Kaskus

Story

glitch.7Avatar border
TS
glitch.7
Sonne Mond und Stern
die SONNE der MOND und der STERN




Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku


Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku

Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku


Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku

Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.


Tak Lagi Sama - Noah


Spoiler for Cover Stories:


JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 95% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA


Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahdan lanjutan dari sebuah cerita Love in Elegy yang pernah Gua tulis di Forum ini.


Quote:


Versi PDF Dua Thread Sebelumnya :

Masa yang Paling Indah
Credit thanks to Agan njum26

Love in Elegy
Credit thanks to Agan redmoon97


Sonne Mond und Stern
*mulustrasi karakter dalam cerita ini


Quote:

*thanks to my brother in law yang bantu index dan update selama gua mudik
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 239 suara
Siapakah pendamping Eza sebenarnya ?
Sherlin Putri Levanya
55%
Franziska Luna Katrina
17%
Giovanna Almira
28%
Diubah oleh glitch.7 08-01-2022 09:16
snf0989Avatar border
pulaukapokAvatar border
chamelemonAvatar border
chamelemon dan 125 lainnya memberi reputasi
122
1.9M
8.8K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
glitch.7Avatar border
TS
glitch.7
#7285
Lembayung Senja
Bagian Sepuluh
kaskus-image


Tiga hari lalu rasanya hubungan gua dan Mba Yu benar-benar sudah berakhir ketika sang Papah menolak lamaran gua dan keluarga. Penolakkan itu seharusnya menjadi hal yang wajar seandainya sang Papah hanya memberi alasan pertamanya saja. Kami sekeluarga tahu diri dan jauh sebelum acara lamaran tersebut Ibu dan gua sudah siap jika keluarganya Mba Yu menolak, kami memakluminya. Tapi alasan keduanya benar-benar diluar dugaan kami semua. Mendengar ucapannya itu Ibu nyaris saja menampar Papahnya Mba Yu andai Bapak tidak menahannya.

Dan apa yang terjadi kemarin di rumah gua membuat gua mengikuti saran Luna. Sejujurnya gua sudah pesimis bisa mendapatkan restu Beliau. Apalagi saat ini hati gua masih terlalu sakit jika harus melihat orang yang sudah dengan teganya menghina keluarga gua itu. Tapi malam tadi. Gua sudah membicarakan masalah ini. Apa yang iakatakan membuat gua setuju untuk berangkat menemui wanita yang bernama Sherlin Putri Levanya.

...

Gua sudah berada diatas bangku pesawat yang akan membawa gua ke salah satu tempat yang sangat istimewa di jawa tengah. Perjalanan hari ini bukanlah seperti perjalanan sebelumnya saat gua bersama Nona Ukhti. Hari ini gua pergi untuk menemui wanita lain. Mencoba mengalah untuk memperbaiki hubungan kami.

Dan tentu saja gua tidak sendirian.

"Kamu banyak berubah kayaknya", ucap gua memperhatikan wanita yang sedang duduk di bangku samping kanan dengan kacamata hitam dan sweater biru serta celana denim berwarna biru gelap.

Dia menengok seraya menyelipkan sebagian rambut tipisnya kebelakang telinga sebelum akhirnya tersenyum tipis kepada gua.

Jujur gua memang terpana saat kemarin dia keluar dari dalam kamar, bukan karena penampilannya, tapi ada daya tarik tersendiri dari dalam dirinya yang terpancar. Dan dengan jarak kami yang kini cukup dekat gua semakin yakin, bahwa wanita ini mengeluarkan aura yang berbeda. Ya gua yakin akan hal itu.

"Apanya yang berubah ?", tanyanya.

"Aku gak tau. Cuma aku ngerasain kamu bener-bener berbeda dari Ana yang aku kenal dulu, yang jelas ada hal baik dari apa yang aku rasain", jawab gua tanpa berpaling sedikit pun darinya.

Dia kembali tersenyum. Dan kali ini kacamata hitamnya itu ia lepas untuk kemudian ia selipkan dikerah sweaternya. Tatapan matanya cukup membuat gua sadar untuk tidak menatapnya lama-lama secara langsung.

"Aku juga ngerasain hal yang sama dari kamu, Kak. Kayaknya kamu jauh lebih baik walaupun kejadian yang menimpa keluarga kamu itu cukup berat", ucapnya dengan nada suara yang lembut.

Gua tersenyum dalam hati. Kamu gak tahu betapa hancurnya aku Ay disaat kejadian itu baru saja aku alami.

"Ay. Aku mau tanya sesuatu sama kamu, boleh ?", tanya gua meminta izin.

"Kenapa harus izin dulu, Kak ? Tanya aja".

Gua sedikit bingung dan takut membuatnya tersinggung. Tapi pertanyaan ini terus menerus membuat gua penasaran sejak kemarin.

"Mmm.. Ay. Kamu, kemarin kamu ngucapin salam ke aku.. Itu..".

"Oo.. Kamu ngerasa aneh ?", potongnya dengan tersenyum.

"Bukan, bukan aneh, Ay. Sorry, tapi maksud ku selama inikan yang aku tau kamu itu..".

"Kak..", lagi-lagi dia memotong ucapan gua. Kemudian ia menarik nafas perlahan lalu kembali tersenyum lebar sebelum kembali melanjutkan. "Ada hal yang udah terjadi sama hidup ku di Düsseldorf. Dan kejadian itu ngebuat hati ini menuntut ku, Kak", jawabnya.

Ada perubahan dari raut wajahnya. Ia bersedih.

"Maaf, Ay. Tapi aku gak ngerti. Hati kamu ? Menuntut kamu ? Maksudnya gimana ?", tanya gua yang memang tidak mengerti.

Wanita itu kini menundukkan kepalanya. Beberapa helai rambutnya menutupi sebagian wajahnya. Cukup lama rasanya gua menunggu jawaban atas pertanyaan gua itu sampai akhirnya ia menatap gua dengan sedikit menggigit bibir bagian bawahnya sendiri.

"Eh, kenapa ?", tanya gua sedikit khawatir.

"Hati ini udah menuntut aku untuk mengakui sang Pencipta-Nya, Kak", jawabnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Gua hanya bisa tertegun mendengar jawabannya itu.

Gua memang sudah lama tidak bertemu lagi dengannya. Tapi apa yang sudah kami lalui beberapa tahun kebelakang sudah cukup bagi gua untuk mengenal bagaimana karakternya. Dia yang gua kenal dahulu bukanlah seseorang yang mudah menerima sebuah keyakinan ataupun sebuah kepercayaan. Kami tidak sering membicarakan hal semacam ini sebelumnya. Karena itulah gua yakin kalau dia sedang bersungguh-sungguh.

Gua tersenyum. "Menarik kayaknya. Kalo kamu gak keberatan, aku dengan senang hati mau mendengar apa yang udah ngebuat hati kamu menuntut sampe seperti itu, Ay", pinta gua.

Diatas langit pulau jawa gua mendengarkan sebuah cerita yang membuat gua lebih percaya dan yakin bahwa Firman-Nya pada ayat enam puluh delapan yang terkandung dalam surat Al-Mu'min itu benar adanya. 'Dialah yang menghidupkan dan mematikan, maka apabila Dia menetapkan sesuatu urusan, Dia hanya bekata kepadanya: "Jadilah", maka jadilah ia'.
Dan gua mengaitkan ayat tersebut kepada cerita dari seorang wanita yang sudah tergerak hatinya itu atas apa yang ia alami di benua Eropa.

Selama satu jam perjalanan udara gua lebih banyak mendengarkan apa yang sudah ia alami selama di Düsseldorf. Pengalamannya itu memang biasa saja, bahkan sangat biasa bagi kita yang tidak mengerti dan tidak terlibat langsung. Hanya sebuah perkenalan dengan sepasang Kakak-beradik berkebangsaan Turki ternyata sudah lebih dari cukup untuk merubah isi hati, pikiran dan mungkin keyakinannya.

...

Kami berdua baru saja sampai di bandara Adisutjipto. Sambil berjalan di terminal kedatangan domestik menuju pintu keluar gua keluarkan handphone untuk menelpon salah satu kerabat yang sebelumnya memang sudah berjanji akan menjemput kami. Singkat cerita kami sudah berada di dalam sebuah mobil minibus. Gua duduk di bangku depan, sedangkan Helen duduk dibangku belakang. Seorang kerabat jauh dari keluarga Nona Ukhti yang bernama Mas Adi inilah yang menjemput kami dan akan mengantar kami juga menuju daerah kabupaten Sleman.

Selama perjalanan menuju Godean gua mengenalkan Mas Adi kepada Helen. Mas Adi adalah orang yang santun. Dia tinggal di jawa tengah ini sejak lahir hingga memiliki keluarga kecilnya sendiri setahun lalu.

Menjelang sore hari kami akhirnya sampai di depan sebuah rumah yang cukup besar. Gua kembali melirik alamat yang pagi tadi dikirimkan adiknya Mba Yu yang juga istri dari sahabat gua Rekti. Setelah yakin dengan alamat yang dikirmkan oleh Desi kami bertiga turun dari mobil dan berjalan menuju rumah tanpa pagar tersebut.

"Assalamualaikum..", ucap gua memberi salam di depan pintu yang terbuka.

Nampak sepi ruang tamu didalam sana. Tapi terdengar suara lagu jawa dari ruangan lain.

"Kulonuwun, assalamualaikum", ucap Mas Adi kali ini dengan sedikit keras.

Tidak lama kemudian seorang Ibu paruh baya dengan kebaya berwarna hijau berjalan dari dalam rumah kearah kami.

"Walaikumsalam. Panjenengan sinten ?", tanyanya kepada Mas Adi yang memang berada di depan kami berdua.

"Tepangaken asmaning kula Adi saking Kalasan. Punika Mas Reza ugi Mba Helen saking jawa barat", jawab Mas Adi seraya melirik kepada gua dan Helen.

Kami berdua tersenyum kepada Ibu paruh baya tersebut. Lalu gua berbisik pelan kepada Mas Adi. "Mas. Aku karo Helen iki loch! roaming...", bisik gua.

Mas Adi terkekeh pelan. "Oalah, lali Aku, Mas..hehehe..".

"Kami kesini mau bertemu Sherlin, Bu", lanjut Mas Adi lagi.

Setelah dipersilahkan masuk oleh Ibu paruh baya yang ternyata Neneknya Mba Yu itu, kami menunggu orang yang ingin kami temui, sementara sang Nenek memanggil cucunya itu, Helen memperhatikan interior rumah khas jawa ini.

"Ini yang disebut rumah Joglo bukan ya ?", tanyanya kepada Mas Adi.

"Iya, Mba. Tertarik ?", jawab Mas Adi seraya balik bertanya.

"Aku suka sama bentuknya. Luas dan asri ya, adem aja rasanya..", jawab Helen sambil terus menyapukan pandangannya.

Tidak lama sang Nenek dan Cucunya itu datang.

"Mas.. Eh, Helen ? Kamu juga kesini ?", Mba Yu yang sudah berdiri di hadapan kami bertiga itu terkejut melihat Helen yang ikut datang menemuinya.

Helen tersenyum dan menyalami Mba Yu. Kemudian gantian Mas Adi memperkenalkan diri. Lalu tidak lama datang pula sang Papah bersama istrinya. Di ruang tamu ini gua duduk bersama Helen, Mas Adi di sisi kanan Helen, Mba Yu bersama kedua orangtuanya duduk di hadapan kami. Sedangkan sang Nenek masuk kedalam salah satu kamar. Mungkin tidak ingin ikut campur.

Setelah Helen dan Mas Adi bersalaman dengan Mba Yu serta kedua orangtuanya, gantian gua menyalami Mamahnya dan Mba Yu. Tapi tidak dengan kepala keluarganya itu.

Suasana di ruang tamu ini sekarang sedikit berbeda, ada rasa kaku diantara kami semua. Sampai akhirnya gua yang memulai untuk menjelaskan maksud dan tujuan gua mendatangi Mba Yu.

"Aku kesini untuk nemuin kamu, Mba. Aku gak mau hubungan kita jadi jauh", ucap gua langsung ke intinya.

"Kamu kesini mau mengakui kesalahan kamu ?", tanya Papahnya tiba-tiba.

Gua melirik kepadanya, lalu memiringkan kepala sedikit dan tersenyum tipis. "Saya ulang. Saya kesini untuk nemuin Sherlin. Bukan anda..", jawab gua.

Mba Yu dan sang Mamah terkejut. Papahnya menatap gua dengan dingin. Gua sadar apa yang gua lakukan itu sangatlah tidak sopan sebagai tamu. Tapi kenyataannya gua memang tidak ingin menemui Papahnya tersebut.

"Kamu masih marah sama saya, Za ?", tanya Papahnya lagi.

Gua menghela nafas lalu melirik kepada anak sulung dan istrinya sebelum menjawab.
"Saya pikir anda lebih tau apa yang anda ucapkan saat itu udah menunjukkan laki-laki macam apa sebenarnya anda ini", jawab gua seraya kembali menatap kedua matanya dengan tajam.

Emosi gua memang sudah bergolak ketika dari pertama gua melihatnya memasuki ruang tamu ini. Rasa sopan dan santun gua pun hilang seketika berganti menjadi tamu yang kurang ajar kepada sang tuan rumah.

"Saya minta maaf", ucapnya dengan lantang.

Gua dan yang lain terkejut. Tidak percaya dengan ucapannya itu.

"Saya akui saya salah dan sudah berlebihan kemarin. Apa yang saya ucapkan itu adalah luapan emosi seorang Bapak yang tidak ingin anak perempuannya menderita batin", ucap Beliau pelan. "Tapi saya sadar, seharusnya saya tidak perlu mengeluarkan kata-kata tersebut dan membuat kamu sampai sakit hati dan tidak mau memaafkan saya dunia akhirat", lanjutnya.

Gua melirik kepada Mba Yu.

"Sherlin sudah cerita bagaimana kamu marah sama saya sampai mengeluarkan pernyataan tersebut, Za", ucap sang Papah lagi. "Sekarang. Saya memohon maaf yang sebesar-besarnya ke kamu atas ucapan saya tempo hari. Saya mohon dibukakan pintu maaf untuk saya, Za. Saya tidak mau sampai akhirat nanti masalah ini dipinta pertanggungjawabannya oleh Tuhan", lanjut Beliau dengan kedua bola mata yang sudah berkaca-kaca.

Bohong kalau gua tidak melunak. Tidak pernah gua melihatnya seperti itu. Apalagi gua sadar dengan sumpah gua sendiri. Gua pasti memaafkannya kalau dia yang memintanya duluan. Kemudian Mba Yu tersenyum kepada gua, begitupun sang Mamah. Dari kedua mata istrinya itu, gua merasakan Beliau seolah-olah mengaharapkan gua untuk berbesar hati memaafkan suaminya.

Gua menghela nafas dan tersenyum. "Hari ini, Pah. Saya dengan ikhlas memaafkan Papah atas ucapan Papah kemarin", jawab gua.

Kemudian Beliau berdiri dari duduknya dan langsung menghampiri gua. Gua pun ikut berdiri untuk menyambut jabat tangannya dan sejurus kemudian Beliau langsung memeluk gua dengan erat.

"Maafin, Papah ya Za. Maafin Papah udah keterlaluan sama kamu", ucapnya tepat ditelinga gua dengan suara yang terisak dan kedua tangannya memeluk punggung gua cukup erat.

"Iya, Pah. Eza maafin Papah ikhlas lahir batin, Pah. Dan Eza pun minta maaf kalo Eza membuat Papah juga tersinggung dengan lamaran kemarin", jawab gua.

Beliau melepaskan pelukkannya, kemudian gua melihat airmatanya sudah berlinang. Kedua tangannya kini mengusap-usap sisi lengan kanan dan kiri gua.

"Za. Saya tau kamu anak yang baik. Tapi Sherlin sudah pernah gagal dalam rumah tangganya. Saya tau kamu jauh lebih baik dari mantan suaminya dulu. Tapi untuk saat ini, dengan kondisi keluarga kamu yang seperti sekarang, saya belum bisa merestui, Za".

"Saya paham dan mengerti kekhawatiran Papah. Saya dan keluarga sebenernya udah siap jika Papah memang menolak lamaran kemaren. Alasan Papah yang ini sudah saya perhitungkan dengan Ibu saya, Pah. Kami mengerti dan terima. Hanya alasan Papah yang kedua itu yang membuat saya dan keluarga tidak terima. Itu aja, Pah", jawab gua.

Beliau ikut tersenyum. "Jadi kamu ngerti dan gak masalah kalo Papah masih tetap gak bisa ngasih restu untuk kalian ? ", tanyanya.

Gua melirik Mba Yu. Wajahnya sedikit berharap dan nampak cemas. Gua tersenyum kepada Mba Yu sebelum menjawab pertanyaan Papahnya lagi.

"Jujur aja, Pah. Saya kesini diminta Ibu saya. Untuk mencoba sekali lagi meminta restu Papah. Tapi...", gua menahan ucapan beberapa saat. "Tapi selama perjalanan tadi hati saya pun rasanya berat. Ada hal yang gak bisa saya jelaskan tapi hal itu seolah-olah memberitahu saya kalo apa yang Ibu dan saya inginkan itu akan sulit terwujud. Jadi saya rubah niat dan tujuan saya kesini..", jawab gua.

"Terimakasih kamu udah ngertiin Papah. Kita semua tau dia udah pernah tersakiti dengan pernikahan pertamanya. Dan Papah hanya tidak ingin Sherlin harus kembali gagal jika menikah dengan kamu", ucap sang Papah lagi.

Tidak ada lagi yang perlu diselesaikan antara gua dengan kepala keluarga itu. Kami sudah saling memaafkan. Papahnya pun bilang lusa akan pulang untuk menemui keluarga gua di rumah, meminta maaf secara langsung agar hubungan kami kembali baik seperti sebelumnya dan memohon pengertian keluarga gua sekali lagi kalau dirinya masih belum bisa menerima lamaran kami.

Sekarang tinggallah urusan gua dengan Mba Yu yang belum selesai. Setelah obrolan di ruang tamu, gua memohon izin untuk berbicara empat mata dengan anak sulungnya tersebut. Mba Yu mengajak gua ke teras halaman depan rumah Joglo ini. Kami berdua duduk bersebelahan sedangkan yang lain masih di dalam ruang tamu.

Gua mengeluarkan sebatang rokok dari dalam bungkusnya. Membakarnya lalu menghisapnya dengan perlahan. Mba Yu sedikit terkejut dengan apa yang gua lakukan.

"Kok ngerokok lagi sih, Mas ?", tanyanya.

"Fuuuh... Yaa gimana lagi, pusing sayah", jawab gua dengan senyuman yang lebar setelah menghembuskan asap rokok keatas.

"Karena Papah masih gak ngerestuin ?", tanyanya lagi.

"Kalo aku jawab enggak, nanti disangka aku gak mau merjuangin kamu. Kalo aku jawab iya pun, tapi sebenernya aku udah tau kalo Papah kamu masih teguh pendiriannya soal lamaran aku itu", jawab gua lagi.

Mba Yu terkekeh pelan. "Terus maksud dan tujuan kamu kesini buat apa dong ?".

"Kangen aku sama kamu", jawab gua seraya menatap kedua matanya.

"Halaah bo'ong! Gombal aja kamu tuh...", Mba Yu tersenyum lebar.

Gua hisap kembali rokok lalu menghembuskannya seraya menggelengkan kepala.

"Mba. Aku gak mau kamu jauh dari aku", ucap gua serius.

Mba Yu menatap gua balik. "Kamu. Apa yang sebenernya kamu inginkan sih, Mas ?".

Gua matikan rokok kedalam asbak yang berada diatas meja kayu diantara kami berdua. Lalu menyerongkan tubuh untuk menghadap kearahnya.

"Aku gak mau kita jadi jauh. Aku pingin kamu pulang, Mba. Aku gak mau hubungan kita kayak gini. Apa yang aku inginkan hanya meminta kamu kembali", jawab gua. "Aku dan keluarga kangen sama kamu. Aku gak mau kamu tinggal disini. Aku cuma ingin semuanya kembali seperti dulu. Kamu adalah Kakak ku, kamu adalah adik ku, kamu adalah keluarga ku yang selalu bisa aku temui kapanpun, Mba. Cuma itu", lanjut gua.

Mba Yu memainkan jemari tangannya dengan kepala tertunduk. Lalu ia kembali menengok kepada gua saat gua menarik tangan kanannya dan menggenggamnya diatas meja kayu dengan tangan kiri gua.

"Kita semua tau. Restu orangtua itu diatas segalanya, apa yang Papah kamu inginkan memang gak sesuai harapan kita. Tapi Beliau punya alasan kuat menolak pernikahan aku dan kamu, Mba. Dan aku menghormati keputusannya itu", ucap gua dengan tetap menggenggam tangannya. "Aku bisa aja nekat untuk nikahin kamu. Tapi apa itu baik ? Sedangkan alasannya jelas untuk kebaikan kamu sendiri. Kita gak bisa memaksakan, Mba. Aku gak mau kita semua menanggung akibatnya dikemudian hari jika memaksakan pernikahan ini tanpa restu Papah kamu. Ini berat, Mba", lanjut gua memberi dia pengertian.

Mba Yu hanya terdiam. Gua tahu sebenarnya dia pun paham dan mengerti bagaimana sebuah restu orangtua itu sangatlah penting. Tidak akan sah sebuah pernikahan jika tidak ada restu dari walinya. Sedangkan Papahnya masih ada. Bagaimana akan sah pernikahan kami jika memaksakannya tanpa izin dari Beliau ?. Dan gua tidak ingin kami berdua berada dalam dosa tersebut.

"Mas..", Mba Yu menengok kali ini. Menatap gua dengan tersenyum. "Makasih kamu udah nepatin janji kamu untuk memperjuangkan aku ke Papah. Aku ikhlas. Mungkin ini memang jalan takdir kita ya, Mas ?".

Dia tetap tersenyum. Gua pun ikut tersenyum. "Aku minta maaf kalo ternyata janji itu gak bisa terwujud", jawab gua.

"Enggak", sanggahnya. "Kamu udah nepatin janji kamu ke aku, Mas. Kamu udah mencoba untuk meminta aku ke keluarga aku dengan niat baik kamu. Kalopun janji itu ternyata gak bisa terwujud, itu bukan karena kamu mengingkarinya, tapi karena memang Papah gak bisa ngebuat janji kamu ke aku menjadi kenyataan. Terimakasih untuk kamu yang udah mau mencoba dan meminta secara baik-baik, Mas", lanjutnya.

Gua berdiri dan menghampirinya, gua merendahkan tubuh untuk bertumpu dengan kedua lutut dihadapannya. Gua pegang erat kedua tangannya.

"Apapun yang kamu minta akan aku penuhi. Apapun Mba. Tapi tolong, pulang ya, Mba.. Kami kangen sama kamu", ucap gua sungguh-sungguh.

Mba Yu tersenyum. "Apapun ?", tanyanya.

"Iya, apapun. Asal bukan yang satu itu", jawab gua.

"Hihihi.. Okey. Aku pulang. Tapi janji ya ? Apapun permintaan aku akan kamu penuhin selain nikahin aku", Mba Yu tersenyum sumringah.

"Iya. Aku janji", jawab gua yakin.


***


Pamit - Tulus



Quote:


...click link below for continues reading...

Lembayung Senja
Diubah oleh glitch.7 10-02-2019 20:50
kifif
kifif memberi reputasi
3
Tutup
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.