wariar17Avatar border
TS
wariar17
Politisi Minim Gagasan, Media Bisa Apa?


Empat bulan menjelang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden 2019, publik mulai jengah menyaksikan narasi yang ditampilkan para Capres dan Cawapres di media massa maupun media sosial. Kampanye para Capres-Cawapres masih belum diwarnai dengan narasi yang berisi gagasan, ide, kritik membangun, solusi, juga program yang jelas. Hal itu tampak dari narasi kampanye yang beredar lebih banyak pada isu politik identitas, materi kampanye yang tidak substansif serta narasi saling tuduh dan saling bantah antar kubu patahana dan kubu oposisi.

Capres dari kubu petahana misalnya, Joko Widodo melontarkan istilah “politikus sontoloyo” dan “politik genderuwo”. Adapun wakilnya, Ma’ruf Amin melontarkan istilah “budek dan tuli”. Capres dari kubu oposisi pun tak mau kalah. Prabowo Subianto mencetuskan istilah “tampang boyolali”. Sedangkan wakilnya, Sandiaga Uno mencetuskan istilah “tempe setipis ATM.”

Dikutip dari Okezone.com, Direktur Eksekutif Voxpol Center Research and Consulting, Pangi Syarwi Chaniago, menyebut diksi dan frasa yang digunakan Capres dan Cawapres tersebut pada akhirnya hanya membuat bising dan Cumiakkan ruang opini publik. Ia lenjut ia menjelaskan, “narasi kampanye Pilpres 2019 masih jauh dari substansi, sangat dangkal gagasan, berkutat pada perang diksi yang minim isi.” Menurutnya, situasi seperti itu dapat mengganggu kualitas demokrasi substansial akibat dagelan politik murahan yang tidak bermutu.

Munculnya isu politik identitas dan materi kampanye yang tidak substantif, membuat publik jengah. Kebosanan publik ditandai dengan cepat surutnya popularitas isu yang tidak substantif. “Publik mulai jengah. Milenial melihat tak ada pembahasan yang bagus,” ujar Ismail Fahmi, Direktur Media Kernels Indonesia, seperti dikutip dalam Koran Tempo edisi (16/11).

Alih-alih mengkritisi narasi kampanye “minim gagasan” yang dilontarkan para Capres-Cawapres dan para pendukungnya. Media justru memberi ‘panggung’ bagi para politisi untuk mengemukakan pernyataan-pernyataan kontroversial tanpa melakukan upaya verifikasi fakta dan data, mendalami substansi, juga mengkritisi narasi yang disampaikan.

Media massa seperti memberikan karpet merah kepada pernyatan-pernyataan kontroversial politisi. Nyatanya, media sadar bahwa pernyataan-pernyataan kontroversial tersebut dapat menarik perhatian pembaca yang pada akhirnya mendatangkan profit bagi media. Media massa dan pernyataan-pernyataan kontrovesial politisi seperti sebuah hubungan simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Politisi membutuhkan panggung agar semakin dikenal masyarakat dan media membutuhkan berita yang dapat menarik perhatian. Cara yang paling mudah dan murah adalah dengan pernyataan kontroversial. Politisi tinggal berujar, media tinggal menuliskannya.



Ketokohan Lebih Penting daripada Substansi

Pada pemilihan presiden Amerika Serikat, Martin Montgomery menganalisa retorika yang disampaikan Donald Trump semasa kampanye. Trump kerap memberikan pernyataan yang kontroversial, seperti “Tak ada yang memahami sistem daripada aku, dan karena itulah hanya aku yang bisa memperbaikinya,” “Tak ada yang menghormati perempuan lebih dari aku,” atau “Kau tahu tidak, aku sangat sukses dan semua orang mencintaiku,” tulis Montgomery, seperti dikutip dalam artikel Remotivi.

Montgomery melihat cara kerja retorika Trump memiliki kemiripan dengan media daring. Menurutya, segala klaim yang disampaikan di ruang publik digital harus berebut perhatian dari jutaan klaim lain yang bersirkulasi di waktu yang sama. Media daring membutuhkan klaim yang mampu menarik perhatian agar beritanya terus bergulir, kontroversi tetap berjalan dan pada akhirnya mendatangkan klik yang dikonversi menjadi profit.

Jonathan Woodier memandang saat ini ketokohan jadi lebih penting daripada gagasan. Konglomerasi media memaksa pemberitaan politik menjadi pemberitaan yang lebih menghibur dan menjual. Sialnya, publik di Indonesia pun sangat menyukai berita-berita yang menghibur, terlebih jika berita itu kontroversial, persetan dengan kualitas informasi dan gagasan yang disampaikan. Akhirnya yang dikorbankan adalah prinsip akurasi dan rasionalitas pemberitaan.

Franklin telah lama mengidentifikasi tabloidisasi dalam kerja jurnalistik dimana kecenderungan prioritas pemberitaan bergeser dari isu hard news dan investigasi menjadi pemberitaan yang memuat skandal, memamerkan sensasionalisme dan sentimentalisme yang semuanya dibungkus dalam kemasan human interest. Kedua Calon Presiden yang akan berlaga pada Pemilu 2019 sangat menyadari hal ini. Pernyataan sensasional seperti “Indonesia akan bubar pada 2030”, “Jokowi keturunan PKI” dan “Prabowo tak bisa sholat” menjadi jurus untuk menyerang lawan politik. Sentimen agama pun menjadi strategi pamungkas kedua Capres untuk memenangkan kontestasi politik 2019.

Para elit politik di Indonesia begitu bebas mengatur narasi yang beredar di masyarakat. Seringkali konflik di tingkat elit menjadi pemberitaan utama di media massa nasional, seolah-olah publik hanya terbagi kedalam dua kubu, kubu “cebong” dan kubu “kampret”. Padahal banyak aspirasi publik di akar rumput yang jengah dengan narasi yang disampaikan. Media massa terlalu mengambil jarak dengan publik di akar rumput, sehingga aspirasinya kurang diangkat ke publik.

Media massa di Amerika Serikat telah lama di kritik oleh para jurnalis dan para pengamat karena jurnalis berjarak dengan warga sehingga tidak mampu memotret keberagaman perspektif publik. Keberjarakan itu tidak memberi corong bagi publik untuk menyuarakan aspirasi-aspirasi yang genuine.


Peran Media Sebagai Sense Maker (Penuntun Akal)

Bill Kocach dan Tom Rosentiel dalam bukunya Blur; Bagaimana Mengetahui Kebenaran di Era Banjir Informasi merumuskan delapan peran yang diharapkan publik dari wartawan di era jurnalisme baru. Peran itu antara lain; otenticator (pensahih), sense maker (penuntun akal), investigator, witness bearer (penyaksi), empowerer (pemberdaya), aggregator (agregator cerdas), forum organizer (penyedia forum) dan role model (panutan).

Salah satu peran yang penting bagi media massa di tengah kampanye Pemilu 2019 yang kian absurd adalah sense maker atau penuntun akal. Media massa sangat cocok memainkan peran penuntun akal untuk meletakkan informasi pada konteks dan mencari kaitannya hingga pembacanya dapat memutuskan apa makna berita itu dan memutuskan tindakan yang dilakukan setelah membaca berita tersebut.

Peran ini menjadi sangat penting ditengah banjirnya informasi. Banyaknya informasi membuat upaya membangun pengetahuan menjadi sulit. Ketika suplai informasi membesar, pengetahuan pun kian sulit diciptakan, kebingungan dan ketidakpastian membayangi. Bill Kovach dan Tom Rosentiel menyebut kebenaran di era digital ini “blur”, tidak jelas. Media massa harus mencari informasi yang bernilai -tak hanya baru- dan menyajikannya dengan cara yang bisa dipahami sendiri oleh pembaca.

Media massa dapat memainkan perannya sebagai sense maker dengan cara memberikan penafsiran atau arti pada suatu peristiwa. Selain melaporkan peristiwa, wartawan juga menambah bahan dalam usaha menjelaskan artinya, misalnya analisis berita atau komentar berita. Ada pemerkayaan (enrichment) informasi untuk lebih menjelaskan suatu peristiwa.

Ada jebakan lain bagi wartawan yang disebut peristiwa semu atau pseudo-event, seperti konfrensi pers, wawancara dan sejenisnya, yang terjadi adalah politisi atau selebriti tertentu yang ingin membuat pernyataan, biasanya dengan motif tersendiri, yang tujuan utamanya adalah publisitas. Informasi dalam suatu konfrensi pers terkadang lebih berisi suatu pembenaran dari pada kebenaran. Media harus skeptis menanggapi pernyataan-pernyataan politisi, terlebih politisi yang memang gemar melontarkan pernyataan kontroversial.

Wartawan harusnya mencoba membedah apa motif dan makna yang ingin disampaikan politisi atau data dan fakta dibalik terlontarnya ucapan tersebut. Jangan biarkan bias pernyataan itu beredar bebas ditengah masyarakat, yang dikhawatirkan dapat menimbulkan multitafsir dan menimbulkan konflik berkepanjangan yang mengancam kehidupan berbangsa dan bernegara.





Diubah oleh wariar17 04-03-2019 07:26
0
650
11
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
The Lounge
The LoungeKASKUS Official
922.7KThread82.1KAnggota
Tampilkan semua post
wariar17Avatar border
TS
wariar17
#5
Quote:


Yap bener bgt gan, harus tabayun dulu jgn sampe kita jd korban hoax nenek" yg operasi plastik kaya salah satu paslon presiden

0
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.