Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

infoanaksultanAvatar border
TS
infoanaksultan
Renjana - Cinta Tanpa Karena



PROLOG 

"Kamu mau aku diambil Akbar yang selalu ada buat aku?"

"Ra, Rara, entah siapa pun Akbar itu, baik atau buruk dia, yang jelas, di sini aku masih sanggup denganmu, sanggup memperjuangkanmu. Aku masih sangat menjagamu. Walau dengan caraku; cara yang menurutmu kurang tepat; cara yang menurutmu kurang pantas; dan cara yang menurutmu tak seperti kebanyakan laki-laki lain. Tapi percayalah, seberapa pun banyak keburukanku di matamu, perasaan dan perjuanganku telah lebih besar daripada itu. Dan aku pun tahu; aku tak seperti itu di matamu. Aku tak sebagaimana citra yang ku sampaikan itu." Aku pun mencoba menjelaskan posisiku, dan perasaanku, pada perempuan yang ku cintai itu, "Jika kau tahu apa yang telah ku lakukan padamu, dan di saat itu ku tahu kau justru telah beralih pada apa yang menjadi pilihan hatimu, percayalah, aku di sini akan tetap sama. Tetap di posisi semula. Tetap di perasaan yang sama. Sebab bisaku sekarang hanya mencintaimu, dan memperjuangkanmu dengan caraku; cara yang tidak dan takkan pernah kau mau tahu."

"Ra, jika kau benar-benar tak ingin lagi denganku, lelah dengan cara-caraku, serta telah menemukan laki-laki baik dan bisa menjaga menurutmu, pergilah. Pergilah padanya. Aku tak apa. Tapi jika kelak laki-laki itu menjahatimu, membiarkanmu seorang diri di tengah kesakitanmu, bukalah lagi pintumu, sebab aku masih menunggu untuk bisa kembali bersamamu."

"Ra, mungkin banyak kurangku di matamu. Aku tahu itu. Aku sadar itu. Tapi lihatlah, lihatlah barang sebentar; bukankah aku coba untuk memperbaiki kurangku, mencoba bahagikanmu dalam kerudung susahku? Aku sudah perjuangkanmu sejauh ini, selama ini. Kau tak sadar itu? Hal apa lagi yang kau mau dariku? Semuanya sudah ku berikan. Bahkan tubuhku pun telah ku pertaruhkan untuk bahagiamu."


Bagian: 12 ...





Diubah oleh infoanaksultan 16-06-2019 12:13
KnightDruid
someshitness
indrag057
indrag057 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
5.3K
30
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.7KAnggota
Tampilkan semua post
infoanaksultanAvatar border
TS
infoanaksultan
#2
Quote:


Bagian 1 A

Boleh aku cerita? Namaku Yana, Sastra Barayana. Bukan. Itu bukan nama sebenarnya. Tempat-tempat yang akan kalian tahu pun, itu bukan nama tempat sebenarnya. Bukan posisi sebenarnya.

Cerita ini adalah tentang cinta tanpa karena. Kalian tahu itu apa? Jika tidak, bacalah. Resapi. Pahami. Setelah itu, tanyakan pada diri kalian sendiri; apa itu cinta tanpa karena.

Minggu, 09 Oktober 2016. Jam 2.30 Sore.

“Kamu kenapa, sih, masih saja nggak berubah! Mana Janjimu yang bakal selalu jaga hubungan kita. Mana! Kamu bilang nggak akan ngulangin kesalahan lagi, mana? Justru sekarang kamu makin lali, makin jarang perhatiin aku. Janji-janjimu pun sekarang bohong semua. Kamu penipu. Jangan-jangan emang bener kata temen-temen aku kalau kamu Cuma mau main-main sama aku?!” Rara memulai pertengkaran kami dengan begitu memberi tekanan pada tiap kata di pesan singkatnya, "kamu tahu nggak sih, aku tuh capek, Yan, capek. Kamu bisa nggak sih ngertiin aku bentar? Kamu kan tahu kita ini jauh. Ngejalanin hubungan jarak jauh itu nggak mudah, Yan, nggak mudah. Harusnya kamu itu. Harusnya kamu sadar. Ini bukannya sadar malah menjadi-jadi."

"Iya, maaf. Tadi aku ada urusan. Banyak kerjaan yang harus diselesaikan. Tapi ini juga sudah mau berangkat, kok. Kamu tunggu aja di sana, ok?"

"Berangkat darimana. Ini sudah jam 2.30 sore. Kamu mau sampai sini jam berapa? Kuningan-Semarang itu jauh Yana, jauh. Masakan Emih juga kayaknya sudah dingin dan nggak enak. Kamu mau aku makan makanan basi dan jatuh sakit?!"

"Ya udah. Ini aku lagi jalan. Kamu tunggu aja di sana. Doakan agar aku sampai tepat waktu. Dan soal makanan, nanti aku tanya ke Emih; apa masih layak makan atau nggak."

"Terserah..."

Jam 2.40 sore aku beranjak dari kediaman Rara menuju Semarang. Pantura sudah aku lalui. Jalan yang panas dan penuh debu itu sudah aku lewati dengan hati was-was dan khawatir, takut. Takut kalau akhirnya yang ku temui hanya amarah, dan duga sangka. Setelah 5 jam berkendara, sepeda motorku telah sampai juga di Kota Semarang; kota yang sarat sejarah dan bangunan yang indah. Kecantikannya mungkin membuat siapa pun yang berkunjung terlena, tapi tidak denganku. Aku yang terburu-buru tidak mungkin berhenti menyaksikan keindahan Semarang seperti saat ini. Lagian, hari juga sudah mulai gelap, makanan yang ku bawa juga sudah sangat dingin terpapar angin pantura yang kencang dan lembab.

Tanpa terasa laju motorku mulai tak normal, tak stabil. Benar saja, ban motorku kempes. Padahal hampir 100 meter lagi aku sampai kost Rara. Banku sayang, banku malang. Ia memang sudah gundul sejak lama. 4 kali sebulan ku geber Kuningan-Semarang membuatnya rapuh dan berteriak ingin diganti. Cuma sayang, uang ganti tak kunjung hadir. Ada juga uang bensin. Jumlahnya pun tak cukup untuk mengganti roda motor baru.

Hari sudah makin gelap—mungkin sudah lewat Isya—jalan menuju kost Rara sudah hampir dekat. Kupikir menemuinya dulu akan lebih baik daripada mencari tukang tambal ban di malam hari seperti ini. Terpaksa, ban yang sudah kempes itu, aku gelindingkan juga.

Sesampainya di depan kost aku hubungi Rara melalui pesan singkat.

"Ra... Rara, kamu di mana. Coba keluar sebentar. Ini aku sudah di depan kost kamu. Kamu keluar, yah?"

"Ra, ini aku sudah jauh-jauh, loh. Masa kamu nggak mau keluar, sih. Ini makanannya keburu basi nanti."

"Ra... ayo, dong. Jangan marah-marah terus. Ini kan aku sudah sampai."

"Ra..."

"Ra... kamu marah banget, yah? Ya sudah. Makanannya aku gantung di pagar. Kamu tinggal ambil saja. Kata Emih, sampai pagi juga nggak akan basi, kok. Aku pulang dulu, yah. Maaf sudah ngecewain."

Tidak. Aku berbohong saat itu. Aku tidak pulang, aku menunggu, menunggu di malam hari yang sepi tak ada orang. 1-2 jam aku menunggu, lalu lanjut di jam ke-3, Rara masih belum memberikan kabar. Frustasi, kecewa. Dengan keduanya aku meninggalkan kost Rara sendiri, tanpa ditemui. Motor ku dorong hingga menemui jalan raya. Beruntung, 300 meter dari belokan tempat kost kost Rara, ku temui tukang tambal ban yang masih buka. Aku meminta jasanya, dan ku kembali ke kotaku tercinta, Kuningan.

Tiga jam setelah kepulanganku, Rara mulai mengirimi pesan.

"Yana, kamu sudah sampai mana?"

"Hi. Aku baru sampai Kabupaten Tegal, Ra. Di sini hujan. Aku lupa bawa jas hujan karena buru-buru."

"Kamu mah kebiasaan. Kalau udah sampai jangan lupa kabari, ya?" Suruhnya padaku, "Wajib!"

"Siap!"

"Ini aku lagi makan makanan yang kamu kirim, hehe. Enak. Emang juara si Emih kalau masak." Pernyataanya kini mulai menyalahkan, "coba kalau kamu tadi nggak bikin marah, nggak bikin kesel. Mungkin aku nggak pergi sama Akbar buat cari makan tadi, dan bisa makan masakan mamah bareng kamu."

"Oh, iya. Maaf."

"Ya lagian. Udah tahu aku nungguin kamu dari pagi. Sengaja nggak makan dulu biar makan bareng. Eh, kamu malah molor. Alasan ngerjain tugaslah, ngerjain deadline-lah, ngerjain ini, ngerjain itu. Emang sih ya, kalau orang udah bosen tuh biasanya gini; suka nyepelein. Udah tahu pacarnya kangen, pengen ketemu. Eh dianya malah enak-enakan tidur. Dasar!"

"Aku nggak tidur, emang ada urusan bentar. Da dari malem kan begadang ngurusin kerjaan."

"Alah, alasan. Emang ya dari dulu kamu tuh nggak berubah, ngeles mulu!" Bahasannya mulai merambah, "lagian ngerjain tugas dari mana, ngerjain kerjaan dari mana, orang semalem aku liat IG kamu aktif terus, kok."

"Ya IG aktif kan bukan berarti aku lagi stalking juga. Bisa aja aku tinggalin pas lagi aktif. Lagian nge-IG juga buat refresh bentar buat ngilangin stres." Cobaku melempar tuduh, "lagian mau hubungin kamu juga nggak bales. Jangankan mau nemenin, dihubungi aja susah. Di whatsapp nggak dibales. Terus dengan cara apa aku ngilangin stress kalau bukan dengan cara itu?"

"Udah deh, nggak usah ngeles. Iya mah iya aja, nggak usah ngerambah ke topik lain. Emang kamu pikir aku nggak ngeliatin semua medsos kamu apa? Tiap hari kerjaannya nge-like foto cewek semua. Ada yang manis dikit, di-like. Ada yang solehah dikit, di-follow. Ada yang cantik dikit, di-comment. emang ya, cowok tuh sama aja. Nggak pernah nge-hargain pasangan. Bukannya merhatiin ceweknya, malah merhatiin yang lain" Pernyataannya kini semakin memberondong, "lagian nih ya, kita ini kan LDR, hubungan jarak jauh, ketemunya jarang. Ya sekali-kali kek video call. Nanyain kabar pacar kek. Nanyain lagi apa kek. Nanyain udah makan belum kek. Ini mah boro-boro. Jangankan nanyain gitu, hubungin pacarnya aja jarang-jarang. Itu juga kalau senggang, kalau lagi nggak ada kerjaan. Kalau lagi sibuk mah, ya, client-nya terus yang dihubungin. Heran. Tahu gitu pacaran aja sama client kamu sana!"

"Gimana kita mau video call kalau kamu aja dihubunginnya susah?"
balasku dengan emoticon senyum, mencoba mencairkan suasana.

"Halah, alasan. Dasar aja kamu nggak pengen, nggak mau merjuangin."

"Ya udah, iya. Aku minta maaf. Ya udah aku berangkat lagi, ya. Kebetulan udah mulai reda hujannya."

"Tuh kan, malah kabur dari masalah. Emang ya kalau udah bosen tuh kaya gini, ada masalah dikit, kabur. Ada problem dikit, lepas tangan."

"Apa sih, Ra. Iya nanti dilanjutin, ini aku baru nyampe Tegal. Perjalananku masih jauh. Nanti dilanjutin lagi, ya, cantik."

"Kamu mau aku diambil Akbar yang selalu ada buat aku?"

Aku tak jadi melanjutkan perjalanan. Entah dari mana hujan besar datang dengan tiba-tiba, lengkap dengan angin besar yang membuatku berpikir untuk tak lanjutkan perjalanan. Mungkin Tuhan ikut membuka ponselku, mungkin Ia ikut membaca pesan dari Rara. Pesan yang singkat, namun benar-benar mematahkan semangat.

Geram, emosi, tapi juga mencoba tenang.

"Ra, Rara, entah siapa pun Akbar itu, baik atau buruk dia, yang jelas, di sini aku masih sanggup denganmu, sanggup memperjuangkanmu. Aku masih sangat menjagamu. Walau dengan caraku; cara yang menurutmu kurang tepat; cara yang menurutmu kurang pantas; dan cara yang menurutmu tak seperti kebanyakan laki-laki lain. Tapi percayalah, seberapa pun banyak keburukanku di matamu, perasaan dan perjuanganku telah lebih besar daripada itu. Dan aku pun tahu; aku tak seperti itu di matamu. Aku tak sebagaimana citra yang ku sampaikan itu." Aku pun mencoba menjelaskan posisiku, dan perasaanku, pada perempuan yang ku cintai itu, "Jika kau tahu apa yang telah ku lakukan padamu, dan di saat itu ku tahu kau justru telah beralih pada apa yang menjadi pilihan hatimu, percayalah, aku di sini akan tetap sama. Tetap di posisi semula. Tetap di perasaan yang sama. Sebab bisaku sekarang hanya mencintaimu, dan memperjuangkanmu dengan caraku; cara yang tidak dan takkan pernah kau mau tahu."

"Ra, jika kau benar-benar tak ingin lagi denganku, lelah dengan cara-caraku, serta telah menemukan laki-laki baik dan bisa menjaga menurutmu, pergilah. Pergilah padanya. Aku tak apa. Tapi jika kelak laki-laki itu menjahatimu, membiarkanmu seorang diri di tengah kesakitanmu, bukalah lagi pintumu, sebab aku masih menunggu untuk bisa kembali bersamamu."

Rara benar-benar jadi guru yang baik. Ia mengajarkanku untuk bagaimana menghargainya dengan ada atau tanpa lebih-kurangnya. Ia jujur, Ia menjadi dirinya sendiri. Dan mencintainya, adalah uji yang harus ku hadapi.

Sabar, adalah hal yang kini harus ku perkokoh untuk bisa terus bersamanya. Sabar, adalah senjata paling baik untuk menjaga hubunganku dan dia. Dan sabar, adalah caraku untuk bisa jadi sosok yang mampu mencinta tanpa mata; sosok yang mampu mencinta tapi melihat rupa; sosok yang mencinta tanpa meminta rasa; dan lebihnya, aku ingin jadi sosok yang mampu mencinta tanpa karena.

Ya, aku ingin alasan tak menemuiku saat aku bersama dia. Aku tak ingin menemui karena. Sebab buatku, mencintai dengan karena adalah cara paling bodoh untuk dapat bersama. Karena akan hilang, karena akan musnah. Ia akan berganti dengan hal yang baru, hal, yang mungkin buatmu tak suka. Sederhananya, karena yang kau idamkan akan berubah dan mengubah, untuk kemudian menjadikan pasangan sebagai sosok yang berbeda.

Hujan di malam itu masih juga besar. Ia masih bersikukuh untuk tinggal. Entah karena memang seharusnya begitu, atau Tuhan memang mengirimkannya untuk menahanku. Pikirku sekelebat; mungkin Tuhan baik. Ia mengirimkan hujan yang begitu besarnya agar aku tak melanjutkan perjalanan. Ya, bagaimana mau melanjutkan perjalanan, orang hati juga masih hancur dan berantakan. Ia kalau selamat sampai tujuan, kalau terkapar di tengah jalan? Ya, benar. Dan di tengah gemuruh di hatiku, aku masih juga bersyukur.

Senin, 10 Oktober 2016, jam 2.30 dini hari,

Hujan benar-benar telah redup, langit telah berhias dengan bulan dan bintang, cerah. Aku lekas memanaskan mesin motor untuk melanjutkan perjalananku yang masih panjang. Sebenarnya alasan utamaku bukan itu, tapi lebih pada takut. Bukan takut terlambat masuk kuliah besok, tapi lebih pada takut terjadi hal yang tak dinginkan di sini, di jalan yang sesepi ini, tanpa penerangan, rumah, dan jalanan yang penuh lubang. Rasanya, orang seperti apapun akan enggan untuk berlama-lama di tempat seperti ini. Apalagi ini malam hari, waktu di mana hal tidak diinginkan sangat sering terjadi.

Setelah beberapa menit mesin motor ku panaskan, aku lekas menggeber motorku untuk lanjutkan perjalanan.

Kupikir hujan besar yang menahanku tadi benar-benar membantu meredakan emosiku. Hati yang tadinya bergemuruh sekarang tenang seakan tak terjadi sesuatu. Tuhan memang menjadi juru adil nomor satu. Ia menolong saat ketenangan tak membersamaiku.

Sepeda motor kulajukan dengan sedikit perlahan. Bukan karena sedang ingin bersantai dan menikmati langit bergemintang, tapi lebih pada menjaga ban agar terhindar dari gesekan yang membuatnya kembali berlubang. Kata tukang tambal ban di Semarang, banku sudah seharusnya diganti. Lapisannya sudah menipis. Terkena gesekan benda tajam sedikit saja Ia akan berlubang. Kan tidak lucu harus mendorong motor di tengah jalanan sepi tanpa lampu malam-malam?

Senin, 10 Oktober 2016, jam 6.30 pagi,

Sepeda motorku telah mengantar hingga depan rumah. Lega rasanya. Tapi aku harus buru-buru sampai, mandi dan menyiapkan tugas kuliah yang belum ku kerjakan. Bukan lupa, memang sengaja ku kesampingkan, dengan asumsi, pada malam setelah aku pulang, aku bisa langsung kerjakan. Tapi Tuhan berkehendak lain. Ia kirimkan hujan dan membuatku mengubah semua yang telah direncakan.

Lepas mandi aku langsung membuka laptop dan mengerjakan apa yang harusnya ku kerjakan. Mengerjakan 3 makalah beda mata kuliah sudah biasa ku lakukan. Bukan perkara menyepelekan, namun pekerjaan copywriter membuatku mudah mengerjakan tugas makalah perkuliahan. Ya, jangankan makalah, skripsi orang saja ku kerjakan. Jadi 3 makalah ku pikir akan sangat mudah.

Benar saja, baru jam 7.30, tapi semua makalah sudah selesai ku buat. Masih ada 30 menit sebelum ku berangkat kuliah.

Dari belakang rumah suara piring bergeminting, sudah bisa ditebak, ibu sudah menyiapkan sarapan spesial untuk aku; anaknya yang tak pulang semalaman. Lepas suara piring-piring itu berhenti ibu mulai memanggilku.

"Nak, ayo sarapan dulu."

Ibu memang seperti itu, terlalu sayang pada anaknya. Karenanya, pagiku selalu diisi dengan suara panggilannya, kadang lengkap dengan cerewetan dan kemarahannya. Tapi biar begini, aku tahu, Ia melakukan karena sayang, sayang seorang ibu pada anaknya.

"Iya, bu. Bentar lagi."

"Ini sudah mau jam 8, Yana.?"

"Iya, bu, aku sarapan, kok." Jawabku sembari mengambil sarapan dan membuka percakapan, "Oh ya, bu. Kemarin gimana kata dokter?"

"Kata dokter ibu Cuma kecapean aja, nak. Katanya ibu butuh istirahat. Jadi, ya, hari ini ibu izin kerja, mau istirahat dulu."

"Terus kata dokter apalagi, bu? Obat yang dikasih apa aja? Nanti ibu minum, ya, obatnya. Jangan sampai enggak. Nanti kalau lupa aku ingetin, kalau males aku yang nyuapin. Kan gantian, dulu ibu ngerawat aku kalau sakit. Sekarang giliranku, aku mau ngerawat ibu pas lagi sakit kaya gini."

"Halah kamu ini, sok-sokan. Boro-boro mau ngerawat ibu, orang tiap pagi aja musti ibu yang bangunin."

"Ya nggak apa-apalah, bu. Ibu bangunin aku dulu, baru nanti aku rawat ibu setelahnya."

"Terus nanti siapa yang masak?"

"Ibu dong, emang mau tiap hari kita sarapan nasi goreng doang? Iya kalau enak. Kalau keasinan, kan repot. Bisa-bisa selain gula, ibu juga kena darah tinggi karena nasi gorengku."

"Ya gitu mah sama aja ibu nggak istirahat."

Kami pun tertawa.

"Oh, iya bu. Aku minta maaf ya kemarin nggak sempet antar ibu." Lanjutku, "aku lupa kalau jam 2.30 sore ada janji sama temen. Tapi kemarin ojek onlinenya bener jemput dan antar ibu sampai ke rumah kan?" Aku berbohong. Sebenarnya bukan teman. Bukan teman biasa. Tapi Rara.

"Iya, nak. Nggakpapa. Janji itu hutang. Lagian ibu masih sehat kok, masih bisa diantar sama mamang ojol." Ibu lalu menanyakan perihal temanku, yang tidak lain adalah Rara, "terus kemarin temenmu gimana, baik-baik aja? Ya, memang, sesama temen harus menjenguk, apalagi kalau dia sedang sakit."

"Oh, dia baik, bu. Alhamdulillah kondisi sudah baikkan. Katanya dia Cuma butuh teman yang selalu ada untuk menyembuhkannya, bu."

"Oh, memang dia sakit apa?"

"Hati, bu."

"Ya sudah, ibu doakan agar temenmu cepet sembuh, cepet sehat lagi seperti dulu. Kan kasian anak ibu tiap hari melamun memikirkan temannya yang sakit itu." Ibu lalu menyuruhku untuk segera berangkat ke kampus, " udah jam 7.50 tuh, nak. Kamu berangkat gih ke kampus."

"Iya, bu. Aku berangkat, yah. Makasih doanya."
yusufchauza
ulululu00
chisaa
chisaa dan 4 lainnya memberi reputasi
5
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.