- Beranda
- Stories from the Heart
Sonne Mond und Stern
...
TS
glitch.7
Sonne Mond und Stern
die SONNE der MOND und der STERN
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Tak Lagi Sama - Noah
Spoiler for Cover Stories:
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 95% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahdan lanjutan dari sebuah cerita Love in Elegy yang pernah Gua tulis di Forum ini.
Quote:
Catatan:
1. Mengacu pada aturan main forum H2H dan SFTH
2. 95% Semua tokoh/karakter di cerita ini sudah memberikan izin
3. Sikapi dengan bijak apa yang tertuang disini
4. Jangan meminta lebih dari apa yang sudah diberikan
5. Sopanlah dalam berkomentar
6. Saling menghargai TS, penulis dan sesama kaskuser disini
1. Mengacu pada aturan main forum H2H dan SFTH
2. 95% Semua tokoh/karakter di cerita ini sudah memberikan izin
3. Sikapi dengan bijak apa yang tertuang disini
4. Jangan meminta lebih dari apa yang sudah diberikan
5. Sopanlah dalam berkomentar
6. Saling menghargai TS, penulis dan sesama kaskuser disini
Versi PDF Dua Thread Sebelumnya :

*mulustrasi karakter dalam cerita ini
Quote:
BAB I & BAB II
BAB III & BAB IV
***
Tralala_Trilili
PROLOG
BAB V
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15- continues
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
***
SEBELUM CAHAYA
PART I
PART II
PART III - The Ghost of You
PART IV
PART V
PART VI
PART VII
PART VIII
Cooling Down
PART IX
PART X - continues
PART XI
PART XII
PART XIII
PART XIV
PART XV
PART XVI
PART XVII A
PART XVII B
PART XVIII
PART XIX - continues
PART XX
PART XXI
PART XXII
PART XXIII
PART XXIV
PART XXV
PART XXVI
PART XXVII
PART XXVIII
PART XXIX
PART XXX
PART XXXI
PART XXXII
PART XXXIII
PART XXXIV
PART XXXV
PART XXXVI - continues
PART XXXVII
PART XXXVIII
PART XXXIX
Vor dem Licht XL - Das Ende
***
BAB V
PART 21
PART 22
Tentang Rasa
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
Von Hier Wegfliegen
Teils Eins - Vorstellen
Teils Zwei - Anfang
Teils Drei - Der Erbarmer
Teils Vier - Von Hier Wegfliegen
Lembayung Senja
Bagian Satu
Bagian Dua
Bagian Tiga
Bagian Empat
Bagian Lima - continues
Bagian Enam
Bagian Tujuh
Bagian Delapan
Bagian Sembilan
Bagian Sepuluh - continues
Breaking Dawn
One Step Closer
Ascension
Throwback Stories
Life is Not Always Fair
Dusk till Dawn
Awal Semula
Untuk Masa Depan
Terimakasih
Omong Kosong
Kepingan Cerita
Menyerah
Restoe
Rasanya - Rasain
Pengorbanan
Menuju Senja
Kenyataan
Wiedersehen
Cobalah untuk Mengerti
Pengorbanan
Tentang Kita
SIDE STORY
VFA
Daily Life I
Daily Life II
Maaf NEWS
Tentang MyPI
*thanks to my brother in law yang bantu index dan update selama gua mudik
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 239 suara
Siapakah pendamping Eza sebenarnya ?
Sherlin Putri Levanya
55%
Franziska Luna Katrina
17%
Giovanna Almira
28%
Diubah oleh glitch.7 08-01-2022 09:16
chamelemon dan 125 lainnya memberi reputasi
122
1.9M
Kutip
8.8K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
glitch.7
#7935
Throwback Stories
Terimakasih
Quote:
"Besok aku mau pergi sama Mamah. Kamu anter Mba Gendis ya, Mas".
"Loch ? Emang kamu mau kemana ? Terus kenapa jadi aku yang anterin Mba Yu ?".
"Aku ada perlu sama Mamah. Nanti aku kasih tau kamu kok kalo urusannya udah beres", jawabnya seraya tersenyum manis. "Kalo soal Mba Gendis karena adeknya gak bisa izin kerja katanya. Aku sendiri kan mau pergi sama Mamah, udah janji. Makanya aku mau kamu yang tolong anterin dia", lanjut istri gua itu.
Gua sebenarnya malas untuk pergi mengantar Mba Yu. Apalagi ini sebenernya soal urusan Rekti dan Desi. Malah kedua calon pengantin itu yang gak bisa izin kerja, minta tolong Mba Yu dan akhirnya gua juga yang kena. Belum sempat gua menolak lagi, istri gua sudah kembali merayu suaminya ini.
"Please..Kasian sama dia, Desi dan sahabat kamu Rekti itu. Bantuin sahabat sendiri masa gak mau sih, Mas ? Ya ya ya ?", ucapnya lagi merayu gua.
"Duuh.. Males aku. Mending aku ikut sama kamu dan Mamah deh. Emang mau kemana sih ? Pake rahasia-rahasian segala gitu..", jawab gua yang masih heran dengan dirinya.
"Iih ada deh pokoknya. Pasti aku kasih tau kalo udah selesai. Aku janji kok", wajahnya berubah lucu seperti anak-anak. "Yang penting besok kamu anterin Mba Gendis ya. Kasian masa dia sendirian sih. Ya, Mas ya ?".
"Hmmm.. Ck... Gak janji ah. Liat besok aja ya", jawab gua malas.
"Uuuh.. Gitu aja bete.. Senyum dong. Hihihi".
...
Keesokan harinya seperti yang sudah direncanakan. Pagi-pagi sekali istri gua sudah dijemput oleh Mamahnya. Sedangkan gua terpaksa harus menahan rasa penasaran soal tujuan dan keperluan apa yang ingin dilakukan oleh istri gua itu.
Menjelang siang hari gua sedang duduk bersama Ibu di ruang tamu.
"Eh katanya kamu hari ini mau anter Gendis ya ?", tanya Ibu menghentikan jemarinya yang sedang mengetik pada blackberry miliknya.
Gua memasang wajah datar lalu menatap matanya dengan malas. "Hmm..", jawab gua dingin.
Ibu mengerenyitkan keninganya lalu menaruh blackberry diatas meja yang berada diantara kami.
"Kok gitu ? Kenapa kamu ?", tanyanya keheranan.
"Ck.. Aku males aja, pengen dirumah gak mau kemana-mana, Bu".
"Yeee nih anak. Dimintain tolong juga ah. Istri kamu juga kalo gak ada keperluan pasti mau anterin Gendis. Ya kamu tolongin juga gak ada salahnya kan ? Cuma anterin doang ini, Gha".
"Ah kenapa juga gak Ibu aja yang anterin Mba Yu ?", tanya gua balik.
Ibu menarik nafasnya. "Ibu sama Bapak itu mau ke Jakarta, mau anter Risya liat kampusnya. Ini lagi nunggu Bapak pulang, gimana sih kamu".
Ah iya, Adik gua itu sebentar lagi bakal kuliah. Gua menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali. Kemudian menegakkan posisi duduk. "Ya aku cuma lagi males aja keluar-keluar, Bu".
"Gak boleh gitu ah.. Eh.. Tuh pager dibuka, kayaknya itu Gendis deh, Gha..".
Tidak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat.
Setelah beres mengantarnya seharian dan berkunjung ke rumah Nenek, akhirnya gua diantar pulang oleh Mba Yu. Sampai di rumah Mba Yu sempat bertemu dengan istri gua dan tidak lama ia pamit pulang.
Gua sudah bersih-bersih dan duduk diatas ranjang bersama istri tercinta di dalam kamar. Sambil menonton televisi dengan acara yang tidak penting itu gua menceritakan apa saja yang gua lakukan bersama Mba Yu seharian ini kepadanya.
"Terus abis dari sanggar kita berdua makan. Dari situ ke rumah Nenek dulu, katanya dia udah lama gak ketemu Nenek", ucap gua menceritakan.
"Makan dimana ?", tanya istri gua lembut.
"Itu resto jepang favoritnya Almarhumah, pesennya juga sok-sok'an menu tempura pula, abis ma kagak. Ujungnya aku juga yang abisin, heudeuh".
Istri gua terkekeh pelan. "Terus-terus.. Di rumah Nenek ada siapa aja ?", tanyanya lagi.
"Ya gak ada siapa-siapa selain Nenek. Cuma ngobrol-ngobrol bentar aja abis itu pulang deh. Ooh.. Sempet shalat maghrib disana", jawab gua lagi.
"Eh iya, kasian loch Nenek tinggal sendiri gitu, Mas. Ajakin tinggal sini lagi yu".
"Ya kamu tau sendiri, dia gak mau. Susah banget dibujuknya".
"Hmmm.. Iya sih. Yaudah sering-sering mampir kesana kalo gitu. Toh deket ini kan dari sini".
Gua mengangguk sambil tersenyum mendengar amanatnya itu.
"Mm.. Tadi kamu bilang sempet shalat disana. Kalian shalat berdua ?", tanyanya lagi.
Gua agak kikuk mendengar pertanyaannya kali ini. "Ii.. Iya gitu. Abis Nenek yang suruh juga", jawab gua sambil menggaruk pipi kiri.
"Kamu jadi imamnya dia dong ?", lebar banget senyumannya. Seperti menggoda.
"Yaiyalah, masa dia yang jadi imam sih, sayang ? Ada-ada aja kamu tuh", gua masih saja kikuk dan sedikit jengah dengan pertanyaan yang sepele itu.
"Ciiieee... Jadi imam.. Ciiee..", kali ini dia benar-benar menggoda suaminya.
"Ck, apa sih ah.. Eh itu filmnya gantilah, gak jelas gitu, acara apaan itu".
"Yaudah ganti aja, kan remotenya disamping kamu, Mas".
"Oh iya, hehehe..", gua ambil remote yang berada disamping lalu memindahkan channel televisi.
"Cieee yang jadi imam.. Ciieeeee... Hihihi..".
"Apaan sih ? Udah atuh gak usah dibahas lagi. Kayak gak pernah di imamin aja kamu".
"Oh tentu pernah, sama suami tercinta ku ini", ucapnya seraya mencolek dagu gua dengan senyum yang meledek. "Eh tapi suami ku hari ini jadi imam mantannya loch, Mas", godanya lagi.
Gua melirik kearahnya dengan mengerutkan kening lalu tersenyum lebar. "Nah! Cemburu yaaaa ? Hahahaha...", tembak gua.
"Hahahaha.. Ya enggklah. Kamu tau kalo aku cemburu kayak gimana kan ? Jadi balik lagi pertanyaannya, aku cemburu apa enggak menurut kamu ? Hehehe".
"Dih, aneh kamu tuh. Lagian biasa aja kali, cuma soal shalat wajib dan aku jadi imam. Kok kamu malah heboh banget".
"Enggak apa-apa siih. Cuma kok muka kamu merah gitu ? Pake acara salting lagi, hahahaha....".
"Ck.. Apa sih kamu tuh ? Udahlah gak usah dibahas terus", gua makin jengah diledek seperti itu.
"Hahaha.. Makmumnya nambah nih ya Mas Agha, cieee... Hahahaha..".
"Astagfirullah nih orang bener-bener ya.. Awas kamu ya...", gua sergap tubuhnya lalu mendusel keperutnya.
"Aaaaaa... Hahahaha... Ampun-ampun hahaha.. Cieee.. Jadi imam Mba Yu terseksi... Hahahaha... Aduh aduh.. Hahaha..".
"Rese kamu. Ledekin mulu", ucap gua yang masih mendusel dan mulai menggelitik sisi perutnya.
"Besok-besok lagi gak, Mas ?", tanyanya setelah kami rebahan.
"Apanya yang lagi ?".
"Jadi imam Mba Gendis, hahahahahaha".
Hilih masih aja nih anak ya! Umpat gua dalam hati.
Waktu rasanya cepat berlalu, tapi gua masih belum mau untuk kembali ke restoran. Gua masih ingin melalui hari-hari yang mulai membaik bersama istri tercinta. Ada satu kegiatan rahasia kata istri gua itu yang sedang ia kerjakan bersama Mamah dan Papah tirinya. Gua tanya ke Ibu pun Beliau bilang tidak tahu, entah sudah sekongkol untuk merahasiakannya kepada gua atau tidak, yang jelas katanya hal tersebut adalah sesuatu yang sangat baik.
Gua sempat berfikir sepertinya kegiatan tersebut adalah terapi untuk kesembuhan istri gua. Ya gua hanya menerka-nerka. Dan semoga saja benar seperti itu.
Seiring berjalannya waktu pun Mba Yu masih sering menyempatkan dirinya main kerumah, sekedar menemani istri gua atau mengajaknya pergi keluar. Gua tidak memikirkan hal yang aneh dari kedekatan mereka berdua.
Sampai hari ini tiba ketika Saudari tiri gua itu datang berkunjung dan menyadarkan gua.
Selesai mengaji, Ibu istirahat dikamarnya. Begitupun dengan gua dan Nona Ukhti. Saat itu kami hendak tidur. Tapi gua teringat akan ucapan Kak Nindi tadi siang. Dan pertanyaan serta pikiran yang mengganjal itu rasanya ingin gua bahas sekarang juga.
"Aku pingin nanya sama kamu, ini cukup serius menurut ku", ucap gua serius tanpa basa-basi.
"Hm ? Ada apa sih ? Serius banget kayaknya, jangan buat aku takut gitu ah".
Gua kembali mengingat ucapan Kakak tiri gua tadi siang. "Kamu. Apa yang sebenernya lagi kamu rencanain selama ini ?", tanya gua dingin.
"Oh soal ituuu. Serius banget mukanya. Kan aku udah bilang belum waktunya kamu tau, lagian belom selesai kok ker..".
Gua memotong ucapannya. "Enggak. Aku tau kamu ngerencanain sesuatu. Dan tadi Kak Nindi sempet nanya soal hubungan aku sama Mba Yu. Itu aneh banget menurut ku. Kamu tau dia bilang apa ? Dia gak setuju, dan aku berpikiran hal yang sama", ucap gua.
Istri gua terkejut, dia membenarkan posisi duduknya agar menghadap kearah gua. Lalu mengerenyitkan keningnya.
"Emang Kak Nindi ngomong apa ? Kok malah ngomongin soal Mba Gendis ?", tanyanya balik.
"Ck. Udahlah gak usah pura-pura. Dia bilang kamu yang cerita kalo aku lagi deket sama Mba Yu. Dan...", gua menahan ucapan.
"Dan apa ?", tanyanya penasaran.
Gua ragu sebenernya. Tapi setelah gua ingat-ingat lagi apa yang sudah gua lihat selama ini mungkin saja pikiran gua dan Kakak tiri gua itu ada benarnya.
"Dan dia bilang hubungan ini gak akan baik", jawab gua pelan.
Istri gua beringsut mendekati gua, lalu memegang kedua sisi wajah gua dengan kedua telapak tangannya yang lembut itu agar wajah kami berhadapan.
"Liat sini, Mas", ucapnya tegas.
Gua melirik kearah matanya.
"Maksudnya apa ? Aku gak paham. Coba cerita yang jelas", pintanya serius.
Duh sial. Kenapa jadi gua yang deg-deg'an.
"Mmm.. Kamu.. Kamu gak... Kamu gak lagi ngejodoh-jodohin aku sama Mba Yu kan ?", jelas terdengar suara gua itu cukup terbata.
Istri gua terkejut, melepas kedua tangannya dari wajah gua lalu tertawa.
"Ahahahahaha... Hahahaha.. Aduuuhh.. Kamu.. Haha.. Kamu itu apaan sih, Mas ? Hahaha.. Ada-ada aja. Hahahaha..".
Gua heran dengan sikap dan reaksinya itu.
"Okey-okey. Kayaknya kamu sama Kak Nindi salah paham deh. Aku ngerti sekarang kenapa Kak Nindi khawatir dan ngomong kayak gitu ke kamu.. Ehm.. Hihihi.. Lucu deh kalian..", ucapnya setelah tawanya mereda.
"Lucu apanya sih ?", gerutu gua.
"Hehehe.. Gini loch. Okey tadi tuh waktu kamu shalat dzuhur di masjid, aku banyak cerita sama Kak Nindi sampe akhirnya aku cerita kalo Mba Gendis sering kesini nengokin aku. Terus entah gimana tau-tau kita berdua ngobrolin masa SMA, sampe inget kalo kamu sama Mba Gendis itu pernah pacaran kan. Nah mungkin nih gara-gara Kak Nindi inget itu dan aku welcomekamu deket sama Mba Gendis sekarang-sekarang, dia jadi mikir kayak begitu. Paham gak ? Hihihi...", jelasnya panjang lebar.
Gua menghela nafas. "Hmmm.. Tapi serius kamu gak ada rencana aneh-aneh kan soal Mba Yu sama aku ?", tanya gua masih ragu.
"Ehm.. Maksud kamu aku mau nyuruh kamu nikahin Mba Gendis gitu ?", tanyanya sambil tersenyum.
"Mmm.. Ya kayak gitulah..".
"Hahahaha.. Kamu ini pede banget siiihh! Hahaha... Lagian emang Mba Yu nya mau gitu sama kamu ? Hahahaha..".
Kok.. Gak enak ya omongannya. Saya merasa disepelekan loch Nona Ukhti... Sungut gua dalam hati.
"Ya bukan itu. Ah udahlah lupain. Yang jelas aku lega kamu gak ada pikiran kesana", jawab gua akhirnya.
Istri gua tersenyum tipis.
"Eh. Kalo gitu apa dong yang lagi kamu rencanain selama ini ? Terapi kaki kamu ?", tanya gua lagi mengingat kegiatan rahasia yang ia tutupi.
"Okey deh. Nanti aku ajak kamu ikut bareng Papah sama Mamah ya, Mas. Belom selesai sih, tapi gak apa-apa kamu tau duluan, yang jelas bukan soal terapi", jawabnya tersenyum lebar.
...
Suatu hari yang sudah ditentukan. Gua mengantar istri tercinta ke daerah Sentul. Gua pikir akan kerumah Mamahnya. Tapi ternyata bukan. Sesampainya di tempat tujuan ternyata sudah ada Mamah mertua dan Papah mertua gua yang datang lebih dulu. Sekedar mengingatkan, Papah mertua gua yang satu ini adalah Papah tirinya Nona Ukhti alias Papahnya Gimma. Sedangkan Papah kandungnya masih tinggal di Singapore bersama keluarga barunya.
Gua turun dari mobil dan membantu istri gua duduk diatas kursi rodanya, lalu berjalan sambil mendorongnya memasuki sebuah halaman rumah yang sedang mengalami renovasi. Setelah kami berdua menyalami kedua orangtua istri gua itu, gua pun mendengarkan penjelasan dari sang Mamah.
"Ini awalnya rumah biasa yang mau dijual, Gha. Dibeli sama istri kamu. Dan insya Allah setelah selesai di renovasi mau dibuka rumah yatim disini", ucap Beliau.
"Maaf aku gak cerita sama kamu, Mas. Niatnya mau buat surprise aja. Aku minta tolong ke Mamah sama Papah untuk cariin tempatnya. Alhamdulilah dapet disini", lanjut istri gua itu.
Gua mengusap-usap wajah, tidak percaya apa yang ia pernah katakan sebelumnya benar-benar menjadi kenyataan. Dan itulah awal dimana Nyonya memiliki rumah yatim atas nama pribadi. Memberikan tempat bernaung dan membantu anak-anak yatim yang kurang mampu agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik, terutama pendidikan mereka.
"Aku yakin Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memberikan kita semua kebahagiaan, memberikan kita rejeki yang pada akhirnya kita bagi untuk mereka kelak. Semoga Allah selalu menjaga rumah ini termasuk isinya", ucap istri gua seraya menatap bangunan yang masih di renovasi itu.
Gua tersenyum. Memegangi bahunya dan mengelusnya lembut.
"Aamiin. Dan aku yakin setiap perbuatan baik akan menuai hal yang baik pula. Itu janji Allah, sayang", timpal gua.
Kamu selalu saja membuat ku takjub dengan apa yang kamu lakukan, sayang.
Dan pada akhirnya, apa yang telah kami semua sudah ikhlaskan dan pasrahkan bisa kembali. Ketika kami semua sudah menerima kondisi Nyonya dan gua pun sudah menikahi Bunbun, bahkan Orenz saat itu sudah lahir.
Kamu...
Ya, kamu...
Bidadari yang menyukai warna biru pada hari itu menyambut ku dengan senyum terindah mu.
Di pintu rumah itu aku melihat kamu berdiriseraya menggendong Maurenza dalam pelukan mu.
Hari yang indah.
'Ini semua berkat do'a-do'a anak-anak (yatim) itu, Mas. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabulkannya'.
Terimakasih.
"Loch ? Emang kamu mau kemana ? Terus kenapa jadi aku yang anterin Mba Yu ?".
"Aku ada perlu sama Mamah. Nanti aku kasih tau kamu kok kalo urusannya udah beres", jawabnya seraya tersenyum manis. "Kalo soal Mba Gendis karena adeknya gak bisa izin kerja katanya. Aku sendiri kan mau pergi sama Mamah, udah janji. Makanya aku mau kamu yang tolong anterin dia", lanjut istri gua itu.
Gua sebenarnya malas untuk pergi mengantar Mba Yu. Apalagi ini sebenernya soal urusan Rekti dan Desi. Malah kedua calon pengantin itu yang gak bisa izin kerja, minta tolong Mba Yu dan akhirnya gua juga yang kena. Belum sempat gua menolak lagi, istri gua sudah kembali merayu suaminya ini.
"Please..Kasian sama dia, Desi dan sahabat kamu Rekti itu. Bantuin sahabat sendiri masa gak mau sih, Mas ? Ya ya ya ?", ucapnya lagi merayu gua.
"Duuh.. Males aku. Mending aku ikut sama kamu dan Mamah deh. Emang mau kemana sih ? Pake rahasia-rahasian segala gitu..", jawab gua yang masih heran dengan dirinya.
"Iih ada deh pokoknya. Pasti aku kasih tau kalo udah selesai. Aku janji kok", wajahnya berubah lucu seperti anak-anak. "Yang penting besok kamu anterin Mba Gendis ya. Kasian masa dia sendirian sih. Ya, Mas ya ?".
"Hmmm.. Ck... Gak janji ah. Liat besok aja ya", jawab gua malas.
"Uuuh.. Gitu aja bete.. Senyum dong. Hihihi".
...
Keesokan harinya seperti yang sudah direncanakan. Pagi-pagi sekali istri gua sudah dijemput oleh Mamahnya. Sedangkan gua terpaksa harus menahan rasa penasaran soal tujuan dan keperluan apa yang ingin dilakukan oleh istri gua itu.
Menjelang siang hari gua sedang duduk bersama Ibu di ruang tamu.
"Eh katanya kamu hari ini mau anter Gendis ya ?", tanya Ibu menghentikan jemarinya yang sedang mengetik pada blackberry miliknya.
Gua memasang wajah datar lalu menatap matanya dengan malas. "Hmm..", jawab gua dingin.
Ibu mengerenyitkan keninganya lalu menaruh blackberry diatas meja yang berada diantara kami.
"Kok gitu ? Kenapa kamu ?", tanyanya keheranan.
"Ck.. Aku males aja, pengen dirumah gak mau kemana-mana, Bu".
"Yeee nih anak. Dimintain tolong juga ah. Istri kamu juga kalo gak ada keperluan pasti mau anterin Gendis. Ya kamu tolongin juga gak ada salahnya kan ? Cuma anterin doang ini, Gha".
"Ah kenapa juga gak Ibu aja yang anterin Mba Yu ?", tanya gua balik.
Ibu menarik nafasnya. "Ibu sama Bapak itu mau ke Jakarta, mau anter Risya liat kampusnya. Ini lagi nunggu Bapak pulang, gimana sih kamu".
Ah iya, Adik gua itu sebentar lagi bakal kuliah. Gua menggaruk kepala yang tidak gatal sama sekali. Kemudian menegakkan posisi duduk. "Ya aku cuma lagi males aja keluar-keluar, Bu".
"Gak boleh gitu ah.. Eh.. Tuh pager dibuka, kayaknya itu Gendis deh, Gha..".
Tidak lama kemudian terdengar suara langkah kaki yang semakin mendekat.
Quote:
"Tuh datang...", ucap Ibu.
Gua hanya melirik sekilas kearah pintu rumah, lalu bangun dari sofa ruang tamu sebelum tamu itu sampai. Berniat untuk pergi ke kamar lantai atas.
"Assalamualaikum", sapa seorang wanita yang berdiri diambang pintu rumah.
"Walaikumsalam, masuk-masuk".
"Hey, ini udah datang, jangan gitu ah".
Gua menengok kebelakang, ke ruang tamu lagi.
"Apaan sih ? Orang mau istirahat", jawab gua sedikit ketus.
"Yaudah gapapa kalo dia mau istirahat...".
"Jangan gitu! Sini, Gha!", Ibu melotot.
Gua menghela nafas karena raut wajahnya benar-benar berubah kesal. "Okey-okey bentar aku ganti baju dulu".
"Sini duduk dulu...", ajak Ibu kepada wanita yang baru melangkah masuk.
"Biii... Tolong buatin minum yaa..", teriaknya lagi.
Beberapa menit kemudian gua kembali ke ruang tamu dengan pakaian casual yang sedikit rapih.
"Mau langsung berangkat sekarang ?", tanya gua.
"Yaudah hayu", jawabnya.
"Have a nice day ya. Hati-hati bawa mobilnya, jagain tuh. Awas loch".
"Hmm", jawab gua malas.
"Berangkat dulu ya, Mba".
"Okey, hati-hati ya", jawab Ibu tersenyum sumringah.
Gua hanya melirik sekilas kearah pintu rumah, lalu bangun dari sofa ruang tamu sebelum tamu itu sampai. Berniat untuk pergi ke kamar lantai atas.
"Assalamualaikum", sapa seorang wanita yang berdiri diambang pintu rumah.
"Walaikumsalam, masuk-masuk".
"Hey, ini udah datang, jangan gitu ah".
Gua menengok kebelakang, ke ruang tamu lagi.
"Apaan sih ? Orang mau istirahat", jawab gua sedikit ketus.
"Yaudah gapapa kalo dia mau istirahat...".
"Jangan gitu! Sini, Gha!", Ibu melotot.
Gua menghela nafas karena raut wajahnya benar-benar berubah kesal. "Okey-okey bentar aku ganti baju dulu".
"Sini duduk dulu...", ajak Ibu kepada wanita yang baru melangkah masuk.
"Biii... Tolong buatin minum yaa..", teriaknya lagi.
Beberapa menit kemudian gua kembali ke ruang tamu dengan pakaian casual yang sedikit rapih.
"Mau langsung berangkat sekarang ?", tanya gua.
"Yaudah hayu", jawabnya.
"Have a nice day ya. Hati-hati bawa mobilnya, jagain tuh. Awas loch".
"Hmm", jawab gua malas.
"Berangkat dulu ya, Mba".
"Okey, hati-hati ya", jawab Ibu tersenyum sumringah.
~ Bab Lembayung Senja Bagian Satu
Setelah beres mengantarnya seharian dan berkunjung ke rumah Nenek, akhirnya gua diantar pulang oleh Mba Yu. Sampai di rumah Mba Yu sempat bertemu dengan istri gua dan tidak lama ia pamit pulang.
Gua sudah bersih-bersih dan duduk diatas ranjang bersama istri tercinta di dalam kamar. Sambil menonton televisi dengan acara yang tidak penting itu gua menceritakan apa saja yang gua lakukan bersama Mba Yu seharian ini kepadanya.
"Terus abis dari sanggar kita berdua makan. Dari situ ke rumah Nenek dulu, katanya dia udah lama gak ketemu Nenek", ucap gua menceritakan.
"Makan dimana ?", tanya istri gua lembut.
"Itu resto jepang favoritnya Almarhumah, pesennya juga sok-sok'an menu tempura pula, abis ma kagak. Ujungnya aku juga yang abisin, heudeuh".
Istri gua terkekeh pelan. "Terus-terus.. Di rumah Nenek ada siapa aja ?", tanyanya lagi.
"Ya gak ada siapa-siapa selain Nenek. Cuma ngobrol-ngobrol bentar aja abis itu pulang deh. Ooh.. Sempet shalat maghrib disana", jawab gua lagi.
"Eh iya, kasian loch Nenek tinggal sendiri gitu, Mas. Ajakin tinggal sini lagi yu".
"Ya kamu tau sendiri, dia gak mau. Susah banget dibujuknya".
"Hmmm.. Iya sih. Yaudah sering-sering mampir kesana kalo gitu. Toh deket ini kan dari sini".
Gua mengangguk sambil tersenyum mendengar amanatnya itu.
"Mm.. Tadi kamu bilang sempet shalat disana. Kalian shalat berdua ?", tanyanya lagi.
Gua agak kikuk mendengar pertanyaannya kali ini. "Ii.. Iya gitu. Abis Nenek yang suruh juga", jawab gua sambil menggaruk pipi kiri.
"Kamu jadi imamnya dia dong ?", lebar banget senyumannya. Seperti menggoda.
"Yaiyalah, masa dia yang jadi imam sih, sayang ? Ada-ada aja kamu tuh", gua masih saja kikuk dan sedikit jengah dengan pertanyaan yang sepele itu.
"Ciiieee... Jadi imam.. Ciiee..", kali ini dia benar-benar menggoda suaminya.
"Ck, apa sih ah.. Eh itu filmnya gantilah, gak jelas gitu, acara apaan itu".
"Yaudah ganti aja, kan remotenya disamping kamu, Mas".
"Oh iya, hehehe..", gua ambil remote yang berada disamping lalu memindahkan channel televisi.
"Cieee yang jadi imam.. Ciieeeee... Hihihi..".
"Apaan sih ? Udah atuh gak usah dibahas lagi. Kayak gak pernah di imamin aja kamu".
"Oh tentu pernah, sama suami tercinta ku ini", ucapnya seraya mencolek dagu gua dengan senyum yang meledek. "Eh tapi suami ku hari ini jadi imam mantannya loch, Mas", godanya lagi.
Gua melirik kearahnya dengan mengerutkan kening lalu tersenyum lebar. "Nah! Cemburu yaaaa ? Hahahaha...", tembak gua.
"Hahahaha.. Ya enggklah. Kamu tau kalo aku cemburu kayak gimana kan ? Jadi balik lagi pertanyaannya, aku cemburu apa enggak menurut kamu ? Hehehe".
"Dih, aneh kamu tuh. Lagian biasa aja kali, cuma soal shalat wajib dan aku jadi imam. Kok kamu malah heboh banget".
"Enggak apa-apa siih. Cuma kok muka kamu merah gitu ? Pake acara salting lagi, hahahaha....".
"Ck.. Apa sih kamu tuh ? Udahlah gak usah dibahas terus", gua makin jengah diledek seperti itu.
"Hahaha.. Makmumnya nambah nih ya Mas Agha, cieee... Hahahaha..".
"Astagfirullah nih orang bener-bener ya.. Awas kamu ya...", gua sergap tubuhnya lalu mendusel keperutnya.
"Aaaaaa... Hahahaha... Ampun-ampun hahaha.. Cieee.. Jadi imam Mba Yu terseksi... Hahahaha... Aduh aduh.. Hahaha..".
"Rese kamu. Ledekin mulu", ucap gua yang masih mendusel dan mulai menggelitik sisi perutnya.
"Besok-besok lagi gak, Mas ?", tanyanya setelah kami rebahan.
"Apanya yang lagi ?".
"Jadi imam Mba Gendis, hahahahahaha".
Hilih masih aja nih anak ya! Umpat gua dalam hati.
°°°
Waktu rasanya cepat berlalu, tapi gua masih belum mau untuk kembali ke restoran. Gua masih ingin melalui hari-hari yang mulai membaik bersama istri tercinta. Ada satu kegiatan rahasia kata istri gua itu yang sedang ia kerjakan bersama Mamah dan Papah tirinya. Gua tanya ke Ibu pun Beliau bilang tidak tahu, entah sudah sekongkol untuk merahasiakannya kepada gua atau tidak, yang jelas katanya hal tersebut adalah sesuatu yang sangat baik.
Gua sempat berfikir sepertinya kegiatan tersebut adalah terapi untuk kesembuhan istri gua. Ya gua hanya menerka-nerka. Dan semoga saja benar seperti itu.
Seiring berjalannya waktu pun Mba Yu masih sering menyempatkan dirinya main kerumah, sekedar menemani istri gua atau mengajaknya pergi keluar. Gua tidak memikirkan hal yang aneh dari kedekatan mereka berdua.
Sampai hari ini tiba ketika Saudari tiri gua itu datang berkunjung dan menyadarkan gua.
Quote:
Kak Nindi pamit untuk pulang ke Jakarta lagi. Gua mengantarnya sampai ia memasuki mobilnya. Gua masih berdiri disamping pintu kemudi. Kak Nindi membuka kaca mobil dan melepas kacamata hitamnya untuk menatap gua.
"Kenapa ?", tanya gua.
"Aku turut prihatin, Gha. Maaf Kakak gak bisa bantu apa-apa soal kejadian yang nimpa keluarga kamu", ucapannya terdengar sedih.
Gua menghela nafas. "Udah. Emang harus kayak gini mungkin jalan hidupku, Kak. Aku emang masih belum terbiasa. Tapi aku berusaha untuk ikhlas".
"Gha... Kamu lagi deket sama Gendis ?", tanyanya dingin.
"Deket ? Deket gimana ? Biasa aja. Aku emang deket dari dulu sama dia kan", jawab gua bingung maksud pertanyaannya.
Kak Nindi menatap gua dengan serius. Kami terdiam beberapa saat sampai akhirnya dia menyalakan mesin mobil.
"Gha.. Jangan ya. Kakak mohon sama kamu. Gak akan bener, Gha", ucapnya tiba-tiba, lalu ia kenakan lagi kacamata hitamnya.
Gua hanya mengangguk mengiyakan permintaannya.
"Kamu ngertikan maksud, Kakak ?", tanyanya memastikan.
"Iya. Agha ngerti, Kak".
Kak Nindi tersenyum. "Kakak pulang, ya. Salam untuk Ibu Laras ya, Gha. Assalamualaikum", ucapnya sebelum kaca mobil menutup rapat.
"Iya, hati-hati, Kak. Walaikumsalam".
...
Setelah itu sampai menjelang sore hari gua bermain game didalam kamar. Tentu saja ditemani istri tercinta. Sebenarnya ada perasaan yang mengganjal. Ingin rasanya menanyakan hal yang gua dan Kak Nindi pikirkan sebelumnya kepada Nona Ukhti. Agar semuanya menjadi jelas. Tapi tidak lama berselang Mba Yu datang. Gua memilih menunda niatan membahas hal tersebut.
Setelah gua shalat maghrib berjama'ah di masjid dan makan malam bersama keluarga termasuk Mba Yu. Ibu dan istri gua meminta gua untuk mengantarkannya pulang. Entah kenapa rasanya permintaan istri gua sedikit memaksa. Padahal belum terlalu malam, baru setengah delapan. Tapi akhirnya gua menurut saja.
...
Malam hari setelah mengantar Mba Yu, gua berada di gazebo halaman belakang bersama istri tercinta dan Ibu. Hujan mulai turun rintik-rintik.
"Ini kopinya", ucap istri gua yang baru saja meletakan kopi diatas meja dalam gazebo ini.
"Eh iya, makasih", jawab gua.
"Asem ya gak ngerokok ?". Tanyanya sambil tersenyum.
Gua melirik lalu ikut tersenyum kecil. "Mudah-mudahan bisa bener-bener berenti ngerokok".
"Aamiin. Kan bagus tuh udah sebulan kamu gak ngerokok, Gha. Ibu seneng kamu udah mulai stop konsumsi hal-hal yang negatif gitu. Terus kebiasaan minum alkoholnya udah berenti juga ?", tanya Ibu yang memang ikut menemani kami berdua.
"Aku gak minum alkohol. Gak begitu suka aku minum kayak gitu".
"Kecuali wine". Sela istri gua seraya tersenyum.
"Hahahah..", kali ini gua tidak bisa menahan tawa. Sehapal itu ternyata dengan kebiasaan gua. "Ya gimana ya.. Wine itukan..", ucapan gua dipotong.
"Tetep gak boleh. Haram. Dari cuma sedikit harus di stop sebelum menjadi bukit dong", ucap Ibu.
Gua melirik kepada Ibu dan mengangguk. "Iya Bu iyaa.. Insya Allah aku stop".
"Pinter. Gitu dong. Oh iya udah jam sembilan tuh, mau mulai jam berapa ?", tanya Ibu lagi.
"Yaudah hayu sekarang aja. Aku masih ada wudhu", jawab gua.
Malam itupun sama seperti malam-malam sebelumnya. Gua mengaji bersama Ibu dan istri gua. Berniat Membaca Al-Qur'an sampai hatam yang memang tinggal sedikit lagi.
"Kenapa ?", tanya gua.
"Aku turut prihatin, Gha. Maaf Kakak gak bisa bantu apa-apa soal kejadian yang nimpa keluarga kamu", ucapannya terdengar sedih.
Gua menghela nafas. "Udah. Emang harus kayak gini mungkin jalan hidupku, Kak. Aku emang masih belum terbiasa. Tapi aku berusaha untuk ikhlas".
"Gha... Kamu lagi deket sama Gendis ?", tanyanya dingin.
"Deket ? Deket gimana ? Biasa aja. Aku emang deket dari dulu sama dia kan", jawab gua bingung maksud pertanyaannya.
Kak Nindi menatap gua dengan serius. Kami terdiam beberapa saat sampai akhirnya dia menyalakan mesin mobil.
"Gha.. Jangan ya. Kakak mohon sama kamu. Gak akan bener, Gha", ucapnya tiba-tiba, lalu ia kenakan lagi kacamata hitamnya.
Gua hanya mengangguk mengiyakan permintaannya.
"Kamu ngertikan maksud, Kakak ?", tanyanya memastikan.
"Iya. Agha ngerti, Kak".
Kak Nindi tersenyum. "Kakak pulang, ya. Salam untuk Ibu Laras ya, Gha. Assalamualaikum", ucapnya sebelum kaca mobil menutup rapat.
"Iya, hati-hati, Kak. Walaikumsalam".
~ Bab Lembayung Senja bagian dua
...
Setelah itu sampai menjelang sore hari gua bermain game didalam kamar. Tentu saja ditemani istri tercinta. Sebenarnya ada perasaan yang mengganjal. Ingin rasanya menanyakan hal yang gua dan Kak Nindi pikirkan sebelumnya kepada Nona Ukhti. Agar semuanya menjadi jelas. Tapi tidak lama berselang Mba Yu datang. Gua memilih menunda niatan membahas hal tersebut.
Setelah gua shalat maghrib berjama'ah di masjid dan makan malam bersama keluarga termasuk Mba Yu. Ibu dan istri gua meminta gua untuk mengantarkannya pulang. Entah kenapa rasanya permintaan istri gua sedikit memaksa. Padahal belum terlalu malam, baru setengah delapan. Tapi akhirnya gua menurut saja.
...
Malam hari setelah mengantar Mba Yu, gua berada di gazebo halaman belakang bersama istri tercinta dan Ibu. Hujan mulai turun rintik-rintik.
"Ini kopinya", ucap istri gua yang baru saja meletakan kopi diatas meja dalam gazebo ini.
"Eh iya, makasih", jawab gua.
"Asem ya gak ngerokok ?". Tanyanya sambil tersenyum.
Gua melirik lalu ikut tersenyum kecil. "Mudah-mudahan bisa bener-bener berenti ngerokok".
"Aamiin. Kan bagus tuh udah sebulan kamu gak ngerokok, Gha. Ibu seneng kamu udah mulai stop konsumsi hal-hal yang negatif gitu. Terus kebiasaan minum alkoholnya udah berenti juga ?", tanya Ibu yang memang ikut menemani kami berdua.
"Aku gak minum alkohol. Gak begitu suka aku minum kayak gitu".
"Kecuali wine". Sela istri gua seraya tersenyum.
"Hahahah..", kali ini gua tidak bisa menahan tawa. Sehapal itu ternyata dengan kebiasaan gua. "Ya gimana ya.. Wine itukan..", ucapan gua dipotong.
"Tetep gak boleh. Haram. Dari cuma sedikit harus di stop sebelum menjadi bukit dong", ucap Ibu.
Gua melirik kepada Ibu dan mengangguk. "Iya Bu iyaa.. Insya Allah aku stop".
"Pinter. Gitu dong. Oh iya udah jam sembilan tuh, mau mulai jam berapa ?", tanya Ibu lagi.
"Yaudah hayu sekarang aja. Aku masih ada wudhu", jawab gua.
Malam itupun sama seperti malam-malam sebelumnya. Gua mengaji bersama Ibu dan istri gua. Berniat Membaca Al-Qur'an sampai hatam yang memang tinggal sedikit lagi.
~ Bab Lembayung Senja bagian tiga
Selesai mengaji, Ibu istirahat dikamarnya. Begitupun dengan gua dan Nona Ukhti. Saat itu kami hendak tidur. Tapi gua teringat akan ucapan Kak Nindi tadi siang. Dan pertanyaan serta pikiran yang mengganjal itu rasanya ingin gua bahas sekarang juga.
"Aku pingin nanya sama kamu, ini cukup serius menurut ku", ucap gua serius tanpa basa-basi.
"Hm ? Ada apa sih ? Serius banget kayaknya, jangan buat aku takut gitu ah".
Gua kembali mengingat ucapan Kakak tiri gua tadi siang. "Kamu. Apa yang sebenernya lagi kamu rencanain selama ini ?", tanya gua dingin.
"Oh soal ituuu. Serius banget mukanya. Kan aku udah bilang belum waktunya kamu tau, lagian belom selesai kok ker..".
Gua memotong ucapannya. "Enggak. Aku tau kamu ngerencanain sesuatu. Dan tadi Kak Nindi sempet nanya soal hubungan aku sama Mba Yu. Itu aneh banget menurut ku. Kamu tau dia bilang apa ? Dia gak setuju, dan aku berpikiran hal yang sama", ucap gua.
Istri gua terkejut, dia membenarkan posisi duduknya agar menghadap kearah gua. Lalu mengerenyitkan keningnya.
"Emang Kak Nindi ngomong apa ? Kok malah ngomongin soal Mba Gendis ?", tanyanya balik.
"Ck. Udahlah gak usah pura-pura. Dia bilang kamu yang cerita kalo aku lagi deket sama Mba Yu. Dan...", gua menahan ucapan.
"Dan apa ?", tanyanya penasaran.
Gua ragu sebenernya. Tapi setelah gua ingat-ingat lagi apa yang sudah gua lihat selama ini mungkin saja pikiran gua dan Kakak tiri gua itu ada benarnya.
"Dan dia bilang hubungan ini gak akan baik", jawab gua pelan.
Istri gua beringsut mendekati gua, lalu memegang kedua sisi wajah gua dengan kedua telapak tangannya yang lembut itu agar wajah kami berhadapan.
"Liat sini, Mas", ucapnya tegas.
Gua melirik kearah matanya.
"Maksudnya apa ? Aku gak paham. Coba cerita yang jelas", pintanya serius.
Duh sial. Kenapa jadi gua yang deg-deg'an.
"Mmm.. Kamu.. Kamu gak... Kamu gak lagi ngejodoh-jodohin aku sama Mba Yu kan ?", jelas terdengar suara gua itu cukup terbata.
Istri gua terkejut, melepas kedua tangannya dari wajah gua lalu tertawa.
"Ahahahahaha... Hahahaha.. Aduuuhh.. Kamu.. Haha.. Kamu itu apaan sih, Mas ? Hahaha.. Ada-ada aja. Hahahaha..".
Gua heran dengan sikap dan reaksinya itu.
"Okey-okey. Kayaknya kamu sama Kak Nindi salah paham deh. Aku ngerti sekarang kenapa Kak Nindi khawatir dan ngomong kayak gitu ke kamu.. Ehm.. Hihihi.. Lucu deh kalian..", ucapnya setelah tawanya mereda.
"Lucu apanya sih ?", gerutu gua.
"Hehehe.. Gini loch. Okey tadi tuh waktu kamu shalat dzuhur di masjid, aku banyak cerita sama Kak Nindi sampe akhirnya aku cerita kalo Mba Gendis sering kesini nengokin aku. Terus entah gimana tau-tau kita berdua ngobrolin masa SMA, sampe inget kalo kamu sama Mba Gendis itu pernah pacaran kan. Nah mungkin nih gara-gara Kak Nindi inget itu dan aku welcomekamu deket sama Mba Gendis sekarang-sekarang, dia jadi mikir kayak begitu. Paham gak ? Hihihi...", jelasnya panjang lebar.
Gua menghela nafas. "Hmmm.. Tapi serius kamu gak ada rencana aneh-aneh kan soal Mba Yu sama aku ?", tanya gua masih ragu.
"Ehm.. Maksud kamu aku mau nyuruh kamu nikahin Mba Gendis gitu ?", tanyanya sambil tersenyum.
"Mmm.. Ya kayak gitulah..".
"Hahahaha.. Kamu ini pede banget siiihh! Hahaha... Lagian emang Mba Yu nya mau gitu sama kamu ? Hahahaha..".
Kok.. Gak enak ya omongannya. Saya merasa disepelekan loch Nona Ukhti... Sungut gua dalam hati.
"Ya bukan itu. Ah udahlah lupain. Yang jelas aku lega kamu gak ada pikiran kesana", jawab gua akhirnya.
Istri gua tersenyum tipis.
"Eh. Kalo gitu apa dong yang lagi kamu rencanain selama ini ? Terapi kaki kamu ?", tanya gua lagi mengingat kegiatan rahasia yang ia tutupi.
"Okey deh. Nanti aku ajak kamu ikut bareng Papah sama Mamah ya, Mas. Belom selesai sih, tapi gak apa-apa kamu tau duluan, yang jelas bukan soal terapi", jawabnya tersenyum lebar.
...
Suatu hari yang sudah ditentukan. Gua mengantar istri tercinta ke daerah Sentul. Gua pikir akan kerumah Mamahnya. Tapi ternyata bukan. Sesampainya di tempat tujuan ternyata sudah ada Mamah mertua dan Papah mertua gua yang datang lebih dulu. Sekedar mengingatkan, Papah mertua gua yang satu ini adalah Papah tirinya Nona Ukhti alias Papahnya Gimma. Sedangkan Papah kandungnya masih tinggal di Singapore bersama keluarga barunya.
Gua turun dari mobil dan membantu istri gua duduk diatas kursi rodanya, lalu berjalan sambil mendorongnya memasuki sebuah halaman rumah yang sedang mengalami renovasi. Setelah kami berdua menyalami kedua orangtua istri gua itu, gua pun mendengarkan penjelasan dari sang Mamah.
"Ini awalnya rumah biasa yang mau dijual, Gha. Dibeli sama istri kamu. Dan insya Allah setelah selesai di renovasi mau dibuka rumah yatim disini", ucap Beliau.
"Maaf aku gak cerita sama kamu, Mas. Niatnya mau buat surprise aja. Aku minta tolong ke Mamah sama Papah untuk cariin tempatnya. Alhamdulilah dapet disini", lanjut istri gua itu.
Gua mengusap-usap wajah, tidak percaya apa yang ia pernah katakan sebelumnya benar-benar menjadi kenyataan. Dan itulah awal dimana Nyonya memiliki rumah yatim atas nama pribadi. Memberikan tempat bernaung dan membantu anak-anak yatim yang kurang mampu agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik, terutama pendidikan mereka.
"Aku yakin Allah Subhanahu wa Ta'ala akan memberikan kita semua kebahagiaan, memberikan kita rejeki yang pada akhirnya kita bagi untuk mereka kelak. Semoga Allah selalu menjaga rumah ini termasuk isinya", ucap istri gua seraya menatap bangunan yang masih di renovasi itu.
Gua tersenyum. Memegangi bahunya dan mengelusnya lembut.
"Aamiin. Dan aku yakin setiap perbuatan baik akan menuai hal yang baik pula. Itu janji Allah, sayang", timpal gua.
Kamu selalu saja membuat ku takjub dengan apa yang kamu lakukan, sayang.
*
*
*
*
*
Dan pada akhirnya, apa yang telah kami semua sudah ikhlaskan dan pasrahkan bisa kembali. Ketika kami semua sudah menerima kondisi Nyonya dan gua pun sudah menikahi Bunbun, bahkan Orenz saat itu sudah lahir.
Kamu...
Ya, kamu...
Bidadari yang menyukai warna biru pada hari itu menyambut ku dengan senyum terindah mu.
Di pintu rumah itu aku melihat kamu berdiriseraya menggendong Maurenza dalam pelukan mu.
Hari yang indah.
'Ini semua berkat do'a-do'a anak-anak (yatim) itu, Mas. Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabulkannya'.
Terimakasih.
Diubah oleh glitch.7 22-10-2018 12:39
kifif dan 21 lainnya memberi reputasi
22
Kutip
Balas
Tutup

