- Beranda
- Stories from the Heart
Sonne Mond und Stern
...
TS
glitch.7
Sonne Mond und Stern
die SONNE der MOND und der STERN
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Tak Lagi Sama - Noah
Spoiler for Cover Stories:
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 95% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahdan lanjutan dari sebuah cerita Love in Elegy yang pernah Gua tulis di Forum ini.
Quote:
Versi PDF Dua Thread Sebelumnya :

*mulustrasi karakter dalam cerita ini
Quote:
*thanks to my brother in law yang bantu index dan update selama gua mudik
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 239 suara
Siapakah pendamping Eza sebenarnya ?
Sherlin Putri Levanya
55%
Franziska Luna Katrina
17%
Giovanna Almira
28%
Diubah oleh glitch.7 08-01-2022 09:16
chamelemon dan 125 lainnya memberi reputasi
122
1.9M
8.8K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
glitch.7
#7056
Lembayung Senja
Bagian Tujuh


Hampir setengah jam gua bersandar pada sisi meja besi di dalam sebuah gudang. Memperhatikan sahabat SMP gua yang sedang memberi 'pelajaran' kepada seorang laki-laki muda yang duduk diatas kursi besi dengan tangan terikat kebelakang, serta kedua kakinyapun terikat erat pada kaki kursi tersebut.
"Fuuhh...", nafasnya sedikit tersengal. "Mau tes tinjuan lu, Za ?", tanyanya seraya berjalan kearah gua dengan mengibaskan tangan kanan yang sudah berlumuran darah itu.
Gua menggelengkan kepala. "Gak berminat, Yo..", jawab gua seraya menegakkan tubuh lalu melipat kedua tangan didepan dada.
Kriitt..pintu gudang terbuka dari luar, satu orang anak buahnya berdiri diambang pintu sambil memegangi handphone.
"Bos, ada telpon dari Non Anna..", ucap salah satu anak buahnya itu.
"Jangan sekarang", jawabnya sambil menggelengkan kepala, lalu berjalan kembali mendekati gua setelah anak buahnya kembali keluar dan pintu kembali ditutup.
"Cuih!", Lelaki keturunan Italy itu meludah ke sisi kirinya sebelum akhirnya dia menatap gua dengan tajam. "Sekarang masalah Anna, Za..", lanjutnya dengan nada yang dingin.
Satu jam kemudian....
Gua masih berada di dalam gudang sebuah pabrik, tapi kini posisi gua terduduk dengan bersandar kepada dinding dingin dibelakang gua . Gua melirik ke kiri, disana masih ada seorang lelaki yang duduk terikat ke kursi seperti sebelumnya. Namun lelaki itu kesadarannya sudah hilang. Gua yakin karena posisi kepalanya yang tertunduk dengan darah yang masih terus berjatuhan ke lantai dari hidung dan mulutnya.
Gua mencoba mengatur nafas dengan normal walapun sulit. Perih yang berasal dari tulang pipi kanan gua mulai semakin terasa nyeri. Lalu gua mengusap bibir yang mulai perih, dan melihat punggung tangan gua yang sudah berlumuran darah setelah menyeka bibir ini.
"Ugh! Sial", perih rasanya ujung bibir gua.
"Eugh! Anj*ng... Pukulan lu sakit juga...", ucap sahabat gua itu yang sedang berjongkok dua meter di depan gua.
Dia menatap gua sambil memegangi dagunya sendiri. Lalu berusaha berdiri. "Bangun, lu.. Ini baru pemanasan..", lanjutnya seraya melepaskan jaket kulit berwarna hitamnya.
Gua menghela nafas kasar. "Heuh!Br*ngsek...", jawab gua seraya memegangi dinding dibelakang untuk kembali berdiri lagi.
Giovanni Ryo. Salah satu sahabat yang gua kenal di masa SMP itu kini sudah melepaskan pula kaos merahnya. Dia bertelanjang dada dengan posisi kuda-kuda yang sudah siap untuk menghajar gua lagi. 'Tatto mewah' yang berada di sekujur tubuhnya hingga ke kedua lengannya benar-benar membuat ia terlihat seperti seorang Maf*a kelas atas.
"Un figlio di puttana!", teriaknya seraya mengayunkan Uppercut tangan kanannya kearah dagu gua.
Gua berhasil mengelak, tapi dengan cepat Ryo mengayunkan lagi Jab tangan kirinya kearah tulang rusuk bagian kanan gua.
'Bugh!' Pukulannya tepat mengenai tulang rusuk kanan gua.
"Arrghh!", gua berteriak kesakitan dan langsung terhuyung sambil menahan sakit.
Belum sempat gua mengambil nafas, dia menghantam tulang pipi bagian kanan gua lagi dengan pukulan Jab nya berkali-kali. Gua hanya bisa bertahan melindungi wajah dengan kedua tangan sambil terus menghindar. Beruntung gua masih bertahan dari Petinju amatiran seperti dirinya.
Ryo memang memiliki dasar beladiri Boxing yang sudah ia pelajari dari SMP. Gua tidak pernah meragukan keahlian beladirinya itu walaupun dia bukanlah seorang atlit profesional. Sekalipun bukan seorang Pro Boxer tapi bagaimana ia berlatih setiap harinya membuat kemampuan tinjunya memiliki efek yang luar biasa dibanding atlet beladiri lainnya.
Saat masih mencoba terus menghindar seraya menutupi wajah dengan kedua lengan gua dari serangan pukulan Jab yang ia kombinasikan dengan pukulan straight, gua buka sedikit celah diantara kedua lengan gua yang menutupi wajah untuk melihat posisinya. Ryo menarik tangan kanannya kebelakang lalu tepat saat dia mulai mengayunkan tangannya itu untuk menghajar sisi wajah bagian kiri ini, gua merendahkan dan mengayunkan tubuh kearahnya. Pukulan tangan kanannya jelas tidak mengenai wajah gua, dengan cepat gua kembali menegakkan tubuh setelah berayun dan wajahnya tepat berada di hadapan gua.
"Anj*ng!", teriak gua yang langsung dibarengi dengan memundurkan kepala dan langsung menghantam tulang hidungnya menggunakan kening.
Duagh! Krekk!!
"Aaarrgghh!! Bangs*t!!", teriaknya sebelum jatuh kebelakang sambil memegangi tulang hidungnya yang mungkin saja patah.
Ryo mengaduh kesakitan memegangi hidungnya dengan posisi bersimpuh. Gua pun merasakan sakit yang teramat sangat pada kening gua. Lalu gua sadar, ini satu-satunya kesempatan gua untuk menyelesaikan perkelahian kami. Gua ambil ancang-ancang memundurkan kaki kanan kebelakang, lalu bersiap menendang tepat kearah kepalanya.
"Stop-stop-stoopp!! Aargh! Anji*ng! Udah!Arrghh.. Sakit bangs*t! Aah.. Rrrghh..".
"Haaa.. Hah.. Haaa..", nafas gua tersengal. Lalu gua terduduk lagi di lantai gudang ini. "Fvck! Lu kira gua gak kesakitan!", timpal gua.
Ryo masih memegangi wajahnya, gua berusaha berdiri lagi sambil menahan sakit pada wajah dan tulang rusuk gua. Gua berjalan mendekatinya dan mengulurkan tangan kanan gua untuk membantunya berdiri, sedangkan tangan kiri gua menahan sakit pada tulang rusuk kanan ini.
"Udah, bangun", ucap gua dengan susah payah karena nyeri yang gua rasa semakin menjadi.
Tangan kanannya menyambut uluran tangan gua, dengan susah payah Ryo pun akhirnya berdiri sambil memegangi gua.
Hidung dan mulutnya sudah bersimbah darah. Tapi dia malah tersenyum... Bukan.. Bukan tersenyum... Dia menyeringai, ya dia menyeringai dengan mulut berwarna merah gelap akibat darah yang belum berhenti keluar dari hidungnya itu. Dan saat itulah gua sadar kalau riwayat gua bisa saja tamat disini.
Buagh!
Uppercut yang ia berikan berhasil melayangkan tubuh gua kebelakang. Kesadaran gua lambat laun menghilang ketika punggung dan kepala bagian belakang gua menghantam lantai dingin dari gudang sebuah pabrik yang berada di kota kembang ini.
...
Gua tidak ingat sudah berapa lama gua tidak sadarkan diri. Yang jelas gua terbangun diatas sebuah kasur yang lembut dan nyaman. Ruangan ini tidak familiar diingatan gua. Ruangan ? Oh ternyata gua berada di sebuah kamar. Desain interior kamar yang sangat mewah. Banyak barang-barang wanita saat gua memandangi keseluruhan kamar.
Gua mencoba membiasakan mata gua dengan cahaya kamar yang sangat terang dari lampu gantung nan besar diatas sana yang bergaya eropa. Perih, sakit, nyeri pada seluruh wajah dan pinggang gua kembali menyeruak saat gua mencoba untuk duduk diatas kasur.
"Ugh!..ah..sssh..", gua menahan sakitnya.
Tidak lama pintu kamar yang sangat besar diujung kanan sana terbuka.
"Mas!", seorang perempuan langsung berlari menghampiri ketika dia melihat gua yang sudah sadarkan diri. "Kamu mau apa ? Jangan duduk dulu, tulang rusuk kamu masih sakitkan", ucapnya setelah duduk disisi kasur tepat disamping gua.
Wajahnya terlihat sangat khawatir. Di sekitar kedua matanya bengkak dan memerah, jelas dia habis menangis cukup lama.
"Dokter bilang kamu gak ada luka dalem yang serius kecuali luka luar di pipi kamu yang memar itu sama pinggang kamu... Oh! Tulang rusuk kamu juga aman katanya... Jangan khawatir ya, kamu pasti cepet sembuh", lanjutnya.
Gua menghela nafas perlahan dan menutup mata sesaat. "Ryo mana ?", tanya gua dengan suara parau sambil kembali membuka mata.
Sebenarnya Giovanna sudah melarang gua untuk menemui Kakaknya itu yang sedang berada di kota kembang. Alasannya jelas karena Kakaknya pasti melakukan hal gila. Dan kekhawatirannya pun terbukti hingga gua dan Kakaknya itu berkelahi. Perihal Ryo yang sebelumnya sedang memberi 'pelajaran' kepada seorang laki-laki di gudang tersebut pun gua tidak tahu ada masalah apa. Yang jelas Giovanna cerita saat kami hendak berangkat kesini Kakaknya itu memang ada 'urusan' dengan orang lain. Ya mungkin itu urusannya. Memberi 'pelajaran tata-mental dan tata-tubuh'.
"Sekarang dimana dia ?", tanya gua lagi.
"Ada dibawah..".
Gua mengerenyitkan kening. "Loch ? Kita dimana ini ?", tanya gua lagi yang masih tidak tahu sebenarnya kami berada di rumah siapa.
"Ini di rumahku, Mas.. Ada Papah sama Mamah juga kok dibawah..", lanjutnya.
Gua memang tidak pernah sekalipun masuk ke kamar Giovanna. Jadi gua memang tidak tahu kalau ternyata gua sudah dibawa pulang ke kota kami dan berada di rumahnya.
Giovanna cerita setelah perkelahian itu, Ryo menyuruh anak buahnya yang berjaga di luar untuk masuk kedalam gudang dan membereskan lelaki sebelumnya. Lalu gua dibawa ke rumah sakit yang berada di kota kembang. Tapi setelah mendapatkan hasil kalau ternyata kondisi gua tidak terlalu parah dan hanya mengalami pingsan, akhirnya Ryo memilih untuk membawa gua pulang hari itu juga.
Mereka berdua jelas bertengkar, adu mulut selama perjalanan pulang kata sang Adik. Tapi gua tahu Ryo, semarah-marahnya dia kepada Adik tersayangnya itu tidak akan sampai main fisik.
"Mas.. Aku minta maaf jadi kayak gini semuanya.. Papah sama Mamah nunggu kamu sadar daritadi, mereka mau denger cerita dari kamu..", ucapnya seraya memegangi tangan kanan gua.
Gua menatap langit-langit kamar. Mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya menarik nafas perlahan dan menghembuskannya.
"Anterin aku kebawah ya, Ann..".
Di ruang tamu rumahnya yang megah itu gua melihat keluarganya sedang berkumpul, ditambah beberapa anak buah Ryo atau semacam body guard keluarganya yang berdiri di dekat pintu. Setelah susah payah gua yang dibantu Giovanna menuruni tangga, akhirnya gua kembali berjalan sambil dipapah lagi oleh perempuan muda itu untuk duduk bersama keluarganya di sofa ruang tamu.
"Masih sakit, Za ?", tanya sang Mamah dengan ramah.
"Lumayan, Tante...", jawab gua setelah duduk disebelah Giovanna.
Ryo bersama istrinya Ayu duduk di sofa sebelah kiri gua dan Giovanna, sedangkan kedua orangtuanya duduk dihadapan kami berdua atau di sisi kiri Ayu dan Ryo.
Suasana ruang tamu ini terasa dingin, padahal cukup banyak orang yang berada disini. Ya gua sadar. Suasana seperti ini wajar adanya karena kami sedang dalam masalah yang cukup berat.
Sang kepala keluarga rumah itu menuangkan Whisky ke dua buah shot glass yang berada diatas meja. Lalu mengambil satu shot glass yang sudah terisi dan kembali menaruhnya dihadapan gua.
"Minum, Za", pintanya dengan nada suara yang dingin.
Setelah itu dia langsung meminum minuman beralkohol tersebut dari shot glass satunya.
"Maaf, Om.. Saya udah lama berenti minum", jawab gua sesopan mungkin.
Satu alisnya ia tarik keatas seraya menatap gua dengan tersenyum tipis. Gelas yang ia pegang berada di depan wajahnya.
Prak! ia taruh kembali gelas itu dengan kasar setelah meminum habis isinya ke meja dihadapan kami.
Mulai terasa panas rasanya suasana di ruang tamu ini. Padahal gua belum menenggak sedikitpun Whisky yang ia tawarkan. Lalu tiba-tiba tangan kiri Giovanna menggenggam tangan kanan gua dengan erat. Gua melirik kearahnya yang sedang menatap gua dengan raut wajah ketakutan.
"Hebat kamu. Ryo harus belajar dari kamu mulai sekarang...", ucapnya sambil tersenyum kepada gua.
"Ck, Erh...", Ryo mendengus kasar sambil membuang wajahnya kearah lain. "Aw! Apa sih ?!", tanyanya setelah dicubit oleh sang istri yang berada disampingnya dengan mata yang melotot. Ayu malah membalas memelototi suaminya itu. Ryo pun hanya bisa memasang wajah malas kearah gua.
"Sekarang. Apa yang bisa kamu jelasin ke Saya, Za ?", tanya sang kepala keluarga lagi kepada gua.
"Ehm.. Saya cuma bisa bilang kalo sebaiknya Giovanna dinikahkan secepatnya, Om...".
"Bukan itu yang ingin saya dengar. Kamu.. Apa yang kamu lakuin di malam itu".
Apa yang ia keluarkan dari balik pinggangnya setelah menanyakan hal tersebut cukup membuat nyali gua menciut. Bahkan tangan Giovanna terasa mencengkram sekarang, bukan lagi menggenggam tangan gua.
"Pah.. Dengerin Eza dululah, jangan kayak gitu, Pah..", sela Ryo menahan Papahnya.
"Eh kamu bisa diam ? Jangan sampai saya pecahkan kepalamu. Adikmu kena masalah kamu cuma bisa senang-senang diluar sana. Andate tutti a 'fanculo!", jawab sang Papah dengan nada yang dingin.
Ryo hanya bisa menahan emosinya, Ayu istrinya pun mengelus punggung tangannya untuk menahan emosi sang suami.
Kemudian sang Mamah pun mengelus punggung sang kepala keluarga. "Sabar, Pap.. Sabar.. Dengerin dulu penjelasan Eza", ucap istrinya itu dengan nada yang lembut.
"Aku udah bilang, Pah... Ini bukan salah Mas Eza. Kenapa sih kalian terus-terusan salahin dia!", belum sempat gua menjelaskan, Giovanna sudah memotong duluan. Airmatanya kembali menetes.
"Aku minta tolong Mas Eza karena aku takut untuk ngomong langsung ke kalian... Hiks.. Hiks..", lanjutnya dengan tangis yang semakin menjadi.
"Om, Tante, Ryo.. Saya minta maaf kalo malem itu saya gak bisa nyegah Anna. Saya gak ada pikiran buruk sama sekali waktu Anna dijemput pacarnya setelah ngobrol dengan saya..", gua mencoba menjelaskan apa yang Giovanna sudah ceritakan kepada keluarganya itu sebelumnya.
Kejadian empat bulan lalu itu sebenarnya gua memang mengajak Giovanna untuk ngobrol di sebuah tempat makan pinggir jalan yang tidak jauh dari rumahnya. Gua hanya ingin curhat soal permasalahan gua terkait Nona Ukhti yang sedang didekati Rifki. Hanya itu. Tapi saat kami baru selesai makan dan masih mengobrol, Giovanna menerima telpon yang katanya dari sang pacar. Gua memang tidak tahu kalau dia sudah memiliki pacar. Setelah itu dia dijemput oleh pacarnya, gua pun pulang ke rumah. Apa yang terjadi setelah mereka berdua pergi gua tidak tahu sama sekali.
Sampai akhirnya Giovanna datang menemui gua lagi dua hari lalu, menceritakan masalahnya itu. Dia mengakui kalau setelah bertemu dengan gua dan pergi bersama pacarnya, mereka bermalam di sebuah hotel berdua. Dan ya... Tidak perlu gua jelaskan apa yang mereka lakukan di malam itu pun kalian pasti paham.
Yang jadi permasalahan keluarganya adalah kenapa Giovanna tidak terbuka kalau dia sudah memiliki pacar. Ya pacarnya itu belum pernah dikenalkan atau datang ke rumahnya ini. Mereka Backstreet.
Masalah Ryo dan gua berkelahi jelas karena Ryo sempat menganggap gua tidak bisa menahan Adiknya itu yang pergi dengan pacarnya sampai akhirnya seperti ini. Salah paham sedikit ujung-ujungnya adu tinju. Intinya gua disangka menutup-nutupi kejadian ini.
"Berapa kali kamu ngelakuin itu ?", tanya sang Papah lagi kepada anak perempuannya.
"Sekali, Pah..", jawabnya pelan sambil menundukkan kepala.
Kami semua terkejut mendengarnya. Gua mengerenyitkan kening menatap Giovanna.
"Hey.. Kamu yakin cuma sekali ?", tanya gua tidak percaya.
"Demi Tuhan, Mas Eza. Aku sama dia cuma pernah sekali ngelakuin itu waktu abis ketemu Mas Eza..", jawabnya.
"Terus abis itu lu gak pernah lagi tidur sama bajing*n itu ?!", tanya sang Kakak kali ini.
"Enggak, Kak! Aku gak pernah tidur lagi sama dia, Demi Tuhan! Cuma sekali-kalinya empat bulan lalu!", jawabnya yakin.
"Sebentar deh, Ann. Berarti kamu udah mengandung tiga bulan ? Iya ?", tanya Ayu, Kakak iparnya.
Giovanna mengerenyitkan keningnya. "Tiga bulan ? Enggak tau aku. Yang jelas aku belum 'dapet' lagi selama dua minggu ini. Aku telat udah dua minggu Kak Ayu", jawabnya polos.
"Giovanna! Kamu udah cek atau belum sebenernya ?", tanya sang Mamah.
"Belum... Aku takut. Tapikan aku udah telat, berarti... Berarti itukan tandanya aku hamil, Mah..", polos banget ini perempuan satu.
Gua menghela nafas dengan kasar. Menclos hati gua rasanya. Ryo langsung berdiri dengan emosi yang sudah diubun-ubun.
"Goobl**k! Lu harusnya cek dulu! Jangan tol*l jadi cewek! Maen baru sekali! empat bulan lalu pula! masa telatnya baru sekarang! Beg* banget sih lu!", emosi sudah sahabat SMP gua itu terhadap Adiknya.
"Udah-udah kamu gak perlu marahin Anna lagi, Pah!", tahan Ayu kepada suaminya itu. "Sekarang mending ke dokter untuk mastiin kondisi kamu yang sebenernya", lanjut Ayu.
Gua memang gak pernah menanyakan kalau Giovanna sudah tes memakai alat testpack atau sudah cek kedokter sebelumnya. Gimana gua mau kepikiran, mendengar dia bilang sudah hamil aja gua stress. Bukan stress karena gua yang melakukannya, tapi karena keluarganya bisa-bisa menghilangkan nyawa si laki-laki yang menjadi kekasihnya.
Singkat cerita. Hasil dari dokter kandungan menyatakan kalau Giovanna Almira tidak hamil, tidak sedang mengandung alias kandungannya nihil dari janin! Hufftt... Selamatlah nyawa sang Kekasihnya itu. Tapi ternyata permasalahan mereka tidak berhenti sampai disitu. Ya jelas sih, sekarang sudah ketahuan kalau Giovanna dan kekasihnya itu pernah enaena. Mau tidak mau kekasihnya harus dikenalkan langsung kepada keluarganya. Ya gua sih berdo'a yang terbaik aja untuk mental serta keselamatan lelaki itu.
Malam harinya sekitar habis maghrib. Gua dan Ryo berada di beranda kamarnya diatas. Apa yang terjadi dua hari ini benar-benar membuat pusing kepala kami. Fisikpun ikutan sakit-sakit karena perkelahian yang tidak penting nan tulul.
"Gua balik malem ini, Yo..", ucap gua yang duduk di kursi rotan.
Ryo bersandar pada kursi rotan disamping gua dengan memegangi gelas berisi Whisky."Yakin lu mau balik dengan kondisi muka bengep-bengep gitu ?", tanyanya.
"Gua udah gak balik dari kemaren gara-gara nyusulin lu ke Bandung.. Masa sekarang gak balik lagi ? Hape gua mati pula. Ini keluarga gua pasti nyariin.. Apalagi dia.. Mampus aja gua ketemu Nyokap ama dia kalo liat keadaan muka gua begini..", jawab gua.
"Nah kalo gitu jangan baliklah! Mending nunggu kempes dulu tuh pipi".
"Tol*l... Gak ah! Pokoknya gua balik malem ini. Dan lu mesti tanggungjawab ke keluarga gua. Jelasin kejadian sebenernya. Gantian, Ny*t!".
"Weit! Enak aja tanggungjawab! Ogah gua ketemu Nyokap lu, bisa abis gua diceramahin. Apalagi...", ucapannya tertahan.
"Apalagi apaan ?", tanya gua penasaran.
"Apalagi kalo ada si Sherlin. Mampus gua bisa dimaki-maki yang ada", jawabnya lalu menenggak minumannya.
Gua mengerenyitkan kening keheranan. "Kok lu tau gua lagi deket sama Sherlin ?".
Ryo menengok lalu tersenyum lebar. "Hahahaha.. Kawiiin.. Kawiiin.. Ada yang mau kawiin lagiii.. Anj*nglah gak bilang-bilang ke gua lu! Hahaha..", jawabnya semakin meledek gua.
"Entar-entar..entar dulu.. Lu tau darimana gua deket sama Sherlin ? Lu juga tau gua dijodohin sama dia ?", tanya gua semakin penasaran.
"Yaelah si anj*ng lupa apa! Bini gua temen kuliahnya Sherlin kaliii. Kan kemaren-kemaren mereka reuni, katanya si Sherlin juga dijemput ama lu. Sayang aja lu gak ketemu bini gua..", jawabnya lagi.
Serius ini ? Gua lupa si Mba Yu sama Ayu bininya Ryo satu kampus ? Yang kemarin gua jemput dia di Jakarta itu memang selesai reuni temen kampusnya dulu. Dan gua memang gak liat Ayu.
Akhirnya mau tidak mau Ryo mengantar gua pulang. Sesampainya di rumah gua sudah ada Ibu, Bapak, Adik gua, sampai yang ditakuti Ryo pun hadir disitu. Mba Yu.
Ryo dan gua menjelaskan masalah Giovanna sampai kami salah paham dan berkelahi. Kami berdua seperti anak SMP, habis diceramahi oleh Ibu gua. Ryo cuma bisa menunduk sambil menahan tawanya. Ya iya dia bisa gitu karena sebelumnya minum Whisky dan ditambah bakar daun Om Bob, biar gak jiper katanya ngadepin Nyokap sama Mba Yu.
Sebelum Ryo pulang. Mba Yu memanggil Ryo yang hendak masuk kedalam mobilnya.
"Yo. Gue minta maaf kalo mulai sekarang kayaknya gak bisa liat Adek lu dengan biasa lagi... Gue udah muak sama kelakuannya..", ucap Mba Yu serius.
Gua was-was. Takut kalau mereka adu mulut. Tapi mungkin Ryo sadar diri, ia hanya menghela nafasnya dengan kasar dan tanpa menjawab apapun langsung masuk kedalam mobil lalu bergegas pergi dari rumah gua.
Karena kejadian ini pula awal dari Mba Yu membenci Giovanna.
"Fuuhh...", nafasnya sedikit tersengal. "Mau tes tinjuan lu, Za ?", tanyanya seraya berjalan kearah gua dengan mengibaskan tangan kanan yang sudah berlumuran darah itu.
Gua menggelengkan kepala. "Gak berminat, Yo..", jawab gua seraya menegakkan tubuh lalu melipat kedua tangan didepan dada.
Kriitt..pintu gudang terbuka dari luar, satu orang anak buahnya berdiri diambang pintu sambil memegangi handphone.
"Bos, ada telpon dari Non Anna..", ucap salah satu anak buahnya itu.
"Jangan sekarang", jawabnya sambil menggelengkan kepala, lalu berjalan kembali mendekati gua setelah anak buahnya kembali keluar dan pintu kembali ditutup.
"Cuih!", Lelaki keturunan Italy itu meludah ke sisi kirinya sebelum akhirnya dia menatap gua dengan tajam. "Sekarang masalah Anna, Za..", lanjutnya dengan nada yang dingin.
Satu jam kemudian....
Gua masih berada di dalam gudang sebuah pabrik, tapi kini posisi gua terduduk dengan bersandar kepada dinding dingin dibelakang gua . Gua melirik ke kiri, disana masih ada seorang lelaki yang duduk terikat ke kursi seperti sebelumnya. Namun lelaki itu kesadarannya sudah hilang. Gua yakin karena posisi kepalanya yang tertunduk dengan darah yang masih terus berjatuhan ke lantai dari hidung dan mulutnya.
Gua mencoba mengatur nafas dengan normal walapun sulit. Perih yang berasal dari tulang pipi kanan gua mulai semakin terasa nyeri. Lalu gua mengusap bibir yang mulai perih, dan melihat punggung tangan gua yang sudah berlumuran darah setelah menyeka bibir ini.
"Ugh! Sial", perih rasanya ujung bibir gua.
"Eugh! Anj*ng... Pukulan lu sakit juga...", ucap sahabat gua itu yang sedang berjongkok dua meter di depan gua.
Dia menatap gua sambil memegangi dagunya sendiri. Lalu berusaha berdiri. "Bangun, lu.. Ini baru pemanasan..", lanjutnya seraya melepaskan jaket kulit berwarna hitamnya.
Gua menghela nafas kasar. "Heuh!Br*ngsek...", jawab gua seraya memegangi dinding dibelakang untuk kembali berdiri lagi.
Giovanni Ryo. Salah satu sahabat yang gua kenal di masa SMP itu kini sudah melepaskan pula kaos merahnya. Dia bertelanjang dada dengan posisi kuda-kuda yang sudah siap untuk menghajar gua lagi. 'Tatto mewah' yang berada di sekujur tubuhnya hingga ke kedua lengannya benar-benar membuat ia terlihat seperti seorang Maf*a kelas atas.
"Un figlio di puttana!", teriaknya seraya mengayunkan Uppercut tangan kanannya kearah dagu gua.
Gua berhasil mengelak, tapi dengan cepat Ryo mengayunkan lagi Jab tangan kirinya kearah tulang rusuk bagian kanan gua.
'Bugh!' Pukulannya tepat mengenai tulang rusuk kanan gua.
"Arrghh!", gua berteriak kesakitan dan langsung terhuyung sambil menahan sakit.
Belum sempat gua mengambil nafas, dia menghantam tulang pipi bagian kanan gua lagi dengan pukulan Jab nya berkali-kali. Gua hanya bisa bertahan melindungi wajah dengan kedua tangan sambil terus menghindar. Beruntung gua masih bertahan dari Petinju amatiran seperti dirinya.
Ryo memang memiliki dasar beladiri Boxing yang sudah ia pelajari dari SMP. Gua tidak pernah meragukan keahlian beladirinya itu walaupun dia bukanlah seorang atlit profesional. Sekalipun bukan seorang Pro Boxer tapi bagaimana ia berlatih setiap harinya membuat kemampuan tinjunya memiliki efek yang luar biasa dibanding atlet beladiri lainnya.
Saat masih mencoba terus menghindar seraya menutupi wajah dengan kedua lengan gua dari serangan pukulan Jab yang ia kombinasikan dengan pukulan straight, gua buka sedikit celah diantara kedua lengan gua yang menutupi wajah untuk melihat posisinya. Ryo menarik tangan kanannya kebelakang lalu tepat saat dia mulai mengayunkan tangannya itu untuk menghajar sisi wajah bagian kiri ini, gua merendahkan dan mengayunkan tubuh kearahnya. Pukulan tangan kanannya jelas tidak mengenai wajah gua, dengan cepat gua kembali menegakkan tubuh setelah berayun dan wajahnya tepat berada di hadapan gua.
"Anj*ng!", teriak gua yang langsung dibarengi dengan memundurkan kepala dan langsung menghantam tulang hidungnya menggunakan kening.
Duagh! Krekk!!
"Aaarrgghh!! Bangs*t!!", teriaknya sebelum jatuh kebelakang sambil memegangi tulang hidungnya yang mungkin saja patah.
Ryo mengaduh kesakitan memegangi hidungnya dengan posisi bersimpuh. Gua pun merasakan sakit yang teramat sangat pada kening gua. Lalu gua sadar, ini satu-satunya kesempatan gua untuk menyelesaikan perkelahian kami. Gua ambil ancang-ancang memundurkan kaki kanan kebelakang, lalu bersiap menendang tepat kearah kepalanya.
"Stop-stop-stoopp!! Aargh! Anji*ng! Udah!Arrghh.. Sakit bangs*t! Aah.. Rrrghh..".
"Haaa.. Hah.. Haaa..", nafas gua tersengal. Lalu gua terduduk lagi di lantai gudang ini. "Fvck! Lu kira gua gak kesakitan!", timpal gua.
Ryo masih memegangi wajahnya, gua berusaha berdiri lagi sambil menahan sakit pada wajah dan tulang rusuk gua. Gua berjalan mendekatinya dan mengulurkan tangan kanan gua untuk membantunya berdiri, sedangkan tangan kiri gua menahan sakit pada tulang rusuk kanan ini.
"Udah, bangun", ucap gua dengan susah payah karena nyeri yang gua rasa semakin menjadi.
Tangan kanannya menyambut uluran tangan gua, dengan susah payah Ryo pun akhirnya berdiri sambil memegangi gua.
Hidung dan mulutnya sudah bersimbah darah. Tapi dia malah tersenyum... Bukan.. Bukan tersenyum... Dia menyeringai, ya dia menyeringai dengan mulut berwarna merah gelap akibat darah yang belum berhenti keluar dari hidungnya itu. Dan saat itulah gua sadar kalau riwayat gua bisa saja tamat disini.
Buagh!
Uppercut yang ia berikan berhasil melayangkan tubuh gua kebelakang. Kesadaran gua lambat laun menghilang ketika punggung dan kepala bagian belakang gua menghantam lantai dingin dari gudang sebuah pabrik yang berada di kota kembang ini.
...
Gua tidak ingat sudah berapa lama gua tidak sadarkan diri. Yang jelas gua terbangun diatas sebuah kasur yang lembut dan nyaman. Ruangan ini tidak familiar diingatan gua. Ruangan ? Oh ternyata gua berada di sebuah kamar. Desain interior kamar yang sangat mewah. Banyak barang-barang wanita saat gua memandangi keseluruhan kamar.
Gua mencoba membiasakan mata gua dengan cahaya kamar yang sangat terang dari lampu gantung nan besar diatas sana yang bergaya eropa. Perih, sakit, nyeri pada seluruh wajah dan pinggang gua kembali menyeruak saat gua mencoba untuk duduk diatas kasur.
"Ugh!..ah..sssh..", gua menahan sakitnya.
Tidak lama pintu kamar yang sangat besar diujung kanan sana terbuka.
"Mas!", seorang perempuan langsung berlari menghampiri ketika dia melihat gua yang sudah sadarkan diri. "Kamu mau apa ? Jangan duduk dulu, tulang rusuk kamu masih sakitkan", ucapnya setelah duduk disisi kasur tepat disamping gua.
Wajahnya terlihat sangat khawatir. Di sekitar kedua matanya bengkak dan memerah, jelas dia habis menangis cukup lama.
"Dokter bilang kamu gak ada luka dalem yang serius kecuali luka luar di pipi kamu yang memar itu sama pinggang kamu... Oh! Tulang rusuk kamu juga aman katanya... Jangan khawatir ya, kamu pasti cepet sembuh", lanjutnya.
Gua menghela nafas perlahan dan menutup mata sesaat. "Ryo mana ?", tanya gua dengan suara parau sambil kembali membuka mata.
Sebenarnya Giovanna sudah melarang gua untuk menemui Kakaknya itu yang sedang berada di kota kembang. Alasannya jelas karena Kakaknya pasti melakukan hal gila. Dan kekhawatirannya pun terbukti hingga gua dan Kakaknya itu berkelahi. Perihal Ryo yang sebelumnya sedang memberi 'pelajaran' kepada seorang laki-laki di gudang tersebut pun gua tidak tahu ada masalah apa. Yang jelas Giovanna cerita saat kami hendak berangkat kesini Kakaknya itu memang ada 'urusan' dengan orang lain. Ya mungkin itu urusannya. Memberi 'pelajaran tata-mental dan tata-tubuh'.
"Sekarang dimana dia ?", tanya gua lagi.
"Ada dibawah..".
Gua mengerenyitkan kening. "Loch ? Kita dimana ini ?", tanya gua lagi yang masih tidak tahu sebenarnya kami berada di rumah siapa.
"Ini di rumahku, Mas.. Ada Papah sama Mamah juga kok dibawah..", lanjutnya.
Gua memang tidak pernah sekalipun masuk ke kamar Giovanna. Jadi gua memang tidak tahu kalau ternyata gua sudah dibawa pulang ke kota kami dan berada di rumahnya.
Giovanna cerita setelah perkelahian itu, Ryo menyuruh anak buahnya yang berjaga di luar untuk masuk kedalam gudang dan membereskan lelaki sebelumnya. Lalu gua dibawa ke rumah sakit yang berada di kota kembang. Tapi setelah mendapatkan hasil kalau ternyata kondisi gua tidak terlalu parah dan hanya mengalami pingsan, akhirnya Ryo memilih untuk membawa gua pulang hari itu juga.
Mereka berdua jelas bertengkar, adu mulut selama perjalanan pulang kata sang Adik. Tapi gua tahu Ryo, semarah-marahnya dia kepada Adik tersayangnya itu tidak akan sampai main fisik.
"Mas.. Aku minta maaf jadi kayak gini semuanya.. Papah sama Mamah nunggu kamu sadar daritadi, mereka mau denger cerita dari kamu..", ucapnya seraya memegangi tangan kanan gua.
Gua menatap langit-langit kamar. Mengerjapkan mata beberapa kali sebelum akhirnya menarik nafas perlahan dan menghembuskannya.
"Anterin aku kebawah ya, Ann..".
Di ruang tamu rumahnya yang megah itu gua melihat keluarganya sedang berkumpul, ditambah beberapa anak buah Ryo atau semacam body guard keluarganya yang berdiri di dekat pintu. Setelah susah payah gua yang dibantu Giovanna menuruni tangga, akhirnya gua kembali berjalan sambil dipapah lagi oleh perempuan muda itu untuk duduk bersama keluarganya di sofa ruang tamu.
"Masih sakit, Za ?", tanya sang Mamah dengan ramah.
"Lumayan, Tante...", jawab gua setelah duduk disebelah Giovanna.
Ryo bersama istrinya Ayu duduk di sofa sebelah kiri gua dan Giovanna, sedangkan kedua orangtuanya duduk dihadapan kami berdua atau di sisi kiri Ayu dan Ryo.
Suasana ruang tamu ini terasa dingin, padahal cukup banyak orang yang berada disini. Ya gua sadar. Suasana seperti ini wajar adanya karena kami sedang dalam masalah yang cukup berat.
Sang kepala keluarga rumah itu menuangkan Whisky ke dua buah shot glass yang berada diatas meja. Lalu mengambil satu shot glass yang sudah terisi dan kembali menaruhnya dihadapan gua.
"Minum, Za", pintanya dengan nada suara yang dingin.
Setelah itu dia langsung meminum minuman beralkohol tersebut dari shot glass satunya.
"Maaf, Om.. Saya udah lama berenti minum", jawab gua sesopan mungkin.
Satu alisnya ia tarik keatas seraya menatap gua dengan tersenyum tipis. Gelas yang ia pegang berada di depan wajahnya.
Prak! ia taruh kembali gelas itu dengan kasar setelah meminum habis isinya ke meja dihadapan kami.
Mulai terasa panas rasanya suasana di ruang tamu ini. Padahal gua belum menenggak sedikitpun Whisky yang ia tawarkan. Lalu tiba-tiba tangan kiri Giovanna menggenggam tangan kanan gua dengan erat. Gua melirik kearahnya yang sedang menatap gua dengan raut wajah ketakutan.
"Hebat kamu. Ryo harus belajar dari kamu mulai sekarang...", ucapnya sambil tersenyum kepada gua.
"Ck, Erh...", Ryo mendengus kasar sambil membuang wajahnya kearah lain. "Aw! Apa sih ?!", tanyanya setelah dicubit oleh sang istri yang berada disampingnya dengan mata yang melotot. Ayu malah membalas memelototi suaminya itu. Ryo pun hanya bisa memasang wajah malas kearah gua.
"Sekarang. Apa yang bisa kamu jelasin ke Saya, Za ?", tanya sang kepala keluarga lagi kepada gua.
"Ehm.. Saya cuma bisa bilang kalo sebaiknya Giovanna dinikahkan secepatnya, Om...".
"Bukan itu yang ingin saya dengar. Kamu.. Apa yang kamu lakuin di malam itu".
Apa yang ia keluarkan dari balik pinggangnya setelah menanyakan hal tersebut cukup membuat nyali gua menciut. Bahkan tangan Giovanna terasa mencengkram sekarang, bukan lagi menggenggam tangan gua.
"Pah.. Dengerin Eza dululah, jangan kayak gitu, Pah..", sela Ryo menahan Papahnya.
"Eh kamu bisa diam ? Jangan sampai saya pecahkan kepalamu. Adikmu kena masalah kamu cuma bisa senang-senang diluar sana. Andate tutti a 'fanculo!", jawab sang Papah dengan nada yang dingin.
Ryo hanya bisa menahan emosinya, Ayu istrinya pun mengelus punggung tangannya untuk menahan emosi sang suami.
Kemudian sang Mamah pun mengelus punggung sang kepala keluarga. "Sabar, Pap.. Sabar.. Dengerin dulu penjelasan Eza", ucap istrinya itu dengan nada yang lembut.
"Aku udah bilang, Pah... Ini bukan salah Mas Eza. Kenapa sih kalian terus-terusan salahin dia!", belum sempat gua menjelaskan, Giovanna sudah memotong duluan. Airmatanya kembali menetes.
"Aku minta tolong Mas Eza karena aku takut untuk ngomong langsung ke kalian... Hiks.. Hiks..", lanjutnya dengan tangis yang semakin menjadi.
"Om, Tante, Ryo.. Saya minta maaf kalo malem itu saya gak bisa nyegah Anna. Saya gak ada pikiran buruk sama sekali waktu Anna dijemput pacarnya setelah ngobrol dengan saya..", gua mencoba menjelaskan apa yang Giovanna sudah ceritakan kepada keluarganya itu sebelumnya.
Kejadian empat bulan lalu itu sebenarnya gua memang mengajak Giovanna untuk ngobrol di sebuah tempat makan pinggir jalan yang tidak jauh dari rumahnya. Gua hanya ingin curhat soal permasalahan gua terkait Nona Ukhti yang sedang didekati Rifki. Hanya itu. Tapi saat kami baru selesai makan dan masih mengobrol, Giovanna menerima telpon yang katanya dari sang pacar. Gua memang tidak tahu kalau dia sudah memiliki pacar. Setelah itu dia dijemput oleh pacarnya, gua pun pulang ke rumah. Apa yang terjadi setelah mereka berdua pergi gua tidak tahu sama sekali.
Sampai akhirnya Giovanna datang menemui gua lagi dua hari lalu, menceritakan masalahnya itu. Dia mengakui kalau setelah bertemu dengan gua dan pergi bersama pacarnya, mereka bermalam di sebuah hotel berdua. Dan ya... Tidak perlu gua jelaskan apa yang mereka lakukan di malam itu pun kalian pasti paham.
Yang jadi permasalahan keluarganya adalah kenapa Giovanna tidak terbuka kalau dia sudah memiliki pacar. Ya pacarnya itu belum pernah dikenalkan atau datang ke rumahnya ini. Mereka Backstreet.
Masalah Ryo dan gua berkelahi jelas karena Ryo sempat menganggap gua tidak bisa menahan Adiknya itu yang pergi dengan pacarnya sampai akhirnya seperti ini. Salah paham sedikit ujung-ujungnya adu tinju. Intinya gua disangka menutup-nutupi kejadian ini.
"Berapa kali kamu ngelakuin itu ?", tanya sang Papah lagi kepada anak perempuannya.
"Sekali, Pah..", jawabnya pelan sambil menundukkan kepala.
Kami semua terkejut mendengarnya. Gua mengerenyitkan kening menatap Giovanna.
"Hey.. Kamu yakin cuma sekali ?", tanya gua tidak percaya.
"Demi Tuhan, Mas Eza. Aku sama dia cuma pernah sekali ngelakuin itu waktu abis ketemu Mas Eza..", jawabnya.
"Terus abis itu lu gak pernah lagi tidur sama bajing*n itu ?!", tanya sang Kakak kali ini.
"Enggak, Kak! Aku gak pernah tidur lagi sama dia, Demi Tuhan! Cuma sekali-kalinya empat bulan lalu!", jawabnya yakin.
"Sebentar deh, Ann. Berarti kamu udah mengandung tiga bulan ? Iya ?", tanya Ayu, Kakak iparnya.
Giovanna mengerenyitkan keningnya. "Tiga bulan ? Enggak tau aku. Yang jelas aku belum 'dapet' lagi selama dua minggu ini. Aku telat udah dua minggu Kak Ayu", jawabnya polos.
"Giovanna! Kamu udah cek atau belum sebenernya ?", tanya sang Mamah.
"Belum... Aku takut. Tapikan aku udah telat, berarti... Berarti itukan tandanya aku hamil, Mah..", polos banget ini perempuan satu.
Gua menghela nafas dengan kasar. Menclos hati gua rasanya. Ryo langsung berdiri dengan emosi yang sudah diubun-ubun.
"Goobl**k! Lu harusnya cek dulu! Jangan tol*l jadi cewek! Maen baru sekali! empat bulan lalu pula! masa telatnya baru sekarang! Beg* banget sih lu!", emosi sudah sahabat SMP gua itu terhadap Adiknya.
"Udah-udah kamu gak perlu marahin Anna lagi, Pah!", tahan Ayu kepada suaminya itu. "Sekarang mending ke dokter untuk mastiin kondisi kamu yang sebenernya", lanjut Ayu.
Gua memang gak pernah menanyakan kalau Giovanna sudah tes memakai alat testpack atau sudah cek kedokter sebelumnya. Gimana gua mau kepikiran, mendengar dia bilang sudah hamil aja gua stress. Bukan stress karena gua yang melakukannya, tapi karena keluarganya bisa-bisa menghilangkan nyawa si laki-laki yang menjadi kekasihnya.
Singkat cerita. Hasil dari dokter kandungan menyatakan kalau Giovanna Almira tidak hamil, tidak sedang mengandung alias kandungannya nihil dari janin! Hufftt... Selamatlah nyawa sang Kekasihnya itu. Tapi ternyata permasalahan mereka tidak berhenti sampai disitu. Ya jelas sih, sekarang sudah ketahuan kalau Giovanna dan kekasihnya itu pernah enaena. Mau tidak mau kekasihnya harus dikenalkan langsung kepada keluarganya. Ya gua sih berdo'a yang terbaik aja untuk mental serta keselamatan lelaki itu.
***
Malam harinya sekitar habis maghrib. Gua dan Ryo berada di beranda kamarnya diatas. Apa yang terjadi dua hari ini benar-benar membuat pusing kepala kami. Fisikpun ikutan sakit-sakit karena perkelahian yang tidak penting nan tulul.
"Gua balik malem ini, Yo..", ucap gua yang duduk di kursi rotan.
Ryo bersandar pada kursi rotan disamping gua dengan memegangi gelas berisi Whisky."Yakin lu mau balik dengan kondisi muka bengep-bengep gitu ?", tanyanya.
"Gua udah gak balik dari kemaren gara-gara nyusulin lu ke Bandung.. Masa sekarang gak balik lagi ? Hape gua mati pula. Ini keluarga gua pasti nyariin.. Apalagi dia.. Mampus aja gua ketemu Nyokap ama dia kalo liat keadaan muka gua begini..", jawab gua.
"Nah kalo gitu jangan baliklah! Mending nunggu kempes dulu tuh pipi".
"Tol*l... Gak ah! Pokoknya gua balik malem ini. Dan lu mesti tanggungjawab ke keluarga gua. Jelasin kejadian sebenernya. Gantian, Ny*t!".
"Weit! Enak aja tanggungjawab! Ogah gua ketemu Nyokap lu, bisa abis gua diceramahin. Apalagi...", ucapannya tertahan.
"Apalagi apaan ?", tanya gua penasaran.
"Apalagi kalo ada si Sherlin. Mampus gua bisa dimaki-maki yang ada", jawabnya lalu menenggak minumannya.
Gua mengerenyitkan kening keheranan. "Kok lu tau gua lagi deket sama Sherlin ?".
Ryo menengok lalu tersenyum lebar. "Hahahaha.. Kawiiin.. Kawiiin.. Ada yang mau kawiin lagiii.. Anj*nglah gak bilang-bilang ke gua lu! Hahaha..", jawabnya semakin meledek gua.
"Entar-entar..entar dulu.. Lu tau darimana gua deket sama Sherlin ? Lu juga tau gua dijodohin sama dia ?", tanya gua semakin penasaran.
"Yaelah si anj*ng lupa apa! Bini gua temen kuliahnya Sherlin kaliii. Kan kemaren-kemaren mereka reuni, katanya si Sherlin juga dijemput ama lu. Sayang aja lu gak ketemu bini gua..", jawabnya lagi.
Serius ini ? Gua lupa si Mba Yu sama Ayu bininya Ryo satu kampus ? Yang kemarin gua jemput dia di Jakarta itu memang selesai reuni temen kampusnya dulu. Dan gua memang gak liat Ayu.
Akhirnya mau tidak mau Ryo mengantar gua pulang. Sesampainya di rumah gua sudah ada Ibu, Bapak, Adik gua, sampai yang ditakuti Ryo pun hadir disitu. Mba Yu.
Ryo dan gua menjelaskan masalah Giovanna sampai kami salah paham dan berkelahi. Kami berdua seperti anak SMP, habis diceramahi oleh Ibu gua. Ryo cuma bisa menunduk sambil menahan tawanya. Ya iya dia bisa gitu karena sebelumnya minum Whisky dan ditambah bakar daun Om Bob, biar gak jiper katanya ngadepin Nyokap sama Mba Yu.
Sebelum Ryo pulang. Mba Yu memanggil Ryo yang hendak masuk kedalam mobilnya.
"Yo. Gue minta maaf kalo mulai sekarang kayaknya gak bisa liat Adek lu dengan biasa lagi... Gue udah muak sama kelakuannya..", ucap Mba Yu serius.
Gua was-was. Takut kalau mereka adu mulut. Tapi mungkin Ryo sadar diri, ia hanya menghela nafasnya dengan kasar dan tanpa menjawab apapun langsung masuk kedalam mobil lalu bergegas pergi dari rumah gua.
Karena kejadian ini pula awal dari Mba Yu membenci Giovanna.
Diubah oleh glitch.7 08-08-2018 13:03
fatqurr memberi reputasi
2

