- Beranda
- Stories from the Heart
Sonne Mond und Stern
...
TS
glitch.7
Sonne Mond und Stern
die SONNE der MOND und der STERN
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Tak Lagi Sama - Noah
Spoiler for Cover Stories:
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 95% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahdan lanjutan dari sebuah cerita Love in Elegy yang pernah Gua tulis di Forum ini.
Quote:
Catatan:
1. Mengacu pada aturan main forum H2H dan SFTH
2. 95% Semua tokoh/karakter di cerita ini sudah memberikan izin
3. Sikapi dengan bijak apa yang tertuang disini
4. Jangan meminta lebih dari apa yang sudah diberikan
5. Sopanlah dalam berkomentar
6. Saling menghargai TS, penulis dan sesama kaskuser disini
1. Mengacu pada aturan main forum H2H dan SFTH
2. 95% Semua tokoh/karakter di cerita ini sudah memberikan izin
3. Sikapi dengan bijak apa yang tertuang disini
4. Jangan meminta lebih dari apa yang sudah diberikan
5. Sopanlah dalam berkomentar
6. Saling menghargai TS, penulis dan sesama kaskuser disini
Versi PDF Dua Thread Sebelumnya :

*mulustrasi karakter dalam cerita ini
Quote:
BAB I & BAB II
BAB III & BAB IV
***
Tralala_Trilili
PROLOG
BAB V
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15- continues
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
***
SEBELUM CAHAYA
PART I
PART II
PART III - The Ghost of You
PART IV
PART V
PART VI
PART VII
PART VIII
Cooling Down
PART IX
PART X - continues
PART XI
PART XII
PART XIII
PART XIV
PART XV
PART XVI
PART XVII A
PART XVII B
PART XVIII
PART XIX - continues
PART XX
PART XXI
PART XXII
PART XXIII
PART XXIV
PART XXV
PART XXVI
PART XXVII
PART XXVIII
PART XXIX
PART XXX
PART XXXI
PART XXXII
PART XXXIII
PART XXXIV
PART XXXV
PART XXXVI - continues
PART XXXVII
PART XXXVIII
PART XXXIX
Vor dem Licht XL - Das Ende
***
BAB V
PART 21
PART 22
Tentang Rasa
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
Von Hier Wegfliegen
Teils Eins - Vorstellen
Teils Zwei - Anfang
Teils Drei - Der Erbarmer
Teils Vier - Von Hier Wegfliegen
Lembayung Senja
Bagian Satu
Bagian Dua
Bagian Tiga
Bagian Empat
Bagian Lima - continues
Bagian Enam
Bagian Tujuh
Bagian Delapan
Bagian Sembilan
Bagian Sepuluh - continues
Breaking Dawn
One Step Closer
Ascension
Throwback Stories
Life is Not Always Fair
Dusk till Dawn
Awal Semula
Untuk Masa Depan
Terimakasih
Omong Kosong
Kepingan Cerita
Menyerah
Restoe
Rasanya - Rasain
Pengorbanan
Menuju Senja
Kenyataan
Wiedersehen
Cobalah untuk Mengerti
Pengorbanan
Tentang Kita
SIDE STORY
VFA
Daily Life I
Daily Life II
Maaf NEWS
Tentang MyPI
*thanks to my brother in law yang bantu index dan update selama gua mudik
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 239 suara
Siapakah pendamping Eza sebenarnya ?
Sherlin Putri Levanya
55%
Franziska Luna Katrina
17%
Giovanna Almira
28%
Diubah oleh glitch.7 08-01-2022 09:16
chamelemon dan 125 lainnya memberi reputasi
122
1.9M
Kutip
8.8K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
glitch.7
#7718
You'll Never Be Alone
Dusk till Dawn
Quote:
Seorang wanita duduk diatas kursi beroda didalam gazebo. Mulutnya bergerak melantunkan suara merdu seiring matanya yang terus membaca kitab suci al-Qur'an selama setengah jam yang lalu kata Ibu. Gua baru saja datang dan berdiri beberapa meter untuk memperhatikannya dengan bersandar kekusen pintu yang menuju kehalaman belakang rumah ini.
"Udah setengah jam dia baca Qur'an", ucap Ibu yang baru saja berdiri disamping gua.
Gua menengok kepada Beliau lalu tersenyum tipis sebelum akhirnya kembali menatap kepada bidadari yang sedang mengenakan hijab berwarna biru muda didalam gazebo sana.
"Dia bidadari ku, Bu..", ucap gua pelan.
Ibu menengok kali ini. Beliau meraih tangan kiri ini lalu mengusap punggung tangan gua itu dengan lembut.
"Yang sabar, sayang..", balasnya dengan raut wajah yang menahan tangis.
Gua tersenyum setelah menengok kepada Ibu. "Dia terluka.. Bidadari itu terluka, Bu...". Kemudian gua kembali menatap istri tercinta. "Bidadari itu terluka lahir dan bathin. Fisiknya.. Hatinya..", lanjut gua lirih.
Airmata ini sudah habis terkuras dan tak bersisa rasanya setelah dua hari lalu mendengar vonis dokter untuk istri tercinta gua.
...
Setelah apa yang terjadi kepada Nona Ukhti membuat hari-hari berikutnya dirumah ini jadi berbeda. Gua tidak bisa lagi menatap istri gua itu dengan seperti biasanya, begitupun Ibu dan Bapak. Ada rasa kasihan setiap kami mengobrol dengannya. Dan hal itulah yang membuat istri gua kecewa.
"Aku gak suka dipandang kayak gitu..".
"Maaf..", jawab gua.
"Aku gak mau jadi beban untuk kalian semua", lanjutnya.
Gua mendelik menatapnya. "Kamu gak ngebebanin kami semua, kok. Lagian aku ini suami kamu, Ve. Udah jadi kewajiban aku untuk ngerawat kamu, nemenin kamu, dan selalu ada disamping kamu..", jawab gua.
"Tapi aku tetep pingin pulang..", balasnya dengan nada suara yang lirih, lalu menundukkan wajahnya.
Gua hela nafas dengan kasar, kemudian berjalan mendekatinya yang sedang duduk diatas sofa ruang tamu.
"Sayang, aku mampu ngerawat kamu kok. Toh ada Ibu dan Risya juga yang nemenin kamu kan ? Gak perlu kamu sampe harus pulang ke rumah Mamah", ucap gua seraya memegang kedua tangannya dengan lembut.
"Tapi aku tetep pingin pulang, Mass.. Hiks.. Hiks..". Tumpah sudah airmatanya.
Gua lepas genggaman tangan gua lalu berdiri dan berjalan kearah kamar sendirian. Sekitar lima belas menit kemudian gua kembali keruang tamu dengan satu buah koper dan tas ransel.
"Ayo aku anter kamu pulang", ucap gua dingin.
Nona Ukhti terkejut menatap gua.
"Tapi inget satu hal. Setelah kamu lewatin pintu rumah itu, jangan harap bisa balik ke rumah ini lagi", lanjut gua, kemudian melempar koper dan ransel sebelumnya kearah pintu diujung sana dengan kasar.
Suara jeritan tangisnya lebih dari cukup untuk membuat keluarga gua keluar dari kamar mereka. Sampai-sampai Bibi yang berada dibelakang ikut menghampiri ruang tamu rumah ini.
"Ada apa, Gha ?", tanya Bapak.
Gua hanya diam dengan tetap menatap dingin kepada istri gua itu.
Ibu langsung menghampiri Nona Ukhti dan duduk disampingnya. "Kenapa sayang ? Ada apa ?", tanya Beliau.
Istri gua hanya terus menangis. Sedangkan pertanyaan Risya membuat yang lain sadar apa yang baru saja terjadi.
"Loch kok ada koper disana ?", tanya Adik gua itu yang menunjuk kearah pintu rumah dimana koper dan ransel berada dengan posisi yang berantakan.
Setelah Ibu dan Bapak melirik kearah yang sama, Ibu langsung memeloti gua. "Agha! Apa-apaan sih kamu ?!", tanya Beliau dengan cukup emosi.
"Kalian semua tau siapa yang selama tiga hari ini pingin keluar dari rumah ini. Setiap hari minta pulang dan pulang terus kerumah Mamahnya...", jawab gua.
"Tapi jangan begitu, Gha..", ucap Bapak pelan.
"Aku juga punya kesabaran, Pak. Gak enak rasanya ngedenger dia minta pulang tiap hari. Memangnya kita semua disini gak bisa ngerawat dia ? Dia anggap kita semua ini kebebanin sama kondisinya!", jawab gua kali ini dengan cukup emosi.
Suara tangisan Nona Ukhti semakin pecah setelah gua menjawab pertanyaan Bapak. Kemudian Ibu memeluknya.
"Udah, Gha. Jangan diterusin..", ucap Ibu kepada gua dengan tetap memeluk istri tercinta gua itu.
"Aku cuma cape aja denger...".
"IBU BILANG CUKUP!", sentaknya menyela ucapan gua.
Masih ingat dengan jelas dalam ingatan gua. Apa yang gua lihat ketika Beliau menyentak gua benar-benar membuat gua terkejut, hati gua menclos, menciut nyali ini. Sampai-sampai jari jemari tangan ini sedikit bergetar ketika Beliau menyentak tadi. Risya pun sampai pucat pasi melihat amarah Ibu bisa sampai seperti itu. Bibi langsung undur diri kembali ke kamarnya dibelakang.
Bapak yang melihat istrinya itu masih memeloti gua dengan wajah penuh emosi sadar untuk segera menghampirinya.
"Bu.. Sudah..", ucap Bapak pelan dengan menyentuh pundak kiri Ibu.
Ibu berdiri lalu menghampiri gua. "Jangan coba-coba kasarin istri kamu. Paham ?", ucap Beliau pelan.
Gua mengangguk sambil melihat kedua matanya yang menusuk gua dengan tatapannya itu.
Ibu meminta gua menyelesaikan masalah kami baik-baik, Beliau tidak mau ikut campur kecuali salah satu diantara kami yang meminta terlebih dahulu. Begitulah Ibu tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga anaknya.
Gua meminta tolong kepada Risya dan Bapak untuk membawa kembali koper serta ransel sebelumnya yang masih berserakan di dekat pintu rumah. Kemudian gua menghampiri lagi istri gua yang masih sesenggukan itu. Gua turunkan tubuh untuk menggendongnya. Lalu membawanya ke kamar di lantai atas. Sedangkan Ibu membawakan kursi roda.
Setelah sampai didalam kamar, gua dudukkan kembali Nona Ukhti ditepian ranjang, Ibu menaruh kursi roda disamping gua, Bapak dan Risya ikut masuk dan menaruh kedua bawaan sebelumnya di dekat lemari.
"Sekarang Ibu gak mau denger ada pertengkaran lagi. Paham kalian berdua ?", tanya Ibu kepada Gua dan menantunya yang sedang sakit itu.
Kami hanya mengangguk untuk mengiyakan perintahnya.
"Yaudah, selesaikan baik-baik sekarang juga. Yang lain keluar..", lanjut Beliau seraya meminta adik gua dan suaminya keluar kamar.
Gua menarik nafas perlahan ketika pintu kamar dibelakang sana sudah ditutup oleh Ibu. Tinggallah kami berdua didalam kamar ini. Gua tersenyum tipis memandangi istri tercinta yang masih duduk dihadapan gua itu. Raut wajahnya masih takut, sedih dan nampak sedikit terpancar emosi dari kedua matanya.
Gua berjongkok menatap istri gua, lalu memiringkan wajah ke kiri dengan sedikit mendongakkan kepala agar wajahnya yang sudah tertunduk bisa gua lihat.
Gua menyeringai. Nona Ukhti tersadar, matanya terbelalak dan langsung menutupi wajah dengan kedua tangannya.
"Aah! Gak suka! Gak suka!", teriaknya dengan menggelengkan kepalanya.
Gua terkekeh pelan. Lalu gua raih satu tangannya yang masih menutupi wajahnya itu.
"Udah buka..", ucap gua dengan senyuman kali ini.
"Enggak! Gak mau!".
"Buka sayang..".
"Gak mau! Aku gak suka kamu gitu!". Nona Ukhti masih menahan kedua tangannya untuk menutupi wajah.
"Okey-okey.. Liat dulu dong. Aku udah biasa nih. Intip aja intip...", jawab gua kali ini dengan wajah yang berseri-seri.
Jemari tangannya sedikit merenggang, kedua matanya mengintip dari balik sana untuk memastikan perubahan wajah suaminya ini.
"See? Udah biasa lagikan ?", tanya gua dengan tetap berseri-seri. Senormal mungkin.
Barulah ia turunkan kedua tangannya. Bibirnya cemberut. Matanya sinis menatap gua. Cukuplah buat gua sedikit terpingkal-pingkal melihatnya seperti itu.
"Tega kamu ma..", ucapnya ketus.
"Ahahaha.. Hahaha.. Segitunya ih.. Hahaha..", gua masih saja tertawa.
"Udah dibilangin berapa kali coba ih! Aku paling gak suka liat kamu kayak tadi. Takut aku!", jawabnya kesal.
Gua bersimpuh dihadapannya, menghela nafas sambil tersenyum. Gua rapatkan tubuh kepadanya. Kedua tangan ini gua sandarkan diatas kedua pahanya yang mengenakan pakaian gamis itu.
"Banget ?", tanya gua pelan tanpa mengurangi senyuman.
Dia mengangguk. "Iya. Takut banget", jawabnya.
"Kenapa ?", tanya gua lagi.
Beberapa saat dia terdiam menatap suaminya ini. Wajah kami cukup dekat. Gua menengadahkan kepala sedikit untuk menatap wajahnya yang cantik namun kedua lingkar matanya sedikit sembab. Lalu jemari tangan kanannya membelai rambut kepala gua dengan lembut dan berulang-ulang. Dia menatap wajah gua dengan sedikit rasa khawatir yang terpancar dari kedua bola matanya.
"Mas.. Masih keinget jelas kejadian itu. Dimana kamu nyiksa keluarganya Rifki di depan mataku. Yang buat aku takut selain kenekatan kamu itu..", dia menahan ucapannya sesaat, memejamkan matanya lalu kembali membukanya untuk menatap gua lagi. "Kamu seolah-olah menikmati setiap detiknya. Kamu nyiksa mereka tanpa amarah, tanpa emosi. Tapi.. Kamu tersenyum ngelakuinnya. Ah enggak! Enggak-enggak-enggak! Kamu menyeringai.. Ya menyeringai kayak tadi. Itu yang buat aku takut liat sisi lain kamu itu.. Trauma aku..", lanjutnya dengan rasa khawatir yang berubah menjadi rasa takut.
Gua yang tadinya hendak menyeringai langsung tersadar, gua jadi tersenyum. Lalu mengerjapkan mata beberapa kali untuk menggodanya seperti anak gadis.
"Berarti ucapan Psikolog cantik yang waktu dulu itu benerkan ? Kalo aku ini sakit. Jiwanya yang sakit", ucap gua kali ini dengan tersenyum lebar.
Istri gua menghela nafasnya pelan. "Luna maksud kamu ?".
Gua hanya mengangguk tanpa mengurangi senyuman.
"Aku terima kamu apa adanya, Mas. Segala kekurangan kamu, kelebihan kamu, masa lalu kamu. Semuanya. Aku bersyukur Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan kamu jodohku. Dan kamu itu bukan sakit jiwa. Cuma apa yaa.. Mmm.. Kamu tuh cuma bereaksi aneh aja. Emang gak normal kalo orang lain yang liat, tapi aku tau kamu kok. Aku tau betapa besarnya rasa sayang kamu sama keluarga. Sampai kamu senekat itu setiap ada masalah yang nimpa kita semua..", jelasnya panjang lebar.
"Kalo gitu ngerti kenapa tadi aku marah ?", tanya gua lagi seraya terkekeh.
"Iya ngerti. Maafin aku", jawabnya penuh sesal.
"Kalo ngerti, tau dong apa yang harus dilakuin sekarang ? Hehehe..".
"Iih.. Nyebelin kamu ma. Iya-iya aku tau. Harus jelasin", jawabnya dengan bibir yang cemberut. "Iya aku minta maaf udah ngerengek minta pulang terus selama ini. Maaf juga udah suudzon ke kamu dan keluarga disini. Maaf udah mikir kalian semua terbebani sama kondisi dan keadaan aku yang seperti ini. Maafin aku, Mas", lanjutnya kali ini dengan menggenggam kedua tangan gua.
Gua tersenyum lagi. Lalu memegangi kedua sisi wajahnya dengan kedua telapak tangan gua. "Aku cinta sama kamu Adinda. Aku gak mungkin ngerelain kamu pergi gitu aja kerumah Mamah dengan kondisi kamu seperti ini", ucap gua. Lalu gua cium keningnya cukup lama.
"Sayangku, aku gak mungkin ngelarang kamu pulang kerumah Mamah kalo cuma pingin sekedar nenangin diri. Tapi enggak dengan pikiran kamu yang kayak begitu. Yang ada nanti kamu gak balik lagi kesini. Ujungnya apa ? Yang ada kita cerai", lanjut gua.
"Iih! Gak mau! Na'udzubillahimindzalik!", jawabnya cepat.
"Ya makanya. Jangan kayak gitu lagi, hehehe..".
Nona Ukhti-istri gua itu terdiam beberapa saat. Dia menatap gua dengan bertanya-tanya. Terlihat jelas dari raut wajahnya itu. Gua pun tersadar.
"Kenapa sayang ?", tanya gua heran.
Raut wajahnya sedikit memancarkan kekhawatiran. "Kamu... Kamu gak akan ninggalin aku kan, Mas ?", tanyanya ragu.
Gua menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya tersenyum lembut dan menatap kedua bola matanya lekat-lekat. Lalu gua genggam kedua tangannya cukup erat.
"Liat aku baik-baik Vena Tunggadewi. Aku bersumpah Demi Allah Subhanahu wa Ta'ala pemilik alam semesta beserta isinya ini. Aku gak akan pernah ninggalin kamu, sayang ku", jawab gua serius dengan penuh penekanan.
Dia tersenyum. Sedikit air disudut kedua matanya nampak keluar. Lalu mengangguk pelan. "Aamiin. Aamiin. Aamiin ya Rabbal'alamin", jawabnya.
...
Malam harinya kami berdua sedang rebahan diatas ranjang. Istri gua itu menyandarkan kepalanya kedada kiri gua. Tangan kirinya merengkuh pinggang kanan ini. Sedangkan gua membelai lembut rambutnya yang memang tidak mengenakan hijab itu dengan tangan kanan.
"Mas..", panggilnya pelan.
"Ya, sayang..", jawab gua dengan menatap langit-langit kamar.
"Kamu..", dia menahan ucapannya sedetik-dua detik. "Kamu beneran kan gak akan ninggalin aku karena keadaan aku ini ?".
Terdengar jelas nada kekhawatiran yang terasa oleh gua dari pertanyaannya itu.
"Aku akan merawat kamu, Ve. Nemenin kamu, kalo perlu disetiap harinya. Biar kamu percaya kalo aku cinta sama kamu apapun kondisinya", jawab gua dengan terus membelai lembut rambutnya dan menatap langit kamar diatas sana.
"Aku takut, Mas. Aku takut kamu ninggalin aku... Hiks.. Hiks..". Tangan kirinya mulai mencengkram erat lengan kanan gua yang masih membelai rambutnya itu.
"Jangan takut, sayang. Aku gak mungkin ngelakuin hal itu, meninggalkan kamu seperti ini..", jawab gua lagi berharap dia bisa percaya dan mengurangi rasa ketakutannya.
Isak tangisannya perlahan mulai hilang. Hanya sesekali ia terisak. Lalu saat nafasnya sudah kembali normal. Wajahnya ia angkat untuk menatap gua.
"Mas...".
"Ya sayang ?", gua balik menatap wajahnya.
"Aku.. Aku udah gak bisa ngasih kamu keturunan, Mas...". Gua terdiam, menunggunya untuk menumpahkan segala isi hatinya itu. "Aku.. Aku juga udah gak bisa ngerawat kamu, Mas.. Aku udah gak mungkin melakukan semua kewajiban istri untuk suaminya. Karena... Karena aku lumpuh! Lumpuh, Mas! Aku lumpuuuuh!!! HAAAAA!!!".
Teriakannya diakhir ucapannya itu sekaligus membenamkan wajahnya dalam dada gua. Satu tangannya mencengkram erat sprei ranjang, satunya lagi mencengkram erat baju gua. Pecah sudah tangisnya itu. Suaranya cukup tertahan oleh dada gua.
Gua menelan ludah. Menatap lagi langit-langit kamar diatas sana. Airmata gua sudah menggenang dipelupuk mata. Tangan kanan ini terkepal keras. Saat itu gua ingin sekali berlari ke lemari pakaian dan membuka isi lacinya, mengambil Smith & Wesson lalu melontarkan timah panas kedalam mulut bajingan bernama Rifki. Semuanya karena lelaki bajingan nan brengsek itu hingga istri gua sampai seperti ini.
Tapi gua tau itu tidak mungkin. Gua berusaha kuat dengan bangun dan mengajaknya duduk berhadapan dengan gua. Istri gua masih menangis, gua usap airmatanya perlahan-lahan. Gua tidak mengajaknya bicara sedikitpun. Gua tahu dia sedang menumpahkan semua isi hatinya lewat airmatanya itu. Gua biarkan ia menangis sampai beberapa menit kemudian tangisnya mereda.
Gua tersenyum ketika dia menatap gua dengan matanya yang sembab. Gua belai wajahnya dengan satu jari. Dari keningnya gua mulai gerakan jari telunjuk ini menelusuri tulang hidungnya, kemudian bibirnya, lehernya, lalu berhenti diatas dadanya. Dia masih menatap gua, gua tatap balik dirinya yang masih sedikit tersedu-sedu.
"Disini. Disinilah semuanya bermuara sayang. Aku tau kamu bisa. Karena kamu adalah wanita yang memiliki hati yang kuat. Belum pernah aku temuin wanita sekuat kamu, sayang. Pengalaman kamu di masa lalu adalah buktinya. Itu adalah salah satu kejadian terburuk yang ditakutkan semua kaum hawa di dunia ini. Dan kamu ? Kamu mampu melewatinya, sayang", ucap gua. Lalu gua rentangkan jemari gua yang lain kali ini hingga telapak tangan kanan gua itu kini sudah memegang lembut bagian atas dadanya itu. "Sekarang pun, aku yakin kamu bisa. Kita bisa. Mampu. Untuk ngelewatin semuanya. Dengan hati kamu yang kuat ini", tandas gua dengan sedikit menekan sentuhan telapak tangan gua itu.
Sedetik kemudian, istri gua tercinta yang sering gua panggil dengan Nona Ukhti itu langsung memeluk tubuh suaminya ini dengan erat. Gua usap punggungnya ketika dia mengucapkan terimakasih.
Pukul satu dini hari gua terbangun. Entah waktu itu apa yang menyebabkan gua terbangun dan membuka mata. Gua lirik kesamping kiri dimana sang Nyonya masih tertidur dengan damainya. Gua memilih bangun dan duduk ditepian ranjang. Gua perhatikan wanita yang masih tertidur itu cukup lama.
Saat itu semua kenangan tentang dirinya kembali memenuhi lamunan gua. Dimulai saat kami berkenalan di masa SMA sampai sekarang. Tentunya momen-momen bahagia kami membuat gua tersenyum dalam lamunan. Sampai dimana momen bahagia itu sirna ditelan oleh bayang-bayang masa kelamnya. Gua bergidik saat mengingat bagaimana dirinya hancur berantakan waktu dia mengalami kejadian buruk saat masa kuliah. Sampai akhirnya gua meneteskan airmata ketika ingatan ini menunjukan kondisinya yang sekarang. Ya saat ini, di depan mata gua.
Nafas gua cukup terkecat. Gua menggigit bibir bagian bawah ketika apa yang ia ucapkan beberapa jam yang lalu terngiang diotak ini dengan jelas. Gua buru-buru memasuki kamar mandi yang berada didalam kamar ini, menutup pintunya lalu menyalakan semua keran air yang berada didalam sini. Sekencang-kencangnya. Saat itulah untuk pertama kalinya gua menangis dan berteriak cukup keras didalam kamar mandi.
'ANJJJJJIIIIIINGNGNG!!! HUAAAAAA!!! BANGSAAAAATTT!!!'
Setelah berteriak gua terjatuh lalu terduduk diatas lantai kamar mandi dengan memegangi bathtub. Gua menangis, airmata ini tidak berhenti keluar dengan derasnya. Gua membenamkan wajah kepada tangan kanan yang bertopang pada sisi bathtub. Gua masih terus dan terus menangis. Didalam otak gua hanya satu yang terbayang. Kondisi istri gua itu. Gua tidak sanggup melihatnya menderita seperti ini.
Apa yang ia ucapkan sebelumnya membuat gua sakit. Sakit-sesakit-sakitnya. Semua melebihi apa yang gua bayangkan. Sampai akhirnya gua tersadar oleh luapan air yang sudah tumpah dari dalam bathtub membasahi tubuh ini. Gua bangun dan mengusap airmata. Gua lihat air yang tumpah itu secara terus menerus. Air itu terus meluap keluar. Seperti itukah ? Pikir gua dalam hati. Jika bathtub itu adalah kami manusia, dan air itu adalah cobaan yang Dia berikan hingga meluap melebihi kapasitas bathtub tersebut, maka dengan sendirinya air itu akan keluar. Lalu bagaimana sisa air yang berada didalamnya ? Gua harus mematikan sumber air tersebut, lalu membuang sisa air yang berada didalamnya dengan membuka tutup lubang pembuangannya.
Gua mengambil sebuah pilhan di pagi yang buta itu. Gua harus mematikan sumber masalahnya terlebih dahulu didalam hati. Gua harus membuang semua rasa kecewa, takut, khawatir dan segala keburukan dalam hati ini terlebih dahulu. Setelah itu gua harus meminta kepada-Nya. Agar sisa 'air' yang masih berada di dalam hati gua Dia buang lewat pertolongan-Nya itu.
Saat itulah gua kembali melaksanakan shalat dua raka'at di pagi buta. Memohon ampunan-Nya. Karena boleh jadi semua ini terjadi akibat kesalahan-kesalahan yang kita buat sendiri. Lalu setelah itu gua berdo'a, memohon lagi kepada-Nya agar istri gua tercinta yang bernama Vena Tunggadewi diberikan kekuatan hati, iman serta jiwa agar ia mampu menerima semua yang telah Engkau gariskan untuknya. Dan bantulah hamba untuk selalu diberikan kesabaran disetiap waktu agar hamba bisa menemani hari-harinya yang berat.
Airmata gua mengalir lagi. Dalam tangisan gua duduk bersimpuh diatas sajadah dengan kedua tangan menghadap keatas, gua memohon pertolongan-Nya. Mengharapkan bantuan-Nya. Agar gua bisa membahagiakan istri gua yang sedang sakit itu. Menemaninya disepanjang hidup. Gua berharap diberikan waktu yang cukup hingga ia bisa kembali tersenyum. Dan pada akhirnya, gua berharap Allah subhanahu wa Ta'ala mengabulkan do'a-do'a seorang suami untuk kebahagiaan istrinya.
"Udah setengah jam dia baca Qur'an", ucap Ibu yang baru saja berdiri disamping gua.
Gua menengok kepada Beliau lalu tersenyum tipis sebelum akhirnya kembali menatap kepada bidadari yang sedang mengenakan hijab berwarna biru muda didalam gazebo sana.
"Dia bidadari ku, Bu..", ucap gua pelan.
Ibu menengok kali ini. Beliau meraih tangan kiri ini lalu mengusap punggung tangan gua itu dengan lembut.
"Yang sabar, sayang..", balasnya dengan raut wajah yang menahan tangis.
Gua tersenyum setelah menengok kepada Ibu. "Dia terluka.. Bidadari itu terluka, Bu...". Kemudian gua kembali menatap istri tercinta. "Bidadari itu terluka lahir dan bathin. Fisiknya.. Hatinya..", lanjut gua lirih.
Airmata ini sudah habis terkuras dan tak bersisa rasanya setelah dua hari lalu mendengar vonis dokter untuk istri tercinta gua.
...
Setelah apa yang terjadi kepada Nona Ukhti membuat hari-hari berikutnya dirumah ini jadi berbeda. Gua tidak bisa lagi menatap istri gua itu dengan seperti biasanya, begitupun Ibu dan Bapak. Ada rasa kasihan setiap kami mengobrol dengannya. Dan hal itulah yang membuat istri gua kecewa.
"Aku gak suka dipandang kayak gitu..".
"Maaf..", jawab gua.
"Aku gak mau jadi beban untuk kalian semua", lanjutnya.
Gua mendelik menatapnya. "Kamu gak ngebebanin kami semua, kok. Lagian aku ini suami kamu, Ve. Udah jadi kewajiban aku untuk ngerawat kamu, nemenin kamu, dan selalu ada disamping kamu..", jawab gua.
"Tapi aku tetep pingin pulang..", balasnya dengan nada suara yang lirih, lalu menundukkan wajahnya.
Gua hela nafas dengan kasar, kemudian berjalan mendekatinya yang sedang duduk diatas sofa ruang tamu.
"Sayang, aku mampu ngerawat kamu kok. Toh ada Ibu dan Risya juga yang nemenin kamu kan ? Gak perlu kamu sampe harus pulang ke rumah Mamah", ucap gua seraya memegang kedua tangannya dengan lembut.
"Tapi aku tetep pingin pulang, Mass.. Hiks.. Hiks..". Tumpah sudah airmatanya.
Gua lepas genggaman tangan gua lalu berdiri dan berjalan kearah kamar sendirian. Sekitar lima belas menit kemudian gua kembali keruang tamu dengan satu buah koper dan tas ransel.
"Ayo aku anter kamu pulang", ucap gua dingin.
Nona Ukhti terkejut menatap gua.
"Tapi inget satu hal. Setelah kamu lewatin pintu rumah itu, jangan harap bisa balik ke rumah ini lagi", lanjut gua, kemudian melempar koper dan ransel sebelumnya kearah pintu diujung sana dengan kasar.
Suara jeritan tangisnya lebih dari cukup untuk membuat keluarga gua keluar dari kamar mereka. Sampai-sampai Bibi yang berada dibelakang ikut menghampiri ruang tamu rumah ini.
"Ada apa, Gha ?", tanya Bapak.
Gua hanya diam dengan tetap menatap dingin kepada istri gua itu.
Ibu langsung menghampiri Nona Ukhti dan duduk disampingnya. "Kenapa sayang ? Ada apa ?", tanya Beliau.
Istri gua hanya terus menangis. Sedangkan pertanyaan Risya membuat yang lain sadar apa yang baru saja terjadi.
"Loch kok ada koper disana ?", tanya Adik gua itu yang menunjuk kearah pintu rumah dimana koper dan ransel berada dengan posisi yang berantakan.
Setelah Ibu dan Bapak melirik kearah yang sama, Ibu langsung memeloti gua. "Agha! Apa-apaan sih kamu ?!", tanya Beliau dengan cukup emosi.
"Kalian semua tau siapa yang selama tiga hari ini pingin keluar dari rumah ini. Setiap hari minta pulang dan pulang terus kerumah Mamahnya...", jawab gua.
"Tapi jangan begitu, Gha..", ucap Bapak pelan.
"Aku juga punya kesabaran, Pak. Gak enak rasanya ngedenger dia minta pulang tiap hari. Memangnya kita semua disini gak bisa ngerawat dia ? Dia anggap kita semua ini kebebanin sama kondisinya!", jawab gua kali ini dengan cukup emosi.
Suara tangisan Nona Ukhti semakin pecah setelah gua menjawab pertanyaan Bapak. Kemudian Ibu memeluknya.
"Udah, Gha. Jangan diterusin..", ucap Ibu kepada gua dengan tetap memeluk istri tercinta gua itu.
"Aku cuma cape aja denger...".
"IBU BILANG CUKUP!", sentaknya menyela ucapan gua.
Masih ingat dengan jelas dalam ingatan gua. Apa yang gua lihat ketika Beliau menyentak gua benar-benar membuat gua terkejut, hati gua menclos, menciut nyali ini. Sampai-sampai jari jemari tangan ini sedikit bergetar ketika Beliau menyentak tadi. Risya pun sampai pucat pasi melihat amarah Ibu bisa sampai seperti itu. Bibi langsung undur diri kembali ke kamarnya dibelakang.
Bapak yang melihat istrinya itu masih memeloti gua dengan wajah penuh emosi sadar untuk segera menghampirinya.
"Bu.. Sudah..", ucap Bapak pelan dengan menyentuh pundak kiri Ibu.
Ibu berdiri lalu menghampiri gua. "Jangan coba-coba kasarin istri kamu. Paham ?", ucap Beliau pelan.
Gua mengangguk sambil melihat kedua matanya yang menusuk gua dengan tatapannya itu.
Ibu meminta gua menyelesaikan masalah kami baik-baik, Beliau tidak mau ikut campur kecuali salah satu diantara kami yang meminta terlebih dahulu. Begitulah Ibu tidak ingin mencampuri urusan rumah tangga anaknya.
Gua meminta tolong kepada Risya dan Bapak untuk membawa kembali koper serta ransel sebelumnya yang masih berserakan di dekat pintu rumah. Kemudian gua menghampiri lagi istri gua yang masih sesenggukan itu. Gua turunkan tubuh untuk menggendongnya. Lalu membawanya ke kamar di lantai atas. Sedangkan Ibu membawakan kursi roda.
Setelah sampai didalam kamar, gua dudukkan kembali Nona Ukhti ditepian ranjang, Ibu menaruh kursi roda disamping gua, Bapak dan Risya ikut masuk dan menaruh kedua bawaan sebelumnya di dekat lemari.
"Sekarang Ibu gak mau denger ada pertengkaran lagi. Paham kalian berdua ?", tanya Ibu kepada Gua dan menantunya yang sedang sakit itu.
Kami hanya mengangguk untuk mengiyakan perintahnya.
"Yaudah, selesaikan baik-baik sekarang juga. Yang lain keluar..", lanjut Beliau seraya meminta adik gua dan suaminya keluar kamar.
Gua menarik nafas perlahan ketika pintu kamar dibelakang sana sudah ditutup oleh Ibu. Tinggallah kami berdua didalam kamar ini. Gua tersenyum tipis memandangi istri tercinta yang masih duduk dihadapan gua itu. Raut wajahnya masih takut, sedih dan nampak sedikit terpancar emosi dari kedua matanya.
Gua berjongkok menatap istri gua, lalu memiringkan wajah ke kiri dengan sedikit mendongakkan kepala agar wajahnya yang sudah tertunduk bisa gua lihat.
Gua menyeringai. Nona Ukhti tersadar, matanya terbelalak dan langsung menutupi wajah dengan kedua tangannya.
"Aah! Gak suka! Gak suka!", teriaknya dengan menggelengkan kepalanya.
Gua terkekeh pelan. Lalu gua raih satu tangannya yang masih menutupi wajahnya itu.
"Udah buka..", ucap gua dengan senyuman kali ini.
"Enggak! Gak mau!".
"Buka sayang..".
"Gak mau! Aku gak suka kamu gitu!". Nona Ukhti masih menahan kedua tangannya untuk menutupi wajah.
"Okey-okey.. Liat dulu dong. Aku udah biasa nih. Intip aja intip...", jawab gua kali ini dengan wajah yang berseri-seri.
Jemari tangannya sedikit merenggang, kedua matanya mengintip dari balik sana untuk memastikan perubahan wajah suaminya ini.
"See? Udah biasa lagikan ?", tanya gua dengan tetap berseri-seri. Senormal mungkin.
Barulah ia turunkan kedua tangannya. Bibirnya cemberut. Matanya sinis menatap gua. Cukuplah buat gua sedikit terpingkal-pingkal melihatnya seperti itu.
"Tega kamu ma..", ucapnya ketus.
"Ahahaha.. Hahaha.. Segitunya ih.. Hahaha..", gua masih saja tertawa.
"Udah dibilangin berapa kali coba ih! Aku paling gak suka liat kamu kayak tadi. Takut aku!", jawabnya kesal.
Gua bersimpuh dihadapannya, menghela nafas sambil tersenyum. Gua rapatkan tubuh kepadanya. Kedua tangan ini gua sandarkan diatas kedua pahanya yang mengenakan pakaian gamis itu.
"Banget ?", tanya gua pelan tanpa mengurangi senyuman.
Dia mengangguk. "Iya. Takut banget", jawabnya.
"Kenapa ?", tanya gua lagi.
Beberapa saat dia terdiam menatap suaminya ini. Wajah kami cukup dekat. Gua menengadahkan kepala sedikit untuk menatap wajahnya yang cantik namun kedua lingkar matanya sedikit sembab. Lalu jemari tangan kanannya membelai rambut kepala gua dengan lembut dan berulang-ulang. Dia menatap wajah gua dengan sedikit rasa khawatir yang terpancar dari kedua bola matanya.
"Mas.. Masih keinget jelas kejadian itu. Dimana kamu nyiksa keluarganya Rifki di depan mataku. Yang buat aku takut selain kenekatan kamu itu..", dia menahan ucapannya sesaat, memejamkan matanya lalu kembali membukanya untuk menatap gua lagi. "Kamu seolah-olah menikmati setiap detiknya. Kamu nyiksa mereka tanpa amarah, tanpa emosi. Tapi.. Kamu tersenyum ngelakuinnya. Ah enggak! Enggak-enggak-enggak! Kamu menyeringai.. Ya menyeringai kayak tadi. Itu yang buat aku takut liat sisi lain kamu itu.. Trauma aku..", lanjutnya dengan rasa khawatir yang berubah menjadi rasa takut.
Gua yang tadinya hendak menyeringai langsung tersadar, gua jadi tersenyum. Lalu mengerjapkan mata beberapa kali untuk menggodanya seperti anak gadis.
"Berarti ucapan Psikolog cantik yang waktu dulu itu benerkan ? Kalo aku ini sakit. Jiwanya yang sakit", ucap gua kali ini dengan tersenyum lebar.
Istri gua menghela nafasnya pelan. "Luna maksud kamu ?".
Gua hanya mengangguk tanpa mengurangi senyuman.
"Aku terima kamu apa adanya, Mas. Segala kekurangan kamu, kelebihan kamu, masa lalu kamu. Semuanya. Aku bersyukur Allah Subhanahu wa Ta'ala menjadikan kamu jodohku. Dan kamu itu bukan sakit jiwa. Cuma apa yaa.. Mmm.. Kamu tuh cuma bereaksi aneh aja. Emang gak normal kalo orang lain yang liat, tapi aku tau kamu kok. Aku tau betapa besarnya rasa sayang kamu sama keluarga. Sampai kamu senekat itu setiap ada masalah yang nimpa kita semua..", jelasnya panjang lebar.
"Kalo gitu ngerti kenapa tadi aku marah ?", tanya gua lagi seraya terkekeh.
"Iya ngerti. Maafin aku", jawabnya penuh sesal.
"Kalo ngerti, tau dong apa yang harus dilakuin sekarang ? Hehehe..".
"Iih.. Nyebelin kamu ma. Iya-iya aku tau. Harus jelasin", jawabnya dengan bibir yang cemberut. "Iya aku minta maaf udah ngerengek minta pulang terus selama ini. Maaf juga udah suudzon ke kamu dan keluarga disini. Maaf udah mikir kalian semua terbebani sama kondisi dan keadaan aku yang seperti ini. Maafin aku, Mas", lanjutnya kali ini dengan menggenggam kedua tangan gua.
Gua tersenyum lagi. Lalu memegangi kedua sisi wajahnya dengan kedua telapak tangan gua. "Aku cinta sama kamu Adinda. Aku gak mungkin ngerelain kamu pergi gitu aja kerumah Mamah dengan kondisi kamu seperti ini", ucap gua. Lalu gua cium keningnya cukup lama.
"Sayangku, aku gak mungkin ngelarang kamu pulang kerumah Mamah kalo cuma pingin sekedar nenangin diri. Tapi enggak dengan pikiran kamu yang kayak begitu. Yang ada nanti kamu gak balik lagi kesini. Ujungnya apa ? Yang ada kita cerai", lanjut gua.
"Iih! Gak mau! Na'udzubillahimindzalik!", jawabnya cepat.
"Ya makanya. Jangan kayak gitu lagi, hehehe..".
Nona Ukhti-istri gua itu terdiam beberapa saat. Dia menatap gua dengan bertanya-tanya. Terlihat jelas dari raut wajahnya itu. Gua pun tersadar.
"Kenapa sayang ?", tanya gua heran.
Raut wajahnya sedikit memancarkan kekhawatiran. "Kamu... Kamu gak akan ninggalin aku kan, Mas ?", tanyanya ragu.
Gua menarik nafas dalam-dalam sebelum akhirnya tersenyum lembut dan menatap kedua bola matanya lekat-lekat. Lalu gua genggam kedua tangannya cukup erat.
"Liat aku baik-baik Vena Tunggadewi. Aku bersumpah Demi Allah Subhanahu wa Ta'ala pemilik alam semesta beserta isinya ini. Aku gak akan pernah ninggalin kamu, sayang ku", jawab gua serius dengan penuh penekanan.
Dia tersenyum. Sedikit air disudut kedua matanya nampak keluar. Lalu mengangguk pelan. "Aamiin. Aamiin. Aamiin ya Rabbal'alamin", jawabnya.
...
Malam harinya kami berdua sedang rebahan diatas ranjang. Istri gua itu menyandarkan kepalanya kedada kiri gua. Tangan kirinya merengkuh pinggang kanan ini. Sedangkan gua membelai lembut rambutnya yang memang tidak mengenakan hijab itu dengan tangan kanan.
"Mas..", panggilnya pelan.
"Ya, sayang..", jawab gua dengan menatap langit-langit kamar.
"Kamu..", dia menahan ucapannya sedetik-dua detik. "Kamu beneran kan gak akan ninggalin aku karena keadaan aku ini ?".
Terdengar jelas nada kekhawatiran yang terasa oleh gua dari pertanyaannya itu.
"Aku akan merawat kamu, Ve. Nemenin kamu, kalo perlu disetiap harinya. Biar kamu percaya kalo aku cinta sama kamu apapun kondisinya", jawab gua dengan terus membelai lembut rambutnya dan menatap langit kamar diatas sana.
"Aku takut, Mas. Aku takut kamu ninggalin aku... Hiks.. Hiks..". Tangan kirinya mulai mencengkram erat lengan kanan gua yang masih membelai rambutnya itu.
"Jangan takut, sayang. Aku gak mungkin ngelakuin hal itu, meninggalkan kamu seperti ini..", jawab gua lagi berharap dia bisa percaya dan mengurangi rasa ketakutannya.
Isak tangisannya perlahan mulai hilang. Hanya sesekali ia terisak. Lalu saat nafasnya sudah kembali normal. Wajahnya ia angkat untuk menatap gua.
"Mas...".
"Ya sayang ?", gua balik menatap wajahnya.
"Aku.. Aku udah gak bisa ngasih kamu keturunan, Mas...". Gua terdiam, menunggunya untuk menumpahkan segala isi hatinya itu. "Aku.. Aku juga udah gak bisa ngerawat kamu, Mas.. Aku udah gak mungkin melakukan semua kewajiban istri untuk suaminya. Karena... Karena aku lumpuh! Lumpuh, Mas! Aku lumpuuuuh!!! HAAAAA!!!".
Teriakannya diakhir ucapannya itu sekaligus membenamkan wajahnya dalam dada gua. Satu tangannya mencengkram erat sprei ranjang, satunya lagi mencengkram erat baju gua. Pecah sudah tangisnya itu. Suaranya cukup tertahan oleh dada gua.
Gua menelan ludah. Menatap lagi langit-langit kamar diatas sana. Airmata gua sudah menggenang dipelupuk mata. Tangan kanan ini terkepal keras. Saat itu gua ingin sekali berlari ke lemari pakaian dan membuka isi lacinya, mengambil Smith & Wesson lalu melontarkan timah panas kedalam mulut bajingan bernama Rifki. Semuanya karena lelaki bajingan nan brengsek itu hingga istri gua sampai seperti ini.
Tapi gua tau itu tidak mungkin. Gua berusaha kuat dengan bangun dan mengajaknya duduk berhadapan dengan gua. Istri gua masih menangis, gua usap airmatanya perlahan-lahan. Gua tidak mengajaknya bicara sedikitpun. Gua tahu dia sedang menumpahkan semua isi hatinya lewat airmatanya itu. Gua biarkan ia menangis sampai beberapa menit kemudian tangisnya mereda.
Gua tersenyum ketika dia menatap gua dengan matanya yang sembab. Gua belai wajahnya dengan satu jari. Dari keningnya gua mulai gerakan jari telunjuk ini menelusuri tulang hidungnya, kemudian bibirnya, lehernya, lalu berhenti diatas dadanya. Dia masih menatap gua, gua tatap balik dirinya yang masih sedikit tersedu-sedu.
"Disini. Disinilah semuanya bermuara sayang. Aku tau kamu bisa. Karena kamu adalah wanita yang memiliki hati yang kuat. Belum pernah aku temuin wanita sekuat kamu, sayang. Pengalaman kamu di masa lalu adalah buktinya. Itu adalah salah satu kejadian terburuk yang ditakutkan semua kaum hawa di dunia ini. Dan kamu ? Kamu mampu melewatinya, sayang", ucap gua. Lalu gua rentangkan jemari gua yang lain kali ini hingga telapak tangan kanan gua itu kini sudah memegang lembut bagian atas dadanya itu. "Sekarang pun, aku yakin kamu bisa. Kita bisa. Mampu. Untuk ngelewatin semuanya. Dengan hati kamu yang kuat ini", tandas gua dengan sedikit menekan sentuhan telapak tangan gua itu.
Sedetik kemudian, istri gua tercinta yang sering gua panggil dengan Nona Ukhti itu langsung memeluk tubuh suaminya ini dengan erat. Gua usap punggungnya ketika dia mengucapkan terimakasih.
Pukul satu dini hari gua terbangun. Entah waktu itu apa yang menyebabkan gua terbangun dan membuka mata. Gua lirik kesamping kiri dimana sang Nyonya masih tertidur dengan damainya. Gua memilih bangun dan duduk ditepian ranjang. Gua perhatikan wanita yang masih tertidur itu cukup lama.
Saat itu semua kenangan tentang dirinya kembali memenuhi lamunan gua. Dimulai saat kami berkenalan di masa SMA sampai sekarang. Tentunya momen-momen bahagia kami membuat gua tersenyum dalam lamunan. Sampai dimana momen bahagia itu sirna ditelan oleh bayang-bayang masa kelamnya. Gua bergidik saat mengingat bagaimana dirinya hancur berantakan waktu dia mengalami kejadian buruk saat masa kuliah. Sampai akhirnya gua meneteskan airmata ketika ingatan ini menunjukan kondisinya yang sekarang. Ya saat ini, di depan mata gua.
Nafas gua cukup terkecat. Gua menggigit bibir bagian bawah ketika apa yang ia ucapkan beberapa jam yang lalu terngiang diotak ini dengan jelas. Gua buru-buru memasuki kamar mandi yang berada didalam kamar ini, menutup pintunya lalu menyalakan semua keran air yang berada didalam sini. Sekencang-kencangnya. Saat itulah untuk pertama kalinya gua menangis dan berteriak cukup keras didalam kamar mandi.
'ANJJJJJIIIIIINGNGNG!!! HUAAAAAA!!! BANGSAAAAATTT!!!'
Setelah berteriak gua terjatuh lalu terduduk diatas lantai kamar mandi dengan memegangi bathtub. Gua menangis, airmata ini tidak berhenti keluar dengan derasnya. Gua membenamkan wajah kepada tangan kanan yang bertopang pada sisi bathtub. Gua masih terus dan terus menangis. Didalam otak gua hanya satu yang terbayang. Kondisi istri gua itu. Gua tidak sanggup melihatnya menderita seperti ini.
Apa yang ia ucapkan sebelumnya membuat gua sakit. Sakit-sesakit-sakitnya. Semua melebihi apa yang gua bayangkan. Sampai akhirnya gua tersadar oleh luapan air yang sudah tumpah dari dalam bathtub membasahi tubuh ini. Gua bangun dan mengusap airmata. Gua lihat air yang tumpah itu secara terus menerus. Air itu terus meluap keluar. Seperti itukah ? Pikir gua dalam hati. Jika bathtub itu adalah kami manusia, dan air itu adalah cobaan yang Dia berikan hingga meluap melebihi kapasitas bathtub tersebut, maka dengan sendirinya air itu akan keluar. Lalu bagaimana sisa air yang berada didalamnya ? Gua harus mematikan sumber air tersebut, lalu membuang sisa air yang berada didalamnya dengan membuka tutup lubang pembuangannya.
Gua mengambil sebuah pilhan di pagi yang buta itu. Gua harus mematikan sumber masalahnya terlebih dahulu didalam hati. Gua harus membuang semua rasa kecewa, takut, khawatir dan segala keburukan dalam hati ini terlebih dahulu. Setelah itu gua harus meminta kepada-Nya. Agar sisa 'air' yang masih berada di dalam hati gua Dia buang lewat pertolongan-Nya itu.
Saat itulah gua kembali melaksanakan shalat dua raka'at di pagi buta. Memohon ampunan-Nya. Karena boleh jadi semua ini terjadi akibat kesalahan-kesalahan yang kita buat sendiri. Lalu setelah itu gua berdo'a, memohon lagi kepada-Nya agar istri gua tercinta yang bernama Vena Tunggadewi diberikan kekuatan hati, iman serta jiwa agar ia mampu menerima semua yang telah Engkau gariskan untuknya. Dan bantulah hamba untuk selalu diberikan kesabaran disetiap waktu agar hamba bisa menemani hari-harinya yang berat.
Airmata gua mengalir lagi. Dalam tangisan gua duduk bersimpuh diatas sajadah dengan kedua tangan menghadap keatas, gua memohon pertolongan-Nya. Mengharapkan bantuan-Nya. Agar gua bisa membahagiakan istri gua yang sedang sakit itu. Menemaninya disepanjang hidup. Gua berharap diberikan waktu yang cukup hingga ia bisa kembali tersenyum. Dan pada akhirnya, gua berharap Allah subhanahu wa Ta'ala mengabulkan do'a-do'a seorang suami untuk kebahagiaan istrinya.
*
*
*
*
*
Dusk till Dawn - Zayn feat. Sia
***
'cause I wanna touch You, baby
And I wanna feel You, too
I wanna see the sunrise and Your sins
Just Me and You
But You'll never be Alone
I'll hold You when things go wrong
I'll be with You from Dusk till Dawn
I'll be with You from Dusk till Dawn
Baby, I'm right here
'cause I wanna touch You, baby
And I wanna feel You, too
I wanna see the sunrise and Your sins
Just Me and You
But You'll never be Alone
I'll hold You when things go wrong
I'll be with You from Dusk till Dawn
I'll be with You from Dusk till Dawn
Baby, I'm right here
Diubah oleh glitch.7 13-09-2018 11:08
kifif dan 6 lainnya memberi reputasi
7
Kutip
Balas
Tutup

