- Beranda
- Stories from the Heart
Misteri Tukang Pijat
...
TS
yundamassayu18
Misteri Tukang Pijat
“Mas, di sini ada tukang pijat, gak? Badan rasanya remuk semua,” tanya Yati pada suami tersayang. Dia baru seminggu melahirkan anak pertamanya, setelah sempat tiga kali mengalami keguguran.
“Mas aja yang mijit, gimana?” Aji mengerlingkan mata dengan genit pada istrinya. Biasanya juga ia yang memijat saat wanita itu kelelahan.
Oeek!
Terdengar tangisan Kusuma, bayi yang baru berusia kurang lebih 7 hari.
“Tuh, Kusuma aja gak setuju. Katanya kalau Bapaknya yang mijit nanti keburu punya adek lagi.” Yati ngedumel seraya mengambil Kusuma untuk disusui. Tampaknya bayi itu kelaparan setelah hampir 1 jam ia tertidur.
“Kusuma pinter, ya! udah bisa menghasut Ibu.” Aji mendekati sang istri, kemudian membelai rambut anaknya yang belum genap satu bulan. Bahkan denyut di ubun-ubun Kusuma masih terlihat.
“Kusuma jaga Ibu dulu, ya, Nak! Bapak mau ke kamar Nenek, mau nanyain tukang pijit yang bisa dipanggil ke sini,” imbuh Aji.
Yati tersenyum, senang sekali rasanya memiliki suami yang tanggap permintaan istri.
“Jangan lama-lama, Mas. Aku takut … mendungnya kebangetan. Kamu tahu, kan, kalau aku takut hujan deras dan geluduk.” Yati merengek, bak anak kecil yang tak mau ditinggal sendirian.
“Iya, Sayang. Mas, kan, cuma ke kamar belakang bukan keluar rumah,” ujar Aji lembut seraya mendaratkan kecupan di kening istrinya.
“Bu … Ibu ….”
Aji memanggil ibunya. Tidak ada jawaban, walaupun pintu kamar itu sudah diketuk berkali-kali. Kemana Ibu? Mungkin saja sedang salat. Ibu wiritnya memang panjang dan sangat fokus. Dia tak mau mengganggu.
Aji memutar otak untuk mencari alternatif pada siapa ia bertanya perihal tukang pijit. Lalu, tanpa memberi tahu istrinya, lelaki itu pergi ke rumah tetangga yang jaraknya kira-kira 50 langkah ke kanan. Cukup jauh. Maklum, rumah di kampung transmigrasi —desa Banjar Sari pulau Enggano, Provinsi Bengkulu—belum begitu banyak.
Sampailah Aji ke rumah yang dituju. Diketuknya pintu berbahan kayu yang telah usang.
“Assalamualaikum, Bude,” panggil Aji dari luar. Sampai panggilan ketiga baru ada jawaban.
Itu rumah Bude Sri Juminten. Dia tinggal sendirian, suaminya telah meninggal 2 tahun yang lalu karena serangan jantung. Anaknya hanya satu; Eka, tinggalnya di Kota Bengkulu. Jaraknya 12 jam dari pulau ini.
“Iya.” Bude Sri menjawab dengan suara berat dari dalam, tanpa membuka pintu. “Ada apa, Ji?” imbuhnya lagi.
Aji terperangah. Bagaimana caranya Bude Sri tahu kalau yang datang itu adalah dirinya? Bahkan tanpa perlu membuka pintu. Namun, mungkin wanita tua itu mengenali suara Aji. Akan tetapi ... bukankah Aji sangat jarang pergi ke rumah itu? Entahlah.
“Nganu, Bude. Yati, istriku minta dipijat. Bude masih bisa mijat ke rumah, tak? Aji ingat kalau dulu Bude sering dipanggil ke rumah-rumah tetangga sini buat mijat.”
‘Garr!’
Suara petir tiba-tiba menggelegar. Hujan mulai turun. Aji melompat karena teekejut. Sejenak kemudian ia meringis karena tak membawa payung apalagi jas hujan.
‘Ngiit’
Pintu terbuka. Aji mengintip dari luar, terlihatlah Bude Sri yang tengah duduk di kursi. Masih seperti dulu, wanita berusia sekitar 65 tahun itu memakai kain dan baju kutu baru. Hanya saja kali ini bajunya berwarna hitam. Aji mengingat dalam diam, kalau tidak salah usia perempuan tua itu sekitar 65 tahun.
“Masuklah …,” ajak Bude Sri. Suara beratnya lirih, tetapi seakan berbisik di telinga Aji. Spontan. Bulu kuduk lelaki beranak satu itu meremang.
“Iya, Bude.” Aji melangkah masuk. Matanya tak bisa dikendalikan. Langsung saja menatap banyak hal. Di antaranya memandang atap rumah yang terbuat dari seng; ternyata sudah bolong di sana-sini. Setengah dinding rumah ini terbuat dari semen dan separuh lagi berbahan kayu. Sementara lantai dilapisi oleh semen, warnanya kusam dan penuh debu. Aji juga mengedarkan pandangan ke setiap sudut. Tidak ada perabot di rumah ini, kecuali sebuah meja kecil dan kursi yang sedang diduduki oleh Bude Sri.
Di dinding, terpajang foto perempuan. Aji mengenali sosok itu. Eka, teman masa kecil, putri semata wayang Bude. Selain itu, dinding juga dihiasi dengan sarang laba-laba.
Ruangan tengah di mana Aji dan Bude Sri duduk, terasa pengap. Bebauan yang bercampur-baur. Untunglah lelaki itu seorang pembuat tahu dan tempe. Sudah biasa menangani limbah yang baunya cukup menyengat di hidung. Jadi, bebauan tak sedap di rumah Bude Sri masih bisa diatasi.
Sejenak, tak ada percakapan. Aji terpaku saat memperhatikan Bude yang begitu fokus melihat foto Eka dari tempat duduknya. Pastilah nenek ini sangat merindukan anaknya.
Aji perhatikan wajah si perempuan tua terlihat sangat pucat. Matanya ... tak bisa digambarkan. Tatapan yang begitu tajam, dan … mengerikan! Buru-buru lelaki muda itu memalingkan wajah, menatap hujan yang mulai reda di luar sana.
“Bude bisa ke rumahmu setelah Magrib. Kamu boleh pulang sekarang sebelum hujan kembali deras,” perintah Bude Sri.
“Iya, Bude,” jawab Aji dengan senang hati. Apalagi ia telah mengantongi kesediaan tukang pijat itu. Berdiri dengan tegap, ia kemudian permisi pulang. Di luar sana hari telah gelap. Mendung yang menyelimuti langit memperburuk keadaan.
***
“Assalamualaikum …,” ucap Aji tergesa-gesa menerobos pintu rumahnya yang tak terkunci.
Aneh. Rumah dalam keadaan gelap. Biasanya, listrik hidup di malam hari dengan bantuan genset dari rumah Pak Mul sampai dengan jam 00.00. Masing-masing rumah penduduk di kampung itu membayar setiap bulan pada keluarga itu, mirip cara kerja PLN. Setelah lampu listrik dari Pak Mul padam, dilanjutkan dengan lampu tenaga surya hingga pagi.
Namun, malam ini, entah apa sebabnya sehingga lampu tidak menyala. Mau bertanya pada Pak Mul rasanya tak mungkin. Rumahnya cukup jauh, kira-kira 150 langkah ke kiri dari rumah ini. Mau menghubungi via handpone? Sinyal telepon seluler ada, tapi sangat susah. Tidak mungkin juga mencari sinyal dalam kondisi gelap.
“Hiks … hiks .…” Aji dikejutkan dengan tangisan. Itu pasti Yati! Kakinya melangkah sepanjang mungkin agar bisa sampai ke kamar. Lelaki itu kemudian menghidupkan senter dari ponsel miliknya.
“Dek ….” Aji menemukan Yati tengah menangis di ranjang sambil memeluk Kusuma.
“Sstt … Mas sudah disini, Sayang,” ujar Aji seraya mendekap istrinya.
Sejenak kemudian, dia menyalakan korek api guna menghidupkan lampu teplok yang selalu disiapkan di dinding. Lampu sudah menyala, pencahayaan dirasa cukup. Yati pun sudah terlihat tenang.
“Ajii …!” gantian suara Ibu yang terdengar melengking memanggil anaknya.
Lelaki yang disebut namanya berlari ke sumber suara. Ibu sudah tua, dalam keadaan gelap, bisa jatuh atau menabrak sesuatu dengan alat itu. Rasa berdosa menyeruak dalam dada, seharusnya tadi dia menghampiri ibu dahulu sebelum Yati.
“Ibu …” Aji memanggil dari luar kamar. Bagaimana caranya bisa masuk ke dalam? Tanpa pikir panjang, Aji mendobrak pintu kamar.
Syukurlah, ibunya dalam keadaan baik-baik saja. Mungkin wanita itu tak nyaman dalam gelap. Aji kemudian menyalakan lampu teplok di kamar kecil tersebut.
Sementara itu, dari luar rumah langit sepertinya menyambung tangis. Hujan deras kembali dan diselingi dengan petir yang menggelegar. Angin yang bertiup membanting jendela hingga menimbulkan suara yang berisik. Aji berlari menutup kaca jendela yang berada di seberang kamar ibu.
Akan tetapi, saat Aji berdiri di sana, dari kaca terlihat bayangan—sosok yang mirip ibu—tengah berdiri di depan pintu. Sempat ia merasa gembira, tetapi sebentar saja berubah menjadi bingung yang bercampur kengerian.
Apa? Ibu berdiri? Ke mana kursi rodanya? Bulu kuduk Aji semakin berdiri tegak. Bagaimana mungkin ibunya berdiri sementara wanita itu sudah lumpuh sejak beberapa bulan yang lalu.
Aji meneguk ludah, membasahi tenggorokan yang sangat kering. Perlahan, dia memberanikan diri menoleh ke belakang. Ternyata ….
Part 6
Susan tetangga ujung desa, merasa perutnya melilit. Kepala janin seperti akan mendobrak jalan lahir yang masih buntu. Wajahnya ditekuk, bak kertas origami yang sudah dibuat beberapa pola. Keringatnya mengucur deras dari setiap sudut rambut.
Pasien Bu Lia mengalami pecah ketuban, padahal usia kandungan baru 7 bulan. Bidan desa itu mandi keringat membantu persalinan yang prosesnya tiba-tiba berjalan sangat lancar. Hanya 2 jam setelah Pak Mul pulang ke rumahnya.
Saat bayi itu lahir, dalam cahaya temaram, Bu Lia menangkap bayangan makhluk berbadan merah melintas di kamar. Akan tetapi, kehadiran makhluk itu tak lama. Sekejap setelah bayi menangis, dia menghilang.
Bu Lia cemas, tetapi kecemasannya berkurang melihat suami Susan mengambil bayi yang telah dibersihkan dan mengazankannya. Paling tidak, bayi itu lebih aman dibanding Kusuma.
Kusuma? Apa kabar dia? Pikiran kalut Bu Lia kembali ke peristiwa puluhan tahun lalu.
***
"Jauhi Sri Juminten, Lia!" tak bosan Pak Kep, tetangga Lia, mengingatkan.
"Mbak Sri itu orangnya baik banget, Mas. Setiap hari dia datang ke rumah buat mijatin Lia. Masa harus Lia jauhin?" Lia tak mau dilarang tanpa alasan yang jelas. Tetangganya terlalu berlebihan, berprasangka buruk, padahal Sri Juminten yang dimaksud sangat suka berbuat baik.
"Mul! Nasihati istrimu, jangan sampai sudah kejadian, baru menyesal!" Pak Kep geram. Tanpa permisi, dia pulang ke rumahnya. Mungkin mengadukan perihal ini pada Bu Anik. Sebenarnya mereka tetangga yang paling perhatian dengan Lia dan suaminya. Baru kali ini berpolemik seperti begini.
Setelah ribut kecil itu, Lia dan suami juga bertengkar hebat. Disebabkan Lia ketahuan akan membawa anaknya ke rumah Sri Juminten saat magrib. Perbuatannya dipergoki oleh Mul yang baru pulang setelah salat magrib di masjid.
Lia mengamuk saat ditangkap, seakan kesetanan melempar segala benda ke arah suaminya. Meraung, sorot mata merah, berubah menjadi beringas! Mul hampir kewalahan. Tetangga berdatangan karena mendengar kebisingan, mereka membantu mengikat Lia di kursi.
"Lepaskan! Buka! Bukaa!" Lia meronta, badannya membuat kursi sedikit terangkat.
Mul lari ke rumah Pak Kep, bersujud memohon bantuan. Lelaki tua yang disegani di kampung itu akhirnya datang. Dibacakannya mantra sakti, membuat Lia lemas seketika dan sadar diri.
Beberapa hari disekap, baru ketahuan kalau Lia dalam kondisi sakit parah. Seluruh badannya memar, yang diikuti muntah darah. Mul cukup putus asa melihat kondisi Lia. Dia labil, sangat gampang dipengaruhi.
Pak Kep dan istrinya datang membantu, berusaha menyelamatkan mereka dari pengaruh Sri Juminten. Sri Juminten bukan orang sembarangan, sangat susah ditakhlukkan. Dibangun tembok tinggi yang mengelilingi keluarga dari bayi yang diinginkan sekalipun tidak akan menyurutkan langkahnya.
Lia dibuat terus-terusan menderita, supaya Mul terus sedih dan kebingungan. Saat itulah makhluk gaib dikirim, untuk mempengaruhi Mul dan Lia menyerahkan anaknya di tengah malam saat bulan purnama sedang bersinar terang.
Pak Kep gerah, menemukan tetangganya menghilang, lalu dengan tangan kosong mendatangi rumah Sri Juminten. Mendobrak pintu rumah perempuan itu dengan kakinya.
"Kamu menyalahi aturan, Sri! Tidak diajarkan oleh Datuk kita cara-cara seperti itu!" hardik Pak Kep yang menangkap basah Sri Juminten telah menggendong Bagas. Lia dan Mul duduk ketakutan di lantai dalam posisi tangan dan kaki yang terikat.
"Kemampuanmu payah, Mas! Tak sama denganku," sindir Sri tanpa melirik Pak Kep sedikit pun. Matanya menatap lekat pada bayi tampan dalam dekapan.
Terasa seperti terbakar jantung Pak Kep mendengar ucapan wanita muda di depannya.
"Kurang ajar! Percuma punya ilmu tinggi, kalau kelakuanmu hina!" cecar Pak Kep. Darahnya mendidih dilecehkan adik sepupunya.
"Pulanglah, Mas. Aku tak mau melukaimu. Apa kata nenek moyang kita kalau sampai menciderai saudara sendiri," bujuk Sri Juminten pada lelaki yang sengaja datang mencari ribut.
"Cuih!" Pak Kep meludah ke samping. "Aku lebih baik terluka daripada membiarkanmu menyakiti orang lain!" Pak Kep maju, siap menyerang dengan jurus maut, tetapi Sri Juminten hanya tertawa.
Rupanya makhluk gaib yang datang menghadapi Pak Kep. Terjadilah perkelahian. Lelaki tua itu memohon lindungan Gusti Allah, di samping melakukan perlawanan fisik. Alhamdulillah, beliau mampu membuat makhluk itu kewalahan, bahkan nyaris terbakar.
"Maas! Jangan sakiti dia! Aku janji berubah, Mas." Sri Juminten menjerit histeris. Dia berlutut, memohon agar Pak Kep melepas makhluk peliharaan kesayangannya dengan alasan makhluk itu dititipkan Datuk mereka untuk dijaga.
"Tiga tahun lalu, saat suamimu meninggal, aku bersumpah untuk menjagamu. Jadi, jangan sampai aku mengingkari janji karena membuatmu celaka." Pak Kep memberi ampun, tetapi dengan syarat Sri tidak mengganggu ketentraman masyarakat lagi.
Anak Mul selamat, namun kondisinya tak terlalu baik. Anak itu mengalami gangguan bicara.
Tingkah buruk Sri Juminten ternyata tak berhenti sampai di situ. Beberapa tahun setelahnya satu demi satu bayi di desa itu mati di tangannya. Semua dilakukan untuk menambah kekuatan dan memberi makan genderuwo. Siapa yang menghalangi, tak akan selamat. Saking beringasnya, Sri Juminten hampir saja membunuh cucunya sendiri.
Warga menjadi ketakutan. Satu per satu keluarga mulai pindah ke desa lain, bahkan ada yang tak mau lagi tinggal di pulau ini. Itulah sebabnya mengapa sedikit sekali penduduk desa Banjar Sari.
Pak Kep semakin tua, tak sanggup meladeni manusia keji itu. Terakhir, beliau malah dianiaya makhluk mengerikan peliharaan Sri Juminten karena berusaha menghalangi niat buruk mereka, bahkan anak gadisnya pun ikut menjadi korban.
Pak Mul merasa sedih, lalu memberanikan diri datang, bernegosiasi, meminta Sri Juminten menyudahi kekejamannya. Tak disangka, kepasrahan dan kelembutan lelaki itu membuat Sri menyudahi aksi jahatnya. Apalagi wanita itu merasa sangat bersalah karena telah membunuh saudaranya sendiri.
Sejak saat itu, Sri Juminten tidak praktik sebagai dukun berbagai penyakit. Dirinya hanya fokus menjadi tukang pijat panggilan dari rumah ke rumah. Tidak di desa itu, dia memijat ke desa lain lantaran di sana banyak yang trauma akan kehadirannya. Dia juga lebih sering meninggalkan rumahnya, menemui anak dan cucu di kota Bengkulu.
Desa kembali aman selama 1 dasawarsa. Bu Lia bergidik mengingat peristiwa masa lalu yang kelam dan mengerikan. Oleh karenanya, di saat situasi kembali mencekam seperti sekarang ini, dia merasa terpanggil untuk membantu.
"Ibu sudah mau pulang sekarang?" Suami Susan membuyarkan lamunan Bu Lia.
"Iya. Bapak dan Ibu, saya mohon, tolong jaga Susan dan bayinya. Jangan ditinggal, walau cuman 1 detik," Bu Lia mengimbau orang tua dan mertua Susan. Rasanya tak mungkin menjelaskan perihal makhluk gaib yang tadi dilihatnya di rumah ini.
Berangkatlah Bu Lia menuju rumahnya. Di perjalanan hatinya tak tenang, seakan ada sesuatu yang buruk tengah terjadi. Dia meminta suaminya Susan untuk ngebut saja, biar cepat sampai di rumah.
Sampai di rumah dalam keadaan letih. Bu Lia meminta suami Susan untuk pulang saja, istrinya lebih membutuhkan dampingan. Pintu diketuk beberapa kali tetap tidak ada jawaban. Bu Lia semakin tak tenang. Lolongan anjing terdengar dari kejauhan semakin menambah kecemasan dalam hati.
Rupanya pintu tak terkunci, lalu dia pun menyusup ke dalam. Rumah sepi, debaran jantung seolah mengiringi langkah Bu Lia. Decak Cicak yang bertengger di dinding memecah fokus.
Bu Lia masuk ke dalam kamar, mencari keberadaan sang suami. Hampa, dia tak menemukannya, lalu dia melangkah ke belakang. Tak ada juga jejak suami tersayang.
Langkah kaki Bu Lia hampir masuk ke ruang yang dijadikan sebagai klinik. Rasa haus tak menundanya untuk masuk ke sana. Hening. Tak terdengar apapun dari ruangan itu, meskipun hanya dengkuran.
Bu Lia berkeringat, perasaannya sungguh tidak enak. Rasa ragu bertumpuk di dada, tangannya sudah memegang gagang pintu. Buka atau tidak? Ditempelkannya telinga di daun pintu, siapa tahu bisa mendengar suara.
Bu Lia menggigit bibir, rasa takut mengalir dalam darah. Andai saja ada suami, tentu dia jauh lebih berani. Dihelanya napas dalam-dalam lalu dihempaskan ke udara. Apapun yang terjadi, dia harus berani. Ditekannya gagang pintu, lalu dibuka perlahan.
'Bip!'
Lampu padam, di saat langkah kaki sudah masuk ke ruangan, dan belum sempat melihat sesuatu di dalam sana. Kepala Bu Lia berdenyut, memberi sinyal tidak nyaman. Napasnya tersengal, ketakutan menjalar ke seluruh sendi.
"Aji?" Bu Lia memanggil seseorang yang mungkin bisa diandalkan.
"Mbak?" Bu Lia juga memanggil Ibu, karena tak mendapat jawaban dari Aji.
Bu Lia merapat ke dinding. Tangannya menelusuri jalan, dia ingat di mana lampu darurat dipajang. Baru 2 langkah berjalan, tiba-tiba ....
“Mas aja yang mijit, gimana?” Aji mengerlingkan mata dengan genit pada istrinya. Biasanya juga ia yang memijat saat wanita itu kelelahan.
Oeek!
Terdengar tangisan Kusuma, bayi yang baru berusia kurang lebih 7 hari.
“Tuh, Kusuma aja gak setuju. Katanya kalau Bapaknya yang mijit nanti keburu punya adek lagi.” Yati ngedumel seraya mengambil Kusuma untuk disusui. Tampaknya bayi itu kelaparan setelah hampir 1 jam ia tertidur.
“Kusuma pinter, ya! udah bisa menghasut Ibu.” Aji mendekati sang istri, kemudian membelai rambut anaknya yang belum genap satu bulan. Bahkan denyut di ubun-ubun Kusuma masih terlihat.
“Kusuma jaga Ibu dulu, ya, Nak! Bapak mau ke kamar Nenek, mau nanyain tukang pijit yang bisa dipanggil ke sini,” imbuh Aji.
Yati tersenyum, senang sekali rasanya memiliki suami yang tanggap permintaan istri.
“Jangan lama-lama, Mas. Aku takut … mendungnya kebangetan. Kamu tahu, kan, kalau aku takut hujan deras dan geluduk.” Yati merengek, bak anak kecil yang tak mau ditinggal sendirian.
“Iya, Sayang. Mas, kan, cuma ke kamar belakang bukan keluar rumah,” ujar Aji lembut seraya mendaratkan kecupan di kening istrinya.
“Bu … Ibu ….”
Aji memanggil ibunya. Tidak ada jawaban, walaupun pintu kamar itu sudah diketuk berkali-kali. Kemana Ibu? Mungkin saja sedang salat. Ibu wiritnya memang panjang dan sangat fokus. Dia tak mau mengganggu.
Aji memutar otak untuk mencari alternatif pada siapa ia bertanya perihal tukang pijit. Lalu, tanpa memberi tahu istrinya, lelaki itu pergi ke rumah tetangga yang jaraknya kira-kira 50 langkah ke kanan. Cukup jauh. Maklum, rumah di kampung transmigrasi —desa Banjar Sari pulau Enggano, Provinsi Bengkulu—belum begitu banyak.
Sampailah Aji ke rumah yang dituju. Diketuknya pintu berbahan kayu yang telah usang.
“Assalamualaikum, Bude,” panggil Aji dari luar. Sampai panggilan ketiga baru ada jawaban.
Itu rumah Bude Sri Juminten. Dia tinggal sendirian, suaminya telah meninggal 2 tahun yang lalu karena serangan jantung. Anaknya hanya satu; Eka, tinggalnya di Kota Bengkulu. Jaraknya 12 jam dari pulau ini.
“Iya.” Bude Sri menjawab dengan suara berat dari dalam, tanpa membuka pintu. “Ada apa, Ji?” imbuhnya lagi.
Aji terperangah. Bagaimana caranya Bude Sri tahu kalau yang datang itu adalah dirinya? Bahkan tanpa perlu membuka pintu. Namun, mungkin wanita tua itu mengenali suara Aji. Akan tetapi ... bukankah Aji sangat jarang pergi ke rumah itu? Entahlah.
“Nganu, Bude. Yati, istriku minta dipijat. Bude masih bisa mijat ke rumah, tak? Aji ingat kalau dulu Bude sering dipanggil ke rumah-rumah tetangga sini buat mijat.”
‘Garr!’
Suara petir tiba-tiba menggelegar. Hujan mulai turun. Aji melompat karena teekejut. Sejenak kemudian ia meringis karena tak membawa payung apalagi jas hujan.
‘Ngiit’
Pintu terbuka. Aji mengintip dari luar, terlihatlah Bude Sri yang tengah duduk di kursi. Masih seperti dulu, wanita berusia sekitar 65 tahun itu memakai kain dan baju kutu baru. Hanya saja kali ini bajunya berwarna hitam. Aji mengingat dalam diam, kalau tidak salah usia perempuan tua itu sekitar 65 tahun.
“Masuklah …,” ajak Bude Sri. Suara beratnya lirih, tetapi seakan berbisik di telinga Aji. Spontan. Bulu kuduk lelaki beranak satu itu meremang.
“Iya, Bude.” Aji melangkah masuk. Matanya tak bisa dikendalikan. Langsung saja menatap banyak hal. Di antaranya memandang atap rumah yang terbuat dari seng; ternyata sudah bolong di sana-sini. Setengah dinding rumah ini terbuat dari semen dan separuh lagi berbahan kayu. Sementara lantai dilapisi oleh semen, warnanya kusam dan penuh debu. Aji juga mengedarkan pandangan ke setiap sudut. Tidak ada perabot di rumah ini, kecuali sebuah meja kecil dan kursi yang sedang diduduki oleh Bude Sri.
Di dinding, terpajang foto perempuan. Aji mengenali sosok itu. Eka, teman masa kecil, putri semata wayang Bude. Selain itu, dinding juga dihiasi dengan sarang laba-laba.
Ruangan tengah di mana Aji dan Bude Sri duduk, terasa pengap. Bebauan yang bercampur-baur. Untunglah lelaki itu seorang pembuat tahu dan tempe. Sudah biasa menangani limbah yang baunya cukup menyengat di hidung. Jadi, bebauan tak sedap di rumah Bude Sri masih bisa diatasi.
Sejenak, tak ada percakapan. Aji terpaku saat memperhatikan Bude yang begitu fokus melihat foto Eka dari tempat duduknya. Pastilah nenek ini sangat merindukan anaknya.
Aji perhatikan wajah si perempuan tua terlihat sangat pucat. Matanya ... tak bisa digambarkan. Tatapan yang begitu tajam, dan … mengerikan! Buru-buru lelaki muda itu memalingkan wajah, menatap hujan yang mulai reda di luar sana.
“Bude bisa ke rumahmu setelah Magrib. Kamu boleh pulang sekarang sebelum hujan kembali deras,” perintah Bude Sri.
“Iya, Bude,” jawab Aji dengan senang hati. Apalagi ia telah mengantongi kesediaan tukang pijat itu. Berdiri dengan tegap, ia kemudian permisi pulang. Di luar sana hari telah gelap. Mendung yang menyelimuti langit memperburuk keadaan.
***
“Assalamualaikum …,” ucap Aji tergesa-gesa menerobos pintu rumahnya yang tak terkunci.
Aneh. Rumah dalam keadaan gelap. Biasanya, listrik hidup di malam hari dengan bantuan genset dari rumah Pak Mul sampai dengan jam 00.00. Masing-masing rumah penduduk di kampung itu membayar setiap bulan pada keluarga itu, mirip cara kerja PLN. Setelah lampu listrik dari Pak Mul padam, dilanjutkan dengan lampu tenaga surya hingga pagi.
Namun, malam ini, entah apa sebabnya sehingga lampu tidak menyala. Mau bertanya pada Pak Mul rasanya tak mungkin. Rumahnya cukup jauh, kira-kira 150 langkah ke kiri dari rumah ini. Mau menghubungi via handpone? Sinyal telepon seluler ada, tapi sangat susah. Tidak mungkin juga mencari sinyal dalam kondisi gelap.
“Hiks … hiks .…” Aji dikejutkan dengan tangisan. Itu pasti Yati! Kakinya melangkah sepanjang mungkin agar bisa sampai ke kamar. Lelaki itu kemudian menghidupkan senter dari ponsel miliknya.
“Dek ….” Aji menemukan Yati tengah menangis di ranjang sambil memeluk Kusuma.
“Sstt … Mas sudah disini, Sayang,” ujar Aji seraya mendekap istrinya.
Sejenak kemudian, dia menyalakan korek api guna menghidupkan lampu teplok yang selalu disiapkan di dinding. Lampu sudah menyala, pencahayaan dirasa cukup. Yati pun sudah terlihat tenang.
“Ajii …!” gantian suara Ibu yang terdengar melengking memanggil anaknya.
Lelaki yang disebut namanya berlari ke sumber suara. Ibu sudah tua, dalam keadaan gelap, bisa jatuh atau menabrak sesuatu dengan alat itu. Rasa berdosa menyeruak dalam dada, seharusnya tadi dia menghampiri ibu dahulu sebelum Yati.
“Ibu …” Aji memanggil dari luar kamar. Bagaimana caranya bisa masuk ke dalam? Tanpa pikir panjang, Aji mendobrak pintu kamar.
Syukurlah, ibunya dalam keadaan baik-baik saja. Mungkin wanita itu tak nyaman dalam gelap. Aji kemudian menyalakan lampu teplok di kamar kecil tersebut.
Sementara itu, dari luar rumah langit sepertinya menyambung tangis. Hujan deras kembali dan diselingi dengan petir yang menggelegar. Angin yang bertiup membanting jendela hingga menimbulkan suara yang berisik. Aji berlari menutup kaca jendela yang berada di seberang kamar ibu.
Akan tetapi, saat Aji berdiri di sana, dari kaca terlihat bayangan—sosok yang mirip ibu—tengah berdiri di depan pintu. Sempat ia merasa gembira, tetapi sebentar saja berubah menjadi bingung yang bercampur kengerian.
Apa? Ibu berdiri? Ke mana kursi rodanya? Bulu kuduk Aji semakin berdiri tegak. Bagaimana mungkin ibunya berdiri sementara wanita itu sudah lumpuh sejak beberapa bulan yang lalu.
Aji meneguk ludah, membasahi tenggorokan yang sangat kering. Perlahan, dia memberanikan diri menoleh ke belakang. Ternyata ….
Quote:
Quote:
Quote:
Quote:
Part 6
Susan tetangga ujung desa, merasa perutnya melilit. Kepala janin seperti akan mendobrak jalan lahir yang masih buntu. Wajahnya ditekuk, bak kertas origami yang sudah dibuat beberapa pola. Keringatnya mengucur deras dari setiap sudut rambut.
Pasien Bu Lia mengalami pecah ketuban, padahal usia kandungan baru 7 bulan. Bidan desa itu mandi keringat membantu persalinan yang prosesnya tiba-tiba berjalan sangat lancar. Hanya 2 jam setelah Pak Mul pulang ke rumahnya.
Saat bayi itu lahir, dalam cahaya temaram, Bu Lia menangkap bayangan makhluk berbadan merah melintas di kamar. Akan tetapi, kehadiran makhluk itu tak lama. Sekejap setelah bayi menangis, dia menghilang.
Bu Lia cemas, tetapi kecemasannya berkurang melihat suami Susan mengambil bayi yang telah dibersihkan dan mengazankannya. Paling tidak, bayi itu lebih aman dibanding Kusuma.
Kusuma? Apa kabar dia? Pikiran kalut Bu Lia kembali ke peristiwa puluhan tahun lalu.
***
"Jauhi Sri Juminten, Lia!" tak bosan Pak Kep, tetangga Lia, mengingatkan.
"Mbak Sri itu orangnya baik banget, Mas. Setiap hari dia datang ke rumah buat mijatin Lia. Masa harus Lia jauhin?" Lia tak mau dilarang tanpa alasan yang jelas. Tetangganya terlalu berlebihan, berprasangka buruk, padahal Sri Juminten yang dimaksud sangat suka berbuat baik.
"Mul! Nasihati istrimu, jangan sampai sudah kejadian, baru menyesal!" Pak Kep geram. Tanpa permisi, dia pulang ke rumahnya. Mungkin mengadukan perihal ini pada Bu Anik. Sebenarnya mereka tetangga yang paling perhatian dengan Lia dan suaminya. Baru kali ini berpolemik seperti begini.
Setelah ribut kecil itu, Lia dan suami juga bertengkar hebat. Disebabkan Lia ketahuan akan membawa anaknya ke rumah Sri Juminten saat magrib. Perbuatannya dipergoki oleh Mul yang baru pulang setelah salat magrib di masjid.
Lia mengamuk saat ditangkap, seakan kesetanan melempar segala benda ke arah suaminya. Meraung, sorot mata merah, berubah menjadi beringas! Mul hampir kewalahan. Tetangga berdatangan karena mendengar kebisingan, mereka membantu mengikat Lia di kursi.
"Lepaskan! Buka! Bukaa!" Lia meronta, badannya membuat kursi sedikit terangkat.
Mul lari ke rumah Pak Kep, bersujud memohon bantuan. Lelaki tua yang disegani di kampung itu akhirnya datang. Dibacakannya mantra sakti, membuat Lia lemas seketika dan sadar diri.
Beberapa hari disekap, baru ketahuan kalau Lia dalam kondisi sakit parah. Seluruh badannya memar, yang diikuti muntah darah. Mul cukup putus asa melihat kondisi Lia. Dia labil, sangat gampang dipengaruhi.
Pak Kep dan istrinya datang membantu, berusaha menyelamatkan mereka dari pengaruh Sri Juminten. Sri Juminten bukan orang sembarangan, sangat susah ditakhlukkan. Dibangun tembok tinggi yang mengelilingi keluarga dari bayi yang diinginkan sekalipun tidak akan menyurutkan langkahnya.
Lia dibuat terus-terusan menderita, supaya Mul terus sedih dan kebingungan. Saat itulah makhluk gaib dikirim, untuk mempengaruhi Mul dan Lia menyerahkan anaknya di tengah malam saat bulan purnama sedang bersinar terang.
Pak Kep gerah, menemukan tetangganya menghilang, lalu dengan tangan kosong mendatangi rumah Sri Juminten. Mendobrak pintu rumah perempuan itu dengan kakinya.
"Kamu menyalahi aturan, Sri! Tidak diajarkan oleh Datuk kita cara-cara seperti itu!" hardik Pak Kep yang menangkap basah Sri Juminten telah menggendong Bagas. Lia dan Mul duduk ketakutan di lantai dalam posisi tangan dan kaki yang terikat.
"Kemampuanmu payah, Mas! Tak sama denganku," sindir Sri tanpa melirik Pak Kep sedikit pun. Matanya menatap lekat pada bayi tampan dalam dekapan.
Terasa seperti terbakar jantung Pak Kep mendengar ucapan wanita muda di depannya.
"Kurang ajar! Percuma punya ilmu tinggi, kalau kelakuanmu hina!" cecar Pak Kep. Darahnya mendidih dilecehkan adik sepupunya.
"Pulanglah, Mas. Aku tak mau melukaimu. Apa kata nenek moyang kita kalau sampai menciderai saudara sendiri," bujuk Sri Juminten pada lelaki yang sengaja datang mencari ribut.
"Cuih!" Pak Kep meludah ke samping. "Aku lebih baik terluka daripada membiarkanmu menyakiti orang lain!" Pak Kep maju, siap menyerang dengan jurus maut, tetapi Sri Juminten hanya tertawa.
Rupanya makhluk gaib yang datang menghadapi Pak Kep. Terjadilah perkelahian. Lelaki tua itu memohon lindungan Gusti Allah, di samping melakukan perlawanan fisik. Alhamdulillah, beliau mampu membuat makhluk itu kewalahan, bahkan nyaris terbakar.
"Maas! Jangan sakiti dia! Aku janji berubah, Mas." Sri Juminten menjerit histeris. Dia berlutut, memohon agar Pak Kep melepas makhluk peliharaan kesayangannya dengan alasan makhluk itu dititipkan Datuk mereka untuk dijaga.
"Tiga tahun lalu, saat suamimu meninggal, aku bersumpah untuk menjagamu. Jadi, jangan sampai aku mengingkari janji karena membuatmu celaka." Pak Kep memberi ampun, tetapi dengan syarat Sri tidak mengganggu ketentraman masyarakat lagi.
Anak Mul selamat, namun kondisinya tak terlalu baik. Anak itu mengalami gangguan bicara.
Tingkah buruk Sri Juminten ternyata tak berhenti sampai di situ. Beberapa tahun setelahnya satu demi satu bayi di desa itu mati di tangannya. Semua dilakukan untuk menambah kekuatan dan memberi makan genderuwo. Siapa yang menghalangi, tak akan selamat. Saking beringasnya, Sri Juminten hampir saja membunuh cucunya sendiri.
Warga menjadi ketakutan. Satu per satu keluarga mulai pindah ke desa lain, bahkan ada yang tak mau lagi tinggal di pulau ini. Itulah sebabnya mengapa sedikit sekali penduduk desa Banjar Sari.
Pak Kep semakin tua, tak sanggup meladeni manusia keji itu. Terakhir, beliau malah dianiaya makhluk mengerikan peliharaan Sri Juminten karena berusaha menghalangi niat buruk mereka, bahkan anak gadisnya pun ikut menjadi korban.
Pak Mul merasa sedih, lalu memberanikan diri datang, bernegosiasi, meminta Sri Juminten menyudahi kekejamannya. Tak disangka, kepasrahan dan kelembutan lelaki itu membuat Sri menyudahi aksi jahatnya. Apalagi wanita itu merasa sangat bersalah karena telah membunuh saudaranya sendiri.
Sejak saat itu, Sri Juminten tidak praktik sebagai dukun berbagai penyakit. Dirinya hanya fokus menjadi tukang pijat panggilan dari rumah ke rumah. Tidak di desa itu, dia memijat ke desa lain lantaran di sana banyak yang trauma akan kehadirannya. Dia juga lebih sering meninggalkan rumahnya, menemui anak dan cucu di kota Bengkulu.
Desa kembali aman selama 1 dasawarsa. Bu Lia bergidik mengingat peristiwa masa lalu yang kelam dan mengerikan. Oleh karenanya, di saat situasi kembali mencekam seperti sekarang ini, dia merasa terpanggil untuk membantu.
"Ibu sudah mau pulang sekarang?" Suami Susan membuyarkan lamunan Bu Lia.
"Iya. Bapak dan Ibu, saya mohon, tolong jaga Susan dan bayinya. Jangan ditinggal, walau cuman 1 detik," Bu Lia mengimbau orang tua dan mertua Susan. Rasanya tak mungkin menjelaskan perihal makhluk gaib yang tadi dilihatnya di rumah ini.
Berangkatlah Bu Lia menuju rumahnya. Di perjalanan hatinya tak tenang, seakan ada sesuatu yang buruk tengah terjadi. Dia meminta suaminya Susan untuk ngebut saja, biar cepat sampai di rumah.
Sampai di rumah dalam keadaan letih. Bu Lia meminta suami Susan untuk pulang saja, istrinya lebih membutuhkan dampingan. Pintu diketuk beberapa kali tetap tidak ada jawaban. Bu Lia semakin tak tenang. Lolongan anjing terdengar dari kejauhan semakin menambah kecemasan dalam hati.
Rupanya pintu tak terkunci, lalu dia pun menyusup ke dalam. Rumah sepi, debaran jantung seolah mengiringi langkah Bu Lia. Decak Cicak yang bertengger di dinding memecah fokus.
Bu Lia masuk ke dalam kamar, mencari keberadaan sang suami. Hampa, dia tak menemukannya, lalu dia melangkah ke belakang. Tak ada juga jejak suami tersayang.
Langkah kaki Bu Lia hampir masuk ke ruang yang dijadikan sebagai klinik. Rasa haus tak menundanya untuk masuk ke sana. Hening. Tak terdengar apapun dari ruangan itu, meskipun hanya dengkuran.
Bu Lia berkeringat, perasaannya sungguh tidak enak. Rasa ragu bertumpuk di dada, tangannya sudah memegang gagang pintu. Buka atau tidak? Ditempelkannya telinga di daun pintu, siapa tahu bisa mendengar suara.
Bu Lia menggigit bibir, rasa takut mengalir dalam darah. Andai saja ada suami, tentu dia jauh lebih berani. Dihelanya napas dalam-dalam lalu dihempaskan ke udara. Apapun yang terjadi, dia harus berani. Ditekannya gagang pintu, lalu dibuka perlahan.
'Bip!'
Lampu padam, di saat langkah kaki sudah masuk ke ruangan, dan belum sempat melihat sesuatu di dalam sana. Kepala Bu Lia berdenyut, memberi sinyal tidak nyaman. Napasnya tersengal, ketakutan menjalar ke seluruh sendi.
"Aji?" Bu Lia memanggil seseorang yang mungkin bisa diandalkan.
"Mbak?" Bu Lia juga memanggil Ibu, karena tak mendapat jawaban dari Aji.
Bu Lia merapat ke dinding. Tangannya menelusuri jalan, dia ingat di mana lampu darurat dipajang. Baru 2 langkah berjalan, tiba-tiba ....
Diubah oleh yundamassayu18 15-03-2020 12:18
arieaduh dan 43 lainnya memberi reputasi
44
37.8K
191
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.4KAnggota
Tampilkan semua post
TS
yundamassayu18
#1
Part 2
Aji cukup lega. Tidak ada siapa-siapa yang berdiri di depan kamar, meskipun tadi ia yakin tak salah lihat. Sosok yang mirip seperti ibu. Benar-benar aneh.
“Ji, roda kursi ini terasa seret. Ibu mau keluar dari tadi, tapi tak bisa. Seperti ada yang nenahan.” Keluhan ibu dari dalam kamar membuyarkan pikiran Aji yang tengah galau. Segera saja dia masuk ke kamar, meskipun pikiran masih dipenuhi pertanyaan.
Aji berlutut, memeriksa jentera pada kursi roda yang diduduki ibu. Karet ban, pijakan kaki, dan rem, tidak ada yang bermasalah. Mungkin ibu masih belum terbiasa memakai alat bantu ini. Lelaki itu melepas napas berat, kasihan pada ibu.
Setelah yakin tidak ada masalah, Aji mencoba menggerak-gerakkan kursi roda.
“Udah, Bu. Tuh, udah bisa jalan. Sekarang Ibu mau ke mana?” tanya Aji yang sudah berdiri di belakang kursi roda, siap mengawal ke mana pun ibu mau pergi.
“Ibu mau lihat cucu sama menantu, dari tadi belum ketemu. Kangen …,” kata ibu lirih. Aji mengelus lembut pundak ibunya. Mereka mulai bergerak menuju kamar di mana Yati dan Kusuma berada.
Lampu belum menyala juga. Bisa jadi Pak Mul tak berani menghidupkan listrik karena masih hujan dan petir yang terus menggelegar, takut tersambar dan terbakar mesinnya.
“Hiks … hiks ….”
Sepertinya Yati masih menangis. Di sinilah perasaan suami bisa tercabik-cabik. Merasa bersalah karena telah meninggalkan istri sendirian menjaga anak demi mendahulukan ibunya.
Terlihat Yati mendekap erat Kusuma yang tertidur pulas. Rambutnya tergerai tak beraturan. Air mata membasahi wajah yang terlihat memucat.
Aji buru-buru menghampiri istrinya, setelah lebih dahulu memastikan kursi roda ibu tak bergerak lagi. Diambilnya Kusuma, lalu menyerahkannya pada ibu. Bayi itu merengek.
“Oalah. Cup, Sayang. Maafin nenek ya, Kusuma …,” kata Ibu dengan tatapan penuh iba. Dalam hati merutuk karena tak berdaya membantu menantu dan cucu tersayang.
“Sstt …” Aji menyandarkan kepala Yati ke dada bidangnya. Tangannya sibuk menghapus air mata yang membasahi rambut dan wajah sang istri. Juga merapikan rambut wanita yang telah mendampingi hidupnya selama 2 tahun ini. Setelah berhenti menangis, dibantunya wanita itu berbaring.
“Kasih minum air hangat dulu, Ji!” perintah ibu pada anaknya.
“Iya, Bu.” Aji bergegas ke belakang. Ibu selalu memberikan masukan yang berarti di saat genting. Tidak ikut-ikutan panik, itulah sikap yang selalu dikagumi anak-anaknya. Ya, Aji bukan anak tunggal. Saudaranya bernama Burhan, saat ini sedang merantau ke Padang-Sumatera Barat. Dulu sekali, ibu pernah punya anak perempuan, tetapi meninggal di usia 15 tahun.
Aji menjerang ceret berisi air di atas tungku kayu bakar yang telah menyala. Tangan lelaki jangkung itu terkena tetesan air dari atas. Diliriknya atap dapur yang bocor di sana-sini. Dia mendengkus, masih banyak yang perlu dibenahi di rumah ini.
Aji dan Yati baru pindah ke sini; hampir dua bulan yang lalu. Tidak ada yang bisa mengurus ibu, jadi lelaki ini harus rela meninggalkan pekerjaan sebagai marketing asuransi di Kota Bengkulu demi merawat wanita yang telah melahirkannya. Sementara ini, ia belum bisa memperbaiki rumah, sedikit tabungan yang ada sudah digunakan untuk membangun pabrik mini pembuatan tempe dan tahu.
‘Braakk!’
Terdengar sesuatu yang berat menimpa atap. Aji yang sedang duduk jongkok di depan tungku melompat dan memasang kuda-kuda. Dadanya berdebar kencang, apa yang jatuh di atas sana.
Lelaki itu masih menatap ke atas, sejenak kemudian melirik ke sudut dapur. Mengambil sebuah sapu lidi yang bertangkai kayu, lalu dipegang dengan tangan gemetaran. Netranya kembali menelusuri atap. Memang sudah tidak terdengar apa-apa, tetapi tengkuknya terasa sangat dingin. Untuk menetralkan perasaan takut, Aji mencoba berpikir positif. Mungkin tadi itu ayam ibu atau kucing Pak Mul yang sengaja bertengger di atas sana, meskipun tidak terdengar suara binatang apa pun. Setelah merasa cukup tenang, ia mengembalikan sapu ke asalnya.
Air yang jatuh ke atas tungku mengeluarkan suara berdesis. Aji segera mengangkat ceret dengan bantuan lap. Langsung dituangnya air ke dalam teko kaleng yang bermotif lurik. Barang-barang enamel ini adalah peninggalan almarhum Bapak saat dulu pernah ke Jakarta.
Teko kemudian diletakkan di atas nampan bersama cangkir yang juga berbahan kaleng. Lalu, melangkahlah ia dengan bantuan cahaya dari ponsel yang didigit, sementara tangannya membawa nampan.
‘Brug!’
Terdengar lagi suara aneh. Kali ini seperti lompatan makhluk, tepat saat langkah kaki jenjang Aji hampir melewati pintu samping. Jelas sekali, ia yakin tidak salah mendengar.
Asal suara kemungkinan besar dari luar, di depan pintu tepatnya. Tengkuk ayahnya Kusuma itu terasa kaku, dingin, dan merinding yang menjalar hingga ke ujung syaraf kaki dan tangan. Sejenak ia berdiam mematung, mengumpulkan keberanian untuk melawan rasa takut. Berbekal sedikit penasaran, ia ingin menyibak kain jendela. Akan tetapi ….
“Ajii ...!” panggilan ibu membuat lelaki ini mengurungkan niat untuk menyelisik apa yang terjadi di samping rumah.
Sebentar saja, Aji sudah tiba di dalam kamar. Air dari teko terlihat tertumpah akibat langkahnya yang terburu-buru. “Ada apa, Bu?”
“Kusuma pipis, tolong diganti popoknya,” pinta Ibu pada Aji.
Lelaki muda itu lega. Untunglah panggilan ibu bukan karena sesuatu yang gawat tengah terjadi. Di kamar itu Aji melihat Yati masih berbaring, pasti ibu tak mau mengganggu kenyamanan sang menantu.
Aji cukup gesit dalam mengganti popok anaknya. Setelah selesai, Kusuma kembali digendong oleh neneknya.
Sejenak kemudian, Aji menuang air ke dalam cangkir. Lalu, ia duduk di pinggir peraduan seraya membangunkan Yati.
“Sayang … minum dulu,” bujuk Aji pada istrinya. Namuj, Wanita di hadapannya tidak menyahut. Diam mematung dengan tatapan kosong.
Aji mendekatkan cangkir ke bibir istrinya. Syukurnya direspon. Yati memegang cangkir dengan kedua tangannya, lalu menyesap air dengan cepat hingga habis.
Terang saja suami dan mertua wanita itu melongo. Tidak hanya sampai di situ, Aji bahkan harus buru-buru menyambar gelas dari tangan Yati, sebab benda itu nyaris terjatuh. Ada yang berbeda dari wanita ini, tetapi belum disadari oleh suami dan mertuanya.
“Kok, belum datang Bude Sri, ya, Bu?” tanya Aji saat melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 19.30.
“Loh, emang Bude Sri mau datang ke sini?” Ibu balik bertanya dengan wajah heran.
“Iya, tadi Yati minta dipanggilkan tukang pijat. Tadinya Aji ketuk pintu kamar belakang buat nanya, tapi kayaknya Ibu lagi wirid. Berhubung Aji cuma ingat Bude Sri yang bisa pijat, jadi tadi Aji ke rumahnya. Minta tolong datang ke sini,” terang Aji agar Ibu mengerti.
“Terus, Bude Sri bilang apa?” tanya Ibu lagi. Tangannya terlihat menepuk-nepuk pelan bayi yang terlelap dalam gendongan.
”Katanya, Bude bisa datang ke rumahmu abis magrib nanti,” jawab Aji seraya melirik ke kaca jendela.
Di luar hujan sudah berhenti, sedangkan lampu belum juga menyala. Sempat terpikir untuk datang ke rumah Pak Mul, minta tolong dihidupkan listrik.
“Kamu jemput saja ke rumahnya. Sekarang, kan, mati lampu. Mungkin Bude Sri susah buat ke sini.” Saran Ibu terdengar masuk akal.
Aji beranjak dari peraduan dan melangkah meninggalkan kamar. Berbekal senter dari ponsel, Aji siap keluar rumah guna menjemput Bude Sri. Namun, baru saja hendak membuka pintu, Aji dikejutkan dengan ketukan di pintu.
‘Tok!Tok!’
Aji cukup terkejut, tetapi dia segera ingat kalau Bude Sri yang mungkin telah datang. Segera ia membuka pintu itu. Namun, ternyata tidak ada siapa pun di luar sana. Hanya tercium bau busuk yang langsung memunculkan efek mual di perut. Saking tidak tahannya, Aji kembali menutup pintu.
Akan tetapi, tak sampai hitungan kesepuluh, pintu kembali diketuk. Seketika, bulu kuduk Aji meremang. Baru malam ini dia merasakan berbagai keanehan.
Rasa takut menyeruak, tapi harga diri sebagai lelaki yang pemberani tak mau begitu saja luntur. Dia berupaya membuka pintu. Namun, keraguan kembali menghampiri. Bagaimana bila yang dilihat adalah makhluk mengerikan seperti di film-film hantu? Suzanna, misalnya.
Pikiran Aji kacau, sementara ketukan semakin kuat terdengar. Setelah terpejam dan menghirup napas dalam-dalam, dia memberanikan membuka pintu dengan tangan yang gemetar.
****
Aji cukup lega. Tidak ada siapa-siapa yang berdiri di depan kamar, meskipun tadi ia yakin tak salah lihat. Sosok yang mirip seperti ibu. Benar-benar aneh.
“Ji, roda kursi ini terasa seret. Ibu mau keluar dari tadi, tapi tak bisa. Seperti ada yang nenahan.” Keluhan ibu dari dalam kamar membuyarkan pikiran Aji yang tengah galau. Segera saja dia masuk ke kamar, meskipun pikiran masih dipenuhi pertanyaan.
Aji berlutut, memeriksa jentera pada kursi roda yang diduduki ibu. Karet ban, pijakan kaki, dan rem, tidak ada yang bermasalah. Mungkin ibu masih belum terbiasa memakai alat bantu ini. Lelaki itu melepas napas berat, kasihan pada ibu.
Setelah yakin tidak ada masalah, Aji mencoba menggerak-gerakkan kursi roda.
“Udah, Bu. Tuh, udah bisa jalan. Sekarang Ibu mau ke mana?” tanya Aji yang sudah berdiri di belakang kursi roda, siap mengawal ke mana pun ibu mau pergi.
“Ibu mau lihat cucu sama menantu, dari tadi belum ketemu. Kangen …,” kata ibu lirih. Aji mengelus lembut pundak ibunya. Mereka mulai bergerak menuju kamar di mana Yati dan Kusuma berada.
Lampu belum menyala juga. Bisa jadi Pak Mul tak berani menghidupkan listrik karena masih hujan dan petir yang terus menggelegar, takut tersambar dan terbakar mesinnya.
“Hiks … hiks ….”
Sepertinya Yati masih menangis. Di sinilah perasaan suami bisa tercabik-cabik. Merasa bersalah karena telah meninggalkan istri sendirian menjaga anak demi mendahulukan ibunya.
Terlihat Yati mendekap erat Kusuma yang tertidur pulas. Rambutnya tergerai tak beraturan. Air mata membasahi wajah yang terlihat memucat.
Aji buru-buru menghampiri istrinya, setelah lebih dahulu memastikan kursi roda ibu tak bergerak lagi. Diambilnya Kusuma, lalu menyerahkannya pada ibu. Bayi itu merengek.
“Oalah. Cup, Sayang. Maafin nenek ya, Kusuma …,” kata Ibu dengan tatapan penuh iba. Dalam hati merutuk karena tak berdaya membantu menantu dan cucu tersayang.
“Sstt …” Aji menyandarkan kepala Yati ke dada bidangnya. Tangannya sibuk menghapus air mata yang membasahi rambut dan wajah sang istri. Juga merapikan rambut wanita yang telah mendampingi hidupnya selama 2 tahun ini. Setelah berhenti menangis, dibantunya wanita itu berbaring.
“Kasih minum air hangat dulu, Ji!” perintah ibu pada anaknya.
“Iya, Bu.” Aji bergegas ke belakang. Ibu selalu memberikan masukan yang berarti di saat genting. Tidak ikut-ikutan panik, itulah sikap yang selalu dikagumi anak-anaknya. Ya, Aji bukan anak tunggal. Saudaranya bernama Burhan, saat ini sedang merantau ke Padang-Sumatera Barat. Dulu sekali, ibu pernah punya anak perempuan, tetapi meninggal di usia 15 tahun.
Aji menjerang ceret berisi air di atas tungku kayu bakar yang telah menyala. Tangan lelaki jangkung itu terkena tetesan air dari atas. Diliriknya atap dapur yang bocor di sana-sini. Dia mendengkus, masih banyak yang perlu dibenahi di rumah ini.
Aji dan Yati baru pindah ke sini; hampir dua bulan yang lalu. Tidak ada yang bisa mengurus ibu, jadi lelaki ini harus rela meninggalkan pekerjaan sebagai marketing asuransi di Kota Bengkulu demi merawat wanita yang telah melahirkannya. Sementara ini, ia belum bisa memperbaiki rumah, sedikit tabungan yang ada sudah digunakan untuk membangun pabrik mini pembuatan tempe dan tahu.
‘Braakk!’
Terdengar sesuatu yang berat menimpa atap. Aji yang sedang duduk jongkok di depan tungku melompat dan memasang kuda-kuda. Dadanya berdebar kencang, apa yang jatuh di atas sana.
Lelaki itu masih menatap ke atas, sejenak kemudian melirik ke sudut dapur. Mengambil sebuah sapu lidi yang bertangkai kayu, lalu dipegang dengan tangan gemetaran. Netranya kembali menelusuri atap. Memang sudah tidak terdengar apa-apa, tetapi tengkuknya terasa sangat dingin. Untuk menetralkan perasaan takut, Aji mencoba berpikir positif. Mungkin tadi itu ayam ibu atau kucing Pak Mul yang sengaja bertengger di atas sana, meskipun tidak terdengar suara binatang apa pun. Setelah merasa cukup tenang, ia mengembalikan sapu ke asalnya.
Air yang jatuh ke atas tungku mengeluarkan suara berdesis. Aji segera mengangkat ceret dengan bantuan lap. Langsung dituangnya air ke dalam teko kaleng yang bermotif lurik. Barang-barang enamel ini adalah peninggalan almarhum Bapak saat dulu pernah ke Jakarta.
Teko kemudian diletakkan di atas nampan bersama cangkir yang juga berbahan kaleng. Lalu, melangkahlah ia dengan bantuan cahaya dari ponsel yang didigit, sementara tangannya membawa nampan.
‘Brug!’
Terdengar lagi suara aneh. Kali ini seperti lompatan makhluk, tepat saat langkah kaki jenjang Aji hampir melewati pintu samping. Jelas sekali, ia yakin tidak salah mendengar.
Asal suara kemungkinan besar dari luar, di depan pintu tepatnya. Tengkuk ayahnya Kusuma itu terasa kaku, dingin, dan merinding yang menjalar hingga ke ujung syaraf kaki dan tangan. Sejenak ia berdiam mematung, mengumpulkan keberanian untuk melawan rasa takut. Berbekal sedikit penasaran, ia ingin menyibak kain jendela. Akan tetapi ….
“Ajii ...!” panggilan ibu membuat lelaki ini mengurungkan niat untuk menyelisik apa yang terjadi di samping rumah.
Sebentar saja, Aji sudah tiba di dalam kamar. Air dari teko terlihat tertumpah akibat langkahnya yang terburu-buru. “Ada apa, Bu?”
“Kusuma pipis, tolong diganti popoknya,” pinta Ibu pada Aji.
Lelaki muda itu lega. Untunglah panggilan ibu bukan karena sesuatu yang gawat tengah terjadi. Di kamar itu Aji melihat Yati masih berbaring, pasti ibu tak mau mengganggu kenyamanan sang menantu.
Aji cukup gesit dalam mengganti popok anaknya. Setelah selesai, Kusuma kembali digendong oleh neneknya.
Sejenak kemudian, Aji menuang air ke dalam cangkir. Lalu, ia duduk di pinggir peraduan seraya membangunkan Yati.
“Sayang … minum dulu,” bujuk Aji pada istrinya. Namuj, Wanita di hadapannya tidak menyahut. Diam mematung dengan tatapan kosong.
Aji mendekatkan cangkir ke bibir istrinya. Syukurnya direspon. Yati memegang cangkir dengan kedua tangannya, lalu menyesap air dengan cepat hingga habis.
Terang saja suami dan mertua wanita itu melongo. Tidak hanya sampai di situ, Aji bahkan harus buru-buru menyambar gelas dari tangan Yati, sebab benda itu nyaris terjatuh. Ada yang berbeda dari wanita ini, tetapi belum disadari oleh suami dan mertuanya.
“Kok, belum datang Bude Sri, ya, Bu?” tanya Aji saat melihat jam dinding yang telah menunjukkan pukul 19.30.
“Loh, emang Bude Sri mau datang ke sini?” Ibu balik bertanya dengan wajah heran.
“Iya, tadi Yati minta dipanggilkan tukang pijat. Tadinya Aji ketuk pintu kamar belakang buat nanya, tapi kayaknya Ibu lagi wirid. Berhubung Aji cuma ingat Bude Sri yang bisa pijat, jadi tadi Aji ke rumahnya. Minta tolong datang ke sini,” terang Aji agar Ibu mengerti.
“Terus, Bude Sri bilang apa?” tanya Ibu lagi. Tangannya terlihat menepuk-nepuk pelan bayi yang terlelap dalam gendongan.
”Katanya, Bude bisa datang ke rumahmu abis magrib nanti,” jawab Aji seraya melirik ke kaca jendela.
Di luar hujan sudah berhenti, sedangkan lampu belum juga menyala. Sempat terpikir untuk datang ke rumah Pak Mul, minta tolong dihidupkan listrik.
“Kamu jemput saja ke rumahnya. Sekarang, kan, mati lampu. Mungkin Bude Sri susah buat ke sini.” Saran Ibu terdengar masuk akal.
Aji beranjak dari peraduan dan melangkah meninggalkan kamar. Berbekal senter dari ponsel, Aji siap keluar rumah guna menjemput Bude Sri. Namun, baru saja hendak membuka pintu, Aji dikejutkan dengan ketukan di pintu.
‘Tok!Tok!’
Aji cukup terkejut, tetapi dia segera ingat kalau Bude Sri yang mungkin telah datang. Segera ia membuka pintu itu. Namun, ternyata tidak ada siapa pun di luar sana. Hanya tercium bau busuk yang langsung memunculkan efek mual di perut. Saking tidak tahannya, Aji kembali menutup pintu.
Akan tetapi, tak sampai hitungan kesepuluh, pintu kembali diketuk. Seketika, bulu kuduk Aji meremang. Baru malam ini dia merasakan berbagai keanehan.
Rasa takut menyeruak, tapi harga diri sebagai lelaki yang pemberani tak mau begitu saja luntur. Dia berupaya membuka pintu. Namun, keraguan kembali menghampiri. Bagaimana bila yang dilihat adalah makhluk mengerikan seperti di film-film hantu? Suzanna, misalnya.
Pikiran Aji kacau, sementara ketukan semakin kuat terdengar. Setelah terpejam dan menghirup napas dalam-dalam, dia memberanikan membuka pintu dengan tangan yang gemetar.
****
Diubah oleh radheka 11-03-2020 22:20
bonita71 dan 6 lainnya memberi reputasi
5