- Beranda
- Stories from the Heart
Sonne Mond und Stern
...
TS
glitch.7
Sonne Mond und Stern
die SONNE der MOND und der STERN
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Tak Lagi Sama - Noah
Spoiler for Cover Stories:
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 95% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahdan lanjutan dari sebuah cerita Love in Elegy yang pernah Gua tulis di Forum ini.
Quote:
Versi PDF Dua Thread Sebelumnya :

*mulustrasi karakter dalam cerita ini
Quote:
*thanks to my brother in law yang bantu index dan update selama gua mudik
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 239 suara
Siapakah pendamping Eza sebenarnya ?
Sherlin Putri Levanya
55%
Franziska Luna Katrina
17%
Giovanna Almira
28%
Diubah oleh glitch.7 08-01-2022 09:16
chamelemon dan 125 lainnya memberi reputasi
122
1.9M
8.8K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
glitch.7
#7105
Lembayung Senja
Bagian Delapan


"Kamu jujur apa enggak ?".
Pertanyaan itu sudah seharian diulang-ulang olehnya. Lelah sebenarnya menjawab pertanyaan yang sama terus menerus.
"Gini aja deh, mending sekarang kita ke rumahnya. Tanya langsung sama orangnya gimana ?", jawab gua menawarkan solusi lain daripada dia tidak percaya.
"Males banget aku harus nemuin dia. Ogah!", jawabnya ketus.
"Ya sekarang maunya gimana ? Aku udah jawab jujur kamu masih aja gak percaya.. Aku tawarin nanya langsung ke orangnya gak mau. Mau gimana lagi coba ?".
Wanita seksi itu pasti aja cemberut, bete, kesel sendiri setiap habis membahas masalah ini. Dia sendiri yang buat hatinya khawatir. Khawatir yang jelas-jelas gak terbukti dan memang kenyataannya tidak pernah terjadi.
"Aku ada solusi lain.. Ikut aku", ajak gua setelah terlintas satu ide.
"Kemana ?", tanyanya.
Gua melangkah ke lemari kaca di ruang tamu rumahnya. Dibagian atas terlihat jelas ada sebuah kitab suci Al-Qur'an. Mba Yu berdiri disamping gua.
"Aku berani sumpah dengan Al-Qur'an itu, kalo aku gak pernah sekalipun tidur sama Anna...", ucap gua.
"Yaudah-yaudah iya iya! Aku percaya deh.. Issshh..".
Kan, masih bete aja ni orang.
"Ck.. Yaudah aku ambil wudhu dulu, biar kamu beneran percaya sama aku", gua berjalan kearah dapur.
Tapi baru sampai depan kamarnya gua ditahan dari belakang. Tangannya memegangi lengan kanan gua.
"Iya iya iyaaa... Aku percaya. Udah gak usah, ayo duduk lagi sini..", ajaknya menarik tangan gua untuk kembali duduk di ruang tamu.
Gua kembali duduk di sofa untuk satu orang yang membelakangi kaca rumahnya. Sedangkan Mba Yu duduk di sofa panjang samping kanan gua.
"Mas.. Kamu beneran udah berenti ngerokok ya ?", tanyanya tiba-tiba.
"Mm... Gak juga sih sebenernya. Aku ngurangin aja. Ngerokok kalo lagi suntuk. Seminggu ini baru tiga batang aku ngerokok... Susah Mba kalo bener-bener berenti", jawab gua jujur.
"Ya tapi udah bagus menurutku. Syukur-syukur bisa berenti total kayak Papah ku. Lagian inget Mas. Itu ginjal kamu, jaga kesehatan ih...", ucapnya mengingatkan kondisi gua.
"Iya Mba iya.. Eh ngomong-ngomong soal kesehatan aku jadi inget mau cerita sama kamu sampe lupa", jawab gua seraya mengingat kejadian kemarin siang.
"Ada apa ?", tanyanya.
"Ehm.. Kemarin aku ketemu Luna di rumahnya".
"Terus ?", tanyanya dingin.
"Awalnya aku gak tau kalo dia lagi pulang. Tapi pas aku selesai shalat berjama'ah di masjid, aku dikasih tau Pak RT kalo Mamahnya Luna masuk rumah sakit. Ya Pak RT sekalian ngajak ngejenguk bareng warga gitu. Abis itu Aku sendirian ke rumahnya Helen, tapi kan ternyata gak ada orang. Jadi aku nyoba ke rumah Luna. Kamu tau kan kalo Mamahnya udah pisah sama Papahnya ? Dan rumah mereka gak jauh. Nah kebetulan ada Luna sama anaknya di rumah Papahnya. Ya aku sempet ngobrol sih, ngobrolin soal keluarga ku dan keadaan sekarang. Abis itu sorenya aku sama Ibu dan Bapak bareng-bareng tetangga lain jengukin kesana", jawab gua menceritakan.
Raut wajah Mba Yu berubah menjadi khawatir. "Eh beneran ? Sakit apa Mamahnya ? Dirawat dimana ?", tanyanya.
"Mamahnya sakit xxx. Dirawat di rumah sakit xxx".
Maaf gua tidak bisa menyebutkan penyakit yang diderita Beliau terkait permintaan keluarganya.
Mba Yu semakin terkejut. "Astagfirulloh! Ya Allah... Terus gimana ? Kamu kan udah jenguk katanya ? Gimana kondisinya ?", tanya Mba Yu lagi.
"Alhamdulilah udah baikkan kata Papahnya, tiga hari ini perkembangannya semakin baik", jawab gua.
"Alhamdulilah syukur kalo gitu. Tapi kasian, Mas. Aku pengen jenguk juga. Enak gak ya ?", tanyanya lagi.
"Iya jenguk aja. Gak apa-apa lah. Namanya orang sakit, apalagi kenal, kita wajib untuk jengukin. Nambah nanti pahala kamu", jawab gua.
"Iya, anterin nanti ya, Mas..".
Gua mengangguk. "Iya, insya Allah".
Kemudian Mba Yu tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat gua senang. "Mas.. Aku sebenernya udah ngelupain masalah sama Luna. Aku gak mau hubungan ku sama dia renggang kayak dulu lagi".
Gua tersenyum. "Iya. Aku tau kok kalo kalian sebenernya bisa jadi sahabat baik. Lupain dan saling memaafkan itu lebih baik, Mba. Aku seneng kamu udah berubah", jawab gua seraya menatap kedua bola matanya lekat-lekat.
"Iya, aku gak mau terus-terusan bersikap dingin kalo ketemu dia. Gak enak juga kan dia udah punya keluarga, aku juga udah.. Udah mau nikaaah... Hihihi..", jawabnya malu-malu diakhir kalimatnya itu.
Kemudian Mba Yu mengerenyitkan keningnya karena gua terus tersenyum menatapnya. "Kenapa sih ? Kok ngeliatin aku sambil senyum-senyum gitu ?", tanyanya kali ini yang ikut tersenyum lebar.
Gua menundukkan kepala sedikit. Menarik nafas dengan perlahan sebelum akhirnya menghembuskannya sambil membuka mata dan kembali menatap wajahnya yang cantik itu.
"Apa kamu yakin mau nikah sama aku, Mba ?", tanya gua.
Entah mungkin karena gua yang tidak pernah sekalipun membahas masalah ini, sekarang malah memulainya duluan hingga membuat Mba Yu terdiam beberapa saat.
"Ka.. Kamu kenapa nanya gitu ? Eh, maksud ku kok tumben kamu ngebahas soal ini duluan ?", tanyanya sedikit bingung.
"Mba.. Dari kemaren-kemaren kan kamu dan keluarga ku yang selalu nanyain ke aku. Sekarang kayaknya udah waktunya ngomongin soal ini lebih serius lagi...", jawab gua.
Mba Yu masih masih kebingungan. "Lebih serius gimana maksudnya ?".
Gua menegakkan posisi duduk, mengaitkan kedua tangan dan meremas-remasnya. "Mba. Aku perlu bicara sama kedua orangtua kamu secepatnya", jawab gua dengan yakin.
Mba Yu terkejut. Jelas wajahnya terlihat sedikit panik. Sekarang malah gua yang keheranan.
"Hey.. Kenapa kamu ? Kok kaget gitu, Mba ?", tanya gua.
"Eh.. Eemm.. Gimana ya, Mas ? Aduh.. Aku... Aku kaget.. Iya aku kaget aja kamu mau ngomong sama orangtua ku secepat ini", jawabnya yang masih terlihat panik.
"Aku tau kamu nyembunyiin sesuatu.. Ada apa sebenernya, Mba ?", tanya gua dingin.
Mba Yu menggigit bibir bawahnya, wajahnya khawatir. Gua menunggu jawabannya dengan sabar. Tapi rasanya lama sekali kalimat jawaban itu keluar dari mulutnya.
"Kalo kamu gak mau jawab, biar aku cari tau sendiri jawabannya, Mba..", ucap gua pada akhirnya seraya berdiri dan hendak keluar dari rumahnya.
"Mas, tunggu.. Tunggu tunggu..", dia ikut berdiri dan menahan lengan gua. "Tapi janji kamu jangan marah..", lanjutnya dengan nada yang sangat terdengar khawatir.
"Aku gak akan marah, Mba. Aku bersumpah gak akan marah sama kamu sekalipun ternyata kamu berubah pikiran..", jawab gua meyakinkannya.
Kami kembali duduk. Kali ini Mba Yu menggenggam kedua tangan gua. Mengelus punggung tangan gua dengan ibu jarinya berulang-ulang, cukup untuk menandakan kalau ia masih ragu untuk bicara jujur.
"Cerita sama aku. Aku gak akan marah sama kamu. Aku janji..".
Mba Yu menatap gua dengan pandangan ragunya itu. Gua tersenyum.
"Papah.. Papah udah tau kita deket, Mas", jawabnya pelan dengan nada hati-hati.
"Terus ?", tanya gua lagi dengan tetap tersenyum agar ia bisa menceritakan dengan rileks.
"Dia tau, kalo selama ini aku sering ke rumah kamu... Dia.. Dia nanya kemaren-kemaren dan minta aku jawab jujur soal hubungan kita", jawabnya lagi.
Gua balikkan tangan dan berganti kini kedua tangan gua yang mengenggam kedua tangannya itu.
"Aku mau bilang terimakasih untuk kamu, Mba", ucap gua tidak memusingkan reaksi Papahnya yang ia ceritakan itu. Mba Yu kembali keheranan. "Terimakasih banyak untuk kamu yang udah mau berkorban selama ini. Menunggu aku dan nerima kondisiku yang sekarang...", lanjut gua.
Gua masih tersenyum memandangi wajahnya. Gua merasakan kedua tangannya balas mengenggam erat tangan gua ketika apa yang gua ucapkan selanjutnya membuat dia menitikkan airmata. Tentu saja kami tahu, airmata itu adalah wujud syukurnya atas niatan gua.
"Mulai sekarang, aku yang akan berusaha untuk masa depan kita. Aku janji sama kamu untuk nemuin mereka dan meminta kamu secara baik-baik".
"Janji, Mas ?", tanyanya dengan airmata yang sudah berlinang.
"Aku janji.. Ehm..", jawab gua seraya menahan airmata yang nyaris saja membasahi kedua pipi ini.
Pertanyaan itu sudah seharian diulang-ulang olehnya. Lelah sebenarnya menjawab pertanyaan yang sama terus menerus.
"Gini aja deh, mending sekarang kita ke rumahnya. Tanya langsung sama orangnya gimana ?", jawab gua menawarkan solusi lain daripada dia tidak percaya.
"Males banget aku harus nemuin dia. Ogah!", jawabnya ketus.
"Ya sekarang maunya gimana ? Aku udah jawab jujur kamu masih aja gak percaya.. Aku tawarin nanya langsung ke orangnya gak mau. Mau gimana lagi coba ?".
Wanita seksi itu pasti aja cemberut, bete, kesel sendiri setiap habis membahas masalah ini. Dia sendiri yang buat hatinya khawatir. Khawatir yang jelas-jelas gak terbukti dan memang kenyataannya tidak pernah terjadi.
"Aku ada solusi lain.. Ikut aku", ajak gua setelah terlintas satu ide.
"Kemana ?", tanyanya.
Gua melangkah ke lemari kaca di ruang tamu rumahnya. Dibagian atas terlihat jelas ada sebuah kitab suci Al-Qur'an. Mba Yu berdiri disamping gua.
"Aku berani sumpah dengan Al-Qur'an itu, kalo aku gak pernah sekalipun tidur sama Anna...", ucap gua.
"Yaudah-yaudah iya iya! Aku percaya deh.. Issshh..".
Kan, masih bete aja ni orang.
"Ck.. Yaudah aku ambil wudhu dulu, biar kamu beneran percaya sama aku", gua berjalan kearah dapur.
Tapi baru sampai depan kamarnya gua ditahan dari belakang. Tangannya memegangi lengan kanan gua.
"Iya iya iyaaa... Aku percaya. Udah gak usah, ayo duduk lagi sini..", ajaknya menarik tangan gua untuk kembali duduk di ruang tamu.
Gua kembali duduk di sofa untuk satu orang yang membelakangi kaca rumahnya. Sedangkan Mba Yu duduk di sofa panjang samping kanan gua.
"Mas.. Kamu beneran udah berenti ngerokok ya ?", tanyanya tiba-tiba.
"Mm... Gak juga sih sebenernya. Aku ngurangin aja. Ngerokok kalo lagi suntuk. Seminggu ini baru tiga batang aku ngerokok... Susah Mba kalo bener-bener berenti", jawab gua jujur.
"Ya tapi udah bagus menurutku. Syukur-syukur bisa berenti total kayak Papah ku. Lagian inget Mas. Itu ginjal kamu, jaga kesehatan ih...", ucapnya mengingatkan kondisi gua.
"Iya Mba iya.. Eh ngomong-ngomong soal kesehatan aku jadi inget mau cerita sama kamu sampe lupa", jawab gua seraya mengingat kejadian kemarin siang.
"Ada apa ?", tanyanya.
"Ehm.. Kemarin aku ketemu Luna di rumahnya".
"Terus ?", tanyanya dingin.
"Awalnya aku gak tau kalo dia lagi pulang. Tapi pas aku selesai shalat berjama'ah di masjid, aku dikasih tau Pak RT kalo Mamahnya Luna masuk rumah sakit. Ya Pak RT sekalian ngajak ngejenguk bareng warga gitu. Abis itu Aku sendirian ke rumahnya Helen, tapi kan ternyata gak ada orang. Jadi aku nyoba ke rumah Luna. Kamu tau kan kalo Mamahnya udah pisah sama Papahnya ? Dan rumah mereka gak jauh. Nah kebetulan ada Luna sama anaknya di rumah Papahnya. Ya aku sempet ngobrol sih, ngobrolin soal keluarga ku dan keadaan sekarang. Abis itu sorenya aku sama Ibu dan Bapak bareng-bareng tetangga lain jengukin kesana", jawab gua menceritakan.
Raut wajah Mba Yu berubah menjadi khawatir. "Eh beneran ? Sakit apa Mamahnya ? Dirawat dimana ?", tanyanya.
"Mamahnya sakit xxx. Dirawat di rumah sakit xxx".
Maaf gua tidak bisa menyebutkan penyakit yang diderita Beliau terkait permintaan keluarganya.
Mba Yu semakin terkejut. "Astagfirulloh! Ya Allah... Terus gimana ? Kamu kan udah jenguk katanya ? Gimana kondisinya ?", tanya Mba Yu lagi.
"Alhamdulilah udah baikkan kata Papahnya, tiga hari ini perkembangannya semakin baik", jawab gua.
"Alhamdulilah syukur kalo gitu. Tapi kasian, Mas. Aku pengen jenguk juga. Enak gak ya ?", tanyanya lagi.
"Iya jenguk aja. Gak apa-apa lah. Namanya orang sakit, apalagi kenal, kita wajib untuk jengukin. Nambah nanti pahala kamu", jawab gua.
"Iya, anterin nanti ya, Mas..".
Gua mengangguk. "Iya, insya Allah".
Kemudian Mba Yu tiba-tiba mengatakan sesuatu yang membuat gua senang. "Mas.. Aku sebenernya udah ngelupain masalah sama Luna. Aku gak mau hubungan ku sama dia renggang kayak dulu lagi".
Gua tersenyum. "Iya. Aku tau kok kalo kalian sebenernya bisa jadi sahabat baik. Lupain dan saling memaafkan itu lebih baik, Mba. Aku seneng kamu udah berubah", jawab gua seraya menatap kedua bola matanya lekat-lekat.
"Iya, aku gak mau terus-terusan bersikap dingin kalo ketemu dia. Gak enak juga kan dia udah punya keluarga, aku juga udah.. Udah mau nikaaah... Hihihi..", jawabnya malu-malu diakhir kalimatnya itu.
Kemudian Mba Yu mengerenyitkan keningnya karena gua terus tersenyum menatapnya. "Kenapa sih ? Kok ngeliatin aku sambil senyum-senyum gitu ?", tanyanya kali ini yang ikut tersenyum lebar.
Gua menundukkan kepala sedikit. Menarik nafas dengan perlahan sebelum akhirnya menghembuskannya sambil membuka mata dan kembali menatap wajahnya yang cantik itu.
"Apa kamu yakin mau nikah sama aku, Mba ?", tanya gua.
Entah mungkin karena gua yang tidak pernah sekalipun membahas masalah ini, sekarang malah memulainya duluan hingga membuat Mba Yu terdiam beberapa saat.
"Ka.. Kamu kenapa nanya gitu ? Eh, maksud ku kok tumben kamu ngebahas soal ini duluan ?", tanyanya sedikit bingung.
"Mba.. Dari kemaren-kemaren kan kamu dan keluarga ku yang selalu nanyain ke aku. Sekarang kayaknya udah waktunya ngomongin soal ini lebih serius lagi...", jawab gua.
Mba Yu masih masih kebingungan. "Lebih serius gimana maksudnya ?".
Gua menegakkan posisi duduk, mengaitkan kedua tangan dan meremas-remasnya. "Mba. Aku perlu bicara sama kedua orangtua kamu secepatnya", jawab gua dengan yakin.
Mba Yu terkejut. Jelas wajahnya terlihat sedikit panik. Sekarang malah gua yang keheranan.
"Hey.. Kenapa kamu ? Kok kaget gitu, Mba ?", tanya gua.
"Eh.. Eemm.. Gimana ya, Mas ? Aduh.. Aku... Aku kaget.. Iya aku kaget aja kamu mau ngomong sama orangtua ku secepat ini", jawabnya yang masih terlihat panik.
"Aku tau kamu nyembunyiin sesuatu.. Ada apa sebenernya, Mba ?", tanya gua dingin.
Mba Yu menggigit bibir bawahnya, wajahnya khawatir. Gua menunggu jawabannya dengan sabar. Tapi rasanya lama sekali kalimat jawaban itu keluar dari mulutnya.
"Kalo kamu gak mau jawab, biar aku cari tau sendiri jawabannya, Mba..", ucap gua pada akhirnya seraya berdiri dan hendak keluar dari rumahnya.
"Mas, tunggu.. Tunggu tunggu..", dia ikut berdiri dan menahan lengan gua. "Tapi janji kamu jangan marah..", lanjutnya dengan nada yang sangat terdengar khawatir.
"Aku gak akan marah, Mba. Aku bersumpah gak akan marah sama kamu sekalipun ternyata kamu berubah pikiran..", jawab gua meyakinkannya.
Kami kembali duduk. Kali ini Mba Yu menggenggam kedua tangan gua. Mengelus punggung tangan gua dengan ibu jarinya berulang-ulang, cukup untuk menandakan kalau ia masih ragu untuk bicara jujur.
"Cerita sama aku. Aku gak akan marah sama kamu. Aku janji..".
Mba Yu menatap gua dengan pandangan ragunya itu. Gua tersenyum.
"Papah.. Papah udah tau kita deket, Mas", jawabnya pelan dengan nada hati-hati.
"Terus ?", tanya gua lagi dengan tetap tersenyum agar ia bisa menceritakan dengan rileks.
"Dia tau, kalo selama ini aku sering ke rumah kamu... Dia.. Dia nanya kemaren-kemaren dan minta aku jawab jujur soal hubungan kita", jawabnya lagi.
Gua balikkan tangan dan berganti kini kedua tangan gua yang mengenggam kedua tangannya itu.
"Aku mau bilang terimakasih untuk kamu, Mba", ucap gua tidak memusingkan reaksi Papahnya yang ia ceritakan itu. Mba Yu kembali keheranan. "Terimakasih banyak untuk kamu yang udah mau berkorban selama ini. Menunggu aku dan nerima kondisiku yang sekarang...", lanjut gua.
Gua masih tersenyum memandangi wajahnya. Gua merasakan kedua tangannya balas mengenggam erat tangan gua ketika apa yang gua ucapkan selanjutnya membuat dia menitikkan airmata. Tentu saja kami tahu, airmata itu adalah wujud syukurnya atas niatan gua.
"Mulai sekarang, aku yang akan berusaha untuk masa depan kita. Aku janji sama kamu untuk nemuin mereka dan meminta kamu secara baik-baik".
"Janji, Mas ?", tanyanya dengan airmata yang sudah berlinang.
"Aku janji.. Ehm..", jawab gua seraya menahan airmata yang nyaris saja membasahi kedua pipi ini.
***
Satu hari setelahnya kami berdua berada di rumah gua. Semua keluarga gua hari ini pun berkumpul. Nenek, Om beserta Tante gua, Ibu dan Bapak, Adik gua Risya, Mba Intan Mamahnya Nabil dan keponakannya Suci.
"Jadi ini kamu beneran mau minta ke orangtuanya Sherlin ?", tanya Om gua.
Gua mengangguk. "Insya Allah aku niatin, Om", jawab gua.
Om gua hendak mendebat sepertinya. Tapi Nenek menahan. "Kamu gak bisa melarang Eza. Dia sudah dewasa, keputusannya adalah tanggungjawabnya sendiri...", ucap Nenek.
Mba Yu sedikit menunduk. Lalu Om gua tersenyum kepada wanita seksi itu.
"Sherlin, maaf ya. Om bukannya melarang atau menghalang-halangi. Tapi Om cuma mau memastikan aja keputusan kalian ini", tanya Om gua baik-baik.
"Insya Allah saya yakin. Keputusan saya murni dari hati saya, Om. Saya gak dipaksa siapapun..", jawabnya.
"Dengan kondisi Eza yang sekarang ?", tanya Tante gua kali ini.
Mba Yu mengangguk. "Iya, Tante. Dengan kondisi Eza yang seperti sekarang. Insya Allah aku terima kekurangan dan segala resikonya", jawab Mba Yu yakin.
Om gua mengusap wajahnya. Lalu melirik istrinya itu. "Beruntung sekali si Eza, Mah", ucapnya.
Tante gua tersenyum mendengar ucapan suaminya itu. "Iya. Dan Eza harus berjanji bisa bahagiain kamu Sherlin. Kalo sampe Eza berlaku enggak baik, jangan takut untuk cerita ke kami ya, sayang", ucap Tante gua lagi.
Mba Yu tersenyum sumringah dan menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Iya, Tante..", jawabnya.
"Sekarang pertanyaannya kapan kamu mau nemuin orangtuanya Sherlin ?", tanya Nenek kali ini kepada gua.
Gua menghirup nafas dalam-dalam. Rasanya jantung gua berdegup cukup cepat dari biasanya. "Insya Allah besok, Nek. Aku minta restu kalian semua. Mohon niat ku ini direstui dan do'a kan kalo keputusan ini adalah yang terbaik", jawab gua dengan meyakinkan diri sendiri.
"Insya Allah semuanya baik-baik aja. Karena pernikahan itu termasuk ibadah yang paling lama, hampir setengah dari hidup kita. Banyak ladang pahala disana, Za. Tapi ingat, banyak juga ladang dosanya jika kamu tidak bisa jaga iman dan ketakwa'an mu pada Allah subhanahu wa Ta'ala", ucap Bapak gua kali ini memberikan wejangannya.
"Kami cuma bisa mendukung kalian dengan do'a-do'a yang kami panjatkan kepada Allah subhanahu wa Ta'ala. Tolong jaga rumah tangga kalian ya. Jaga sebaik-baiknya. Ibu percaya kalian bisa", timpal Ibu menambahkan dengan senyuman indahnya.
"Aamiin.. Aamiin.. Aamiin ya rabbal'alamin".
Mba Yu nyaris menitikan airmatanya. Lalu Nenek memeluk Mba Yu yang memang duduk disampingnya itu.
Mba Yu-Sherlin-Gendisa. Dari dulu, kamu memang sudah dianggap anak sendiri oleh Beliau. Rasa sayangnya itu nyata adanya untuk kamu, Mba. Masih teringat jelas oleh ku saat Beliau harus pulang untuk menghadap Rabb-nya. Kamulah satu-satunya wanita yang langsung tidak sadarkan diri begitu mendengar kabar tersebut dan berduka sepanjang hari, melebihi kami yang sudah mengikhlaskannya. Terimakasih atas balasan rasa sayang kamu untuk Almarhumah sampai detik ini.
Sore hari rumah gua sudah sedikit sepi. Nenek, Om dan Tante gua sudah pulang, Bapak mengantar Ibu dan Risya pergi ke supermarket membeli bingkisan dan semacamnya untuk keluarganya Mba Yu esok hari. Sedangkan Mba Intan, anaknya dan Suci sudah pulang juga ke rumah kontrakan mereka. Oh iya, Mba Intan sekeluarga sudah pindah, tidak lagi tinggal di rumah gua. Tidak ingin merepotkan kami katanya. Tapi Nabil masih sering dititipkan kepada kami jika Mba Intan kerja dan Suci magang atau kuliah. Kami senang ada Nabil di rumah ini walaupun sore harinya ketika Mba Intan sudah pulang kerja, Nabil kembali dijemput lagi oleh Mamahnya itu.
Gua baru saja hendak mengantarkan Mba Yu pulang ketika blackberry gua berdering tanda panggilan masuk dari dalam saku jaket bagian dada.
"Mas, hape kamu bunyi tuh.. Angkat dulu", ucap Mba Yu.
Gua tidak jadi menyalakan mesin mobil. Gua ambil blackberry dari dalam saku jaket dan menatap layarnya dengan kening berkerut.
"Siapa ya ini ?", ucap gua.
"Siapa ?", tanya Mba Yu yang duduk di bangku samping gua.
Gua menengok kepada Mba Yu dan menggelengkan kepala, lalu menunjukkan layar blackberry yang masih menampilkan nomer asing tersebut.
Mba Yu memajukkan kepalanya untuk melihat layar blackberry tersebut dengan mengerutkan keningnya juga.
"Kok plus empat sembilan angka depannya, Mas ?", tanyanya setelah melihat sendiri nomer tersebut di layar blackberry gua.
Gua menaikkan kedua bahu. Menandakan kalau gua sama sekali tidak tahu nomer tersebut untuk kode negara mana.
"Gak usah diangkat deh. Paling salah sambung", ucap gua hendak menaruh blackberry diatas dashboard.
"Udah angkat aja dulu, siapa tau emang ada perlu sama kamu, Mas", ucap Mba Yu.
"Yaudah, bentar ya".
Mba Yu hanya mengangguk.
Gua tekan tombol bergambar gagang telpon dengan warna hijau menyala.
"Jadi ini kamu beneran mau minta ke orangtuanya Sherlin ?", tanya Om gua.
Gua mengangguk. "Insya Allah aku niatin, Om", jawab gua.
Om gua hendak mendebat sepertinya. Tapi Nenek menahan. "Kamu gak bisa melarang Eza. Dia sudah dewasa, keputusannya adalah tanggungjawabnya sendiri...", ucap Nenek.
Mba Yu sedikit menunduk. Lalu Om gua tersenyum kepada wanita seksi itu.
"Sherlin, maaf ya. Om bukannya melarang atau menghalang-halangi. Tapi Om cuma mau memastikan aja keputusan kalian ini", tanya Om gua baik-baik.
"Insya Allah saya yakin. Keputusan saya murni dari hati saya, Om. Saya gak dipaksa siapapun..", jawabnya.
"Dengan kondisi Eza yang sekarang ?", tanya Tante gua kali ini.
Mba Yu mengangguk. "Iya, Tante. Dengan kondisi Eza yang seperti sekarang. Insya Allah aku terima kekurangan dan segala resikonya", jawab Mba Yu yakin.
Om gua mengusap wajahnya. Lalu melirik istrinya itu. "Beruntung sekali si Eza, Mah", ucapnya.
Tante gua tersenyum mendengar ucapan suaminya itu. "Iya. Dan Eza harus berjanji bisa bahagiain kamu Sherlin. Kalo sampe Eza berlaku enggak baik, jangan takut untuk cerita ke kami ya, sayang", ucap Tante gua lagi.
Mba Yu tersenyum sumringah dan menganggukkan kepalanya dengan cepat. "Iya, Tante..", jawabnya.
"Sekarang pertanyaannya kapan kamu mau nemuin orangtuanya Sherlin ?", tanya Nenek kali ini kepada gua.
Gua menghirup nafas dalam-dalam. Rasanya jantung gua berdegup cukup cepat dari biasanya. "Insya Allah besok, Nek. Aku minta restu kalian semua. Mohon niat ku ini direstui dan do'a kan kalo keputusan ini adalah yang terbaik", jawab gua dengan meyakinkan diri sendiri.
"Insya Allah semuanya baik-baik aja. Karena pernikahan itu termasuk ibadah yang paling lama, hampir setengah dari hidup kita. Banyak ladang pahala disana, Za. Tapi ingat, banyak juga ladang dosanya jika kamu tidak bisa jaga iman dan ketakwa'an mu pada Allah subhanahu wa Ta'ala", ucap Bapak gua kali ini memberikan wejangannya.
"Kami cuma bisa mendukung kalian dengan do'a-do'a yang kami panjatkan kepada Allah subhanahu wa Ta'ala. Tolong jaga rumah tangga kalian ya. Jaga sebaik-baiknya. Ibu percaya kalian bisa", timpal Ibu menambahkan dengan senyuman indahnya.
"Aamiin.. Aamiin.. Aamiin ya rabbal'alamin".
Mba Yu nyaris menitikan airmatanya. Lalu Nenek memeluk Mba Yu yang memang duduk disampingnya itu.
Mba Yu-Sherlin-Gendisa. Dari dulu, kamu memang sudah dianggap anak sendiri oleh Beliau. Rasa sayangnya itu nyata adanya untuk kamu, Mba. Masih teringat jelas oleh ku saat Beliau harus pulang untuk menghadap Rabb-nya. Kamulah satu-satunya wanita yang langsung tidak sadarkan diri begitu mendengar kabar tersebut dan berduka sepanjang hari, melebihi kami yang sudah mengikhlaskannya. Terimakasih atas balasan rasa sayang kamu untuk Almarhumah sampai detik ini.
Sore hari rumah gua sudah sedikit sepi. Nenek, Om dan Tante gua sudah pulang, Bapak mengantar Ibu dan Risya pergi ke supermarket membeli bingkisan dan semacamnya untuk keluarganya Mba Yu esok hari. Sedangkan Mba Intan, anaknya dan Suci sudah pulang juga ke rumah kontrakan mereka. Oh iya, Mba Intan sekeluarga sudah pindah, tidak lagi tinggal di rumah gua. Tidak ingin merepotkan kami katanya. Tapi Nabil masih sering dititipkan kepada kami jika Mba Intan kerja dan Suci magang atau kuliah. Kami senang ada Nabil di rumah ini walaupun sore harinya ketika Mba Intan sudah pulang kerja, Nabil kembali dijemput lagi oleh Mamahnya itu.
Gua baru saja hendak mengantarkan Mba Yu pulang ketika blackberry gua berdering tanda panggilan masuk dari dalam saku jaket bagian dada.
"Mas, hape kamu bunyi tuh.. Angkat dulu", ucap Mba Yu.
Gua tidak jadi menyalakan mesin mobil. Gua ambil blackberry dari dalam saku jaket dan menatap layarnya dengan kening berkerut.
"Siapa ya ini ?", ucap gua.
"Siapa ?", tanya Mba Yu yang duduk di bangku samping gua.
Gua menengok kepada Mba Yu dan menggelengkan kepala, lalu menunjukkan layar blackberry yang masih menampilkan nomer asing tersebut.
Mba Yu memajukkan kepalanya untuk melihat layar blackberry tersebut dengan mengerutkan keningnya juga.
"Kok plus empat sembilan angka depannya, Mas ?", tanyanya setelah melihat sendiri nomer tersebut di layar blackberry gua.
Gua menaikkan kedua bahu. Menandakan kalau gua sama sekali tidak tahu nomer tersebut untuk kode negara mana.
"Gak usah diangkat deh. Paling salah sambung", ucap gua hendak menaruh blackberry diatas dashboard.
"Udah angkat aja dulu, siapa tau emang ada perlu sama kamu, Mas", ucap Mba Yu.
"Yaudah, bentar ya".
Mba Yu hanya mengangguk.
Gua tekan tombol bergambar gagang telpon dengan warna hijau menyala.
Quote:
*
*
*
*
*
Quote:
❤️
Tak Bisakah (ost. Alexandria) - Peterpan.
Diubah oleh glitch.7 18-01-2022 10:50
fatqurr memberi reputasi
1

