kuliah gue terbengkalai. Gue kini seakan jadi buronan dosen yang tak kunjung menyelesaikan tesis. Tapi, demi menenangkan Mama, gue harus bilang begini. “Pokoknya Mama tau beres aja. Nggak usah mikirin ini itu. Aku bisa ngurusin dan ngejalanin semua Insyaallah sendiri. Ya nggak sendiri juga sih, berdua lah sama pasangan aku maksudnya. Jadi, Mama nggak perlu pusing apa-apa lagi.”

“Emang kamu mau nikah sama siapa sih kak? Pasangan kamu emang siapa? Kok kayaknya udah yakin banget kamu? Kamu jadinya nikah sama Ar--”

“Emi, Ma…” Gue tau Mama bakalan nyebut nama Ara. Gue potong omongan beliau langsung. “Aku mau nikah sama Emi.” ucap gue dengan lugas dan ada sedikit ketegasan.

“Emi? Loh kok jadi Emi lagi? Kamu itu bukannya udah putus sama Emi? Kenapa sekarang jadi nikahnya sama Emi?” Mama setengah nggak percaya.
Diubah oleh yanagi92055 19-04-2021 06:41
jiyanq
khodzimzz
caporangtua259
caporangtua259 dan 28 lainnya memberi reputasi
29
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.