- Beranda
- Stories from the Heart
Sonne Mond und Stern
...
TS
glitch.7
Sonne Mond und Stern
die SONNE der MOND und der STERN
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Tak Lagi Sama - Noah
Spoiler for Cover Stories:
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 95% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahdan lanjutan dari sebuah cerita Love in Elegy yang pernah Gua tulis di Forum ini.
Quote:
Catatan:
1. Mengacu pada aturan main forum H2H dan SFTH
2. 95% Semua tokoh/karakter di cerita ini sudah memberikan izin
3. Sikapi dengan bijak apa yang tertuang disini
4. Jangan meminta lebih dari apa yang sudah diberikan
5. Sopanlah dalam berkomentar
6. Saling menghargai TS, penulis dan sesama kaskuser disini
1. Mengacu pada aturan main forum H2H dan SFTH
2. 95% Semua tokoh/karakter di cerita ini sudah memberikan izin
3. Sikapi dengan bijak apa yang tertuang disini
4. Jangan meminta lebih dari apa yang sudah diberikan
5. Sopanlah dalam berkomentar
6. Saling menghargai TS, penulis dan sesama kaskuser disini
Versi PDF Dua Thread Sebelumnya :

*mulustrasi karakter dalam cerita ini
Quote:
BAB I & BAB II
BAB III & BAB IV
***
Tralala_Trilili
PROLOG
BAB V
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15- continues
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
***
SEBELUM CAHAYA
PART I
PART II
PART III - The Ghost of You
PART IV
PART V
PART VI
PART VII
PART VIII
Cooling Down
PART IX
PART X - continues
PART XI
PART XII
PART XIII
PART XIV
PART XV
PART XVI
PART XVII A
PART XVII B
PART XVIII
PART XIX - continues
PART XX
PART XXI
PART XXII
PART XXIII
PART XXIV
PART XXV
PART XXVI
PART XXVII
PART XXVIII
PART XXIX
PART XXX
PART XXXI
PART XXXII
PART XXXIII
PART XXXIV
PART XXXV
PART XXXVI - continues
PART XXXVII
PART XXXVIII
PART XXXIX
Vor dem Licht XL - Das Ende
***
BAB V
PART 21
PART 22
Tentang Rasa
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
Von Hier Wegfliegen
Teils Eins - Vorstellen
Teils Zwei - Anfang
Teils Drei - Der Erbarmer
Teils Vier - Von Hier Wegfliegen
Lembayung Senja
Bagian Satu
Bagian Dua
Bagian Tiga
Bagian Empat
Bagian Lima - continues
Bagian Enam
Bagian Tujuh
Bagian Delapan
Bagian Sembilan
Bagian Sepuluh - continues
Breaking Dawn
One Step Closer
Ascension
Throwback Stories
Life is Not Always Fair
Dusk till Dawn
Awal Semula
Untuk Masa Depan
Terimakasih
Omong Kosong
Kepingan Cerita
Menyerah
Restoe
Rasanya - Rasain
Pengorbanan
Menuju Senja
Kenyataan
Wiedersehen
Cobalah untuk Mengerti
Pengorbanan
Tentang Kita
SIDE STORY
VFA
Daily Life I
Daily Life II
Maaf NEWS
Tentang MyPI
*thanks to my brother in law yang bantu index dan update selama gua mudik
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 239 suara
Siapakah pendamping Eza sebenarnya ?
Sherlin Putri Levanya
55%
Franziska Luna Katrina
17%
Giovanna Almira
28%
Diubah oleh glitch.7 08-01-2022 09:16
chamelemon dan 125 lainnya memberi reputasi
122
1.9M
Kutip
8.8K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
glitch.7
#7588
Throwback Stories
Life is Not Always Fair
Quote:
Gua terbangun di malam hari sekitar pukul setengah dua belas malam. Saat semua keluarga gua terlelap dan istri tercinta gua pun sedang berada dalam mimpinya. Gua duduk diatas ranjang kami. Memperhatikan lembut tubuhnya yang perlahan naik-turun dengan nafasnya yang teratur. Cukup lama gua memperhatikan wanita yang sangat gua cintai itu.
"Huuft..", gua hela nafas sebelum akhirnya beranjak keluar kamar.
Gua ambil satu kaleng beerdidalam kulkas lalu duduk di dalam gazebo halaman belakang. Gua teguk minuman beralkohol dalam kaleng tersebut setelah membukanya dan menyalakan sebatang rokok.
Ditengahnya malam. Lamunan gua membawa kembali ingatan dalam otak kepada kejadian-kejadian yang pernah gua alami selama ini. Gua sempat tidak percaya kalau apa yang selama ini sudah gua lalui dalam hidup ternyata belum cukup bagi sang Pencipta memberi gua cobaan. Lagi dan lagi.
Semakin lama gua mengingat kejadian di masa lalu, akhirnya gua menyadari satu hal. Gua dan Nona Ukhti nyatanya sudah diberi cobaan dan ujian yang begitu banyak hingga detik ini. Gua hampir menyerah lagi seperti saat dulu kehilangan almarhumah Echa dan Jingga. Andaikan Nona Ukhti tidak memiliki iman yang kuat kepada Tuhan mungkin cerita kami akan lain adanya.
"Mas Agha..", sapa seorang gadis belia dari pintu halaman belakang diujung sana.
Gua melirik kepadanya dan tersenyum saat dia berjalan menghampiri kedalam gazebo ini.
"Kok belom tidur, Mas ? Kenapa ?", tanyanya saat sudah berdiri didekat gua.
Gua hisap dalam-dalam rokok yang sebelumnya gua bakar untuk kemudian menghembuskannya kembali. Lalu gua bangun dari duduk dan berjalan keluar gazebo. Gua berdiri di depan kolam renang.
"Kamu kenapa gak tidur ?", tanya gua balik.
"Aku abis dari kamar mandi. Terus liat pintu belakang kok kebuka.. Taunya Mas Agha lagi disini..", jawabnya yang kini sudah berdiri disamping gua. "Mas.. Kamu masih kepikiran Mba Vena ya ?", tanyanya lagi.
"Aku cuma gak abis pikir aja kok semuanya bisa kejadian sampe kayak gini, Sya..", jawab gua tanpa mengalihkan pandangan dari riak air kolam renang dibawah sana.
Risya adik tiri gua itu hanya terdiam. Kami sama-sama terdiam untuk beberapa saat sampai akhirnya dia memegang pundak kiri gua dengan tangan kanannya.
"Aku mungkin gak ngerti apapun yang udah Mas Agha dan Mba Vena alamin di masa lalu. Tapi Ibu pernah bilang, kamu itu anak istimewa, Mas...", jawabnya.
Gua melirik kepadanya. Seolah-olah dia mengerti maksud gua.
"Ibu pernah cerita soal masa lalu kamu ke aku dan Bapak. Semuanya, Mas...", lanjutnya.
Gua tersenyum. Lalu mengusap kepalanya. "Gak ada satu orang pun di dunia ini yang mau menjadi aku, Sya".
"Mas. Percaya ya. Allah pasti punya rencana yang indah untuk kamu dan Mba Vena. Risya yakin kamu orang yang kuat. Buktinya aku masih bisa liat Mas Agha sampe detik ini..", jawabnya.
Gua cubit pipi kanannya pelan. "Anak kecil bisa-bisanya ngomong kayak gitu", ucap gua sebelum akhirnya tertawa pelan.
Kemudian dia tersenyum lalu memeluk gua.
"Risya sayang sama Mas Agha. Sayang sama Mba Vena. Aku udah anggap Mas Agha seperti Kakak kandungku sendiri. Risya percaya Mas Agha pasti kuat", ucapnya lagi saat memeluk gua.
Gua balas pelukannya dan mengusap punggung gadis yang masih berada di sekolah menengah atas itu. Lalu entah kenapa, mata gua lambat laun mulai berair.
"Makasih, Sya. Makasih banyak. Mas Agha cuma minta kamu tolong do'a kan Mba Ve ya. Demi kesehatan dia", ucap gua yang ditanggapi dengan anggukan kepalanya.
Hari ini adalah hari kelima dimana Nona Ukhti baru saja pulang dari rumah sakit setelah diperbolehkan pulang dan menjalani rawat jalan oleh dokter. Apa yang sudah terjadi beberapa hari lalu jelas membuat gua dan keluarga menyimpan dendam kepada lelaki yang bernama Rifki. Rasanya hukuman yang ia terima untuk mempertanggungjawabkan kelakuannya tidak setimpal dengan apa yang istri gua itu alami. Dan gua kembali melakukan satu hal gilakepada bajingan itu. Andaikan istri gua tidak melarang dan memohon untuk memaafkannya, mungkin saja nyawa si bajingan sudah direnggut oleh barang peninggalan Nyonya Katsumi.
Siang ini gua sedang berada di halaman belakang. Menemani seorang bidadari cantik yang malu untuk menerima suapan dari tangan gua.
"Mmpph.. Bentalp.. Belomp ditelenp...mmphh", ucapnya ketika gua hendak menyodorkan lagi satu suapan makanan untuknya.
Gua tersenyum melihat kedua pipinya yang sedikit mengembung.
"Huft.. Nyuapinnya pelan-pelan, Mas. Aku nelennya gak bisa cepet-cepet", ucapnya lagi protes kepada suaminya ini.
Gua terkekeh. "Hehehe.. Abisnya lama bener makannya. Gemes sendiri aku", jawab gua.
"Aku makan sendiri aja ya, kayak anak kecil ah pake acara disuapin kayak gini.. Malu tau".
"No. No. No way.. Sama suami sendiri kok malu sih, sayang ? Udah kamu diem aja tinggal makan yang anteng".
"Iih. Aku tuh kayak sakitnya paraaaaaah banget gitu. Padahal makan sendiri juga masih bisa kok".
Gua tersenyum tipis. Lalu meletakkan piring di meja gazebo ini. Kemudian gua genggam tangan kanannya dengan kedua tangan ini untuk gua cium punggung tangannya itu dalam-dalam.
"Kenapa ?", tanyanya.
Gua masih menciumi tangannya itu. Cukup lama sampai akhirnya gua merasakan tangan kirinya membelai lembut rambut gua. Gua membuka mata dan menatap wajahnya dengan penuh rasa penyesalan. Airmata gua lambat laun membasahi kedua pipi ini.
"Kenapa nangis ?", tanyanya kaget.
"Aku gak berguna untuk kamu, Ve. Dua kali... Dua kali, Ve.. Dua kali!", ucap gua disela-sela tangisan dengan emosi yang sudah tidak karuan.
Istri yang sangat gua cintai itu memegang kedua sisi wajah gua dan mengusap airmata ini. Lalu dia tersenyum tipis kepada gua.
"Kamu gak boleh ngomong gitu, Mas. Aku gak pernah nyalahin kamu dari kejadian yang dulu menimpaku sampe yang kemarin. Kamu selalu ada untuk aku, Mas. Kamu lelaki yang aku butuhkan selama ini. Jangan terus-terusan nyalahin diri sendiri, sayang".
"Tapi aku gak pernah bisa jagain kamu. Dulu.... Ah! Brengsek!..", gua emosi mengingat kejadian yang menimpanya dahulu.
"Ssstt.. Udah-udah. Kita udah janji gak mau bahas soal itu lagi. Udah ya sayang".
Gua menghela nafas dengan kasar lalu gua memeluknya dengan posisi bersimpuh. "Maafin aku, Ve. Maafin aku.. Maaf...", ucap gua penuh penyesalan.
Istri gua itu membalas pelukkan suaminya ini. Lalu dia mengusap-usap punggung gua.
"Udah sayang. Ini semua udah takdir aku. Kamu. Kita gak bisa nyalahin diri sendiri terus menerus. Udah cukup kamu terus-terusan emosi, marah, kesel, menyesal. Udah ya, Mas. Udah. Alhamdulilah aku sama kamu masih dikasih kesempatan untuk bersama-sama lagi".
"Ve..", gua lepas pelukan dan kembali menatap wajahnya.
"Ya, sayang ?".
"Kita ke luar negeri ya. Untuk kesembuhan kamu.. Please".
Untuk kesekian kalinya dia menolak. Selalu seperti itu. Hanya buang-buang waktu, tenaga, dan biaya katanya.
...
Hari berganti hari dan gua belum mulai bekerja. Gua memilih untuk menemani istri tercinta gua selama ini. Dengan kondisinya yang menurut gua sangat mengkhawatirkan itu membuat gua sadar kalau dukungan moril dari keluarga sangatlah penting. Tidak ada seorang suami yang tidak ingin istrinya bahagia. Begitu pun dengan gua. Segala cara sudah gua coba untuk membujuknya agar mau berobat dan terapi di rumah sakit yang lebih baik, bahkan gua rela untuk menjual satu cabang restoran di Bali sana demi biaya kesembuhannya itu. Tapi dia tetap tidak mau untuk mencoba berobat di luar negeri.
"Pelan-pelan.. Yap.. Diem dulu", ucap gua memeluknya dengan posisi berdiri.
"Haduh.. Haduh.. Cape loch nyoba diri doang, Mas..", ucapnya sedikit terengah-engah.
"Ya kalo cape jangan dipaksain".
"Sebentar ya..", jawabnya lagi sambil tetap memeluk gua dengan erat.
"Santai aja, sayang. Jangan buru-buru".
"Aduh.. Kayaknya susah, Mas. Aku belom kuat, aku mau duduk lagi aja", ucapnya setelah mencoba berjalan satu langkah dan gagal.
Gua membantunya untuk kembali duduk diatas kursi roda. Kemudian gua ambilkan jus alpukat yang sebelumnya dibuatkan oleh Bibi. Gua duduk dihadapannya. Tersenyum menatap wajahnya yang cantik.
"Kamu cape ya ?", tanyanya setelah meminum jus alpukat.
Gua mengerenyitkan kening. "Cape ? Cape kenapa ?", tanya gua heran.
Dia menundukkan kepalanya. "Cape. Cape ngurusin aku", jawabnya pelan.
Gua seperti mendengar petir di siang bolong. Tidak percaya rasanya dia bisa berpikir sampai seperti itu.
"Ya ampun! Apa-apaan sih kamu, Ve ?! Kok kamu ngomongnya kayak gitu ke aku ?", tanya gua tidak percaya.
"Ya enggak.. Aku cuma.. Cuma takut aja kalo kamu cape punya istri kayak gini".
"Allahu akbar! Vena! Apa-apaan sih kamu!".
"Maaf.. Hiks.. Hiks...".
...
Satu bulan kemudian seperti yang dijadwalkan. Hari ini kami pergi kesalah satu rumah sakit dimana istri gua itu masih harus rutin check-up kondisinya. Gua tentu saja mengantarkannya. Setelah beres diperiksa dan seperti biasanya dia harus masuk laboratrium hingga di rontgen pada bagian kakinya, membuat gua harap-harap cemas. Istri gua menunggu diluar ruangan ketika dokter ingin berbicara empat mata dengan gua.
"Mas Agha. Dari hasil rontgen dan CT-Scan minggu lalu sepertinya istri anda mengalami kelumpuhan permanen pada kedua kakinya, Mas..".
Gua tertegun mendengar ucapan dokter tersebut. Butuh beberapa detik untuk gua mencerna vonisnya itu terhadap istri tercinta gua.
"Ma.. Maksudnya gimana, dok ?", tanya gua tidak percaya.
"Kemungkinan besar ini akibat cidera yang dialami oleh istri anda sebelumnya sehingga dia mengalami kerusakan fungsi otot dan sensorik pada tulang belakangnya, Mas. Saya mohon maaf. Hasilnya menunjukkan kalau cidera yang dialami istri anda ternyata cukup parah. Tapi kita bisa mencoba beberapa terapi jika Mas Agha dan istri setuju", jawabnya panjang lebar.
Gua menyandarkan punggung ke bahu kursi. Menatap dokter itu dengan tatapan kosong. Dunia gua rasanya berputar-putar.
"Saya turut prihatin dengan kondisi Nyonya Vena. Saya dengar dari dokter kandungan sebelumnya kalau istri anda itu.. Maaf. Sudah dilakukan histerektomi karena mengalami pendarahan berat", lanjutnya hati-hati.
Gua tersenyum kali ini. Tersenyum sinis.
"Apa yang ada dipikiran anda dok ketika tau istri anda sudah diangkat rahimnya dan sudah pasti tidak akan memiliki keturunan ? Sekarang, dia harus terima kondisi kakinya yang lumpuh total juga ? Hmm.. Haha.. Hahahaha... Hahahahaha....". Gua tertawa. Benar-benar tertawa saat itu.
Lalu gua memajukan tubuh untuk menatap wajahnya lekat-lekat.
"Dok. Bilang sama Tuhan yang mana aja. Lepas gelarnya sebagai Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang...", tandas gua.
"Huuft..", gua hela nafas sebelum akhirnya beranjak keluar kamar.
Gua ambil satu kaleng beerdidalam kulkas lalu duduk di dalam gazebo halaman belakang. Gua teguk minuman beralkohol dalam kaleng tersebut setelah membukanya dan menyalakan sebatang rokok.
Ditengahnya malam. Lamunan gua membawa kembali ingatan dalam otak kepada kejadian-kejadian yang pernah gua alami selama ini. Gua sempat tidak percaya kalau apa yang selama ini sudah gua lalui dalam hidup ternyata belum cukup bagi sang Pencipta memberi gua cobaan. Lagi dan lagi.
Semakin lama gua mengingat kejadian di masa lalu, akhirnya gua menyadari satu hal. Gua dan Nona Ukhti nyatanya sudah diberi cobaan dan ujian yang begitu banyak hingga detik ini. Gua hampir menyerah lagi seperti saat dulu kehilangan almarhumah Echa dan Jingga. Andaikan Nona Ukhti tidak memiliki iman yang kuat kepada Tuhan mungkin cerita kami akan lain adanya.
"Mas Agha..", sapa seorang gadis belia dari pintu halaman belakang diujung sana.
Gua melirik kepadanya dan tersenyum saat dia berjalan menghampiri kedalam gazebo ini.
"Kok belom tidur, Mas ? Kenapa ?", tanyanya saat sudah berdiri didekat gua.
Gua hisap dalam-dalam rokok yang sebelumnya gua bakar untuk kemudian menghembuskannya kembali. Lalu gua bangun dari duduk dan berjalan keluar gazebo. Gua berdiri di depan kolam renang.
"Kamu kenapa gak tidur ?", tanya gua balik.
"Aku abis dari kamar mandi. Terus liat pintu belakang kok kebuka.. Taunya Mas Agha lagi disini..", jawabnya yang kini sudah berdiri disamping gua. "Mas.. Kamu masih kepikiran Mba Vena ya ?", tanyanya lagi.
"Aku cuma gak abis pikir aja kok semuanya bisa kejadian sampe kayak gini, Sya..", jawab gua tanpa mengalihkan pandangan dari riak air kolam renang dibawah sana.
Risya adik tiri gua itu hanya terdiam. Kami sama-sama terdiam untuk beberapa saat sampai akhirnya dia memegang pundak kiri gua dengan tangan kanannya.
"Aku mungkin gak ngerti apapun yang udah Mas Agha dan Mba Vena alamin di masa lalu. Tapi Ibu pernah bilang, kamu itu anak istimewa, Mas...", jawabnya.
Gua melirik kepadanya. Seolah-olah dia mengerti maksud gua.
"Ibu pernah cerita soal masa lalu kamu ke aku dan Bapak. Semuanya, Mas...", lanjutnya.
Gua tersenyum. Lalu mengusap kepalanya. "Gak ada satu orang pun di dunia ini yang mau menjadi aku, Sya".
"Mas. Percaya ya. Allah pasti punya rencana yang indah untuk kamu dan Mba Vena. Risya yakin kamu orang yang kuat. Buktinya aku masih bisa liat Mas Agha sampe detik ini..", jawabnya.
Gua cubit pipi kanannya pelan. "Anak kecil bisa-bisanya ngomong kayak gitu", ucap gua sebelum akhirnya tertawa pelan.
Kemudian dia tersenyum lalu memeluk gua.
"Risya sayang sama Mas Agha. Sayang sama Mba Vena. Aku udah anggap Mas Agha seperti Kakak kandungku sendiri. Risya percaya Mas Agha pasti kuat", ucapnya lagi saat memeluk gua.
Gua balas pelukannya dan mengusap punggung gadis yang masih berada di sekolah menengah atas itu. Lalu entah kenapa, mata gua lambat laun mulai berair.
"Makasih, Sya. Makasih banyak. Mas Agha cuma minta kamu tolong do'a kan Mba Ve ya. Demi kesehatan dia", ucap gua yang ditanggapi dengan anggukan kepalanya.
***
Hari ini adalah hari kelima dimana Nona Ukhti baru saja pulang dari rumah sakit setelah diperbolehkan pulang dan menjalani rawat jalan oleh dokter. Apa yang sudah terjadi beberapa hari lalu jelas membuat gua dan keluarga menyimpan dendam kepada lelaki yang bernama Rifki. Rasanya hukuman yang ia terima untuk mempertanggungjawabkan kelakuannya tidak setimpal dengan apa yang istri gua itu alami. Dan gua kembali melakukan satu hal gilakepada bajingan itu. Andaikan istri gua tidak melarang dan memohon untuk memaafkannya, mungkin saja nyawa si bajingan sudah direnggut oleh barang peninggalan Nyonya Katsumi.
Siang ini gua sedang berada di halaman belakang. Menemani seorang bidadari cantik yang malu untuk menerima suapan dari tangan gua.
"Mmpph.. Bentalp.. Belomp ditelenp...mmphh", ucapnya ketika gua hendak menyodorkan lagi satu suapan makanan untuknya.
Gua tersenyum melihat kedua pipinya yang sedikit mengembung.
"Huft.. Nyuapinnya pelan-pelan, Mas. Aku nelennya gak bisa cepet-cepet", ucapnya lagi protes kepada suaminya ini.
Gua terkekeh. "Hehehe.. Abisnya lama bener makannya. Gemes sendiri aku", jawab gua.
"Aku makan sendiri aja ya, kayak anak kecil ah pake acara disuapin kayak gini.. Malu tau".
"No. No. No way.. Sama suami sendiri kok malu sih, sayang ? Udah kamu diem aja tinggal makan yang anteng".
"Iih. Aku tuh kayak sakitnya paraaaaaah banget gitu. Padahal makan sendiri juga masih bisa kok".
Gua tersenyum tipis. Lalu meletakkan piring di meja gazebo ini. Kemudian gua genggam tangan kanannya dengan kedua tangan ini untuk gua cium punggung tangannya itu dalam-dalam.
"Kenapa ?", tanyanya.
Gua masih menciumi tangannya itu. Cukup lama sampai akhirnya gua merasakan tangan kirinya membelai lembut rambut gua. Gua membuka mata dan menatap wajahnya dengan penuh rasa penyesalan. Airmata gua lambat laun membasahi kedua pipi ini.
"Kenapa nangis ?", tanyanya kaget.
"Aku gak berguna untuk kamu, Ve. Dua kali... Dua kali, Ve.. Dua kali!", ucap gua disela-sela tangisan dengan emosi yang sudah tidak karuan.
Istri yang sangat gua cintai itu memegang kedua sisi wajah gua dan mengusap airmata ini. Lalu dia tersenyum tipis kepada gua.
"Kamu gak boleh ngomong gitu, Mas. Aku gak pernah nyalahin kamu dari kejadian yang dulu menimpaku sampe yang kemarin. Kamu selalu ada untuk aku, Mas. Kamu lelaki yang aku butuhkan selama ini. Jangan terus-terusan nyalahin diri sendiri, sayang".
"Tapi aku gak pernah bisa jagain kamu. Dulu.... Ah! Brengsek!..", gua emosi mengingat kejadian yang menimpanya dahulu.
"Ssstt.. Udah-udah. Kita udah janji gak mau bahas soal itu lagi. Udah ya sayang".
Gua menghela nafas dengan kasar lalu gua memeluknya dengan posisi bersimpuh. "Maafin aku, Ve. Maafin aku.. Maaf...", ucap gua penuh penyesalan.
Istri gua itu membalas pelukkan suaminya ini. Lalu dia mengusap-usap punggung gua.
"Udah sayang. Ini semua udah takdir aku. Kamu. Kita gak bisa nyalahin diri sendiri terus menerus. Udah cukup kamu terus-terusan emosi, marah, kesel, menyesal. Udah ya, Mas. Udah. Alhamdulilah aku sama kamu masih dikasih kesempatan untuk bersama-sama lagi".
"Ve..", gua lepas pelukan dan kembali menatap wajahnya.
"Ya, sayang ?".
"Kita ke luar negeri ya. Untuk kesembuhan kamu.. Please".
Untuk kesekian kalinya dia menolak. Selalu seperti itu. Hanya buang-buang waktu, tenaga, dan biaya katanya.
...
Hari berganti hari dan gua belum mulai bekerja. Gua memilih untuk menemani istri tercinta gua selama ini. Dengan kondisinya yang menurut gua sangat mengkhawatirkan itu membuat gua sadar kalau dukungan moril dari keluarga sangatlah penting. Tidak ada seorang suami yang tidak ingin istrinya bahagia. Begitu pun dengan gua. Segala cara sudah gua coba untuk membujuknya agar mau berobat dan terapi di rumah sakit yang lebih baik, bahkan gua rela untuk menjual satu cabang restoran di Bali sana demi biaya kesembuhannya itu. Tapi dia tetap tidak mau untuk mencoba berobat di luar negeri.
"Pelan-pelan.. Yap.. Diem dulu", ucap gua memeluknya dengan posisi berdiri.
"Haduh.. Haduh.. Cape loch nyoba diri doang, Mas..", ucapnya sedikit terengah-engah.
"Ya kalo cape jangan dipaksain".
"Sebentar ya..", jawabnya lagi sambil tetap memeluk gua dengan erat.
"Santai aja, sayang. Jangan buru-buru".
"Aduh.. Kayaknya susah, Mas. Aku belom kuat, aku mau duduk lagi aja", ucapnya setelah mencoba berjalan satu langkah dan gagal.
Gua membantunya untuk kembali duduk diatas kursi roda. Kemudian gua ambilkan jus alpukat yang sebelumnya dibuatkan oleh Bibi. Gua duduk dihadapannya. Tersenyum menatap wajahnya yang cantik.
"Kamu cape ya ?", tanyanya setelah meminum jus alpukat.
Gua mengerenyitkan kening. "Cape ? Cape kenapa ?", tanya gua heran.
Dia menundukkan kepalanya. "Cape. Cape ngurusin aku", jawabnya pelan.
Gua seperti mendengar petir di siang bolong. Tidak percaya rasanya dia bisa berpikir sampai seperti itu.
"Ya ampun! Apa-apaan sih kamu, Ve ?! Kok kamu ngomongnya kayak gitu ke aku ?", tanya gua tidak percaya.
"Ya enggak.. Aku cuma.. Cuma takut aja kalo kamu cape punya istri kayak gini".
"Allahu akbar! Vena! Apa-apaan sih kamu!".
"Maaf.. Hiks.. Hiks...".
...
Satu bulan kemudian seperti yang dijadwalkan. Hari ini kami pergi kesalah satu rumah sakit dimana istri gua itu masih harus rutin check-up kondisinya. Gua tentu saja mengantarkannya. Setelah beres diperiksa dan seperti biasanya dia harus masuk laboratrium hingga di rontgen pada bagian kakinya, membuat gua harap-harap cemas. Istri gua menunggu diluar ruangan ketika dokter ingin berbicara empat mata dengan gua.
"Mas Agha. Dari hasil rontgen dan CT-Scan minggu lalu sepertinya istri anda mengalami kelumpuhan permanen pada kedua kakinya, Mas..".
Gua tertegun mendengar ucapan dokter tersebut. Butuh beberapa detik untuk gua mencerna vonisnya itu terhadap istri tercinta gua.
"Ma.. Maksudnya gimana, dok ?", tanya gua tidak percaya.
"Kemungkinan besar ini akibat cidera yang dialami oleh istri anda sebelumnya sehingga dia mengalami kerusakan fungsi otot dan sensorik pada tulang belakangnya, Mas. Saya mohon maaf. Hasilnya menunjukkan kalau cidera yang dialami istri anda ternyata cukup parah. Tapi kita bisa mencoba beberapa terapi jika Mas Agha dan istri setuju", jawabnya panjang lebar.
Gua menyandarkan punggung ke bahu kursi. Menatap dokter itu dengan tatapan kosong. Dunia gua rasanya berputar-putar.
"Saya turut prihatin dengan kondisi Nyonya Vena. Saya dengar dari dokter kandungan sebelumnya kalau istri anda itu.. Maaf. Sudah dilakukan histerektomi karena mengalami pendarahan berat", lanjutnya hati-hati.
Gua tersenyum kali ini. Tersenyum sinis.
"Apa yang ada dipikiran anda dok ketika tau istri anda sudah diangkat rahimnya dan sudah pasti tidak akan memiliki keturunan ? Sekarang, dia harus terima kondisi kakinya yang lumpuh total juga ? Hmm.. Haha.. Hahahaha... Hahahahaha....". Gua tertawa. Benar-benar tertawa saat itu.
Lalu gua memajukan tubuh untuk menatap wajahnya lekat-lekat.
"Dok. Bilang sama Tuhan yang mana aja. Lepas gelarnya sebagai Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang...", tandas gua.
Diubah oleh glitch.7 11-10-2018 20:01
kifif dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas
Tutup

