- Beranda
- Stories from the Heart
Sonne Mond und Stern
...
TS
glitch.7
Sonne Mond und Stern
die SONNE der MOND und der STERN
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Tak Lagi Sama - Noah
Spoiler for Cover Stories:
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 95% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahdan lanjutan dari sebuah cerita Love in Elegy yang pernah Gua tulis di Forum ini.
Quote:
Catatan:
1. Mengacu pada aturan main forum H2H dan SFTH
2. 95% Semua tokoh/karakter di cerita ini sudah memberikan izin
3. Sikapi dengan bijak apa yang tertuang disini
4. Jangan meminta lebih dari apa yang sudah diberikan
5. Sopanlah dalam berkomentar
6. Saling menghargai TS, penulis dan sesama kaskuser disini
1. Mengacu pada aturan main forum H2H dan SFTH
2. 95% Semua tokoh/karakter di cerita ini sudah memberikan izin
3. Sikapi dengan bijak apa yang tertuang disini
4. Jangan meminta lebih dari apa yang sudah diberikan
5. Sopanlah dalam berkomentar
6. Saling menghargai TS, penulis dan sesama kaskuser disini
Versi PDF Dua Thread Sebelumnya :

*mulustrasi karakter dalam cerita ini
Quote:
BAB I & BAB II
BAB III & BAB IV
***
Tralala_Trilili
PROLOG
BAB V
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15- continues
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
***
SEBELUM CAHAYA
PART I
PART II
PART III - The Ghost of You
PART IV
PART V
PART VI
PART VII
PART VIII
Cooling Down
PART IX
PART X - continues
PART XI
PART XII
PART XIII
PART XIV
PART XV
PART XVI
PART XVII A
PART XVII B
PART XVIII
PART XIX - continues
PART XX
PART XXI
PART XXII
PART XXIII
PART XXIV
PART XXV
PART XXVI
PART XXVII
PART XXVIII
PART XXIX
PART XXX
PART XXXI
PART XXXII
PART XXXIII
PART XXXIV
PART XXXV
PART XXXVI - continues
PART XXXVII
PART XXXVIII
PART XXXIX
Vor dem Licht XL - Das Ende
***
BAB V
PART 21
PART 22
Tentang Rasa
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
Von Hier Wegfliegen
Teils Eins - Vorstellen
Teils Zwei - Anfang
Teils Drei - Der Erbarmer
Teils Vier - Von Hier Wegfliegen
Lembayung Senja
Bagian Satu
Bagian Dua
Bagian Tiga
Bagian Empat
Bagian Lima - continues
Bagian Enam
Bagian Tujuh
Bagian Delapan
Bagian Sembilan
Bagian Sepuluh - continues
Breaking Dawn
One Step Closer
Ascension
Throwback Stories
Life is Not Always Fair
Dusk till Dawn
Awal Semula
Untuk Masa Depan
Terimakasih
Omong Kosong
Kepingan Cerita
Menyerah
Restoe
Rasanya - Rasain
Pengorbanan
Menuju Senja
Kenyataan
Wiedersehen
Cobalah untuk Mengerti
Pengorbanan
Tentang Kita
SIDE STORY
VFA
Daily Life I
Daily Life II
Maaf NEWS
Tentang MyPI
*thanks to my brother in law yang bantu index dan update selama gua mudik
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 239 suara
Siapakah pendamping Eza sebenarnya ?
Sherlin Putri Levanya
55%
Franziska Luna Katrina
17%
Giovanna Almira
28%
Diubah oleh glitch.7 08-01-2022 09:16
chamelemon dan 125 lainnya memberi reputasi
122
1.9M
Kutip
8.8K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
glitch.7
#8274
Throwback Stories
Cobalah untuk Mengerti
Quote:
Gua bersandar pada kursi kayu meja rias. Menatap sebuah benda berharga yang sedari tadi gua pegang pada jemari tangan kanan. Benda yang sudah cukup lama gua simpan pada kotak perhiasan di dalam lemari kamar.
"Ini gak berlebihan, Yang ?", tanya gua tanpa mengalihkan pandangan pada benda yang masih gua pegang tersebut.
"Kenapa ? Oh. Aku rasa Teteh juga setuju kok", jawab Nyonya dengan diiringi suara kursi roda yang mendekat dari arah belakang.
"Aku masih kurang yakin", ucap gua.
"Sini deh liat yang ini", ucap Nyonya yang kini sudah berada di samping gua. Lalu ia rentangkan jemari tangan kanannya dihadapan gua. "Cincin ini memang berharga. Tapi ternyata bukan hanya itu, Mas. Ada makna yang lebih dari sekedar cincin pernikahan kita", lanjutnya sambil tetap menunjukkan cincin yang melingkar pada jemari manisnya itu.
Gua ikut melirik kearah perhiasan yang ia kenakan itu. Kemudian tersenyum tipis. "The ring from the past-time", Ucap gua lirih.
"Ya karena ini dari masa lalu kamu. Aku ngerasa harus lebih menghargainya. Lebih menjaganya. Cincin pernikahan yang kamu kasih buat aku ini sangat berarti untuk Almarhumah Ibu kamu, Mas", timpalnya.
Gua mengangguk tanda setuju. "Tapi kamu memang layak untuk memakainya. Almarhumah Ibu ku pasti seneng menantunya yang sekarang yang pakai barang berharganya itu", jawab gua yang kini telah merangkul pundak kirinya dari arah kanan dengan tangan kiri.
Lalu gua kembali menatap benda berharga yang masih gua pegang pada tangan kanan ini.
"Dan Mba Gendis pun pantas mendapatkan cincin pernikahan kamu dan Teteh itu". Lanjutnya yang kini menatap kepada benda berharga yang gua pegang sedari tadi.
Sebuah benda berharga peninggalan mendiang istri pertama gua. Sebuah cincin. Ya, cincin pernikahan gua dengannya dulu.
Gua menghela nafas. "Echa itu..", ucapan gua dipotong.
"Teteh itu baik. Dengan senang hati pasti dia setuju kalo kamu kasih cincinnya untuk calon istri kamu itu".
"Hahahaha..", gua sedikit tertawa dengan menggelengkan kepala. "Bisa ya kamu seyakin itu ? Seenteng itu ngomong ke suaminya 'calon istri'. Lupain masalah cincin. Sekarang pertanyaannya. Apa udah habis gak bersisa itu rasa cemburu kamu buat aku ?", tanya gua dengan tersenyum.
Nyonya melirik kearah gua dengan tatapan jailnya. Senyuman tipis tersungging dibibirnya.
"Mba Yu... Ehm.. Gendis itu yaa.. Seksi! Itulah bayangan pertama aku buat wanita satu itu", ucap gua lagi. "Kedua, baik. Ya okelah dia baik ke kita selama ini. Ketigaaa.. Apa ya!.. Mmm.. Yang jelas nih, dia ituu.. Mmm.. Huufftt.. Sesak aku bayangin bagian depannya, Yang", lanjut gua menilai perempuan bernama Gendisa. "Gak kebayang deh.. Gak abis-abis aku dihimpit duo dribble-nya", Tandas gua sengaja menggoda.
'Puk!' Wajah gua dilempar tasbih dengan pelan. "Bego!", umpat Nyonya sambil menahan kesal.
Gua pun tertawa terbahak-bahak melihat reaksinya. Kemudian gua bangkit dari duduk dan berdiri tepat dibelakangnya. Gua raih kedua pundaknya untuk kemudian gua rendahkan tubuh dan menopang dagu tepat diatas kepalanya yang masih terbalut hijab berwarna biru muda.
Kedua mata kami bertemu pada cermin meja rias dihadapan kami itu. Gua tersenyum. Nyonya menatap gua dengan wajah datar.
"Makasih untuk rasa kesel kamu tadi. Udah lama rasanya kamu gak cemburu ke aku karena perempuan lain", ucap gua dengan tetap tersenyum.
Nyonya ikut tersenyum. Semakin lebar senyumannya ketika tangan gua bergerak turun dari pundak kearah depan. Lalu ia mencubit pelan tangan gua.
"Dasar nakal iih!", ucapnya menahan tawa.
Tangan gua kini sudah pada 'tempatnya'. "Aku cukup puas dengan yang ini. Jadi gak perlu yang sampe tumpah-tumpah, Yang", jawab gua lalu mengecup pipinya.
"Eh ?! Maksudnya apa cukup puas dengan yang ini ?", tanyanya kaget.
Gua lepas pelukan beserta tangan jail ini dari dadanya. Lalu berjalan mundur sambil menatapnya lewat cermin. "Ya cukup puas dengan ukuran yang itu-itu aja...", gua tersenyum lebar ketika matanya menatap gua dengan tajam lewat cermin itu.
"KURANG AJAR! SINI KAMU, MAS!!".
Gua tertawa sambil melompat keatas ranjang lalu bersembunyi dibalik selimut sebelum jari-jarinya menghujani gua dengan cubitan mautnya.
Keesokan paginya gua baru selesai sarapan pagi dengan Nyonya ketika Ibu baru saja datang bersama Bapak. Pukul delapan pagi semua barang bawaan yang dipersiapkan Nyonya dan Ibu untuk gua sudah rapih berada dalam tas ransel. Setengah jam kemudian dua orang perempuan datang ke rumah.
"Assalamu’alaikum...", sapa sang adik ketika sudah berada di depan pintu rumah.
"Walaikumsalam..", jawab kami yang berada di ruang tamu bersamaan. "Sini ayo masuk", ajak Ibu kepada mereka berdua.
"Kalian berdua udah sarapan ?", tanya Nyonya.
"kita berdua udah sarapan kok, Ve..". Jawab sang Kakak seraya duduk di samping Nyonya.
"Mau langsung berangkat ?", tanya sang adik yang mempunyai nama depan dan belakang yang sama dengan sang Kakak, 'Franziska Katrina'.
"Iya berangkat sekarang aja. Jadwal penerbangan kalian juga gak lama kan", jawab Nyonya.
"Barang-barang kamu udah siap semua tuh, Gha", ucap Ibu.
"Iya, makasih ya Bu", jawab gua kepada Ibu. "Mmm.. Mau sekarang, Ay? ", tanya gua kali ini sambil melirik Adiknya Luna itu.
"Boleh", jawabnya singkat sambil tersenyum simpul.
Lalu gua mendekati Nyonya dan berjongkok berhadapan dengannya yang duduk diatas kursi roda.
"Mas..", tangan kanan istri gua membelai lembut sisi wajah ini. "Hati-hati dijalan ya. Titip salam untuk Mba Gendis", ucapnya.
Gua menganggukkan kepala lalu mencium keningnya dengan lembut.
"Iya. Makasih ya sayang", jawab gua setelah mencium keningnya.
Lalu gua berdiri dan memberi kode kepada Luna dan Helen untuk segera berangkat.
Helen dan Luna sudah masuk kedalam mobil milik Luna. Lalu Ibu, Bapak dan Nyonya mengantar sampai teras rumah. Dan gua masih berdiri memandangi istri tercinta gua itu dari samping mobil. Lalu tersenyum kepadanya.
"Kenapa, Mas ?", tanyanya.
"Aku sayang kamu", jawab gua singkat.
"Aku tau. Aku juga sayang kamu, Mas. Tapi kamu tau kondisiku sekarang seperti ini. Jadi...".
Kedua matanya tertutup. Lalu gua perhatikan hembusan nafasnya yang sedikit dipaksakan.
"Jadi tolong. Coba untuk menyayangi Mba Gendis". Lanjutnya dengan senyuman yang diikuti oleh kedua matanya yang sudah berkaca-kaca.
Kami semua terdiam beberapa detik. Hanya beberapa detik, namun rasanya mendengar ucapan istri gua itu membuat kami semua yang mendengarnya menjadi sadar akan satu hal...
Lalu gua berjalan kearahnya. Membungkukkan badan ketika berada dihadapannya untuk menatap wajah cantik nan sendunya itu.
"Cobalah untuk mengerti...", ucap gua.
"Soal apa, Mas ?".
"Hati kamu memang kuat. Tapi kamu juga harus ingat, kamu bukanlah malaikat", gua tatap matanya lekat-lekat. "Kamu tetaplah manusia biasa. Jadi berhentilah untuk mengorbankan perasaan demi orang lain".
Sedikit terkejut ia mendengar ucapan gua. Kemudian istri gua tersenyum tipis ketika dirasa sudah bisa menguasai diri.
"Please. Cukup ya. Kita udah bahas ini ratusan kali. Dan hari ini kamu juga mau temuin dia di Yogya. Jadi tolong jangan rubah apapun. Berangkat sekarang ya sayang. Nanti kamu ketinggalan pesawat", ucapnya mengalihkan.
Gua kembali menegakkan tubuh dihadapannya yang duduk diatas kursi roda.
"Well...Aku bisa apa selain ngikutin mau kamu", jawab gua sambil tersenyum lebar.
"Aku percaya sama kamu. Pasti kamu bisa luluhin hati Papahnya", ucapnya sambil membalas senyum gua dengan lebar pula.
...
Akhirnya gua sudah berada dalam mobil yang sedang dikendarai oleh Luna. Dan tentu saja ada Helen yang akan menemani gua di Yogyakarta nanti. Kami bertiga menuju bandara Soekarno-Hatta pagi itu.
Sesampainya di bandara gua dan Helen tidak bisa berlama-lama bersama Luna di Lounge karena waktu keberangkatan sudah hampir tiba. singkat cerita setelah pamit kepada Luna, gua dan Helen sudah duduk bersebelahan di dalam bangku penumpang.
Masih ada waktu beberapa menit sebelum pesawat lepas landas meninggalkan bandara. Gua rasa ini waktu yang tepat untuk memberitahukan niatan gua yang sebenarnya kepada Helen.
"Ay. Aku rasa kamu gak perlu ikut membantu aku untuk ngomong ke Papahnya Gendis", ucap gua tiba-tiba.
"Hah? Maksud kamu, Kak?", tanyanya bingung.
"Iya. Kata kamu kemarin kamu mau bantuin aku ngomong buat bikin Papahnya itu percaya dan mau izinin anaknya untuk aku nikahin kan. Tapi aku gak mau kamu begitu", gua melirik kepadanya lalu menatap wajahnya yang cantik sekali hari itu.
"Kamu jangan aneh-aneh deh, Kak. Kita semua, terutama Ibu dan Kak Ve udah berharap banget loch hari ini", jawabnya.
Gua membuang muka untuk menatap kedua tangan gua yang berada diatas paha gua. Lalu tersenyum tipis.
"Kamu perempuan. Kamu seharusnya lebih paham perasaan istriku dengan kondisinya yang seperti sekarang. Cukup sudah dia menderita selama ini, Ay", ucap gua lalu kembali melirik kepadanya lagi.
"Iya aku ngerti, Kak. Aku ngerti maksud kamu. Mungkin aku juga gak akan bisa bertahan dan gak akan rela diduain...". Helen merubah duduknya untuk menghadap gua, lalu menumpukkan kedua tangannya satu sama lain di sisi kursi. "Tapi karena kondisi dia yang sekarang yang ngebuat dia yakin untuk memutuskan kamu menikahi Kak Gendis. Aku udah denger alesan Kak Ve kemarin. Dan aku rasa masuk akal. Dia memilih rela diduakan daripada khawatir kamu bakal...". Helen tidak melanjutkan ucapannya.
"Bakal apa? Ninggalin dia dan mencari wanita lain? Itukan yang dia takutin selama ini. Aku lebih dulu tau daripada kamu, Ay", ucap gua melanjutkan ucapannya.
"Ya makanya..".
Gua potong ucapannya kali ini. "Jangan kamu pikir aku selalu kuat selama ini. Aku bukan orang munafik. Aku pernah beberapa kali ngerasa gak kuat menghadapi kenyataan istriku itu. Tapi itu bukan alasan untuk ninggalin dia dan cari yang lain".
"Terus?".
"Aku bukan mau ngerasa hebat atau sok. Tapi kamu juga tau. Aku udah berulang kali dibuat jatuh terjerembab oleh Tuhan", gua sedikit menundukkan wajah.
"Berawal dari istriku yang sekarang Vena. Apa yang dialaminya saat dia kuliah dulu gak akan mudah dilewati oleh perempuan manapun. Lalu dia pergi sesaat. kemudian ada Echa yang menjadi istri pertamaku. Kamu tau kan, ternyata Tuhan lebih menyayanginya saat anak pertama kami lahir....", nada suara gua mulai terdengar tidak normal. Gua menelan ludah agar bisa menetralkan emosi yang sedikit bergolak.
"Ehm.. Lalu siapa setelah itu? Dia yang menjadi buah hati ku pun akhirnya menyusul Bundanya. Lagi-lagi Tuhan sayang sama Jingga dan Echa, Ay", lanjut gua dengan suara yang bergetar.
Tangan Helen mencoba menggapai punggung tangan kanan gua. "Iya, Kak. Cukup. Aku tau. Maaf aku bukannya mau...", ucapannya terhenti ketika gua menepis dengan halus gapaian tangannya itu.
"Tunggu, Ay. Itu belum cukup. Dan ini skenario Tuhan loch, Ay", potong gua sambil tersenyum sinis setelah menepis tangannya.
"Kamu tau gak? Setelah kejadian tadi. Aku nikah dengan Vena. Iya istriku yang sekarang itu, Ay. Kami bahagia. Cukup bahagia, sampai Tuhan kembali 'menyayangi' calon anak pertama aku dan Ve...", mata gua sudah berkaca-kaca saat itu. "Dan hebatnya itu terulang dikehamilan kedua Vena, Ay! Tapi sedikit berbeda. Tuhan kasih bonus buat istriku. Bonusnya dia gak akan bisa punya anak lagi dan kakinya lumpuh. Seperti yang kamu tau dengan persis, Ay!", tandas gua dengan airmata yang sudah tidak bisa gua bendung lagi.
"Kak...", suaranya ikut bergetar.
"Ay. Kasih aku alasan kenapa kalian semua takut kalo aku bakal ninggalin Ve ? Setelah apa yang terjadi sama hidup ku dan dia sekarang aku gak ada alasan untuk pergi dan mencari wanita lain. Aku udah cukup menderita, begitupun Vena! Aku berusaha untuk buat dia bahagia apapun caranya. Tapi bukan dengan menikahi Gendis seperti maunya, Ay!".
Franziska Helena Katrina. Perempuan itu ikut menitikan airmatanya bersama gua di saat pagi menuju siang. Didalam burung besi ini yang akan membawa kami berdua menuju daerah istimewa.
Dan akhirnya, menuntun kami kepada jalan yang sudah ditakdirkan oleh-Nya.
"Ini gak berlebihan, Yang ?", tanya gua tanpa mengalihkan pandangan pada benda yang masih gua pegang tersebut.
"Kenapa ? Oh. Aku rasa Teteh juga setuju kok", jawab Nyonya dengan diiringi suara kursi roda yang mendekat dari arah belakang.
"Aku masih kurang yakin", ucap gua.
"Sini deh liat yang ini", ucap Nyonya yang kini sudah berada di samping gua. Lalu ia rentangkan jemari tangan kanannya dihadapan gua. "Cincin ini memang berharga. Tapi ternyata bukan hanya itu, Mas. Ada makna yang lebih dari sekedar cincin pernikahan kita", lanjutnya sambil tetap menunjukkan cincin yang melingkar pada jemari manisnya itu.
Gua ikut melirik kearah perhiasan yang ia kenakan itu. Kemudian tersenyum tipis. "The ring from the past-time", Ucap gua lirih.
"Ya karena ini dari masa lalu kamu. Aku ngerasa harus lebih menghargainya. Lebih menjaganya. Cincin pernikahan yang kamu kasih buat aku ini sangat berarti untuk Almarhumah Ibu kamu, Mas", timpalnya.
Gua mengangguk tanda setuju. "Tapi kamu memang layak untuk memakainya. Almarhumah Ibu ku pasti seneng menantunya yang sekarang yang pakai barang berharganya itu", jawab gua yang kini telah merangkul pundak kirinya dari arah kanan dengan tangan kiri.
Lalu gua kembali menatap benda berharga yang masih gua pegang pada tangan kanan ini.
"Dan Mba Gendis pun pantas mendapatkan cincin pernikahan kamu dan Teteh itu". Lanjutnya yang kini menatap kepada benda berharga yang gua pegang sedari tadi.
Sebuah benda berharga peninggalan mendiang istri pertama gua. Sebuah cincin. Ya, cincin pernikahan gua dengannya dulu.
Gua menghela nafas. "Echa itu..", ucapan gua dipotong.
"Teteh itu baik. Dengan senang hati pasti dia setuju kalo kamu kasih cincinnya untuk calon istri kamu itu".
"Hahahaha..", gua sedikit tertawa dengan menggelengkan kepala. "Bisa ya kamu seyakin itu ? Seenteng itu ngomong ke suaminya 'calon istri'. Lupain masalah cincin. Sekarang pertanyaannya. Apa udah habis gak bersisa itu rasa cemburu kamu buat aku ?", tanya gua dengan tersenyum.
Nyonya melirik kearah gua dengan tatapan jailnya. Senyuman tipis tersungging dibibirnya.
"Mba Yu... Ehm.. Gendis itu yaa.. Seksi! Itulah bayangan pertama aku buat wanita satu itu", ucap gua lagi. "Kedua, baik. Ya okelah dia baik ke kita selama ini. Ketigaaa.. Apa ya!.. Mmm.. Yang jelas nih, dia ituu.. Mmm.. Huufftt.. Sesak aku bayangin bagian depannya, Yang", lanjut gua menilai perempuan bernama Gendisa. "Gak kebayang deh.. Gak abis-abis aku dihimpit duo dribble-nya", Tandas gua sengaja menggoda.
'Puk!' Wajah gua dilempar tasbih dengan pelan. "Bego!", umpat Nyonya sambil menahan kesal.
Gua pun tertawa terbahak-bahak melihat reaksinya. Kemudian gua bangkit dari duduk dan berdiri tepat dibelakangnya. Gua raih kedua pundaknya untuk kemudian gua rendahkan tubuh dan menopang dagu tepat diatas kepalanya yang masih terbalut hijab berwarna biru muda.
Kedua mata kami bertemu pada cermin meja rias dihadapan kami itu. Gua tersenyum. Nyonya menatap gua dengan wajah datar.
"Makasih untuk rasa kesel kamu tadi. Udah lama rasanya kamu gak cemburu ke aku karena perempuan lain", ucap gua dengan tetap tersenyum.
Nyonya ikut tersenyum. Semakin lebar senyumannya ketika tangan gua bergerak turun dari pundak kearah depan. Lalu ia mencubit pelan tangan gua.
"Dasar nakal iih!", ucapnya menahan tawa.
Tangan gua kini sudah pada 'tempatnya'. "Aku cukup puas dengan yang ini. Jadi gak perlu yang sampe tumpah-tumpah, Yang", jawab gua lalu mengecup pipinya.
"Eh ?! Maksudnya apa cukup puas dengan yang ini ?", tanyanya kaget.
Gua lepas pelukan beserta tangan jail ini dari dadanya. Lalu berjalan mundur sambil menatapnya lewat cermin. "Ya cukup puas dengan ukuran yang itu-itu aja...", gua tersenyum lebar ketika matanya menatap gua dengan tajam lewat cermin itu.
"KURANG AJAR! SINI KAMU, MAS!!".
Gua tertawa sambil melompat keatas ranjang lalu bersembunyi dibalik selimut sebelum jari-jarinya menghujani gua dengan cubitan mautnya.
***
Keesokan paginya gua baru selesai sarapan pagi dengan Nyonya ketika Ibu baru saja datang bersama Bapak. Pukul delapan pagi semua barang bawaan yang dipersiapkan Nyonya dan Ibu untuk gua sudah rapih berada dalam tas ransel. Setengah jam kemudian dua orang perempuan datang ke rumah.
"Assalamu’alaikum...", sapa sang adik ketika sudah berada di depan pintu rumah.
"Walaikumsalam..", jawab kami yang berada di ruang tamu bersamaan. "Sini ayo masuk", ajak Ibu kepada mereka berdua.
"Kalian berdua udah sarapan ?", tanya Nyonya.
"kita berdua udah sarapan kok, Ve..". Jawab sang Kakak seraya duduk di samping Nyonya.
"Mau langsung berangkat ?", tanya sang adik yang mempunyai nama depan dan belakang yang sama dengan sang Kakak, 'Franziska Katrina'.
"Iya berangkat sekarang aja. Jadwal penerbangan kalian juga gak lama kan", jawab Nyonya.
"Barang-barang kamu udah siap semua tuh, Gha", ucap Ibu.
"Iya, makasih ya Bu", jawab gua kepada Ibu. "Mmm.. Mau sekarang, Ay? ", tanya gua kali ini sambil melirik Adiknya Luna itu.
"Boleh", jawabnya singkat sambil tersenyum simpul.
Lalu gua mendekati Nyonya dan berjongkok berhadapan dengannya yang duduk diatas kursi roda.
"Mas..", tangan kanan istri gua membelai lembut sisi wajah ini. "Hati-hati dijalan ya. Titip salam untuk Mba Gendis", ucapnya.
Gua menganggukkan kepala lalu mencium keningnya dengan lembut.
"Iya. Makasih ya sayang", jawab gua setelah mencium keningnya.
Lalu gua berdiri dan memberi kode kepada Luna dan Helen untuk segera berangkat.
Helen dan Luna sudah masuk kedalam mobil milik Luna. Lalu Ibu, Bapak dan Nyonya mengantar sampai teras rumah. Dan gua masih berdiri memandangi istri tercinta gua itu dari samping mobil. Lalu tersenyum kepadanya.
"Kenapa, Mas ?", tanyanya.
"Aku sayang kamu", jawab gua singkat.
"Aku tau. Aku juga sayang kamu, Mas. Tapi kamu tau kondisiku sekarang seperti ini. Jadi...".
Kedua matanya tertutup. Lalu gua perhatikan hembusan nafasnya yang sedikit dipaksakan.
"Jadi tolong. Coba untuk menyayangi Mba Gendis". Lanjutnya dengan senyuman yang diikuti oleh kedua matanya yang sudah berkaca-kaca.
Kami semua terdiam beberapa detik. Hanya beberapa detik, namun rasanya mendengar ucapan istri gua itu membuat kami semua yang mendengarnya menjadi sadar akan satu hal...
Lalu gua berjalan kearahnya. Membungkukkan badan ketika berada dihadapannya untuk menatap wajah cantik nan sendunya itu.
"Cobalah untuk mengerti...", ucap gua.
"Soal apa, Mas ?".
"Hati kamu memang kuat. Tapi kamu juga harus ingat, kamu bukanlah malaikat", gua tatap matanya lekat-lekat. "Kamu tetaplah manusia biasa. Jadi berhentilah untuk mengorbankan perasaan demi orang lain".
Sedikit terkejut ia mendengar ucapan gua. Kemudian istri gua tersenyum tipis ketika dirasa sudah bisa menguasai diri.
"Please. Cukup ya. Kita udah bahas ini ratusan kali. Dan hari ini kamu juga mau temuin dia di Yogya. Jadi tolong jangan rubah apapun. Berangkat sekarang ya sayang. Nanti kamu ketinggalan pesawat", ucapnya mengalihkan.
Gua kembali menegakkan tubuh dihadapannya yang duduk diatas kursi roda.
"Well...Aku bisa apa selain ngikutin mau kamu", jawab gua sambil tersenyum lebar.
"Aku percaya sama kamu. Pasti kamu bisa luluhin hati Papahnya", ucapnya sambil membalas senyum gua dengan lebar pula.
...
Akhirnya gua sudah berada dalam mobil yang sedang dikendarai oleh Luna. Dan tentu saja ada Helen yang akan menemani gua di Yogyakarta nanti. Kami bertiga menuju bandara Soekarno-Hatta pagi itu.
Sesampainya di bandara gua dan Helen tidak bisa berlama-lama bersama Luna di Lounge karena waktu keberangkatan sudah hampir tiba. singkat cerita setelah pamit kepada Luna, gua dan Helen sudah duduk bersebelahan di dalam bangku penumpang.
Masih ada waktu beberapa menit sebelum pesawat lepas landas meninggalkan bandara. Gua rasa ini waktu yang tepat untuk memberitahukan niatan gua yang sebenarnya kepada Helen.
"Ay. Aku rasa kamu gak perlu ikut membantu aku untuk ngomong ke Papahnya Gendis", ucap gua tiba-tiba.
"Hah? Maksud kamu, Kak?", tanyanya bingung.
"Iya. Kata kamu kemarin kamu mau bantuin aku ngomong buat bikin Papahnya itu percaya dan mau izinin anaknya untuk aku nikahin kan. Tapi aku gak mau kamu begitu", gua melirik kepadanya lalu menatap wajahnya yang cantik sekali hari itu.
"Kamu jangan aneh-aneh deh, Kak. Kita semua, terutama Ibu dan Kak Ve udah berharap banget loch hari ini", jawabnya.
Gua membuang muka untuk menatap kedua tangan gua yang berada diatas paha gua. Lalu tersenyum tipis.
"Kamu perempuan. Kamu seharusnya lebih paham perasaan istriku dengan kondisinya yang seperti sekarang. Cukup sudah dia menderita selama ini, Ay", ucap gua lalu kembali melirik kepadanya lagi.
"Iya aku ngerti, Kak. Aku ngerti maksud kamu. Mungkin aku juga gak akan bisa bertahan dan gak akan rela diduain...". Helen merubah duduknya untuk menghadap gua, lalu menumpukkan kedua tangannya satu sama lain di sisi kursi. "Tapi karena kondisi dia yang sekarang yang ngebuat dia yakin untuk memutuskan kamu menikahi Kak Gendis. Aku udah denger alesan Kak Ve kemarin. Dan aku rasa masuk akal. Dia memilih rela diduakan daripada khawatir kamu bakal...". Helen tidak melanjutkan ucapannya.
"Bakal apa? Ninggalin dia dan mencari wanita lain? Itukan yang dia takutin selama ini. Aku lebih dulu tau daripada kamu, Ay", ucap gua melanjutkan ucapannya.
"Ya makanya..".
Gua potong ucapannya kali ini. "Jangan kamu pikir aku selalu kuat selama ini. Aku bukan orang munafik. Aku pernah beberapa kali ngerasa gak kuat menghadapi kenyataan istriku itu. Tapi itu bukan alasan untuk ninggalin dia dan cari yang lain".
"Terus?".
"Aku bukan mau ngerasa hebat atau sok. Tapi kamu juga tau. Aku udah berulang kali dibuat jatuh terjerembab oleh Tuhan", gua sedikit menundukkan wajah.
"Berawal dari istriku yang sekarang Vena. Apa yang dialaminya saat dia kuliah dulu gak akan mudah dilewati oleh perempuan manapun. Lalu dia pergi sesaat. kemudian ada Echa yang menjadi istri pertamaku. Kamu tau kan, ternyata Tuhan lebih menyayanginya saat anak pertama kami lahir....", nada suara gua mulai terdengar tidak normal. Gua menelan ludah agar bisa menetralkan emosi yang sedikit bergolak.
"Ehm.. Lalu siapa setelah itu? Dia yang menjadi buah hati ku pun akhirnya menyusul Bundanya. Lagi-lagi Tuhan sayang sama Jingga dan Echa, Ay", lanjut gua dengan suara yang bergetar.
Tangan Helen mencoba menggapai punggung tangan kanan gua. "Iya, Kak. Cukup. Aku tau. Maaf aku bukannya mau...", ucapannya terhenti ketika gua menepis dengan halus gapaian tangannya itu.
"Tunggu, Ay. Itu belum cukup. Dan ini skenario Tuhan loch, Ay", potong gua sambil tersenyum sinis setelah menepis tangannya.
"Kamu tau gak? Setelah kejadian tadi. Aku nikah dengan Vena. Iya istriku yang sekarang itu, Ay. Kami bahagia. Cukup bahagia, sampai Tuhan kembali 'menyayangi' calon anak pertama aku dan Ve...", mata gua sudah berkaca-kaca saat itu. "Dan hebatnya itu terulang dikehamilan kedua Vena, Ay! Tapi sedikit berbeda. Tuhan kasih bonus buat istriku. Bonusnya dia gak akan bisa punya anak lagi dan kakinya lumpuh. Seperti yang kamu tau dengan persis, Ay!", tandas gua dengan airmata yang sudah tidak bisa gua bendung lagi.
"Kak...", suaranya ikut bergetar.
"Ay. Kasih aku alasan kenapa kalian semua takut kalo aku bakal ninggalin Ve ? Setelah apa yang terjadi sama hidup ku dan dia sekarang aku gak ada alasan untuk pergi dan mencari wanita lain. Aku udah cukup menderita, begitupun Vena! Aku berusaha untuk buat dia bahagia apapun caranya. Tapi bukan dengan menikahi Gendis seperti maunya, Ay!".
Franziska Helena Katrina. Perempuan itu ikut menitikan airmatanya bersama gua di saat pagi menuju siang. Didalam burung besi ini yang akan membawa kami berdua menuju daerah istimewa.
Dan akhirnya, menuntun kami kepada jalan yang sudah ditakdirkan oleh-Nya.
Diubah oleh glitch.7 11-05-2019 01:58
oktavp dan 39 lainnya memberi reputasi
40
Kutip
Balas

