- Beranda
- Stories from the Heart
Sonne Mond und Stern
...
TS
glitch.7
Sonne Mond und Stern
die SONNE der MOND und der STERN
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Tak Lagi Sama - Noah
Spoiler for Cover Stories:
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 95% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahdan lanjutan dari sebuah cerita Love in Elegy yang pernah Gua tulis di Forum ini.
Quote:
Catatan:
1. Mengacu pada aturan main forum H2H dan SFTH
2. 95% Semua tokoh/karakter di cerita ini sudah memberikan izin
3. Sikapi dengan bijak apa yang tertuang disini
4. Jangan meminta lebih dari apa yang sudah diberikan
5. Sopanlah dalam berkomentar
6. Saling menghargai TS, penulis dan sesama kaskuser disini
1. Mengacu pada aturan main forum H2H dan SFTH
2. 95% Semua tokoh/karakter di cerita ini sudah memberikan izin
3. Sikapi dengan bijak apa yang tertuang disini
4. Jangan meminta lebih dari apa yang sudah diberikan
5. Sopanlah dalam berkomentar
6. Saling menghargai TS, penulis dan sesama kaskuser disini
Versi PDF Dua Thread Sebelumnya :

*mulustrasi karakter dalam cerita ini
Quote:
BAB I & BAB II
BAB III & BAB IV
***
Tralala_Trilili
PROLOG
BAB V
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15- continues
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
***
SEBELUM CAHAYA
PART I
PART II
PART III - The Ghost of You
PART IV
PART V
PART VI
PART VII
PART VIII
Cooling Down
PART IX
PART X - continues
PART XI
PART XII
PART XIII
PART XIV
PART XV
PART XVI
PART XVII A
PART XVII B
PART XVIII
PART XIX - continues
PART XX
PART XXI
PART XXII
PART XXIII
PART XXIV
PART XXV
PART XXVI
PART XXVII
PART XXVIII
PART XXIX
PART XXX
PART XXXI
PART XXXII
PART XXXIII
PART XXXIV
PART XXXV
PART XXXVI - continues
PART XXXVII
PART XXXVIII
PART XXXIX
Vor dem Licht XL - Das Ende
***
BAB V
PART 21
PART 22
Tentang Rasa
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
Von Hier Wegfliegen
Teils Eins - Vorstellen
Teils Zwei - Anfang
Teils Drei - Der Erbarmer
Teils Vier - Von Hier Wegfliegen
Lembayung Senja
Bagian Satu
Bagian Dua
Bagian Tiga
Bagian Empat
Bagian Lima - continues
Bagian Enam
Bagian Tujuh
Bagian Delapan
Bagian Sembilan
Bagian Sepuluh - continues
Breaking Dawn
One Step Closer
Ascension
Throwback Stories
Life is Not Always Fair
Dusk till Dawn
Awal Semula
Untuk Masa Depan
Terimakasih
Omong Kosong
Kepingan Cerita
Menyerah
Restoe
Rasanya - Rasain
Pengorbanan
Menuju Senja
Kenyataan
Wiedersehen
Cobalah untuk Mengerti
Pengorbanan
Tentang Kita
SIDE STORY
VFA
Daily Life I
Daily Life II
Maaf NEWS
Tentang MyPI
*thanks to my brother in law yang bantu index dan update selama gua mudik
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 239 suara
Siapakah pendamping Eza sebenarnya ?
Sherlin Putri Levanya
55%
Franziska Luna Katrina
17%
Giovanna Almira
28%
Diubah oleh glitch.7 08-01-2022 09:16
chamelemon dan 125 lainnya memberi reputasi
122
1.9M
Kutip
8.8K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
glitch.7
#8157
Throwback Stories
PENGORBANAN
Quote:
Setelah gua dan Mba Yu jujur kepada Mamahnya, kini giliran Nyonya-istri gua yang harus mengetahui kabar tersebut. Sebenarnya gua cukup ragu, bukan karena takut melainkan lebih kepada malu. Ya, gua malu mengakui kekalahan ini, kekalahan dengan mengikuti keinginannya itu.
Saat itu kami berdua sedang mengunjungi Nenek. Dari siang hari kami berada disini. Setelah Nenek dan gua membereskan bekas makan kami bertiga, gua ajak istri gua ke kamar. Kamar yang menjadi tempat gua tumbuh semasa sekolah dulu.
"Yang, aku mau ngomong soal Mba Yu".
"Kenapa dengan Mba Gendis ?".
"Aku gak bisa basa-basi, maaf..", gua berdiri dan berjalan kearahanya yang masih duduk diatas kursi rodanya itu. "Aku minta maaf. Aku minta maaf gak cerita ke kamu dan baru kasih tau sekarang, aku udah ngomong sama Mamahnya kalo.. Kalo aku.. Aku.. Aku mau nikahin Gendis...", lanjut gua setelah berjongkok didepannya dengan menggenggam kedua tangannya itu.
Gua menundukan kepala tanpa berani sedikit pun menatap matanya. Gua benar-benar malu dan merasa bersalah telah mengkhianati hati istri gua ini.
"Mas, liat aku sini..".
Gua tetap menunduk dan hanya menggelengkan kepala.
"Hey, sini liat aku nya dulu dong...", ucapnya yang kali ini melepas genggaman tangan gua dan memegang dagu gua agar menatapnya.
Dia tersenyum.
"Kamu kenapa ngerasa bersalah gitu ?", tanyanya dengan tetap tersenyum.
"Aku.. Aku minta maaf udah khianatin kamu..", jawab gua pelan.
"Kamu gak khianatin aku, Mas. Kamu ngelakuin apa yang seharusnya kamu lakuin kok. Aku udah tau semuanya dari Mba Gendis. Dia udah cerita duluan ke aku dari kemaren-kemaren..".
"Hah ? Jadi kamu udah tau ? Terus kok kamu diem aja ? Gak nanya ke aku dari kemaren", gua benar-benar terkejut.
"Hmm.. Aku sengaja. Aku sengaja biar suami ku ini cerita sendiri kayak sekarang", jawabnya dengan tersenyum lebar.
"Ya ampun, Yang. Kamu serius ? Gak marah atau kecewa gitu ? Aku nih suami kamu loch, suami kamu yang mau nikah lagi. Dan kamu biasa aja ?".
"Kamu tuh.. Aku yang minta, aku yang nyuruh, dan aku juga yang mau suami ku ini nikahin perempuan bernama Gendis. Kenapa aku mesti marah, kecewa, dan ngerasa dikhianatin ? Kamu ngelakuin hal yang bener Mas dengan ngomong langsung ke Mamahnya. Aku seneng waktu Mba Gendis cerita kalo kamu udah jujur ke Mamahnya", jawab istri gua itu dengan wajah yang nampak bahagia.
"Yang. Aku minta maaf. Bener-bener minta maaf", ucap gua.
"Kamu gak perlu minta maaf. Tapi jujur aku kaget juga waktu Mba Gendis cerita ke aku pas kamu akhirnya mau terima dia terus minta izin ke Mamahnya. Aku kaget gak percaya akhirnya kamu mau dan langsung jujur ke Mamahnya. Hebat kamu gerak cepet, hihihihi...", tawa renyahnya terdengar memenuhi kamar ini.
Entah dia nyindir atau apa, perasaan gua rasanya seperti dihantam dengan kalimat terakhirnya itu. Gerak cepet katanya, iya gua sadar kemarin-kemarin nolak sampai bertengkar dengannya, sekarang malah tiba-tiba udah minta aja ke Mamahnya Mba Yu.
"Sayang. Kamu harus tau, saat ini cuma kamu satu-satunya wanita yang aku cintai. Aku udah bilang ke Mba Yu, butuh waktu entah sampai kapan cintanya itu terbalas. Aku cuma bisa bilang tolong tunggu dengan sabar", ucap gua serius.
"Aku yakin, nanti kamu bisa nerima dia di hati kamu, mencintai dia dengan tulus. Aku cuma mau ingetin kamu, seberat apapun nanti rumah tangga kita, kamu harus berusaha seadil mungkin ya, Mas. Insya Allah aku bantu kamu sayang", jawabnya seraya membelai wajah gua.
Kalau gini caranya, semakin sulit rasanya gua bisa mencintai Mba Yu. Gimana gua bisa berpaling dari Nyonya kalau sikapnya seperti ini. Ketulusannya, keikhlasannya, rasa sayang dan rasa cintanya itu hanya demi gua seorang. Demi suaminya bahagia. Lantas gua kembali membandingkan. Kalau dia rela berkorban sampai sejauh ini, apa yang dia dapat ? Dia beri gua kebahagiaan dengan memberi gua izin untuk menikah lagi, sedangkan dia mendapatkan apa ?. Lagi-lagi saat itu jawabannya membuat gua merinding. 'Aku ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, Mas. Aku ingin masuk surga tanpa dihisab. Insya Allah'.
*Kalo ada yang bingung silahkan cari referensi jawaban sendiri. Apa korelasi antara mengizinkan suami menikah lagi dengan masuk surga tanpa dihisab dalam islam. Gua lagi males ngejelasinnya.
Semenjak istri gua mengetahui kalau suaminya ini sekarang setuju dengan apa yang ia inginkan, hubungan kami kembali membaik. Tidak lagi ada perdebatan seperti sebelumnya. Sekarang kami berdua lebih banyak belajar untuk mempersiapkan mental dan sikap bagaimana semestinya membangun rumah tangga yang baik dalam berpoligami. Beberapa kali dia mengundang Ustadz maupun Ustadzah untuk meminta masukan soal poligami itu sendiri. Gua yang awalnya ragu dan kadang ingin membatalkan hal ini pun akhirnya sedikit demi sedikit yakin setelah di dukung oleh keluarga dan juga ceramah dari Ustadz yang ia undang itu.
Waktu berlalu sampai akhirnya masalah lain datang...
...
...
...
"Halo dede Nabil, sini gendong yu ama Tante..".
Gua baru saja pulang ketika melihat Mba Yu sedang menggendong Nabil. Ada Nyonya dan Mba Intan juga di ruang tamu ini. Setelah mengucapkan salam gua duduk di sofa dekat Nyonya yang masih duduk diatas kursi rodanya.
"Malem banget pulangnya, Mas. Banyak pengunjung ya ?", tanya istri gua sambil tersenyum.
Pikiran gua masih terpaut dengan obrolan bersama seorang gadis muda setengah jam lalu. Hingga membuat gua tidak fokus dengan pertanyaannya.
"Mas.. Mas..", panggilnya. "Mas ? Kok diem aja ?", tangannya mengusap lengan kiri gua kali ini. "Kenapa ngelamun ? Ada apa ?", lanjutnya dengan wajah yang khawatir.
"Eh ? Mmm.. Ehm.. Gak apa-apa kok sayang. Aku ke kamar dulu ya", jawab gua seraya bangun dan berjalan meninggalkan mereka.
Gua sempat melihat Mba Yu dan Mba Intan yang ikut keheranan dengan tingkah gua yang tidak seperti biasanya. Tapi pikiran gua masih terus terngiang masalah yang sedang dihadapi seorang gadis muda.
Setelah beres mandi di lantai atas, gua mengambil wudhu lalu melaksanakan shalat isya di dalam kamar. Baru setelah itu pikiran gua kembali tenang. Gua kembali turun ke ruang tamu dimana disana masih ada istri tercinta gua, Mba Yu serta Mba Intan yang kini sedang menyusui Nabil.
"Mas ?", ucap istri gua ketika gua berdiri didekatnya.
"Hm ? Oh aku gak apa-apa. Abis shalat tadi", jawab gua dengan tersenyum.
"Kamu ada masalah ?", tanya Mba Yu kali ini.
"Mmm.. Gak kok, gak ada apa-apa. Tenang aja. Eh ngomong-ngomong kalian udah pada makan ?", jawab gua sekalian mengalihkan pembicaraan.
"Kamu beneran aneh deh. Tadi kan Ve nelpon kamu bilang kami lagi pada makan. Kamu kenapa sih ?", ucap Mba Yu yang semakin keheranan.
Ah iya gua lupa tadi saat gua masih bertemu dengan gadis muda sebelumnya, istri gua sudah mengabari kalo mereka bertiga sedang makan di rumah.
Gua hanya tersenyum sampai akhirnya istri gua meraih tangan kanan ini.
"Mas.. Istirahat aja. Kayaknya kamu cape banget", ucap Nyonya dengan tersenyum lembut. "Mba Gendis. Maaf ya, kayaknya suami ku gak bisa nganter kamu pulang dulu, Mba", lanjut istri gua itu kepada Mba Yu.
"Oh.. Ii.. Iyaa.. Gak apa-apa kok, Ve. Aku bisa pulang sendiri kok... Mmm.. Kalo gitu aku pamit dulu ya..", jawab Mba Yu sedikit kikuk lalu mencium pipi kanan-kiri Nyonya untuk berpamitan.
"Mas, aku pulang ya", ucap Mba Yu seraya mengulurkan tangannya untuk mencium tangan gua.
"Iya, hati-hati dijalan ya, Mba. Maaf aku gak bisa anter kamu", balas gua yang kemudian ia cium punggung tangan kanan ini.
"Iya gak apa-apa, Mas", setelah itu Mba Yu mendekati Mba Intan untuk menyalaminya, kemudian mencium pipi Nabil sebelum akhirnya ia diantar oleh Mba Intan sampai ke depan rumah.
Setelah Mba Yu pulang dengan mengendarai mobilnya sendiri, gua dan istri pergi ke halaman belakang. Di dalam gazebo kami duduk bersebrangan. Gua teguk secangkir kopi hitam yang sebelumnya dibuatkan oleh Bibi.
"Maaf ya, Mas. Aku bukan ngusir Mba Gendis. Tapi aku tau kamu lagi ada masalah", ucap istri gua.
"Iya aku ngerti, kamu minta dia pulang secara halus karena pengen denger cerita ku kan ?", tanya gua.
Nyonya hanya mengangguk.
Istri gua memang hafal dan mengerti kondisi suaminya ini. Apa yang ia lakukan sebelumnya bukan karena ia tidak ingin Mba Yu ada disini. Tetapi lebih karena privasi diantara kami berdua, dan memang gua sendiri perlu waktu berduaan bersama wanita yang sedang mengenakan hijab berwarna biru laut tersebut.
"Aku mau cerita sama kamu, tapi kamu harus ngerti, apa yang aku ceritain ini gak ada hubungannya sama aku, Yang", ucap gua memulai obrolan.
"Aku akan dengerin kamu cerita sampe selesai, Mas", jawabnya lembut.
Gua sandarkan punggung pada bahu kursi kayu dalam gazebo. Lalu mulailah gua ceritakan apa yang sudah gua dengar dari seorang gadis muda belia bernama Giovanna.
Cukup lama gua menceritakan dari awal bagaimana kejadian saat gua menemui Giovanna sekitar empat bulan lalu, saat itu gua memang mengajaknya makan malam setelah kami pulang kerja, lalu gua pun curhat soal masalah gua dengan Nyonya yang sedang didekati oleh Rifki. Sampai akhirnya gua membiarkan Giovanna pergi bersama seorang lelaki yang ternyata baru gua ketahui lelaki tersebut adalah pacarnya.
"Ya intinya waktu itu aku cuma ajak dia makan malem berdua sambil cerita soal kamu yang lagi dideketin si brengs*k Rifki, gak lama abis makan dia dijemput sama cowok. Semenjak itu aku gak pernah lagi pergi berdua sama Anna, sampe akhirnya tadi dia pingin ketemu aku dan curhat kalo... Dia sekarang udah hamil", terang gua kepada Nyonya.
Kami berdua terdiam beberapa saat. Gua menunggunya bicara. Raut wajahnya dingin menatap gua. Lalu dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan.
"Aku percaya bukan kamu yang hamilin dia. Tapi yang jadi pertanyaan ku kenapa waktu itu kamu harus milih dia sebagai temen curhat ? Kamu ceritain soal rumah tangga kita ke anak yang belom tau apa-apa, Mas", mulai emosi lah Nyonya dari nada bicaranya. "Udah gitu pake acara ngasih tas segala lagi! Harusnya itu tas buat aku kan ?!", marah sudah istri gua ini.
Gua pingin ketawa tapi gak berani. Akhirnya sambil menahan tawa gua dekati dirinya yang masih duduk diatas kursi rodanya itu dengan berjongkok di hadapannya.
"Jadi soal tas aja nih ?", goda gua dengan tersenyum lebar.
Nyonya memalingkan wajahnya kearah lain dengan wajah yang menahan kesal.
"Okey kalo soal itu ma gampang. Besok.. Besok nih ya.. Kamu pilih terserah mau tas model gimana, harganya semahal apapun aku beliin. Sebagai tanda minta maaf udah ngasih Anna tas yang seharusnya aku kasih ke kamu waktu itu", lanjut gua dengan memegang kedua tangannya.
"Enggak mau!", jawabnya emosi tanpa memalingkan wajah kepada gua.
Gua kembali menahan tawa karena bibirnya yang manyun itu. Kesel banget nih Bini gua.
"Okey kalo gitu aku beliin yang sama karena emang tas itu harusnya buat kamu. Aku minta maaf ya Sayang..", ucap gua lagi terus membujuknya.
"Percuma! Kalo kamu beliin yang sama jadi samaan dong! Ogah banget ya aku samaan ama dia! Iih apa kali, enggak deh pokoknya!".
Wadaw cembokur parah ini sih...
Gua menggaruk kepala bagian belakang yang sebenarnya gak gatal sama sekali.
"Hhmmm.. Disuruh milih sendiri gak mau. Mau dibeliin yang sama juga gak mau. Hmmm... Yaudah kalo gak mau gak apa-apa. Aku jadi bisa savetabungan ku kalo gitu", goda gua.
Sedetik kemudian wajahnya langsung menatap gua dengan mata yang melotot.
"Terus aja terus! Kasih aja buat dia! Aku ma gak usah! Gak apa-apa!", sungutnya kesal.
Nyonya langsung memundurkan kursi rodanya sendiri hendak pergi dari gazebo ini. Gua buru-buru menahannya.
"Wey.. Wey.. Weyy.. Wey.. Sabar-sabar. Sorry deh sorry.. Aku cuma becanda, Sayang.. Hehehe", tahan gua yang kini berdiri di hadapannya.
"Becanda kamu gak lucu! Kamu kasih barang ke perempuan lain yang harusnya itu buat istri kamu sendiri! Pikir deh sama kamu! Udah Minggir! Aku mau ke kamar!", balasnya yang sudah benar-benar marah.
Sialan. Ngapain juga nih mulut harus cerita soal tas sih! Niatnya kan cuma mau cerita soal Giovanna yang lagi hamil anak dari pacarnya sendiri. Malah jadi urusan tas lagi. Sesal gua dalam hati.
Gua kembali berjongkok. Menatapnya dengan serius.
"Dengerin aku dulu. Kamu tau kenapa aku malah kasih tas itu buat dia ? Karena aku gak suka waktu kamu gak jujur lagi di deketin si brengs*k Rifki. Aku kesel sama kamu yang baru jujur setelah aku sendiri baca isi bbm dia ke kamu tengah malem itu!", jelas gua yang mulai tersulut emosi juga.
"Ya tapi kan bukan berarti kamu harus kasih barang yang seharusnya buat aku ke perempuan lain, Mas!", balasnya tak kalah emosi.
"Dan seharusnya kamu juga gak terima semua pemberian si brengs*k itu!", gua makin emosi aja karena harus mengingat lelaki brengs*k nan jahanam satu itu.
"Aku udah nolak ya! Tapi dia tetep aja maksa!".
"Terus kamu gak pernah cerita sama aku! Iya kan ? Hah ? Mau jawab apa kamu ?".
"Ya itu kan aku takut kamu marah, Mas. Karena aku tau kamu gimana orangnya kalo udah gak suka sama orang. Aku cuma gak mau kamu kelewatan. Lagian aku gak terima semua apa yang dia kasih kok..". Nada suaranya mulai terdengar sedikit ketakutan.
Gua berdiri. "Nyatanya sekarang jadi gini kan ? Liat semua yang dia lakuin sama rumah tangga kita. Terlebih kondisi kamu. Mikir gak kamu ? Kalo kamu dari awal cerita sama aku mungkin gak akan begini kondisi kamu sekarang!", ucap gua masih emosi.
"Yaudah-yaudah... Hiks.. Hiks... Jangan marah-marah sama aku.. Hiks.. Hiks... Aku.. Hiks.. Aku Minta maaf, Mas.. Hiks.. Hiks..".
Gua raih sisi wajahnya dengan kedua tangan ini lalu mengusap airmatanya dengan kedua ibu jari.
"Aku ma gak pernah jatuh hati sama Anna. Kalo aku mau, udah aku selingkuhin kamu dari pertama ketemu dia. Tapi aku gak ada perasaan apa-apa sama sekali ke dia. Aku begitu murni karena kesel sama kamu aja. Paham ?" ucap gua.
Nyonya hanya mengangguk dengan wajah yang sendu. Kembali gua berjongkok dihadapannya lagi. Kemudian gua ciumi keningnya beberapa kali.
"Sayang, aku minta maaf udah ngasih tas itu ke Anna. Tapi jujur sejujur-jujurnya. Itu cuma ungkapan kesel aku sama kamu. Gak lebih. Aku minta maaf, bener-bener minta maaf. Sekarang ada hal lain soal Giovanna yang harus kamu tau".
"Soal apa lagi ? Hiks..", tanyanya dengan sisa tangis yang sudah mereda. Lucu banget kalo liat dia begini.
"Dia minta tolong ke aku untuk bantuin dia...".
"Hah ?! Jangan bilang kalo kamu yang diminta tanggungjawab ya, Mas! Aku gak bakal kasih ijin! Aku gak akan ridho pokoknya dunia akherat!", potongnya berapi-api. Semangat lagi nih orang.
"Eebuseeetttt! Denger dulu atuh orang belom selesai ngomong juga! Parah kamu ma..", balas gua yang cukup kaget dengan reaksinya itu.
"Ya kirain...", jawabnya pelan dengan bibirnya yang manyun.
"Aku diminta tolong buat bantuin dia ngomong sama Kakaknya, si Ryo. Dia takut, gak berani ngomong sendiri katanya...", ucap gua menjelaskan.
"Gak! Pokoknya enggak!".
"Kenapa ?", tanya gua bingung.
"Pokoknya enggak ya enggak!".
"Ya kenapa enggak bolehnya tuh kenapa, Yang ? Jelasin dong ah..".
"Ya kamu mikir dong! Kamu apa cowoknya yang ngehamilin ? Masa harus kamu yang bantuin dia ngomong ? Dimana tanggungjawab cowoknya ? Aneh kamu tuh kayak gitu aja gak paham sih, Mas!".
"Ya kan cowoknya ketakutan, Yang. Kamu kayak gak tau aja keluarganya Anna sama Ryo kayak gimana.. Makanya Anna minta tolong aku cuma buat ngomong baik-baik gitu loch", jelas gua mencoba memberinya pengertian.
"Eh aku gak mau tau ya, Mas! Intinya bukan kamu kan yang ngehamilin dia ?".
Gua mengangguk dengan cepat.
"Yaudah! Suruh cowoknya aja ngomong ke keluarganya. Jadi cowok kok mau enaknya gak mau anaknya! Gak berani tanggungjawab. Aneh!".
"Tapi kan...".
"Gak ada tapi-tapi! Aku ngantuk mau tidur, ayo anterin ke kamar cepetan!", tandasnya.
Gua menghela nafas. Bakalan susah kalo udah gini ma. Kalo dari awalnya Nyonya memang gak suka sama Giovanna ya ginilah jadinya.
Akhirnya gua mendorong kursi rodanya memasuki rumah. Sampai di tangga gua gendong Nyonya didepan dan kembali berjalan menaiki tangga menuju kamar kami.
"Mmm.. Serius nih aku gak boleh bantuin Anna ?", tanya gua pelan dan berharap istri gua ini melunak sedikit.
Nyonya yang masih gua gendong itu hanya melirik gua dengan tatapannya yang membunuh. Gua menelan ludah dan memilih untuk buru-buru sampai di dalam kamar kami.
...
Keesokan harinya di pagi hari gua terbangun agak siang setelah sebelumnya shalat subuh bersama istri tercinta. Gua menguap sambil merentangkan kedua tangan diatas ranjang ketika mentari sudah terasa memanas memasuki kamar lewat jendela yang tirainya dibuka lebar.
"Hmm... Yang..", gua menengok ke kanan dimana istri gua sedang duduk diatas kursi rodanya dan dihadapan meja komputer.
Dia melirik dengan tersenyum manis. "Tumben baru bangun sih, Mas ?", tanyanya.
"Heu'euh, asaan tunduh pisan, awak laleuleus kiyeu..", jawab gua menggunakan bahasa sunda.
(Iya, perasaan ngantuk banget, badan pada lemes gini).
"Mau aku buatin sarapan apa, Mas ?".
"Hm ? Gak usah deh.. Aku kebawah aja bentar sekalian mau ambil rokok di gazebo", jawab gua seraya bangun dari tidur dan mengambil kaos karena semalam gua tidur tanpa mengenakan pakaian atas.
"Mas..".
"Ya ?", gua menengok kepadanya dan kaos yang mau gua kenakan pun masih gua genggam.
"Tatto kamu.. Kok luntur sih ?".
"Hah ?! Yang bener kamu!", ucap gua panik lalu berlari kearah cermin besar di dekat lemari.
Gua balikan tubuh membelakangi cermin dan menengokan kepala untuk melihat tatto yang penuh menutupi tubuh belakang gua ini.
"Hahaha... Hahaha... Beneran percaya dia.. Hahaha". gelak tawa Nyonya cukup membuat gua menahan kesal.
Kampret. Kirain beneran. Dikira temporer kali nih tatto. Umpat gua dalam hati.
Gua berjalan mendekatinya kemudian mencium keningnya. "Good morning, sayang", ucap gua.
"Udah siang juga tuh mataharinya liat deh.. Hihihihi...", balasnya seraya menunjuk kearah kaca kamar diujung sana.
"Apaan baru juga jam sepuluh, Yang", balas gua yang kini sudah mengenakan kaos dan berjalan kearah pintu kamar.
"Mas".
"Ya ?", gua berbalik lagi untuk menatapnya.
"Aku izinin kamu bantu Anna".
"Hah ? Beneran ? Serius ini ?", gua terkejut lalu berjalan kembali untuk mendekatinya.
"Iya. Tapi inget, cuma bantu ngomong dan gak lebih. Aku gak mau kamu cape-cape lindungin mereka berdua kalo sampe kejadian yang aneh-aneh", jawabnya.
"Okey! Siap laksanakan Nyonya ku tercinta. Muaachh..", gua kecup pipi kanannya dalam-dalam.
"Iih... Apaan tuh ? Maksudnya apa kok excited banget dikasih izin ? Hm ?", wajahnya berubah jadi sinis.
"Eh enggak, bukan gitu, hehehe.. Maksudnya kan kata kamu kalo mau bantu orang jangan setengah-setengah jadi ya karena kemaren udah liat segitu hopeless nya Anna, ya aku seneng akhirnya bisa bantu walaupun cuma dampingin ngomong ke Ryo gitu loch", jawab gua kikuk.
"Hm.. Awas aja kamu macem-macem, Mas".
"Enggaklah. Mana berani aku, Yang. Eh ngomong-ngomong tumben kamu buka komputer, lagi ngapain sih ?", tanya gua seraya menatap layar monitor yang ada di hadapannya itu.
Dia tersenyum. "Hehehe.. Kan udah janji semalem. Boleh kan ya, Mas ? Hehehe..", jawabnya seraya tertawa bahagia kali ini.
Mata gua terbelalak saat gua menatap layar tersebut dari jarak dekat. Gua sampai menelan ludah ketika melihat deretan angka dalam mata uang Euro itu.
"Ya.. Yang.. Kok banyak banget ? Kan.. Kan janjinya tas doang, Yang.. Kenapa.. Kenapa jadi ngeborong gini ?", tanya gua gugup dan mencoba menahan kepanikan.
Kedua tangannya terlipat di depan dada, wajahnya berubah bete sebete-betenya. "Yaudah cancel aja cancel!!! Cancel aja, Mas!", jawabnya ngambek.
"Eh eh jangan-jangan, iya boleh kok boleh, sok mangga pesen we pesen, Neng. Aa nu mayar, kaleum we..", ucap gua cepat daripada dia berubah pikiran lagi dan gua gagal membantu Giovanna.
Dalam hati ludes udah tabungan gua. Si Anna harus gantiin pokoknya!.
Saat itu kami berdua sedang mengunjungi Nenek. Dari siang hari kami berada disini. Setelah Nenek dan gua membereskan bekas makan kami bertiga, gua ajak istri gua ke kamar. Kamar yang menjadi tempat gua tumbuh semasa sekolah dulu.
"Yang, aku mau ngomong soal Mba Yu".
"Kenapa dengan Mba Gendis ?".
"Aku gak bisa basa-basi, maaf..", gua berdiri dan berjalan kearahanya yang masih duduk diatas kursi rodanya itu. "Aku minta maaf. Aku minta maaf gak cerita ke kamu dan baru kasih tau sekarang, aku udah ngomong sama Mamahnya kalo.. Kalo aku.. Aku.. Aku mau nikahin Gendis...", lanjut gua setelah berjongkok didepannya dengan menggenggam kedua tangannya itu.
Gua menundukan kepala tanpa berani sedikit pun menatap matanya. Gua benar-benar malu dan merasa bersalah telah mengkhianati hati istri gua ini.
"Mas, liat aku sini..".
Gua tetap menunduk dan hanya menggelengkan kepala.
"Hey, sini liat aku nya dulu dong...", ucapnya yang kali ini melepas genggaman tangan gua dan memegang dagu gua agar menatapnya.
Dia tersenyum.
"Kamu kenapa ngerasa bersalah gitu ?", tanyanya dengan tetap tersenyum.
"Aku.. Aku minta maaf udah khianatin kamu..", jawab gua pelan.
"Kamu gak khianatin aku, Mas. Kamu ngelakuin apa yang seharusnya kamu lakuin kok. Aku udah tau semuanya dari Mba Gendis. Dia udah cerita duluan ke aku dari kemaren-kemaren..".
"Hah ? Jadi kamu udah tau ? Terus kok kamu diem aja ? Gak nanya ke aku dari kemaren", gua benar-benar terkejut.
"Hmm.. Aku sengaja. Aku sengaja biar suami ku ini cerita sendiri kayak sekarang", jawabnya dengan tersenyum lebar.
"Ya ampun, Yang. Kamu serius ? Gak marah atau kecewa gitu ? Aku nih suami kamu loch, suami kamu yang mau nikah lagi. Dan kamu biasa aja ?".
"Kamu tuh.. Aku yang minta, aku yang nyuruh, dan aku juga yang mau suami ku ini nikahin perempuan bernama Gendis. Kenapa aku mesti marah, kecewa, dan ngerasa dikhianatin ? Kamu ngelakuin hal yang bener Mas dengan ngomong langsung ke Mamahnya. Aku seneng waktu Mba Gendis cerita kalo kamu udah jujur ke Mamahnya", jawab istri gua itu dengan wajah yang nampak bahagia.
"Yang. Aku minta maaf. Bener-bener minta maaf", ucap gua.
"Kamu gak perlu minta maaf. Tapi jujur aku kaget juga waktu Mba Gendis cerita ke aku pas kamu akhirnya mau terima dia terus minta izin ke Mamahnya. Aku kaget gak percaya akhirnya kamu mau dan langsung jujur ke Mamahnya. Hebat kamu gerak cepet, hihihihi...", tawa renyahnya terdengar memenuhi kamar ini.
Entah dia nyindir atau apa, perasaan gua rasanya seperti dihantam dengan kalimat terakhirnya itu. Gerak cepet katanya, iya gua sadar kemarin-kemarin nolak sampai bertengkar dengannya, sekarang malah tiba-tiba udah minta aja ke Mamahnya Mba Yu.
"Sayang. Kamu harus tau, saat ini cuma kamu satu-satunya wanita yang aku cintai. Aku udah bilang ke Mba Yu, butuh waktu entah sampai kapan cintanya itu terbalas. Aku cuma bisa bilang tolong tunggu dengan sabar", ucap gua serius.
"Aku yakin, nanti kamu bisa nerima dia di hati kamu, mencintai dia dengan tulus. Aku cuma mau ingetin kamu, seberat apapun nanti rumah tangga kita, kamu harus berusaha seadil mungkin ya, Mas. Insya Allah aku bantu kamu sayang", jawabnya seraya membelai wajah gua.
Kalau gini caranya, semakin sulit rasanya gua bisa mencintai Mba Yu. Gimana gua bisa berpaling dari Nyonya kalau sikapnya seperti ini. Ketulusannya, keikhlasannya, rasa sayang dan rasa cintanya itu hanya demi gua seorang. Demi suaminya bahagia. Lantas gua kembali membandingkan. Kalau dia rela berkorban sampai sejauh ini, apa yang dia dapat ? Dia beri gua kebahagiaan dengan memberi gua izin untuk menikah lagi, sedangkan dia mendapatkan apa ?. Lagi-lagi saat itu jawabannya membuat gua merinding. 'Aku ikhlas karena Allah Subhanahu wa Ta'ala, Mas. Aku ingin masuk surga tanpa dihisab. Insya Allah'.
*Kalo ada yang bingung silahkan cari referensi jawaban sendiri. Apa korelasi antara mengizinkan suami menikah lagi dengan masuk surga tanpa dihisab dalam islam. Gua lagi males ngejelasinnya.
Semenjak istri gua mengetahui kalau suaminya ini sekarang setuju dengan apa yang ia inginkan, hubungan kami kembali membaik. Tidak lagi ada perdebatan seperti sebelumnya. Sekarang kami berdua lebih banyak belajar untuk mempersiapkan mental dan sikap bagaimana semestinya membangun rumah tangga yang baik dalam berpoligami. Beberapa kali dia mengundang Ustadz maupun Ustadzah untuk meminta masukan soal poligami itu sendiri. Gua yang awalnya ragu dan kadang ingin membatalkan hal ini pun akhirnya sedikit demi sedikit yakin setelah di dukung oleh keluarga dan juga ceramah dari Ustadz yang ia undang itu.
Waktu berlalu sampai akhirnya masalah lain datang...
...
...
...
"Halo dede Nabil, sini gendong yu ama Tante..".
Gua baru saja pulang ketika melihat Mba Yu sedang menggendong Nabil. Ada Nyonya dan Mba Intan juga di ruang tamu ini. Setelah mengucapkan salam gua duduk di sofa dekat Nyonya yang masih duduk diatas kursi rodanya.
"Malem banget pulangnya, Mas. Banyak pengunjung ya ?", tanya istri gua sambil tersenyum.
Pikiran gua masih terpaut dengan obrolan bersama seorang gadis muda setengah jam lalu. Hingga membuat gua tidak fokus dengan pertanyaannya.
"Mas.. Mas..", panggilnya. "Mas ? Kok diem aja ?", tangannya mengusap lengan kiri gua kali ini. "Kenapa ngelamun ? Ada apa ?", lanjutnya dengan wajah yang khawatir.
"Eh ? Mmm.. Ehm.. Gak apa-apa kok sayang. Aku ke kamar dulu ya", jawab gua seraya bangun dan berjalan meninggalkan mereka.
Gua sempat melihat Mba Yu dan Mba Intan yang ikut keheranan dengan tingkah gua yang tidak seperti biasanya. Tapi pikiran gua masih terus terngiang masalah yang sedang dihadapi seorang gadis muda.
Setelah beres mandi di lantai atas, gua mengambil wudhu lalu melaksanakan shalat isya di dalam kamar. Baru setelah itu pikiran gua kembali tenang. Gua kembali turun ke ruang tamu dimana disana masih ada istri tercinta gua, Mba Yu serta Mba Intan yang kini sedang menyusui Nabil.
"Mas ?", ucap istri gua ketika gua berdiri didekatnya.
"Hm ? Oh aku gak apa-apa. Abis shalat tadi", jawab gua dengan tersenyum.
"Kamu ada masalah ?", tanya Mba Yu kali ini.
"Mmm.. Gak kok, gak ada apa-apa. Tenang aja. Eh ngomong-ngomong kalian udah pada makan ?", jawab gua sekalian mengalihkan pembicaraan.
"Kamu beneran aneh deh. Tadi kan Ve nelpon kamu bilang kami lagi pada makan. Kamu kenapa sih ?", ucap Mba Yu yang semakin keheranan.
Ah iya gua lupa tadi saat gua masih bertemu dengan gadis muda sebelumnya, istri gua sudah mengabari kalo mereka bertiga sedang makan di rumah.
Gua hanya tersenyum sampai akhirnya istri gua meraih tangan kanan ini.
"Mas.. Istirahat aja. Kayaknya kamu cape banget", ucap Nyonya dengan tersenyum lembut. "Mba Gendis. Maaf ya, kayaknya suami ku gak bisa nganter kamu pulang dulu, Mba", lanjut istri gua itu kepada Mba Yu.
"Oh.. Ii.. Iyaa.. Gak apa-apa kok, Ve. Aku bisa pulang sendiri kok... Mmm.. Kalo gitu aku pamit dulu ya..", jawab Mba Yu sedikit kikuk lalu mencium pipi kanan-kiri Nyonya untuk berpamitan.
"Mas, aku pulang ya", ucap Mba Yu seraya mengulurkan tangannya untuk mencium tangan gua.
"Iya, hati-hati dijalan ya, Mba. Maaf aku gak bisa anter kamu", balas gua yang kemudian ia cium punggung tangan kanan ini.
"Iya gak apa-apa, Mas", setelah itu Mba Yu mendekati Mba Intan untuk menyalaminya, kemudian mencium pipi Nabil sebelum akhirnya ia diantar oleh Mba Intan sampai ke depan rumah.
Setelah Mba Yu pulang dengan mengendarai mobilnya sendiri, gua dan istri pergi ke halaman belakang. Di dalam gazebo kami duduk bersebrangan. Gua teguk secangkir kopi hitam yang sebelumnya dibuatkan oleh Bibi.
"Maaf ya, Mas. Aku bukan ngusir Mba Gendis. Tapi aku tau kamu lagi ada masalah", ucap istri gua.
"Iya aku ngerti, kamu minta dia pulang secara halus karena pengen denger cerita ku kan ?", tanya gua.
Nyonya hanya mengangguk.
Istri gua memang hafal dan mengerti kondisi suaminya ini. Apa yang ia lakukan sebelumnya bukan karena ia tidak ingin Mba Yu ada disini. Tetapi lebih karena privasi diantara kami berdua, dan memang gua sendiri perlu waktu berduaan bersama wanita yang sedang mengenakan hijab berwarna biru laut tersebut.
"Aku mau cerita sama kamu, tapi kamu harus ngerti, apa yang aku ceritain ini gak ada hubungannya sama aku, Yang", ucap gua memulai obrolan.
"Aku akan dengerin kamu cerita sampe selesai, Mas", jawabnya lembut.
Gua sandarkan punggung pada bahu kursi kayu dalam gazebo. Lalu mulailah gua ceritakan apa yang sudah gua dengar dari seorang gadis muda belia bernama Giovanna.
Cukup lama gua menceritakan dari awal bagaimana kejadian saat gua menemui Giovanna sekitar empat bulan lalu, saat itu gua memang mengajaknya makan malam setelah kami pulang kerja, lalu gua pun curhat soal masalah gua dengan Nyonya yang sedang didekati oleh Rifki. Sampai akhirnya gua membiarkan Giovanna pergi bersama seorang lelaki yang ternyata baru gua ketahui lelaki tersebut adalah pacarnya.
"Ya intinya waktu itu aku cuma ajak dia makan malem berdua sambil cerita soal kamu yang lagi dideketin si brengs*k Rifki, gak lama abis makan dia dijemput sama cowok. Semenjak itu aku gak pernah lagi pergi berdua sama Anna, sampe akhirnya tadi dia pingin ketemu aku dan curhat kalo... Dia sekarang udah hamil", terang gua kepada Nyonya.
Kami berdua terdiam beberapa saat. Gua menunggunya bicara. Raut wajahnya dingin menatap gua. Lalu dia menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya dengan perlahan.
"Aku percaya bukan kamu yang hamilin dia. Tapi yang jadi pertanyaan ku kenapa waktu itu kamu harus milih dia sebagai temen curhat ? Kamu ceritain soal rumah tangga kita ke anak yang belom tau apa-apa, Mas", mulai emosi lah Nyonya dari nada bicaranya. "Udah gitu pake acara ngasih tas segala lagi! Harusnya itu tas buat aku kan ?!", marah sudah istri gua ini.
Gua pingin ketawa tapi gak berani. Akhirnya sambil menahan tawa gua dekati dirinya yang masih duduk diatas kursi rodanya itu dengan berjongkok di hadapannya.
"Jadi soal tas aja nih ?", goda gua dengan tersenyum lebar.
Nyonya memalingkan wajahnya kearah lain dengan wajah yang menahan kesal.
"Okey kalo soal itu ma gampang. Besok.. Besok nih ya.. Kamu pilih terserah mau tas model gimana, harganya semahal apapun aku beliin. Sebagai tanda minta maaf udah ngasih Anna tas yang seharusnya aku kasih ke kamu waktu itu", lanjut gua dengan memegang kedua tangannya.
"Enggak mau!", jawabnya emosi tanpa memalingkan wajah kepada gua.
Gua kembali menahan tawa karena bibirnya yang manyun itu. Kesel banget nih Bini gua.
"Okey kalo gitu aku beliin yang sama karena emang tas itu harusnya buat kamu. Aku minta maaf ya Sayang..", ucap gua lagi terus membujuknya.
"Percuma! Kalo kamu beliin yang sama jadi samaan dong! Ogah banget ya aku samaan ama dia! Iih apa kali, enggak deh pokoknya!".
Wadaw cembokur parah ini sih...

Gua menggaruk kepala bagian belakang yang sebenarnya gak gatal sama sekali.
"Hhmmm.. Disuruh milih sendiri gak mau. Mau dibeliin yang sama juga gak mau. Hmmm... Yaudah kalo gak mau gak apa-apa. Aku jadi bisa savetabungan ku kalo gitu", goda gua.
Sedetik kemudian wajahnya langsung menatap gua dengan mata yang melotot.
"Terus aja terus! Kasih aja buat dia! Aku ma gak usah! Gak apa-apa!", sungutnya kesal.
Nyonya langsung memundurkan kursi rodanya sendiri hendak pergi dari gazebo ini. Gua buru-buru menahannya.
"Wey.. Wey.. Weyy.. Wey.. Sabar-sabar. Sorry deh sorry.. Aku cuma becanda, Sayang.. Hehehe", tahan gua yang kini berdiri di hadapannya.
"Becanda kamu gak lucu! Kamu kasih barang ke perempuan lain yang harusnya itu buat istri kamu sendiri! Pikir deh sama kamu! Udah Minggir! Aku mau ke kamar!", balasnya yang sudah benar-benar marah.
Sialan. Ngapain juga nih mulut harus cerita soal tas sih! Niatnya kan cuma mau cerita soal Giovanna yang lagi hamil anak dari pacarnya sendiri. Malah jadi urusan tas lagi. Sesal gua dalam hati.
Gua kembali berjongkok. Menatapnya dengan serius.
"Dengerin aku dulu. Kamu tau kenapa aku malah kasih tas itu buat dia ? Karena aku gak suka waktu kamu gak jujur lagi di deketin si brengs*k Rifki. Aku kesel sama kamu yang baru jujur setelah aku sendiri baca isi bbm dia ke kamu tengah malem itu!", jelas gua yang mulai tersulut emosi juga.
"Ya tapi kan bukan berarti kamu harus kasih barang yang seharusnya buat aku ke perempuan lain, Mas!", balasnya tak kalah emosi.
"Dan seharusnya kamu juga gak terima semua pemberian si brengs*k itu!", gua makin emosi aja karena harus mengingat lelaki brengs*k nan jahanam satu itu.
"Aku udah nolak ya! Tapi dia tetep aja maksa!".
"Terus kamu gak pernah cerita sama aku! Iya kan ? Hah ? Mau jawab apa kamu ?".
"Ya itu kan aku takut kamu marah, Mas. Karena aku tau kamu gimana orangnya kalo udah gak suka sama orang. Aku cuma gak mau kamu kelewatan. Lagian aku gak terima semua apa yang dia kasih kok..". Nada suaranya mulai terdengar sedikit ketakutan.
Gua berdiri. "Nyatanya sekarang jadi gini kan ? Liat semua yang dia lakuin sama rumah tangga kita. Terlebih kondisi kamu. Mikir gak kamu ? Kalo kamu dari awal cerita sama aku mungkin gak akan begini kondisi kamu sekarang!", ucap gua masih emosi.
"Yaudah-yaudah... Hiks.. Hiks... Jangan marah-marah sama aku.. Hiks.. Hiks... Aku.. Hiks.. Aku Minta maaf, Mas.. Hiks.. Hiks..".
Gua raih sisi wajahnya dengan kedua tangan ini lalu mengusap airmatanya dengan kedua ibu jari.
"Aku ma gak pernah jatuh hati sama Anna. Kalo aku mau, udah aku selingkuhin kamu dari pertama ketemu dia. Tapi aku gak ada perasaan apa-apa sama sekali ke dia. Aku begitu murni karena kesel sama kamu aja. Paham ?" ucap gua.
Nyonya hanya mengangguk dengan wajah yang sendu. Kembali gua berjongkok dihadapannya lagi. Kemudian gua ciumi keningnya beberapa kali.
"Sayang, aku minta maaf udah ngasih tas itu ke Anna. Tapi jujur sejujur-jujurnya. Itu cuma ungkapan kesel aku sama kamu. Gak lebih. Aku minta maaf, bener-bener minta maaf. Sekarang ada hal lain soal Giovanna yang harus kamu tau".
"Soal apa lagi ? Hiks..", tanyanya dengan sisa tangis yang sudah mereda. Lucu banget kalo liat dia begini.
"Dia minta tolong ke aku untuk bantuin dia...".
"Hah ?! Jangan bilang kalo kamu yang diminta tanggungjawab ya, Mas! Aku gak bakal kasih ijin! Aku gak akan ridho pokoknya dunia akherat!", potongnya berapi-api. Semangat lagi nih orang.
"Eebuseeetttt! Denger dulu atuh orang belom selesai ngomong juga! Parah kamu ma..", balas gua yang cukup kaget dengan reaksinya itu.
"Ya kirain...", jawabnya pelan dengan bibirnya yang manyun.
"Aku diminta tolong buat bantuin dia ngomong sama Kakaknya, si Ryo. Dia takut, gak berani ngomong sendiri katanya...", ucap gua menjelaskan.
"Gak! Pokoknya enggak!".
"Kenapa ?", tanya gua bingung.
"Pokoknya enggak ya enggak!".
"Ya kenapa enggak bolehnya tuh kenapa, Yang ? Jelasin dong ah..".
"Ya kamu mikir dong! Kamu apa cowoknya yang ngehamilin ? Masa harus kamu yang bantuin dia ngomong ? Dimana tanggungjawab cowoknya ? Aneh kamu tuh kayak gitu aja gak paham sih, Mas!".
"Ya kan cowoknya ketakutan, Yang. Kamu kayak gak tau aja keluarganya Anna sama Ryo kayak gimana.. Makanya Anna minta tolong aku cuma buat ngomong baik-baik gitu loch", jelas gua mencoba memberinya pengertian.
"Eh aku gak mau tau ya, Mas! Intinya bukan kamu kan yang ngehamilin dia ?".
Gua mengangguk dengan cepat.
"Yaudah! Suruh cowoknya aja ngomong ke keluarganya. Jadi cowok kok mau enaknya gak mau anaknya! Gak berani tanggungjawab. Aneh!".
"Tapi kan...".
"Gak ada tapi-tapi! Aku ngantuk mau tidur, ayo anterin ke kamar cepetan!", tandasnya.
Gua menghela nafas. Bakalan susah kalo udah gini ma. Kalo dari awalnya Nyonya memang gak suka sama Giovanna ya ginilah jadinya.
Akhirnya gua mendorong kursi rodanya memasuki rumah. Sampai di tangga gua gendong Nyonya didepan dan kembali berjalan menaiki tangga menuju kamar kami.
"Mmm.. Serius nih aku gak boleh bantuin Anna ?", tanya gua pelan dan berharap istri gua ini melunak sedikit.
Nyonya yang masih gua gendong itu hanya melirik gua dengan tatapannya yang membunuh. Gua menelan ludah dan memilih untuk buru-buru sampai di dalam kamar kami.
...
Keesokan harinya di pagi hari gua terbangun agak siang setelah sebelumnya shalat subuh bersama istri tercinta. Gua menguap sambil merentangkan kedua tangan diatas ranjang ketika mentari sudah terasa memanas memasuki kamar lewat jendela yang tirainya dibuka lebar.
"Hmm... Yang..", gua menengok ke kanan dimana istri gua sedang duduk diatas kursi rodanya dan dihadapan meja komputer.
Dia melirik dengan tersenyum manis. "Tumben baru bangun sih, Mas ?", tanyanya.
"Heu'euh, asaan tunduh pisan, awak laleuleus kiyeu..", jawab gua menggunakan bahasa sunda.
(Iya, perasaan ngantuk banget, badan pada lemes gini).
"Mau aku buatin sarapan apa, Mas ?".
"Hm ? Gak usah deh.. Aku kebawah aja bentar sekalian mau ambil rokok di gazebo", jawab gua seraya bangun dari tidur dan mengambil kaos karena semalam gua tidur tanpa mengenakan pakaian atas.
"Mas..".
"Ya ?", gua menengok kepadanya dan kaos yang mau gua kenakan pun masih gua genggam.
"Tatto kamu.. Kok luntur sih ?".
"Hah ?! Yang bener kamu!", ucap gua panik lalu berlari kearah cermin besar di dekat lemari.
Gua balikan tubuh membelakangi cermin dan menengokan kepala untuk melihat tatto yang penuh menutupi tubuh belakang gua ini.
"Hahaha... Hahaha... Beneran percaya dia.. Hahaha". gelak tawa Nyonya cukup membuat gua menahan kesal.
Kampret. Kirain beneran. Dikira temporer kali nih tatto. Umpat gua dalam hati.
Gua berjalan mendekatinya kemudian mencium keningnya. "Good morning, sayang", ucap gua.
"Udah siang juga tuh mataharinya liat deh.. Hihihihi...", balasnya seraya menunjuk kearah kaca kamar diujung sana.
"Apaan baru juga jam sepuluh, Yang", balas gua yang kini sudah mengenakan kaos dan berjalan kearah pintu kamar.
"Mas".
"Ya ?", gua berbalik lagi untuk menatapnya.
"Aku izinin kamu bantu Anna".
"Hah ? Beneran ? Serius ini ?", gua terkejut lalu berjalan kembali untuk mendekatinya.
"Iya. Tapi inget, cuma bantu ngomong dan gak lebih. Aku gak mau kamu cape-cape lindungin mereka berdua kalo sampe kejadian yang aneh-aneh", jawabnya.
"Okey! Siap laksanakan Nyonya ku tercinta. Muaachh..", gua kecup pipi kanannya dalam-dalam.
"Iih... Apaan tuh ? Maksudnya apa kok excited banget dikasih izin ? Hm ?", wajahnya berubah jadi sinis.
"Eh enggak, bukan gitu, hehehe.. Maksudnya kan kata kamu kalo mau bantu orang jangan setengah-setengah jadi ya karena kemaren udah liat segitu hopeless nya Anna, ya aku seneng akhirnya bisa bantu walaupun cuma dampingin ngomong ke Ryo gitu loch", jawab gua kikuk.
"Hm.. Awas aja kamu macem-macem, Mas".
"Enggaklah. Mana berani aku, Yang. Eh ngomong-ngomong tumben kamu buka komputer, lagi ngapain sih ?", tanya gua seraya menatap layar monitor yang ada di hadapannya itu.
Dia tersenyum. "Hehehe.. Kan udah janji semalem. Boleh kan ya, Mas ? Hehehe..", jawabnya seraya tertawa bahagia kali ini.
Mata gua terbelalak saat gua menatap layar tersebut dari jarak dekat. Gua sampai menelan ludah ketika melihat deretan angka dalam mata uang Euro itu.
"Ya.. Yang.. Kok banyak banget ? Kan.. Kan janjinya tas doang, Yang.. Kenapa.. Kenapa jadi ngeborong gini ?", tanya gua gugup dan mencoba menahan kepanikan.
Kedua tangannya terlipat di depan dada, wajahnya berubah bete sebete-betenya. "Yaudah cancel aja cancel!!! Cancel aja, Mas!", jawabnya ngambek.
"Eh eh jangan-jangan, iya boleh kok boleh, sok mangga pesen we pesen, Neng. Aa nu mayar, kaleum we..", ucap gua cepat daripada dia berubah pikiran lagi dan gua gagal membantu Giovanna.
Dalam hati ludes udah tabungan gua. Si Anna harus gantiin pokoknya!.
Diubah oleh glitch.7 04-11-2018 23:44
kifif dan 22 lainnya memberi reputasi
23
Kutip
Balas

