Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
AMOR & DOLOR (TRUE STORY)
Selamat Datang di Trit Kami

私のスレッドへようこそ


AMOR & DOLOR (TRUE STORY)


TERIMA KASIH BANYAK ATAS ATENSI DAN APRESIASI YANG TELAH GANSIS READERBERIKAN DI TIGA TRIT GUE DAN EMI SEBELUMNYA. SEMOGA DI TRIT INI, KAMI DAPAT MENUNJUKKAN PERFORMA TERBAIK (LAGI) DALAM PENULISAN DAN PACKAGING CERITA AGAR SEMUA READER YANG BERKUNJUNG DI SINI SELALU HAPPY DAN TERHIBUR!


Quote:


Spoiler for MUARA SEBUAH PENCARIAN (TAMAT):


Spoiler for AKHIR PENANTIANKU (ONGOING):


Spoiler for PERATURAN:


Spoiler for FAQ, INDEX, MULUSTRASI, TEASER:



HAPPY READING! emoticon-Cendol Gan


Quote:
Diubah oleh yanagi92055 01-10-2020 14:23
sotokoyaaa
santet72
al.galauwi
al.galauwi dan 90 lainnya memberi reputasi
81
175.1K
3K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread43KAnggota
Tampilkan semua post
yanagi92055Avatar border
TS
yanagi92055
#66
Cinta bersyarat_Part 2
Pertimbangan gue pada akhirnya kembali kepada kemampuan gue mengelola ego yang ada didalam diri gue. Kapan gue harus berhenti dan kapan gue harus berubah. Semuanya pada akhirnya berakhir pada keputusan besar gue untuk memilih pilihan pertama yang diajukan oleh Emi.

Ya. Jawabannya sudah jelas. Gue sangat mencintai Emi. Gue pernah menyakiti Emi karena gue gagal mengelola ego gue. Tetapi gue nggak pernah sekalipun meragukan rasa cinta gue ke dia. Tidak ada pertanyaan-pertanyaan seperti, “Kira-kira gue beneran sayang nggak sih sama dia? Gue beneran nggak salah milih ya?” Dan pertanyaan-pertanyaan yang mengekspresikan keraguan lainnya. Gue nggak pernah ragu memilih dia di hidup gue.

Perasaan berat yang timbul ketika di awal Emi mengajukan syarat-syarat tersebut menandakan kalau gue masih belum bisa sepenuhnya mengendalikan ego. Terlalu banyak sisi yang masih ingin gue tunjukkan kepada khalayak ramai kalau gue ini adalah orang yang punya banyak kemampuan, orang yang punya keinginan kuat, orang yang punya tujuan, dan ego-ego besar gue lainnya. Gue paham itu.

Tetapi untuk apa gue susah payah berusaha membahagiakan banyak cewek dan menunjukkan berbagai kemampuan gue pada mereka, padahal hanya dengan SETIA, gue bisa membahagiakan lahir batin cewek yang sangat gue cinta ini?


Pilihan gue jatuh pada syarat pertama, dengan konsekuensi besar untuk gue.

Ini bisa menjadi masalah besar untuk gue. Gue ingin menikahi Emi dengan segala kekurangan gue dan luka yang sudah gue torehkan dihatinya. Tetapi disisi lain, gue masih berusaha sekuat tenaga untuk melawan ego demi menjadi manusia yang lebih baik, setidaknya untuk Emi yang akan menjadi calon pasangan seumur hidup gue.

Resiko besar yang kemungkinan timbul adalah bubaran. Pernikahan menjadi mubazir ketika ada ketidakcocokan pemikiran di antara pasangan. Ketidakcocokan bisa berakhir pada perselingkuhan dan efek-efek negatif lainnya. Tetapi dalam kasus di gue, bukan lagi ketidakcocokan pemikiran. Namun, bagaimana gue melawan ego gue yang selalu mementingkan diri gue.

Ini yang menjadi berat di pikiran gue. Gue mau menikah, berarti gue harus siap dengan resiko-resiko seperti ini. Menikah berarti gue akan berbagi, dalam hal apapun. Baik itu sandang, pangan, papan. Gue nggak bisa lagi suka-sukanya menjalani hidup. Gue nantinya harus menanggung hidup gue dan Emi, menanggung dosa gue dan Emi, serta gue harus memiliki visi misi mengenai bagimana rancangan masa depan pernikahan kami. Banyak hal yang harus gue pikirkan.

“Apakah gue sanggup memikirkan itu semua dalam kondisi gue juga harus berpikir untuk merubah diri gue lebih baik lagi?”

Gue menatap dia. Gue pasti sanggup. Selama selalu ada Emi yang mendampingi gue, gue pasti sanggup menjalani itu semua. Nggak ada yang perlu gue ragukan lagi. Toh gue juga udah niat kalau gue memang mau menata hidup yang lebih baik dan nggak suka-sukanya.

Gue bisa berubah untuk Emi.

“Gue sayang dan cinta sama lo yaudah, kita nikah. Ga usah macem-macem lagi.” Titik. Nggak ada iseng-iseng lagi. Nggak ada main-main lagi. Nggak ada meleng-meleng lagi. Murni cuman Emi satu di hati gue.

Walaupun mungkin kalau dibayangin bakalan berat, apalagi ketika mereka satu per satu datang kepada gue tanpa gue pinta. Gue harus bagaimana menolak mereka? Apa gue harus judes atau langsung menjauh? Gue juga belum kebayang harus bagaimana menyikapi mereka. Tapi karena sudah niat, gue yakin kalau gue pasti bisa.

Pegangan gue agar gue bisa terus kuat menjaga amanah dia untuk berubah dan setia adalah dengan mengingat bagaimana perjuangannya selama ini untuk selalu bertahan dengan gue.

Dia adalah orang yang begitu gigih dan sabar dalam menghadapi diri gue. Dia juga orang yang sangat tabah dan berbesar hati menghadapi kenyataan kalau gue hampir selalu menyakitinya dia. Emi adalah orang paling sabar yang pernah gue kenal selama ini. Gue sadar pula ketika semua yang dia lakukan nggak akan bisa dilakukan oleh cewek lain. Cewek manapun mungkin.

Gue juga jadi berpikir apa gue bersikap seperti ini karena trauma gue dulu? Bagaimana gue dihancurkan hatinya oleh Zalina dengan kejadian yang menurut gue sangat menyakitkan. Zalina menghabisi perasaan gue dengan sebuah fakta jika dia melahirkan anak yang sebenarnya bukan anak gue. Tanpa ada ikatan pernikahan pula. Dari sana pun gue seperti berikrar kalau gue bisa menjadi seorang yang dapat mendapatkan tipe cewek manapun, yang sekiranya cocok dengan gue.

Sepertinya angin segar selalu menaungi gue setelahnya. Gue seperti dipermudah untuk berhubungan dengan lawan jenis manapun yang gue mau. Bahkan seorang cewek yang sempurna dimata orang-orang lain seperti Kathy aja bisa memohon-mohon dan berharap untuk bersama gue.

Orang Indonesia sangat menyenangi orang blasteran kayak Keket ini. Sudah fisiknya oke, ditambah dengan kemampuan otaknya yang juga cukup diatas rata-rata. Walaupun dia masih ada selevel di bawah Emi. Ketika harapan besar gue untuk terus mencintai Keket, yang pada saat Papa meninggal pun dia turut mendampingi gue, malah kandas karena dia memilih untuk mencintai orang lain. Ya, walaupun ujung-ujungnya dia berakhihr cerai juga sih. Tapi torehan lukanya membuat gue seperti trauma untuk kembali ke dia. Usahanya untuk kembali ke gue dengan cara yang negatif, ketika gue bersama Dee pun terasa sangat nggak lazim.

Setelah bersama Keket, hubungan gue dengan Dee pun masih harus kandas walaupun gue sudah berusaha mati-matian mempertahankan hubungan gue dari gangguan yang dilakukan Keket, bahkan gue sampai pernah menjadi pejuang LDR. Lagi-lagi urusan dengan ego. Kami tidak cocok karena ego kami masing-masing. Dia ingin menetap di daerah asalnya, sementara gue ingin berkarir di ibukota. Mungkin dari sisi mereka, gue akan dianggap sebagai orang yang kalah karena gagal memperjuangkan secara gigih. Tapi apa iya kesalahan itu harus semuanya dibebankan kepada gue? Rasa-rasanya nggak begitu.

Ketiga trauma hebat ini pernah terjadi di hidup gue dan menorehkan goresan bentuk lukanya masing-masing.

Untuk kasus Ara, memang dia nggak pernah menyakiti gue. Adanya dia adalah salah satu korban perasaan dari sikap gue, selain Emi. Gue yang selama ini memang sempat sayang banget sama dia ternyata berakhir hanya menjadi sahabat. Hanya akan menjadi sahabat, nggak akan pernah lebih dari itu. Terutama pasca pertemuan terakhir gue dengannya dimana gue batal meminang dia.

Dia pula yang akhirnya menyadarkan gue kalau yang gue butuhkan adalah sosok Emi, bukan dia. Lagi-lagi dia harus mengorbankan perasaannya selama ini terhadap gue, demi kebaikan gue. Sungguh gue adalah orang bodoh yang selalu kalah dalam pengendalian ego ini.

Dari semua kepedihan yang gue lalui, ditambahkan terpinggirkan dari keluarga besar, dan yang terakhir nggak dianggap oke oleh keluarga sendiri, bukannya membuat gue berpikir untuk menjadi lebih baik, tapi malah terjebak dalam ego besar kalau gue bisa membalikkan keadaan.

Emi adalah sansak tinju gue untuk proses pembalikan keadaan tersebut. Gue sukses merusak seseorang yang seharusnya gue cintai sepenuhnya, bukan gue sakiti sepenuhnya. Gue memang nggak pernah menyakiti Emi secara fisik, tapi kalau hati?

Emi nggak akan menjadi ragu untuk menerima lamaran gue kalau hatinya masih berbentuk utuh untuk gue. Hati Emi sudah mendapatkan pukulan bertubi-tubi sehingga sudah tidak bisa dikembalikan seutuhnya. Kalaupun ada yang bisa diperbaiki, tidak bisa 100%. Dan itupun tidak bisa dilakukan dalam jangka waktu sebentar. Kerusakan yang sudah gue buat begitu besar.

Gue salah memilih jalan untuk bertarung melawan kesakitan hati gue di masa lalu yang juga berulang kali terluka. Gue malah memilih jalan yang lebih gelap, demi bisa membalikan keadaan menjadi lebih baik menurut gue.

Gue memilih untuk berpijak pada bahu orang lain demi mendapatkan keinginan gue, eksistensi dan pengakuan kalau gue bukan orang yang gagal. Gue memilih menginjak Emi dan berpangku kepadanya demi keinginan gue sendiri, bukannya berjalan beriringan dengannya demi keinginan masa depan kami berdua.

Cara penebusan dosa gue adalah membuatnya lebih baik. Dan menikah adalah jalan yang terbaik menurut gue.

Gue harus mengikatkan hati gue secara dengannya. Tetapi ternyata dengan dia menghadapkan gue kepada dua pilihan, gue masih juga merasa kesulitan. Masa gue masih kalah juga? Apalagi sih yang gue cari? Emi udah melakukan semuanya untuk membentuk gue menjadi pribadi yang lebih baik, tapi gue masih juga mementingkan ego besar gue demi eksistensi gue sendiri? Sungguh gue adalah orang yang nggak bersyukur.

Jika gue masih belum bisa meyakini hati gue sendiri gue mampu untuk mengendalikan perasaan ini dengan baik, bagaimana mungkin gue akan bisa memperjuangkan Emi di depan keluarga gue nantinya? Sementara mereka bersikap seolah tidak ada titik terang lagi terhadap hubungan gue dengan Emi. Tetapi semua itu bisa teratasi jika dan hanya jika, gue dapat meredam ego gue. Kuncinya hanya itu.

Emi selalu mau berkorban untuk gue apapun keadaannya. Tekanan demi tekanan yang hadir dalam kehidupannya pasca menjalin cinta dengan gue itu sebenarnya sudah bisa mendeskripsikan rasa cinta Emi ke gue.

Hambatan demi hambatan bisa dilewati dengan baik karena hati Emi yang begitu tegar dan tahan banting. Dari mulai penolakan mentah-mentah terhadap hubungan kami oleh teman-teman terdekatnya yang ternyata toxic berat, adik-adik kelas yang melakukan pemfitnahan besar-besaran, Dee yang datang kembali dan mengganggu hubungan gue dengan Emi, sampai puncaknya ketika keluarga gue yang entah bagaimana asalnya jadi nggak senang dengan keberadaan Emi yang selalu all out ke keluarga gue.

Lalu, jika sudah begitu masa iya gue masih nggak mau menurunkan ego gue sendiri demi mendapatkan Emi? berangkat dari perasaan inilah makanya gue mau untuk berusaha, berubah lebih baik setidaknya untuk diri gue sendiri, dan lebih baik lagi apabila dapat menyenangkan hati Emi kembali walaupun sulit untuk mengembalikan kondisi hati Emi yang sudah terlanjur rusak.

Emi dulu pernah berjanji untuk tidak akan pernah membuat gue bosan. Jika sudah begitu, untuk apa lagi gue iseng-iseng dengan orang lain kalau dengan Emi aja gue nggak pernah bosan? Kenyataannya memang demikian. Emi selalu bisa membuat kehidupan gue berwarna dan selalu ada yang baru di setiap perjalanan yang kami lalui bersama.

Gue juga pernah bilang kalau suatu saat ada kejenuhan di dalam hubungan ini, maka kuncinya adalah gue yang harus mendapatkan cara mengatasi kebosanan ini, bukan malah melampiaskannya di tempat lain. Okelah hanya sekedar say hi atau ngobrol biasa, tapi tetap aja itu adalah kesalahan. Karena gue melakukannya diam-diam dan tanpa diketahui atau seijin dia. Sebuah kesalahan yang selalu sulit gue tahan godaannya. Emi lagi-lagi selalu bisa menerima gue kembali dan seolah menghapus kejenuhan dan bisa menghadirkan keceriaan serta kebahagiaan-kebahagiaan baru lainnya.

Pada titik akhir penantian Emi, gue memutuskan untuk mantap menikahi dia dengan segala konsekuensi yang ada. Gue siap untuk melanjutkan hubungan gue dengan Emi. Gue tau segala yang gue lakukan akan berat kedepannya, apalagi godaan-godaan kadang datang tak terduga diwaktu yang tidak tepat. Tapi seperti Emi bilang, kalau bisa jaga hati dan perasaan, semua akan mudah saja terlewati.

Gue yakin bisa. Gue yakin mampu. Gue yakin bisa membahagiakan Emi di sisa hidupnya dan hidup gue.

Modal kepercayaan dari keluarga gue dan keluarga Emi sekarang ini adalah PR beratnya, selain tentu saja finansial. Gue masih menjadi seorang freelancer yang butuh modal lebih banyak untuk modal usaha rintisan gue sendiri, serta menyelesaikan pendidikan pascasarjana gue. Gue nggak yakin keluarga kecil gue akan banyak ikut andil dalam urusan perencanaan pernikahan gue. Jadi sebaiknya gue berpikir sendiri dulu sebelum mendiskusikan lebih lanjut dengan mereka.

Gue ingin semuanya beres. Nggak perlu banyak dicampuri oleh orang tua masing-masing. Sebelum berpikir sampai jauh kesana, gue harus meyakinkan orang tua gue dan orang tua Emi bahwa gue siap untuk menjadi seorang imam dalam sebuah keluarga. Imam dalam rumah tangga yang akan banyak tantangan kedepannya.

Utamanya adalah, gue memulai ini semua dari belakang garis start, alias tidak dari titik nol. Baik itu dari sisi hati, maupun sisi finansial. Sebuah tantangan yang amat sangat besar dan berat untuk gue.
khodzimzz
caporangtua259
alcipea
alcipea dan 30 lainnya memberi reputasi
31
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.