- Beranda
- Stories from the Heart
Sonne Mond und Stern
...
TS
glitch.7
Sonne Mond und Stern
die SONNE der MOND und der STERN
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Tak Lagi Sama - Noah
Spoiler for Cover Stories:
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 95% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahdan lanjutan dari sebuah cerita Love in Elegy yang pernah Gua tulis di Forum ini.
Quote:
Catatan:
1. Mengacu pada aturan main forum H2H dan SFTH
2. 95% Semua tokoh/karakter di cerita ini sudah memberikan izin
3. Sikapi dengan bijak apa yang tertuang disini
4. Jangan meminta lebih dari apa yang sudah diberikan
5. Sopanlah dalam berkomentar
6. Saling menghargai TS, penulis dan sesama kaskuser disini
1. Mengacu pada aturan main forum H2H dan SFTH
2. 95% Semua tokoh/karakter di cerita ini sudah memberikan izin
3. Sikapi dengan bijak apa yang tertuang disini
4. Jangan meminta lebih dari apa yang sudah diberikan
5. Sopanlah dalam berkomentar
6. Saling menghargai TS, penulis dan sesama kaskuser disini
Versi PDF Dua Thread Sebelumnya :

*mulustrasi karakter dalam cerita ini
Quote:
BAB I & BAB II
BAB III & BAB IV
***
Tralala_Trilili
PROLOG
BAB V
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15- continues
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
***
SEBELUM CAHAYA
PART I
PART II
PART III - The Ghost of You
PART IV
PART V
PART VI
PART VII
PART VIII
Cooling Down
PART IX
PART X - continues
PART XI
PART XII
PART XIII
PART XIV
PART XV
PART XVI
PART XVII A
PART XVII B
PART XVIII
PART XIX - continues
PART XX
PART XXI
PART XXII
PART XXIII
PART XXIV
PART XXV
PART XXVI
PART XXVII
PART XXVIII
PART XXIX
PART XXX
PART XXXI
PART XXXII
PART XXXIII
PART XXXIV
PART XXXV
PART XXXVI - continues
PART XXXVII
PART XXXVIII
PART XXXIX
Vor dem Licht XL - Das Ende
***
BAB V
PART 21
PART 22
Tentang Rasa
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
Von Hier Wegfliegen
Teils Eins - Vorstellen
Teils Zwei - Anfang
Teils Drei - Der Erbarmer
Teils Vier - Von Hier Wegfliegen
Lembayung Senja
Bagian Satu
Bagian Dua
Bagian Tiga
Bagian Empat
Bagian Lima - continues
Bagian Enam
Bagian Tujuh
Bagian Delapan
Bagian Sembilan
Bagian Sepuluh - continues
Breaking Dawn
One Step Closer
Ascension
Throwback Stories
Life is Not Always Fair
Dusk till Dawn
Awal Semula
Untuk Masa Depan
Terimakasih
Omong Kosong
Kepingan Cerita
Menyerah
Restoe
Rasanya - Rasain
Pengorbanan
Menuju Senja
Kenyataan
Wiedersehen
Cobalah untuk Mengerti
Pengorbanan
Tentang Kita
SIDE STORY
VFA
Daily Life I
Daily Life II
Maaf NEWS
Tentang MyPI
*thanks to my brother in law yang bantu index dan update selama gua mudik
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 239 suara
Siapakah pendamping Eza sebenarnya ?
Sherlin Putri Levanya
55%
Franziska Luna Katrina
17%
Giovanna Almira
28%
Diubah oleh glitch.7 08-01-2022 09:16
chamelemon dan 125 lainnya memberi reputasi
122
1.9M
Kutip
8.8K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
bunbun.orenz
#8380
Throwback Stories
WIEDERSEHEN
Quote:
Jam pada blackberry menunjukkan pukul dua pagi ketika gua terbangun. Gua melirik kearah kiri dimana istri tercinta masih terlelap dalam tidurnya yang damai. Setelah mengumpulkan kesadaran gua bangun dari ranjang dan berjalan menuju kamar mandi. Selesai mengambil wudhu barulah gua melaksanakan shalat dua raka'at.
Gua masih duduk diatas sajadah setelah selesai melaksanakan shalat. Mengambil tasbih lalu berdzikir. Setelah beberapa lama akhirnya gua pun berdo'a kepada Sang Maha Esa. Pertama tentu saja gua mendo'a kan Sang Nabi akhir zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Kemudian mengucap syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala atas apa yang sudah diberikan kepada gua dan seluruh keluarga selama ini. Lalu meminta segala pertolongan dan naungan-Nya untuk perjalanan hidup yang gua dan keluarga tapaki setiap harinya. Dan terakhir. Gua memohon ampunan atas segala dosa yang pernah gua lakukan. Termasuk saat kemarin dan siang tadi.
Gua sadar mengapa shalat malam itu bisa menenangkan hati yang terbakar emosi dan menjadi lebih khusyuk. Salah satu alasannya mungkin suasana yang sunyi, bisa membuat sang mahluk ciptaan-Nya 'berkomunikasi' dengan baik kepada Dia sang pemilik alam semesta ini. Dengan hati yang damai dan pikiran yang tenang gua menyadari apa yang terjadi di rumah keluarga Mba Yu seharusnya tidak perlu membuat kami semua saling membenci. Tapi janji sudah terucap dari mulut ini. Dan hal tersebut membuat keegoisan dalam diri gua akhirnya memutuskan untuk menunggu, ya menunggu permintaan maaf dari Papahnya Mba Yu.
Dua hari setelah penolakan lamaran tidak ada lagi komunikasi antara keluarga gua dengan keluarga Mba Yu. Termasuk gua dan Mba Yu sendiri. Seharian gua hanya bersama keluarga di rumah sampai akhirnya shalat di waktu Dzuhur gua dan Bapak pergi ke masjid untuk beribadah. Begitupun ketika waktu menjelang sore. Tapi kali ini hanya gua yang berangkat ke masjid karena Bapak bilang ada hal yang perlu dibicarakan berdua bersama Ibu. Selesai shalat Ashar berjama'ah gua kembali ke rumah. Tapi sepertinya ada tamu ketika gua menaiki tiga anak tangga teras lalu terdengar sayup-sayup ada suara wanita lain di ruang tamu.
"Hey", sapanya setelah gua memasuki ruang tamu dan duduk dihadapannya dan Ibu.
"Hai. Tumben kesini. Ada apa ?", tanya gua.
Dia tersenyum bersama Ibu. Gua mengerenyitkan kening. Ada apa ini ?.
"Kamu harus siapin barang-barang kamu sekarang, Gha", ucap Ibu.
"Untuk ?", tanya gua kebingungan.
"Gendis nemuin aku kemarin. Dia dipaksa pindah ke Jogja sama Papahnya. Dan kamu.. Kamu harus kejar dia..", jawab Luna.
"Tunggu-tunggu-tunggu. Untuk apa ? Dan ada apa sebenernya ? Kok kamu tiba-tiba datang kesini terus ngasih kabar kayak gini ?", tanya gua semakin bingung.
"Gendis udah cerita ke aku. Dia datang ke rumah sakit untuk jengukin Mamah. Disana dia cerita semuanya. Dan kayaknya kamu perlu memperjuangkan dia, Gha", lanjutnya.
"Cukup ya. Aku gak ada urusan lagi sama dia. Aku gak masalah batal nikah sama dia. Tapi masalahnya..".
"Aku tau", potongnya. "Aku tau kamu sakit hati karena ucapan Papahnya. Tapi, Gha. Kamu gak akan pernah dapetin wanita sesempurna dia di dunia ini. Aku yakin cuma dia satu-satunya wanita yang terbaik untuk kamu dan keluarga ini", lanjutnya.
"Terakhir sayang, ya. Gak ada salahnya kamu mencoba untuk terakhir kali buat dapetin dia dan restu Papahnya", timpal Ibu.
"Tapi, Bu.. Aku udah bersumpah kalo..".
"Ssstt.. Buat perjanjian sama diri kamu sendiri. Kalo Papahnya kali ini ngerestuin kalian berdua. Kamu harus berbesar hati memaafkannya duluan sayang. Gimana ?", potong Ibu kali ini.
Gua menghirup nafas dalam-dalam. Lalu pikiran gua berkecamuk. Tidak yakin apa yang akan gua lakukan atas permintaan itu bisa berjalan dengan baik setelah apa yang terjadi.
"Gha. Kesempatan gak datang dua kali. Aku awalnya memang gak ngerti kenapa bisa-bisanya Gendis mau menikah dengan kamu yang masih punya Ve. Tapi, setelah aku liat kondisinya dengan mata kepalaku sendiri. Aku jadi ngerti. Betapa besar pengorbanan dan rasa cinta Gendis untuk kamu, Gha. Sekali lagi aku cuma mau ngingetin. Kamu gak akan bisa dapetin wanita sebaik Gendis diluar sana, Gha. Bahkan aku pun gak mampu seperti dia", ucap wanita bernama Franziska Luna Katrina itu.
Gua tidak bisa langsung menjawab permintaan Ibu dan Luna. Tapi Bapak yang duduk disebelah Ibu ikut meyakinkan gua untuk mencoba dan mengejar wanita bernama Gendisa.
Saat gua masih terdiam memikirkan keputusan apa yang sebaiknya gua ambil, seorang wanita keluar dari kamar dekat tangga. Gua terkejut melihatnya.
"Hai, Kak", ucapnya.
Gua masih terdiam beberapa saat. Terkejut, kaget, dan masih tidak percaya atas kehadirannya itu.
"Agha! Itu disapa juga", ucapan Ibu membuat gua tersadar.
"Eh.. Ii.. Iiya.. Hai... Kok Kamu juga disini ?", gua masih terkejut.
"Kamu ke Jogja ditemenin dia", ucap Luna seraya menunjuk wanita yang berdiri di dekat kami itu.
Gua semakin bingung.
"Aku yakin, Papahnya bisa nerima kali ini, Kak. Aku akan bantuin kamu untuk dapetin restu Papahnya", ucap wanita tersebut.
Gua memandanginya dengan keheranan. Tidak lama dia berjalan kearah pintu keluar.
"Om, Tante, Kak Luna. Aku pulang dulu untuk ngemasin barang-barangku ya", ucap wanita itu lagi yang dijawab dengan senyuman dan anggukan kepala oleh Ibu dan yang lainnya.
"Assalamualaikum, Kak' Oda", ucapnya sebelum keluar dari rumah gua.
Gua tertegun memandanginya. Sampai gua disadarkan oleh Bapak. "Gha! Itu salamnya bukan dijawab", ucap Bapak.
"Eh ii.. iya.. Wa.. Walaikumsalam..", jawab gua ketika wanita tersebut sudah tidak ada dari pandangan mata gua.
Gua menengok kepada Luna. Luna hanya tersenyum.
"Lun.. Tadi.. Itu.. Adek kamu kan ?", tanya gua masih bingung.
Luna menganggukkan kepalanya. "Iya. Kenapa ? Kaget ya ?", tanyanya seraya tetap tersenyum.
"Enggak-enggak.. Tadi itu.. Eeuu.. Dia.. Dia beneran ngucapin salam ?", tanya gua lagi.
"Iya. Panjang ceritanya, Gha. Kamu ngobrol aja sama dia di perjalanan ke Jogja nanti", jawab sang Kakak.
Gua masih duduk diatas sajadah setelah selesai melaksanakan shalat. Mengambil tasbih lalu berdzikir. Setelah beberapa lama akhirnya gua pun berdo'a kepada Sang Maha Esa. Pertama tentu saja gua mendo'a kan Sang Nabi akhir zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Kemudian mengucap syukur kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala atas apa yang sudah diberikan kepada gua dan seluruh keluarga selama ini. Lalu meminta segala pertolongan dan naungan-Nya untuk perjalanan hidup yang gua dan keluarga tapaki setiap harinya. Dan terakhir. Gua memohon ampunan atas segala dosa yang pernah gua lakukan. Termasuk saat kemarin dan siang tadi.
Gua sadar mengapa shalat malam itu bisa menenangkan hati yang terbakar emosi dan menjadi lebih khusyuk. Salah satu alasannya mungkin suasana yang sunyi, bisa membuat sang mahluk ciptaan-Nya 'berkomunikasi' dengan baik kepada Dia sang pemilik alam semesta ini. Dengan hati yang damai dan pikiran yang tenang gua menyadari apa yang terjadi di rumah keluarga Mba Yu seharusnya tidak perlu membuat kami semua saling membenci. Tapi janji sudah terucap dari mulut ini. Dan hal tersebut membuat keegoisan dalam diri gua akhirnya memutuskan untuk menunggu, ya menunggu permintaan maaf dari Papahnya Mba Yu.
Dua hari setelah penolakan lamaran tidak ada lagi komunikasi antara keluarga gua dengan keluarga Mba Yu. Termasuk gua dan Mba Yu sendiri. Seharian gua hanya bersama keluarga di rumah sampai akhirnya shalat di waktu Dzuhur gua dan Bapak pergi ke masjid untuk beribadah. Begitupun ketika waktu menjelang sore. Tapi kali ini hanya gua yang berangkat ke masjid karena Bapak bilang ada hal yang perlu dibicarakan berdua bersama Ibu. Selesai shalat Ashar berjama'ah gua kembali ke rumah. Tapi sepertinya ada tamu ketika gua menaiki tiga anak tangga teras lalu terdengar sayup-sayup ada suara wanita lain di ruang tamu.
*
*
*
*
*
Quote:
"Welcome home, sayang!". Suara wanita yang sebelumnya baru kudengar beberapa jam yang lalu di telefon akhirnya benar-benar nyata berada dihadapanku.
"Makasih Kak' Luna udah mau jemput". Ku peluk tubuhnya cukup erat. Sudah cukup lama rasanya kami tidak bertemu. Terakhir kali aku memeluknya adalah saat ia berkunjung ke Düsseldorf tahun lalu. "Memangnya siapa lagi yang mau jemput adikku yang manja selain Kakaknya ini ? Hihihihi". Aku benar-benar kangen mendengar tawanya itu.
Kami akhirnya menuju mobil yang dikemudikan oleh supir Mamah. Setelah berada di dalam mobil aku dan Kak' Luna duduk di bangku belakang. Sepanjang perjalanan cukup banyak yang aku tanyakan soal kondisi Mamah yang sebenarnya.
"Ya Mamah sempet drop, Ay. Tapi sekarang udah baikkan kok. Padahal kamu ga' perlu pulang. Sayang banget kamu harus sampe resign. Padahal itu pengalaman kerja kamu yang pertamakan ?". Aku pikir ada benarnya juga apa yang ia katakan. Tapi inikan Mamah. Aku ga' bisa pura-pura tegar dan terus bekerja.
"Ya ga' mungkin aku juga ngebiarin Mamah di rumah sakit dan cuma nunggu kabar perkembangan kondisinya dari kamu, Kak'. Gimanapun aku kepikiran terus. Rasanya aku takut kalo sampe terjadi apa-apa. Apalagi kalo sampe ga' ada disamping Mamah".
Kak' Luna tersenyum. Lalu dia menepuk paha kananku dengan pelan. "Mamah udah siuman. Kondisinya sekarang cukup baik kok, Ay. Dia pasti seneng ketemu kamu. Ngeliat anak-anaknya berkumpul".
"Alhamdulilah. Aku yakin Tuhan masih sayang dan memberi Mamah kesempatan". Entah kenapa kalimat syukur itu yang pertama kali aku ucapkan ketika mengetahui kondisi Mamah sudah cukup baik.
"Ay ?!". Apa yang baru saja didengar Kakak ku tadi ternyata membuatnya terkejut. "Kamu bilang apa tadi ?". Dia benar-benar terkejut. "Ehm. Kakak ga' salah denger kok". Jawabku singkat sambil tersenyum lembut kepadanya. "No No No... No! Was hast Du erlebt, Ay ?! Kakak ga' mau tau! Sekarang juga kamu harus cerita sama Kakak!". Tanyanya sangat antusias.
"Mmm... Ich weiß es nicht genau. Aber Ich bin sicher, dass in Meinem herzen eine sehnsucht ist. Eine sehnsucht nach Gottes liebe. Jadi aku ngerasa memang hati kecilku yang menuntutku untuk mencoba mengakui, Kak'. Kalo Dia Yang Maha Esa benar-benar ada". Jawabku jujur dengan apa yang sudah aku rasakan di dalam hati selama bersama Melis di Jerman.
"Was macht Dich sicher ? Was ist passiert ?". Tanyanya masih tidak percaya dengan perubahanku dalam hal keyakinan.
"Vielleicht, wegen meiner traurigkeit. Schließlich traf Ich einen neuen freund namens Melis". Ya aku rasa semuanya karena kesedihanku sebelum berangkat ke Jerman. Kesedihan akan rasa sakit hati oleh laki-laki itu.
"Karena kesedihan kamu ?. Kesedihan ditinggal...?". Kak' Luna mencoba menerka lelaki tersebut.
"Ya. ditinggal Kak' Oda. Aku pikir karena hal itulah Tuhan menunjuk seorang teman baru, seorang muslim bernama Melis. Ga' ada hal aneh yang kami lakukan sebenernya. Tapi mungkin karena hal yang biasa dia lakukan itu membuat hatiku ini tergerak". Sejujurnya apa yang telah aku ceritakan saat bertemu Melis memang tidak ada yang aneh. Tapi entah kenapa aku merasa nyaman saat bercerita kepada Melis. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada teman-teman lain, aku rasa bersama Melis adalah satu hal yang berbeda.
"Terus ? Siapa Melis yang kamu maksud ?". Kak' Luna cukup penasaran dengan sosok Melis. "Kamu ingat dengan Lindsey ?". Tanyaku. Kak' Luna mengangguk. "Ya sebenernya dia temannya Lindsey. Aku dikenalkan oleh Lindsey kepada seorang wanita Turki. Dan dialah Melis. Melis yang selalu optimis dan selalu tersenyum ramah kepada setiap orang. Aku juga ga' ngerti kenapa rasanya nyaman sekali saat berbagi cerita dengannya. Yang jelas aku yakin akan satu hal Kak'...". Kening Kak' Luna berkerut. Lalu ia kembali bertanya. "Apa itu, Ay ?".
Aku tersenyum saat secara tiba-tiba wajah Melis terlintas dibenakku. "Tuhan punya alasan kuat mempertemukan kami berdua, Kak' ". Jawabku kembali mengingat sahabat Turkish ku itu. "Awalnya tanpa sadar aku menyukai apa yang ia kerjakan. Yaitu ibadahnya. Dia seorang muslim yang ta'at. Dan kata dia, berkat hal itulah hatinya selalu tenang dan damai sampai membuatnya selalu tersenyum bahagia".
Kak' Luna setia mendengarkan setiap detail cerita tentang hubungan persahabatanku dengan Melis di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Sampai saat aku bercerita bagaimana Melis sungguh mengagumi seorang Sufi yang juga cukup disukai oleh Kakakku.
"Beneran dia pengagum Sang Mevlana ? Ah! Andai Kakak bisa bertemu dengan temanmu itu, Ay. Pasti banyak hal yang cocok diantara kami berdua. Oh Beruntungnya Melis bisa terlahir di Konya!". Wajahnya terlihat senang. Kedua matanya terlihat berbinar. Aku tersenyum bagaimana Kak' Luna seolah-olah membayangkan bertemu dengan Melis. "Ay. Kakak kayaknya ga' perlu tanya lebih jauh. Sekarang Kakak paham kenapa kamu bisa berubah secepat ini. Gott öffnet dein herz durch Melis". Lanjutnya yang sekarang sudah kembali menatapku.
"Scheint so.. Insya Allah, Kak' ". Jawabku singkat. Kemudian Kak' Luna memegang kedua sisi wajahku. Ia tersenyum bahagia. "Zögern sie nicht. Hab keine Angst. Ich bin der erste, der Ihre Änderungen akzeptiert. Sei versichert, Ay. Coz' God never sleep". Ucapnya meyakinkanku untuk ga' perlu takut dan ragu. Kak' Luna pun mengatakan akan jadi orang pertama yang menerima perubahanku.
Tak lama jalan tol ini dipadati kendaraan lain hingga membuat kemacetan yang cukup panjang. Rasa kantuk yang menyerang sudah ga' bisa aku tahan lagi akibat lelah setelah menempuh perjalanan selama sekitar 19 jam di udara. Akhirnya aku sandarkan kepala diatas kedua paha Kak' Luna. Lalu tertidur saat ia membelai lembut kepalaku.
Tepat pukul 9 malam kami sampai di rumah sakit. Aku memeluk Papah untuk mengobati rasa kangen saat kami bertemu di dalam kamar rawat inap. Kemudian aku melihat Mamah yang nampak pucat sedang tertidur disisi kanan. Tanpa terasa airmata ini akhirnya mengalir dengan perlahan.
"Mah. Maafin Katrin...". Hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan karena setelahnya aku sudah ga' bisa lagi mengatakan apapun. Kalimat-kalimat yang ada dalam kepalaku tertelan oleh suara isak tangisku sendiri.
"Ay. Jetzt ist deine Mütter gut genug. Kein Grund zur Sorge". Ucap Papah mengatakan kalau kondisi Mamah sudah baik dan ga' perlu khawatir lagi.
"Hiks. Hiks. Hiks. Mütter wurden noch nie behandelt. Ich habe große angst, Pah". Lalu aku bangun dan menatap wajah Papah. "Mamah gak pernah ada riwayat sakit kronis. Ini pertama kalinya dia sampai dirawat seperti sekarangkan ?". Papah mengangguk lalu mengusap airmataku.
"Ay, dokter udah nunjukin diagnosanya. Mamah cuma kecapean. Kamu ga' perlu terlalu khawatir lagi. Percaya deh, Mamah sebentar lagi pasti diizinin pulang dengan kondisi yang normal dan kembali sehat".
"Aamiin. Mudah-mudahan Tuhan selalu menjaga Mamah". Jawabku sangat berharap. Kalimat yang aku ucapkan itu kali ini membuat Papah yang mengerutkan keningnya.
Papah memang seorang Katolik. Dan ia pun tahu dari kedua anak perempuannya ini hanya aku yang memilih menjadi Agnostik ketika sudah masuk masa remaja. Papah awalnya marah dan tidak percaya kalau aku memilih meninggalkan Katolik. Berapa kali kami bertengkar karena masalah keyakinan. Andaikan ia bisa menjawab semua yang menjadi kegelisahanku mungkin aku masih meyakini apa yang kami sama-sama yakini dari dulu. Aku bersyukur ketika itu ada Mamah dan Kak' Luna yang menghargai apa yang sudah aku pilih. Mereka berdua yang selalu membelaku ketika harus beradu argumentasi dengan Papah.
Tapi lama kelamaan akhirnya Papah bisa menerima kalau diriku menjadi seorang Agnostik. Tidak ada lagi pertengkaran diantara kami. Sampai akhirnya sekarang di rumah sakit ini ia kembali mendengar anaknya yang sudah bimbang tentang keberadaan Tuhan kini kembali menyebut nama-Nya.
"Gott, sagts Du ?". Tuhan, katamu ?. Aku mengangguk dengan menunjukkan senyum. "Ja, Papah". Jawabku.
"Glaubst Du wieder an die Existenz Gottes ?". Kini Papah yang tersenyum. Sepertinya ia senang menanyakan diriku yang kembali percaya dengan eksistensi keberadaan Tuhan. Lalu kujawab, "Na sicher. Ich glaube an Gott". Tentu saja aku sedang tidak main-main. Aku yakin sekarang Tuhan itu memang ada. Ya aku percaya akan keberadaan-Nya.
"Danke Gott. Du bringst meine Helen zurück zum Lichtweg". Ucapnya mengucapkan rasa terimakasih. Aku mengamininya yang mengatakan rasa terimakasih kepada Tuhan karena membawa Helennya ini ke jalan yang terang.
"Amin. Rabbul masyriqaini wa rabbul maghribain. Fab-iayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan ?". Jawabku dan membuat Papah kembali terkejut. Kemudian sebelum ia kembali bertanya lebih jauh aku menjelaskan lagi. "Aus dem Qur'an ein brief Ar-Rahman. Verse siebzehn und achtzehn. Was bedeutet, (He is) - Lord of the two sunrises and Lord of the two sunsets. So which of the favors of your Lord would you deny ?". Tuhan yang memelihara kedua tempat terbit matahari dan Tuhan yang memelihara kedua tempat terbenamnya. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?. Begitulah artinya.
Papah sebenarnya ingin sekali mengetahui lebih jauh bagaimana aku bisa bertolak ke agama yang tidak ia percaya sama sekali. Tapi Kak' Luna menahannya. Memintanya agar Papah membiarkan aku pulang dan beristirahat di rumah sebelum menceritakan segalanya.
Aku kembali ke rumah Mamah bersama Kak' Luna. Papah berada di rumah sakit bersama anak tirinya. Yang ku dengar dari Kak' Luna kalo dia bekerja di restoran Kak' Oda.
Aku sudah berada dikamar bersama Kakakku. Sebelum tidur kami sedikit membicarakan kenangan masa lalu saat semuanya masih di rumah ini. Saat Papah dan Mamah masih bersama. Saat itulah aku merasa keluarga kami cukup bahagia.
Sampai akhirnya aku mengingat seorang wanita yang katanya sedang sakit. "Kak'. Apa Kak' Ve masih tinggal dirumah Kak' Oda ?". Aku menyibakkan selimut tebal yang beraroma bunga lavender untuk menengok ke sisi kanan dimana Kak' Luna tidur disampingku. Ia melirik tanpa menolehkan kepalanya lalu mengangguk. "Iya. Dia masih tinggal disana sama suaminya". Lalu kemudian Kak' Luna menghadapkan tubuhnya kearahku. "Kamu mau ketemu mereka ?". Tanyanya yang langsung aku jawab dengan menganggukkan kepala.
"Kamu serius, Ay ?". Sekarang Kak' Luna sudah bangun dari tidurnya. Ia duduk kemudian mengikat rambutnya yang panjang. "Iya. Aku pengen ketemu Kak' Vena. Aku yakin dia butuh teman. Walaupun aku tau ada Mba Laras atau mungkin Mamahnya tapi akan beda kalo dia dijenguk sama teman perempuannya kan ?". Kak' Luna mendengus. "Ay. Emang kamu gak masalah kalo harus ketemu sama Agha ?", tanyanya khawatir. "Kenapa harus khawatir ketemu dia ? Aku udah gak masalah kok". Kak' Luna terlihat bingung. Seperti ada sesuatu yang ia ingin katakan tapi ragu untuk mengatakannya.
"Kak' kamu kenapa ?".
"Mmm. Agha itu. Ehm.. Agha itu katanya mau nikahin Gendis".
Aku salah dengarkah ?. "Apa Kak' ? Maksud kamu Kak' Oda mau nikahin Mba Gendis ? Mba Gendis yang.. Yang pernah bertengkar sama kamu itu maksudnya ?". Kak' Luna hanya mengangguk. "Kak' maksud kamu gimana ? Kata kamu Kak' Ve sakit dan masih sama Kak' Oda. Terus sekarang kamu bilang Kak' Oda mau nikahin Mba Gendis ? Dia mau cerai dari Kak' Ve ? Atau udah cerai ?". Sekarang giliran aku yang bangun dan duduk dihadapan Kak' Luna.
"Ga' gitu. Bukan begitu, Ay. Jadiii.. Aduh aku sebenernya ga' mau ceritain soal ini sama kamu. Tapi..". Kak' Luna semakin ragu. Aku raih kedua tangannya. "Kak' please! Sag es mir was ist wirklich passiert ?". Tanyaku memohon agar ia mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Kak' Luna menyerah. Dengan wajah malas ia akhirnya mau menjelaskan. "Gendis sebenernya tadi pagi datang ke rumah sakit. Dia jengukin Mamah. Terus dia cerita kalo pernikahannya sama Agha batal. Dan maksudku Agha itu mau berpoligami. Ah bukan! Ve yang minta. Ya dengan secara sadar ia yang nyuruh Agha untuk nikahin Gendis. Tapi semuanya batal satu hari yang lalu. Tepat sehari sebelum Gendis cerita ke aku tadi pagi semuanya berantakan karena Papahnya menolak lamaran itu. Aku denger Papah dan adik iparnya sempet berantem sama keluarganya Agha. Papahnya ngerasa dihina dengan lamaran tersebut, Ay. Aku rasa Papahnya merasa tersinggung karena anaknya yang sudah janda itu mau dijadikan istri keduanya Agha".
Aku sebenarnya tidak percaya dengan apa yang dikatakan Kak' Luna. Apa mungkin iya Kak' Ve kasih izin ?. Atau jangan-jangan.
"Kak'.. Apa mungkin Mba Gendis hamil karena Kak' Oda ?". Saat itu aku menyangka yang tidak-tidak.
"Engga'. Engga' gitu kok. Agha mau nikahin Gendis karena permintaan Vena. Itu karena Vena yang sekarang lagi sakit. Kakak udah cerita di telfonkan kalo dia lumpuh. Dan dia juga udah ga' bisa kasih keturunan buat Agha. Jadi kamu pahamlah kenapa Agha diizinkan, malah disuruh nikah lagi sama Vena".
"Segitunya ? Sampai diminta ? Aku ga' abis pikir gimana seorang perempuan mau di madu".
Begitulah. Saat itu aku benar-benar ga' percaya ada perempuan yang rela suaminya menikah lagi. Sama sekali ga' terbayang sebelumnya ada perempuan yang ikhlas seperti Kak' Vena.
"Ay. Kamu diem aja. Ga' percaya ya ? Aku juga ga' percaya awalnya tapi setelah Ve sendiri yang cerita aku baru percaya".
"Yaiyalah Kak'. Siapa perempuan yang mau di madu dengan ikhlas ? Dan herannya aku Mba Gendis juga kok mau sih ? Ya terlepas dari kondisinya Kak' Vena. Aneh aja menurutku".
"Daripada kamu penasaran apa yang ada dipikirin Ve. Kenapa ga' kamu tanya langsung aja ke dia. Katanya kamu mau jenguk dia kan besok ?".
Benar. Aku harus dengar sendiri dari Kak' Ve. Mungkin ini bukan urusanku. Tapi satu hal yang inginku ketahui sebagai sesama perempuan. Kenapa bisa dia rela membagi cinta suaminya dengan perempuan lain sekalipun dalam kondisinya yang sekarang.
"Makasih Kak' Luna udah mau jemput". Ku peluk tubuhnya cukup erat. Sudah cukup lama rasanya kami tidak bertemu. Terakhir kali aku memeluknya adalah saat ia berkunjung ke Düsseldorf tahun lalu. "Memangnya siapa lagi yang mau jemput adikku yang manja selain Kakaknya ini ? Hihihihi". Aku benar-benar kangen mendengar tawanya itu.
Kami akhirnya menuju mobil yang dikemudikan oleh supir Mamah. Setelah berada di dalam mobil aku dan Kak' Luna duduk di bangku belakang. Sepanjang perjalanan cukup banyak yang aku tanyakan soal kondisi Mamah yang sebenarnya.
"Ya Mamah sempet drop, Ay. Tapi sekarang udah baikkan kok. Padahal kamu ga' perlu pulang. Sayang banget kamu harus sampe resign. Padahal itu pengalaman kerja kamu yang pertamakan ?". Aku pikir ada benarnya juga apa yang ia katakan. Tapi inikan Mamah. Aku ga' bisa pura-pura tegar dan terus bekerja.
"Ya ga' mungkin aku juga ngebiarin Mamah di rumah sakit dan cuma nunggu kabar perkembangan kondisinya dari kamu, Kak'. Gimanapun aku kepikiran terus. Rasanya aku takut kalo sampe terjadi apa-apa. Apalagi kalo sampe ga' ada disamping Mamah".
Kak' Luna tersenyum. Lalu dia menepuk paha kananku dengan pelan. "Mamah udah siuman. Kondisinya sekarang cukup baik kok, Ay. Dia pasti seneng ketemu kamu. Ngeliat anak-anaknya berkumpul".
"Alhamdulilah. Aku yakin Tuhan masih sayang dan memberi Mamah kesempatan". Entah kenapa kalimat syukur itu yang pertama kali aku ucapkan ketika mengetahui kondisi Mamah sudah cukup baik.
"Ay ?!". Apa yang baru saja didengar Kakak ku tadi ternyata membuatnya terkejut. "Kamu bilang apa tadi ?". Dia benar-benar terkejut. "Ehm. Kakak ga' salah denger kok". Jawabku singkat sambil tersenyum lembut kepadanya. "No No No... No! Was hast Du erlebt, Ay ?! Kakak ga' mau tau! Sekarang juga kamu harus cerita sama Kakak!". Tanyanya sangat antusias.
"Mmm... Ich weiß es nicht genau. Aber Ich bin sicher, dass in Meinem herzen eine sehnsucht ist. Eine sehnsucht nach Gottes liebe. Jadi aku ngerasa memang hati kecilku yang menuntutku untuk mencoba mengakui, Kak'. Kalo Dia Yang Maha Esa benar-benar ada". Jawabku jujur dengan apa yang sudah aku rasakan di dalam hati selama bersama Melis di Jerman.
"Was macht Dich sicher ? Was ist passiert ?". Tanyanya masih tidak percaya dengan perubahanku dalam hal keyakinan.
"Vielleicht, wegen meiner traurigkeit. Schließlich traf Ich einen neuen freund namens Melis". Ya aku rasa semuanya karena kesedihanku sebelum berangkat ke Jerman. Kesedihan akan rasa sakit hati oleh laki-laki itu.
"Karena kesedihan kamu ?. Kesedihan ditinggal...?". Kak' Luna mencoba menerka lelaki tersebut.
"Ya. ditinggal Kak' Oda. Aku pikir karena hal itulah Tuhan menunjuk seorang teman baru, seorang muslim bernama Melis. Ga' ada hal aneh yang kami lakukan sebenernya. Tapi mungkin karena hal yang biasa dia lakukan itu membuat hatiku ini tergerak". Sejujurnya apa yang telah aku ceritakan saat bertemu Melis memang tidak ada yang aneh. Tapi entah kenapa aku merasa nyaman saat bercerita kepada Melis. Tanpa mengurangi rasa hormat kepada teman-teman lain, aku rasa bersama Melis adalah satu hal yang berbeda.
"Terus ? Siapa Melis yang kamu maksud ?". Kak' Luna cukup penasaran dengan sosok Melis. "Kamu ingat dengan Lindsey ?". Tanyaku. Kak' Luna mengangguk. "Ya sebenernya dia temannya Lindsey. Aku dikenalkan oleh Lindsey kepada seorang wanita Turki. Dan dialah Melis. Melis yang selalu optimis dan selalu tersenyum ramah kepada setiap orang. Aku juga ga' ngerti kenapa rasanya nyaman sekali saat berbagi cerita dengannya. Yang jelas aku yakin akan satu hal Kak'...". Kening Kak' Luna berkerut. Lalu ia kembali bertanya. "Apa itu, Ay ?".
Aku tersenyum saat secara tiba-tiba wajah Melis terlintas dibenakku. "Tuhan punya alasan kuat mempertemukan kami berdua, Kak' ". Jawabku kembali mengingat sahabat Turkish ku itu. "Awalnya tanpa sadar aku menyukai apa yang ia kerjakan. Yaitu ibadahnya. Dia seorang muslim yang ta'at. Dan kata dia, berkat hal itulah hatinya selalu tenang dan damai sampai membuatnya selalu tersenyum bahagia".
Kak' Luna setia mendengarkan setiap detail cerita tentang hubungan persahabatanku dengan Melis di sepanjang perjalanan menuju rumah sakit. Sampai saat aku bercerita bagaimana Melis sungguh mengagumi seorang Sufi yang juga cukup disukai oleh Kakakku.
"Beneran dia pengagum Sang Mevlana ? Ah! Andai Kakak bisa bertemu dengan temanmu itu, Ay. Pasti banyak hal yang cocok diantara kami berdua. Oh Beruntungnya Melis bisa terlahir di Konya!". Wajahnya terlihat senang. Kedua matanya terlihat berbinar. Aku tersenyum bagaimana Kak' Luna seolah-olah membayangkan bertemu dengan Melis. "Ay. Kakak kayaknya ga' perlu tanya lebih jauh. Sekarang Kakak paham kenapa kamu bisa berubah secepat ini. Gott öffnet dein herz durch Melis". Lanjutnya yang sekarang sudah kembali menatapku.
"Scheint so.. Insya Allah, Kak' ". Jawabku singkat. Kemudian Kak' Luna memegang kedua sisi wajahku. Ia tersenyum bahagia. "Zögern sie nicht. Hab keine Angst. Ich bin der erste, der Ihre Änderungen akzeptiert. Sei versichert, Ay. Coz' God never sleep". Ucapnya meyakinkanku untuk ga' perlu takut dan ragu. Kak' Luna pun mengatakan akan jadi orang pertama yang menerima perubahanku.
Tak lama jalan tol ini dipadati kendaraan lain hingga membuat kemacetan yang cukup panjang. Rasa kantuk yang menyerang sudah ga' bisa aku tahan lagi akibat lelah setelah menempuh perjalanan selama sekitar 19 jam di udara. Akhirnya aku sandarkan kepala diatas kedua paha Kak' Luna. Lalu tertidur saat ia membelai lembut kepalaku.
Tepat pukul 9 malam kami sampai di rumah sakit. Aku memeluk Papah untuk mengobati rasa kangen saat kami bertemu di dalam kamar rawat inap. Kemudian aku melihat Mamah yang nampak pucat sedang tertidur disisi kanan. Tanpa terasa airmata ini akhirnya mengalir dengan perlahan.
"Mah. Maafin Katrin...". Hanya kalimat itu yang bisa aku ucapkan karena setelahnya aku sudah ga' bisa lagi mengatakan apapun. Kalimat-kalimat yang ada dalam kepalaku tertelan oleh suara isak tangisku sendiri.
"Ay. Jetzt ist deine Mütter gut genug. Kein Grund zur Sorge". Ucap Papah mengatakan kalau kondisi Mamah sudah baik dan ga' perlu khawatir lagi.
"Hiks. Hiks. Hiks. Mütter wurden noch nie behandelt. Ich habe große angst, Pah". Lalu aku bangun dan menatap wajah Papah. "Mamah gak pernah ada riwayat sakit kronis. Ini pertama kalinya dia sampai dirawat seperti sekarangkan ?". Papah mengangguk lalu mengusap airmataku.
"Ay, dokter udah nunjukin diagnosanya. Mamah cuma kecapean. Kamu ga' perlu terlalu khawatir lagi. Percaya deh, Mamah sebentar lagi pasti diizinin pulang dengan kondisi yang normal dan kembali sehat".
"Aamiin. Mudah-mudahan Tuhan selalu menjaga Mamah". Jawabku sangat berharap. Kalimat yang aku ucapkan itu kali ini membuat Papah yang mengerutkan keningnya.
Papah memang seorang Katolik. Dan ia pun tahu dari kedua anak perempuannya ini hanya aku yang memilih menjadi Agnostik ketika sudah masuk masa remaja. Papah awalnya marah dan tidak percaya kalau aku memilih meninggalkan Katolik. Berapa kali kami bertengkar karena masalah keyakinan. Andaikan ia bisa menjawab semua yang menjadi kegelisahanku mungkin aku masih meyakini apa yang kami sama-sama yakini dari dulu. Aku bersyukur ketika itu ada Mamah dan Kak' Luna yang menghargai apa yang sudah aku pilih. Mereka berdua yang selalu membelaku ketika harus beradu argumentasi dengan Papah.
Tapi lama kelamaan akhirnya Papah bisa menerima kalau diriku menjadi seorang Agnostik. Tidak ada lagi pertengkaran diantara kami. Sampai akhirnya sekarang di rumah sakit ini ia kembali mendengar anaknya yang sudah bimbang tentang keberadaan Tuhan kini kembali menyebut nama-Nya.
"Gott, sagts Du ?". Tuhan, katamu ?. Aku mengangguk dengan menunjukkan senyum. "Ja, Papah". Jawabku.
"Glaubst Du wieder an die Existenz Gottes ?". Kini Papah yang tersenyum. Sepertinya ia senang menanyakan diriku yang kembali percaya dengan eksistensi keberadaan Tuhan. Lalu kujawab, "Na sicher. Ich glaube an Gott". Tentu saja aku sedang tidak main-main. Aku yakin sekarang Tuhan itu memang ada. Ya aku percaya akan keberadaan-Nya.
"Danke Gott. Du bringst meine Helen zurück zum Lichtweg". Ucapnya mengucapkan rasa terimakasih. Aku mengamininya yang mengatakan rasa terimakasih kepada Tuhan karena membawa Helennya ini ke jalan yang terang.
"Amin. Rabbul masyriqaini wa rabbul maghribain. Fab-iayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan ?". Jawabku dan membuat Papah kembali terkejut. Kemudian sebelum ia kembali bertanya lebih jauh aku menjelaskan lagi. "Aus dem Qur'an ein brief Ar-Rahman. Verse siebzehn und achtzehn. Was bedeutet, (He is) - Lord of the two sunrises and Lord of the two sunsets. So which of the favors of your Lord would you deny ?". Tuhan yang memelihara kedua tempat terbit matahari dan Tuhan yang memelihara kedua tempat terbenamnya. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?. Begitulah artinya.
Papah sebenarnya ingin sekali mengetahui lebih jauh bagaimana aku bisa bertolak ke agama yang tidak ia percaya sama sekali. Tapi Kak' Luna menahannya. Memintanya agar Papah membiarkan aku pulang dan beristirahat di rumah sebelum menceritakan segalanya.
Aku kembali ke rumah Mamah bersama Kak' Luna. Papah berada di rumah sakit bersama anak tirinya. Yang ku dengar dari Kak' Luna kalo dia bekerja di restoran Kak' Oda.
Aku sudah berada dikamar bersama Kakakku. Sebelum tidur kami sedikit membicarakan kenangan masa lalu saat semuanya masih di rumah ini. Saat Papah dan Mamah masih bersama. Saat itulah aku merasa keluarga kami cukup bahagia.
Sampai akhirnya aku mengingat seorang wanita yang katanya sedang sakit. "Kak'. Apa Kak' Ve masih tinggal dirumah Kak' Oda ?". Aku menyibakkan selimut tebal yang beraroma bunga lavender untuk menengok ke sisi kanan dimana Kak' Luna tidur disampingku. Ia melirik tanpa menolehkan kepalanya lalu mengangguk. "Iya. Dia masih tinggal disana sama suaminya". Lalu kemudian Kak' Luna menghadapkan tubuhnya kearahku. "Kamu mau ketemu mereka ?". Tanyanya yang langsung aku jawab dengan menganggukkan kepala.
"Kamu serius, Ay ?". Sekarang Kak' Luna sudah bangun dari tidurnya. Ia duduk kemudian mengikat rambutnya yang panjang. "Iya. Aku pengen ketemu Kak' Vena. Aku yakin dia butuh teman. Walaupun aku tau ada Mba Laras atau mungkin Mamahnya tapi akan beda kalo dia dijenguk sama teman perempuannya kan ?". Kak' Luna mendengus. "Ay. Emang kamu gak masalah kalo harus ketemu sama Agha ?", tanyanya khawatir. "Kenapa harus khawatir ketemu dia ? Aku udah gak masalah kok". Kak' Luna terlihat bingung. Seperti ada sesuatu yang ia ingin katakan tapi ragu untuk mengatakannya.
"Kak' kamu kenapa ?".
"Mmm. Agha itu. Ehm.. Agha itu katanya mau nikahin Gendis".
Aku salah dengarkah ?. "Apa Kak' ? Maksud kamu Kak' Oda mau nikahin Mba Gendis ? Mba Gendis yang.. Yang pernah bertengkar sama kamu itu maksudnya ?". Kak' Luna hanya mengangguk. "Kak' maksud kamu gimana ? Kata kamu Kak' Ve sakit dan masih sama Kak' Oda. Terus sekarang kamu bilang Kak' Oda mau nikahin Mba Gendis ? Dia mau cerai dari Kak' Ve ? Atau udah cerai ?". Sekarang giliran aku yang bangun dan duduk dihadapan Kak' Luna.
"Ga' gitu. Bukan begitu, Ay. Jadiii.. Aduh aku sebenernya ga' mau ceritain soal ini sama kamu. Tapi..". Kak' Luna semakin ragu. Aku raih kedua tangannya. "Kak' please! Sag es mir was ist wirklich passiert ?". Tanyaku memohon agar ia mau menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Kak' Luna menyerah. Dengan wajah malas ia akhirnya mau menjelaskan. "Gendis sebenernya tadi pagi datang ke rumah sakit. Dia jengukin Mamah. Terus dia cerita kalo pernikahannya sama Agha batal. Dan maksudku Agha itu mau berpoligami. Ah bukan! Ve yang minta. Ya dengan secara sadar ia yang nyuruh Agha untuk nikahin Gendis. Tapi semuanya batal satu hari yang lalu. Tepat sehari sebelum Gendis cerita ke aku tadi pagi semuanya berantakan karena Papahnya menolak lamaran itu. Aku denger Papah dan adik iparnya sempet berantem sama keluarganya Agha. Papahnya ngerasa dihina dengan lamaran tersebut, Ay. Aku rasa Papahnya merasa tersinggung karena anaknya yang sudah janda itu mau dijadikan istri keduanya Agha".
Aku sebenarnya tidak percaya dengan apa yang dikatakan Kak' Luna. Apa mungkin iya Kak' Ve kasih izin ?. Atau jangan-jangan.
"Kak'.. Apa mungkin Mba Gendis hamil karena Kak' Oda ?". Saat itu aku menyangka yang tidak-tidak.
"Engga'. Engga' gitu kok. Agha mau nikahin Gendis karena permintaan Vena. Itu karena Vena yang sekarang lagi sakit. Kakak udah cerita di telfonkan kalo dia lumpuh. Dan dia juga udah ga' bisa kasih keturunan buat Agha. Jadi kamu pahamlah kenapa Agha diizinkan, malah disuruh nikah lagi sama Vena".
"Segitunya ? Sampai diminta ? Aku ga' abis pikir gimana seorang perempuan mau di madu".
Begitulah. Saat itu aku benar-benar ga' percaya ada perempuan yang rela suaminya menikah lagi. Sama sekali ga' terbayang sebelumnya ada perempuan yang ikhlas seperti Kak' Vena.
"Ay. Kamu diem aja. Ga' percaya ya ? Aku juga ga' percaya awalnya tapi setelah Ve sendiri yang cerita aku baru percaya".
"Yaiyalah Kak'. Siapa perempuan yang mau di madu dengan ikhlas ? Dan herannya aku Mba Gendis juga kok mau sih ? Ya terlepas dari kondisinya Kak' Vena. Aneh aja menurutku".
"Daripada kamu penasaran apa yang ada dipikirin Ve. Kenapa ga' kamu tanya langsung aja ke dia. Katanya kamu mau jenguk dia kan besok ?".
Benar. Aku harus dengar sendiri dari Kak' Ve. Mungkin ini bukan urusanku. Tapi satu hal yang inginku ketahui sebagai sesama perempuan. Kenapa bisa dia rela membagi cinta suaminya dengan perempuan lain sekalipun dalam kondisinya yang sekarang.
*
*
*
*
*
"Hey", sapanya setelah gua memasuki ruang tamu dan duduk dihadapannya dan Ibu.
"Hai. Tumben kesini. Ada apa ?", tanya gua.
Dia tersenyum bersama Ibu. Gua mengerenyitkan kening. Ada apa ini ?.
"Kamu harus siapin barang-barang kamu sekarang, Gha", ucap Ibu.
"Untuk ?", tanya gua kebingungan.
"Gendis nemuin aku kemarin. Dia dipaksa pindah ke Jogja sama Papahnya. Dan kamu.. Kamu harus kejar dia..", jawab Luna.
"Tunggu-tunggu-tunggu. Untuk apa ? Dan ada apa sebenernya ? Kok kamu tiba-tiba datang kesini terus ngasih kabar kayak gini ?", tanya gua semakin bingung.
"Gendis udah cerita ke aku. Dia datang ke rumah sakit untuk jengukin Mamah. Disana dia cerita semuanya. Dan kayaknya kamu perlu memperjuangkan dia, Gha", lanjutnya.
"Cukup ya. Aku gak ada urusan lagi sama dia. Aku gak masalah batal nikah sama dia. Tapi masalahnya..".
"Aku tau", potongnya. "Aku tau kamu sakit hati karena ucapan Papahnya. Tapi, Gha. Kamu gak akan pernah dapetin wanita sesempurna dia di dunia ini. Aku yakin cuma dia satu-satunya wanita yang terbaik untuk kamu dan keluarga ini", lanjutnya.
"Terakhir sayang, ya. Gak ada salahnya kamu mencoba untuk terakhir kali buat dapetin dia dan restu Papahnya", timpal Ibu.
"Tapi, Bu.. Aku udah bersumpah kalo..".
"Ssstt.. Buat perjanjian sama diri kamu sendiri. Kalo Papahnya kali ini ngerestuin kalian berdua. Kamu harus berbesar hati memaafkannya duluan sayang. Gimana ?", potong Ibu kali ini.
Gua menghirup nafas dalam-dalam. Lalu pikiran gua berkecamuk. Tidak yakin apa yang akan gua lakukan atas permintaan itu bisa berjalan dengan baik setelah apa yang terjadi.
"Gha. Kesempatan gak datang dua kali. Aku awalnya memang gak ngerti kenapa bisa-bisanya Gendis mau menikah dengan kamu yang masih punya Ve. Tapi, setelah aku liat kondisinya dengan mata kepalaku sendiri. Aku jadi ngerti. Betapa besar pengorbanan dan rasa cinta Gendis untuk kamu, Gha. Sekali lagi aku cuma mau ngingetin. Kamu gak akan bisa dapetin wanita sebaik Gendis diluar sana, Gha. Bahkan aku pun gak mampu seperti dia", ucap wanita bernama Franziska Luna Katrina itu.
Gua tidak bisa langsung menjawab permintaan Ibu dan Luna. Tapi Bapak yang duduk disebelah Ibu ikut meyakinkan gua untuk mencoba dan mengejar wanita bernama Gendisa.
Saat gua masih terdiam memikirkan keputusan apa yang sebaiknya gua ambil, seorang wanita keluar dari kamar dekat tangga. Gua terkejut melihatnya.
"Hai, Kak", ucapnya.
Gua masih terdiam beberapa saat. Terkejut, kaget, dan masih tidak percaya atas kehadirannya itu.
"Agha! Itu disapa juga", ucapan Ibu membuat gua tersadar.
"Eh.. Ii.. Iiya.. Hai... Kok Kamu juga disini ?", gua masih terkejut.
"Kamu ke Jogja ditemenin dia", ucap Luna seraya menunjuk wanita yang berdiri di dekat kami itu.
Gua semakin bingung.
"Aku yakin, Papahnya bisa nerima kali ini, Kak. Aku akan bantuin kamu untuk dapetin restu Papahnya", ucap wanita tersebut.
Gua memandanginya dengan keheranan. Tidak lama dia berjalan kearah pintu keluar.
"Om, Tante, Kak Luna. Aku pulang dulu untuk ngemasin barang-barangku ya", ucap wanita itu lagi yang dijawab dengan senyuman dan anggukan kepala oleh Ibu dan yang lainnya.
"Assalamualaikum, Kak' Oda", ucapnya sebelum keluar dari rumah gua.
Gua tertegun memandanginya. Sampai gua disadarkan oleh Bapak. "Gha! Itu salamnya bukan dijawab", ucap Bapak.
"Eh ii.. iya.. Wa.. Walaikumsalam..", jawab gua ketika wanita tersebut sudah tidak ada dari pandangan mata gua.
Gua menengok kepada Luna. Luna hanya tersenyum.
"Lun.. Tadi.. Itu.. Adek kamu kan ?", tanya gua masih bingung.
Luna menganggukkan kepalanya. "Iya. Kenapa ? Kaget ya ?", tanyanya seraya tetap tersenyum.
"Enggak-enggak.. Tadi itu.. Eeuu.. Dia.. Dia beneran ngucapin salam ?", tanya gua lagi.
"Iya. Panjang ceritanya, Gha. Kamu ngobrol aja sama dia di perjalanan ke Jogja nanti", jawab sang Kakak.
~ Lembayung senja bagian sembilan
Diubah oleh bunbun.orenz 23-12-2018 08:27
oktavp dan 31 lainnya memberi reputasi
32
Kutip
Balas

