- Beranda
- Stories from the Heart
Sonne Mond und Stern
...
TS
glitch.7
Sonne Mond und Stern
die SONNE der MOND und der STERN
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Tak Lagi Sama - Noah
Spoiler for Cover Stories:
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 95% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahdan lanjutan dari sebuah cerita Love in Elegy yang pernah Gua tulis di Forum ini.
Quote:
Catatan:
1. Mengacu pada aturan main forum H2H dan SFTH
2. 95% Semua tokoh/karakter di cerita ini sudah memberikan izin
3. Sikapi dengan bijak apa yang tertuang disini
4. Jangan meminta lebih dari apa yang sudah diberikan
5. Sopanlah dalam berkomentar
6. Saling menghargai TS, penulis dan sesama kaskuser disini
1. Mengacu pada aturan main forum H2H dan SFTH
2. 95% Semua tokoh/karakter di cerita ini sudah memberikan izin
3. Sikapi dengan bijak apa yang tertuang disini
4. Jangan meminta lebih dari apa yang sudah diberikan
5. Sopanlah dalam berkomentar
6. Saling menghargai TS, penulis dan sesama kaskuser disini
Versi PDF Dua Thread Sebelumnya :

*mulustrasi karakter dalam cerita ini
Quote:
BAB I & BAB II
BAB III & BAB IV
***
Tralala_Trilili
PROLOG
BAB V
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15- continues
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
***
SEBELUM CAHAYA
PART I
PART II
PART III - The Ghost of You
PART IV
PART V
PART VI
PART VII
PART VIII
Cooling Down
PART IX
PART X - continues
PART XI
PART XII
PART XIII
PART XIV
PART XV
PART XVI
PART XVII A
PART XVII B
PART XVIII
PART XIX - continues
PART XX
PART XXI
PART XXII
PART XXIII
PART XXIV
PART XXV
PART XXVI
PART XXVII
PART XXVIII
PART XXIX
PART XXX
PART XXXI
PART XXXII
PART XXXIII
PART XXXIV
PART XXXV
PART XXXVI - continues
PART XXXVII
PART XXXVIII
PART XXXIX
Vor dem Licht XL - Das Ende
***
BAB V
PART 21
PART 22
Tentang Rasa
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
Von Hier Wegfliegen
Teils Eins - Vorstellen
Teils Zwei - Anfang
Teils Drei - Der Erbarmer
Teils Vier - Von Hier Wegfliegen
Lembayung Senja
Bagian Satu
Bagian Dua
Bagian Tiga
Bagian Empat
Bagian Lima - continues
Bagian Enam
Bagian Tujuh
Bagian Delapan
Bagian Sembilan
Bagian Sepuluh - continues
Breaking Dawn
One Step Closer
Ascension
Throwback Stories
Life is Not Always Fair
Dusk till Dawn
Awal Semula
Untuk Masa Depan
Terimakasih
Omong Kosong
Kepingan Cerita
Menyerah
Restoe
Rasanya - Rasain
Pengorbanan
Menuju Senja
Kenyataan
Wiedersehen
Cobalah untuk Mengerti
Pengorbanan
Tentang Kita
SIDE STORY
VFA
Daily Life I
Daily Life II
Maaf NEWS
Tentang MyPI
*thanks to my brother in law yang bantu index dan update selama gua mudik
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 239 suara
Siapakah pendamping Eza sebenarnya ?
Sherlin Putri Levanya
55%
Franziska Luna Katrina
17%
Giovanna Almira
28%
Diubah oleh glitch.7 08-01-2022 09:16
chamelemon dan 125 lainnya memberi reputasi
122
1.9M
Kutip
8.8K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
glitch.7
#6510
Side Story
Daily Life I
Quote:
Seingat gua hari itu adalah libur akhir pekan dipertengahan tahun 2016.
Gua berada di rumah bersama seorang putri mungil yang baru saja sembuh dari demam.
"Ayaaaahhh... Olenz mau mamam!".
"Astagfirullah! Pelan-pelan atuh ngomongnya, Neng! Gak usah teriak-teriak gitu.. Heuh!".
Orenz cuma cengar-cengir sambil turun dari pangkuan gua. "Ayo ayo kita macak ya Yah di dapul..", ajaknya sambil menarik tangan gua kali ini.
Dengan sedikit malas gua beranjak mengikuti tuntunan tangan mungilnya yang memegang erat jari telunjuk gua.
"Mau dimasakin apa ?", tanya gua.
Orenz mengangkat satu tangannya dan meletakkan jari telunjuknya tepat dibawah dagunya, sedangkan tangan satunya menopang tangan yang terangkat tersebut.
Kemudian kepalanya bergerak dari kiri ke kanan dengan pandangan yang menyapu seluruh ruang dapur ini.
"Olenz mau sclambel eg", jawabnya dengan wajah serius.
Gua menahan tawa. "Hadeuh Neng.. Neng.. Hoyong endog orak-arik ge meuni gaya kamu ma.. Hahaha..", gua sentil pelan keningnya yang tertutup rambut poninya itu.
"Iiih ci Ayah maa.. Ibeut.. Kan kayak Bunbun tauu.. Hehehe..", timpalnya seraya tertawa menunjukkan salah satu giginya yang bolong.
"Oke deh, ayo kita masak..".
"Oke! Lets gooowww...", teriaknya antusias sambil meninju langit dengan bibir yang monyong.
Gua mengambil telur di dalam kulkas, Orenz naik keatas bangku kayu di depan kitchen set.
"Ayah Ayah... Olenz yang mutel-mutelin telolnya yaa Yah", teriaknya lagi ketika gua sudah membawa dua telur.
"Muter-muterin ? Hahaha... Kamu aya-aya wae ah. Dikocok kali", ralat gua.
"Iya digituin tea..", tangannya muter-muter diatas table kitchen. "Ci Ayah ma.. Hihihi", lanjutnya terkekeh.
"Ci Ayah ci Ayah ci Ayah wae ah.. Ssstt da ah jangan bawel. Kita masak aja sekarang ma..".
Acara memasak pagi menjelang siang itu pun dimulai. Orenz anteng ngemix telur didalam mangkuk. Gua sudah selesai menyiapkan mentega, susu, garam dan merica.
"De, campurin dulu ini..", ucap gua menyodorkan susu, garam dan merica.
"Iyah sebental Yah ini Olenz putelin dulu...", jawabnya dengan tampang serius tanpa menoleh kepada gua.
"Udah dulu, ini masukin dulu garem ama susunya, De... Tar puter-puter lagi dah..".
"Manah manah manaaah.. Cini Olenz yang masupin!", jawabnya kali ini dengan wajah yang sok iye.
"Tah tah taah.. Asupkeun saeutik-saeutiknya".
(Nih nih nih.. Masukin sedikit-sedikit ya).
Orenz menuangkan susu, sedangkan gua memasukkan garam dan merica secukupnya. Bahaya kalo dia yang nuangin. Bisa-bisa keasinan nanti... Macem Mba Yu aja kalo masak asin wae.. Like Mo.. Eh.. Like Daugh.. Eh... Hehehehe.
"Udah-udah ayo dimasak telornya, De.."
"Tunggu-tunggu, geselin bangkunya dulu Yah!", teriaknya.
"Hah ? Kenapa digeser ?", tanya gua bingung.
"Kata Bunbun halus menjauh kalo macak, nanti kena minyak goleng tangan Olenz, nanti Olenz nangis, nanti tangan Olenz ada bawangnya", jawabnya serius.
Gua menggelengkan kepala. Bisaan Emaknya kalau ngasih tau anak. Padahal ma jauh ini dari kompor ama wajan.
"Bawang apaan, De ?", tanya gua lagi.
"Tangannya nanti ada bawangnya kata Bunbun. Coklat-coklat tangan Olenz, jelek katanya nanti... Olenz ma gak mau.. Takut!", jawabnya kali ini seraya memeluk diri sendiri dengan kedua tangan.
"Hahahaha... Bisaan Emak maneh ma. Kos nu heu'euh! Hahaha..".
Ditengah-tengah acara memasak telur orak-arik atau bahasa kerennya 'sclambel eg' kata Orenz, tiba-tiba Orenz berdiri diatas bangku kayu dengan hati-hati. Gua kaget melihatnya, takut jatuh tuh anak, bahaya pake banget kalo ampe tuh anak terjun bebas... Bisa-bisa dicincang gua ama Emaknya.
"Heh heh! Ngapain kamu te ?!", tanya gua kaget menoleh kepadanya.
"Waaaa!!!", Orenz berteriak saat kakinya goyang dan keseimbangan berdirinya goyah.
Gua langsung memegang tangan kanannya dengan tangan kiri gua, sedangkan tangan kanan masih memegang spatula.
Braakk!bangku kayu tanpa penyangga tubuh itupun jatuh.
Gua udah kayak megangin anak orangutan aja megangin si Orenz dengan satu tangan, doi gelantungan dah. Selang satu detik kemudian pecah dah tangisnya.
Gua taruh spatula sembarangan, lalu menurunkan Orenz dan berjongkok didepannya.
"Hey, jangan nangis sayang. Gak apa-apa kan Ayah pegangin tadi", ucap gua lembut sambil memegang kedua pinggangnya.
"Huuwaaaaa... Heeuuu.. Heeuu... Huuwwaaaaa!!!". Doi masih nangis dengan intensitas teriakan seratus dB (desibel). Penging cuy denger doi nangis sambil teriak gitu.
"Ayah maaaa! Heeuuu.. Heeuu.. Huwaaaa!!".
"Udah-udah jangan nangis geulis. Kamu ge aya-aya wae sih, ngapain diri ? Kan katanya mau diem. Sok-sok'an diri sih".
"Heeeuu.. Hiks.. Heeuu.. Hiks... Olenz kaget tau!", jawabnya disela-sela tangisan yang belum berhenti itu.
"Kaget kenapa ?".
"Kaget ama Ayah! Hiks.. Hiks.. Heeuu.. Hiks.. Heeuu...".
"Loch kok jadi Ayah ? Kan kamu yang diem-diem berdiri diatas bangku... Untung Ayah liat...".
Orenz makin kejer nangisnya. Akhirnya gua mikir lagi, oh mungkin maksud dia kaget pas tadi lagi mau berdiri, langsung gua tanya 'ngapain ?' dengan nada sedikit keras. Bukan keras sih sebenernya, nada suara gua kaget liat tuh anak tiba-tiba berani diri diatas bangku. Eh malah doi ikutan kaget, jadi ajakan.... Nyaris jatoh...
Gua peluk Orenz lalu menggendongnya. "Iya-iya maaf ya Ayah ngagetin Ade.. Nanti kita beli es krim di depan abis makan deh.. Sekarang udahan dulu nangisnya ya geulis..", ucap gua sambil mengelus punggungnya.
"Huwwaaa... Gak mauu! Gak mauuu! Heeu.. Hiks.. Hiks.. Heuu..", doi nutup mukanya pake kedua tangan.
"Yaudah-yaudah mau apa tuh ? Jangan nangis terus nanti jelek..", tanya gua sambil menurunkan satu tangannya.
Matanya sedikit sembab. "Olenz ma mau kindeljoy! Belinya di alpaindo.. Heeuu...heuu..hiks..hiks..", jawabnya lagi masih sesenggukan.
"Oh kinderjoy. Oke deh.. Belinya di alpacino ya ?", goda gua.
"Bukaaannn! Alpaindo iih! Heeuu.. Hiks.. Hiks..", ralat Orenz dengan wajah marahnya.
"Hehehe iya alpacino.. Eh alpaindo deh.. Hehehe..".
"Hiks..hiks.. Ayah ma gak tau'eun cii.. Ibeut Ayah ma.. Hiks.. Hiks..".
"Yaa maap. Lupa dah Ayah.. Udah jangan nangis lagi. Makan telor dulu yak pake nasi".
Begitu gua membalikan badan kearah kompor... Ya gitulaah.. Telur orak-arik dengan warna black sudah menanti kami berdua. Amsyong dah, gosong tuh telur...
"Yaaaa De... Angus teyoynya. Gocong De..", ucap gua nelangsa sambil memperhatikan orak-arik telur gosong diatas wajan.
"Hah ? Manah-manah-manah ?", Orenz beringsut memajukan tubuhnya dalam gendongan gua. "Yaaa.. Ci Ayah maa.. Olenz gak jadi mamam atuh.. Iih!", lanjutnya bete.
Gua nyengir. "Tenang. Kita makan nugget aja ya ? Daripada masak nasi goreng lama lagi. Kamu kan da laper..", ucap gua menawarkan.
Akhirnya Orenz mau juga. Dia anteng duduk diatas lantai dapur setelah gua keluarkan mainan 'My Little Pony' pemberian salah satu mantan gua beberapa hari yang lalu.
Nugget udah mateng, nasi udah dipiring, saos tomat favorit Orenz juga udah gua tuangin dipinggir piring. Tinggal pindah lagi kita ke ruang tamu.
"Ayo makan dulu, mau disuapin apa sendiri ?", tanya gua setelah kami berada di ruang tamu.
"Cuapin aja. Olenz sambil main ama Ponii", jawabnya sambil menunjukkan salah satu kuda pony mainannya.
Suap demi suap nasi nugget plus saos tomat dilahap olehnya, doi anteng gua suapin sambil mainin ketujuh kuda pony dengan warna yang berbeda. Sisa dua suapan lagi tiba-tiba Orenz minta dinyalain dvd Naruto.
"Ayah mau nonton Nalto..", ucapnya setelah meletakkan kuda pony sembarangan.
"Hm ? Yaudah abisin dulu nih, baru kita nonton Naruto", jawab gua seraya menyodorkan sendok berisi makanan kearah mulutnya.
"Enggak mau. kenyang. Nalto aja", jawabnya mulai bete lagi dah.
"Iya nontonnya abis makan. Tuh liat tinggal dua sendok lagi geulis.. Ayo Aaaa dulu..", bujuk gua.
Orenz buru-buru menutup mulutnya dengan kedua tangan sambil menggelengkan kepala. Gua apal kalo udah kayak gini bakalan susah.
"Tapi janji nonton Narutonya sambil Ayah suapin lagi ya ? Ini tinggal dikit tuh nuggetnya. Oke ?".
"Iyah! Okeh!".
Akhirnya gua mengalah. Gua nyalakan dulu dvd Naruto kesukaannya.
"Wooaahh.. Lasengan Yah lasengan tuuh..", ucapnya ketika dvd Naruto sudah gua putar beberapa menit.
"Iya keren kan ?".
"Heu'euh!", jawabnya cepat sambil mengangguk tanpa melepas pandangan dari layar Tv.
"Nih, De... Rasengan, Dee.. Ayo cepet...", gua angkat sendok berisi suapan makanannya.
Orenz melirik tangan gua yang hendak menyuapi, doi hampir mau menutup lagi mulutnya, tapi gua buru-buru mengingatkan dia.
"Eits.. Mau ngapain itu tangannya ? Ade mau ingkar janji sama Ayah ?", tanya gua cepat.
Orenz menggelengkan kepalanya.
Ini salah satu rasa syukur gua saat Ibu mengajarkan Orenz yang masih berumur dibawah lima tahun itu tentang bagaimana menepati ucapan dan janji. Gua dan Bunbun hampir tidak percaya kalau nyatanya ajaran Ibu melekat di benak Orenz. Padahal saat itu dia benar-benar belum mengerti, namanya anak kecil, batita juga belum. Tapi nyatanya alhamdulillah. Orenz takut kalau sampai mengingkari janji.
Akhirnya dua suapan terkahir pun habis dilahapnya.
"Nih minum dulu..", gua berikan segelas anggur merah. Enggak deng, whiskey doang kok.. Kagak.. Kagak.. Apasiih!
"Sekarang minum siropnya.. Manis yang manis kok.. Gak pait", ucap gua sambil menuangkan obat sirup ke sendok.
"Kan kan Olenz udah syembuuh... Ga ucah minum obat lagi Yah..".
"Ini ma bukan obat oge. Sirop De sirop.. Yang manis tea.. Rasa stroberi", bujuk gua.
"Ga pait ?" tanyanya khawatir.
"Enggaklah.. Manisss beut! Yang sirop stroberi, yang Orenz suka tea..".
Gua mulai sodorkan sirup dalam sendok kearah mulutnya. Matanya awas memperhatikan gerak tangan gua hingga sejengkal lagi sampai di mulutnya, Orenz memundurkan kepala.
"Loch ? Ini manis sayang. Ayo dong minum dulu, Ade ma pinter ge..", bujuk gua lagi.
"Ga pait ?", tanyanya ulang. Sebuah kekhawatiran anak kecil ketika minum obat. Hahahaha.
"Enggaaak.. Beneran enggak pait anak pinteerrr.. Ini ma sirop yang Orenz suka minum tea", jawab gua mulai gak sabar.
"Manis ya Yah ?".
Ebusyet masih nanya aja.
"De..".
"Apah ?".
"Mau dicekok apa enggak ?", tanya gua dingin.
"Ga mau ga mau... Ga mau dicekokin.. Ga mauuu!", jawabnya cepat dengan raut sedikit ketakutan.
"Yaudah ayo minum siropnya, enggak pait kok beneran. Liat tuh warna merah, rasa stroberi", ucap gua lagi.
Akhirnyaaa... Fiuh.. Mau juga nih anak minum sirop penurun demam. Emang gak pait sih, cuma gua beneran lupa kalo ternyata rasanya bukan pait bukan manis. Tapi asem.
"Aceemmm Ayaahh! Minuuuumm.. Aceemm!!", teriaknya dengan raut wajah mengkerut.
Gua ngakak sebelum ngasih dia air mineral.
"Hahahaha.. Sorry Bos... Lupa Ayah kalo siropnya asem.. Hehehe.. Nih nih buruan minum, hehehe..".
Beres udah. Perut sang princess fulltank, obat demam da masuk pencernaan juga. Tinggal janji gua di dapur tadi yang belum selesai.
"De mau ke alpacino gak ?", tanya gua ketika dia mulai bosan dengan tontonan Narutonya.
"Mau ke alpaindo bukan alpcino Ayaaah.. Cii Ayah ma lupa'eun wae..", ralatnya sok iye.
"Hehehe yaudah hayu atuh.. Pake jaket ya. Kan Ade baru sembuh".
"Okeh".
Setelah gua kenakan jaket dan mengganti celananya dengan celana panjang dan memakaikan sepatu, gua gendong dia keluar rumah. Sampai di halaman gua tanya nih anak kodok satu.
"Mau jalan apa naek motor ?", tanya gua.
Orenz nampak sedikit berfikir. "Eeeuu.. Kan Olenz balu syembuh, kata Bunbun ga boleh naek motol..", jawabnya mengingat ucapan sang induk semang.
"Sip.. Pinter deh. Kita jalan aja kesana ya..", ucap gua lagi sambil menurunkan Orenz.
"Iih kok tulun ?", tanyanya bingung.
"Kan katanya jalan.. Orenz ama Ayah jalan kedepan", jawab gua pura-pura serius.
Kedua tangannya gak mau melepaskan lengan gua. Dipegangnya kuat-kuat.
"Iiih Ayah maa.. Olenz ma maunya digendong.. Gendong.. Gendong.. Gendooong...", rengeknya sambil menghentak-hentakkan kedua kakinya bergantian.
"Oooh.. Ayah yang jalan, Orenz digendong gitu ?", goda gua lagi.
"Iiyaa atuuhh.. Cii Ayah maaa..".
"Okey deh.. Berangkat Bos..", gua gendong lagi nih anak.
Sampai di depan gerbang, Pak Yanto keluar dari posnya.
"Eh Dede udah sembuh ? Mau kemana siang-siang De ?", sapa Pak Yanto ramah.
"Olenz mo ke alpaindo. Mo beli kindeljoy, Uwa..", jawab Orenz.
"Wah kinderjoy terus. Nanti rumahnya penuh ama kinderjoy dong..", ucap Pak Yanto.
"Iyaa doong.. Iya kan ya, Yah ?", Orenz melirik kepada gua.
"Yoih. Tawarin dong, Uwa Eunto mau gak ?", jawab gua.
"Uwa Eunto mau ga ?" tanya Orenz.
"Enggak ah, Uwa gak suka. Uwa titip kratingdank aja, boleh gak ?".
"Ah ? Apah ? Apaan ?", tanya Orenz bingung.
Gua dan Pak Yanto terkekeh liat raut mukanya si Orenz.
"Yaudah mau titip itu aja ?", tanya gua kali ini.
"Iya Bos, biasa.. Hehehe", jawab Pak Yanto sambil cengar-cengir.
Gua pun melanjutkan jalan kaki sambil menggendong Orenz. Tapi Baru aja keluar gerbang, langkah gua terhenti, teringat ada yang salah keknya.
"Sebentar-sebentar...", gua membalikkan badan dan melihat Pak Yanto yang masih berdiri di depan gerbang.
"Ada yang lupa, Bos ?", tanyanya.
Gua menghela nafas. "Kayaknya ada yang salah deh... Kok jadi La'u yang nitip ama si go'ut ? Kenapa bukan si La'u yang jalan ke kodep... Ini siapa Bos nya kalo gini...?", tanya gua.
"Hehehe.. Kayak Orenz mau aja jalan kedepan ama saya.. Heheheh..", jawabnya enteng.
Si kampret bener...
"Heuh! La'u.. La'u.. Ada aja jawabnya. Yaudah sini mana duitnya ? Kan nitip si La'u ?", palak gua.
Senyuman dari pria tua yang awalnya bekerja sebagai supir selama bertahun-tahun untuk keluarga Bunbun itu semakin lebar.
"Hehehe.. Itu dia, saya mau minta tolong sekalian ama Bos. Tolong bilangin ke Bunbun, dompet udah tipis ini, cairin atuh gaji bulan ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya... Hehehehe", jawabnya sambil cengar-cengir.
"Heuh! Maneh ma.. Teu baleg..", timpal gua.
(Ah! La'u ma.. Gak bener)
Btw, gua memang akrab dengan Pak Yanto. Segala obrolan gua dengan orangtua satu itu memang seperti teman akrab. Tapi bukan berarti gua tidak menghormatinya sebagai orang yang lebih tua dengan berbicara 'lu-gua' atau terkadang 'slengean'. Ada kalanya dimana ketika gua dengan orang-orang yang bekerja di rumah ataupun resto mengobrol santai seperti obrolan gua dengan Pak Yanto. Dan tentunya gua ataupun mereka tau kapan harus mengobrol santai seperti teman, dan kapan harus sopan sampai terkadang terdengar baku. Oh ya, Orenz memang sejak awal diajari memanggil Uwa kepada Pak Yanto. Panggilan Uwa permintaan Pak Yanto sendiri.
Singkat cerita gua dan Orenz sudah kembali dari Alpaindo.
"Eh, Bunbun udah pulang tuh", ucap gua ketika memasuki gerbang dan melihat mobil bini sudah terparkir.
"Bunbun pulaaaangng. Yeeee..", teriak Orenz yang masih dalam gendongan gua.
"Nih Bos, kratindank ama rokoknya", gua berikan titipan Pak Yanto plus sebungkus rokok samket kedemenannya saat melewati pos jaga dia.
"Wah.. Di bonusin.. Hehehe, makasih banyak, Bos..", jawab Pak Yanto sambil menerima titipan.
"Oh selooww, Bos. Ada yang kurang gak ? Cek dulu, takutnya ada yang gak cocok pesenennya ya kan... Nanti saya lagi yang dimarahin..", ledek gua.
"Ah bisa aja si Bos. Matur suwun ya Bos. Hehehe jadi enak ini", nyengir dah nih aki-aki atu.
"Yoih.. Ne'ak retus. Sering-sering ja'a.. Eh ngomong-ngomong, jangan bilang si go'ut yang bokulin ududnya kalo ditanya Emaknya Orenz...".
"Woh siap, Ndan.. Pokoke sailen ini mulut", jawab Pak Yanto lagi.
"Silent kayak hape La'u ya ? Hahaha..", ngakak gua.
"Woalah masih diinget aja kejadian itu, hehehe..".
Kalo inget kata silent, inget Pak Yanto dengan hape barunya dah. Gara-gara dibeliin hape baru sama Bunbun. Terus nanyain pengaturan profile 'diam' kayak hape jadulnya yang dulu gimana caranya. Karena pernah doi lagi anter Bunbun pulang dari rumah sakit, kondisi orang baru sembuh kan emosinya gak stabil tuh, di jalan hapenya Pak Tua bunyi mulu, kebetulan di setting bahasa inggris tuh hape, jadi Bunbun bilang silent aja biar gak berisik.
"Tapi itu ma gak ada apa-apanya, Bos. Dibanding sama push-up sepuluh kali...", timpalnya dengan wajah 'tertekuk' kali ini.
"Huahahahahaaa.. Aduh Pak Pak.. Hahaha.. Itu ma La'u cari perkara sih. Tapi lumayan gak pernah olahraga kan La'u.. Hehehe..", ngakak lagi gua inget doi disuruh push-up sama Bunbun.
Umur udah uzur, dihukum push-up sama Bunbun di halaman rumah.. Hahaha. Bukan tanpa alasan juga sih Bunbun sampe ngasih hukuman itu, bukan soal tega juga. Masalahnya Pak Yanto berani-beraninya ngerokok dalem mobil Bunbun pas nungguin Bunbun fitnes di Mall. Namanya asep dan bau rokok, kretek pula rokok Pak Tua itu, amsyong udah pas Bunbun balik ke mobil. Untung aja gak disuruh push-up di parkiran Mall. By the way jangankan doi, gua yang lakinya aja kalo ke-gep ngerokok dalem mobil balik-balik suruh sparring (baca : banting), apalagi doi.
Sampai di dalam rumah Bunbun sudah menunggu di sofa ruang tamu. Gua turunkan Orenz, dan dia langsung berlari kecil menghampiri induk semangnya.
"Darimana inii anak Bundaaa.. Uduh-uduh.. Kangen ya ?", ucap Bunbun ketika Orenz nemplok ke pangkuannya setelah sebelumnya si Orenz mencium tangan Bunbun.
"Beli kindeljoy ama Ayah di alpaindo..", jawab Orenz antusias. "Bunbun Bunbun.. Olenz tadi nangis ama Ayaah..", lanjutnya lagi.
Wah gak asyik nih anak. Pake acara ngadu segala.
"Hah ? Nuangis ? Nuangis kunapa Adeee ?", tanya Bunbun dengan nada meledek.
"Tadiii.. Olenz kan di dapull, telus.. Telus Olenz naek kul..". Gua potong ucapan Orenz buru-buru.
"Raaassss....seeengngng...Gaaannn!!!", gua combo itu anak dengan jurus Rasengan kearah perutnya. (kelitikin).
"Aaaahhh.. Gantian-gantian... Cidoliiiii...!!!", teriak Orenz membalas combo kearah perut gua.
(FYI : Kalo gua ma ngelitikin perutnya dia pake Rasengan, tapi kalo doi ma beneran ninju ke perut gua. Emaknya banget emang nih anak. Zzzz...
).
Tapi gak apa, yang penting Chidori nya Sasuke Uchiha sukses mengalihkan perhatian. Doi gak jadi ngadu ke Emaknya. Aman. Eman. Entaps..
Orenz akhirnya anteng bukain kinderjoy. Cokelatnya dibiarin, malah maenannya yang jadi perhatian. Kebiasaan anak kecil emang gitu sih. Tapi kalo gua atau Bunbun makan bagian cokelatnya, doi tau aja, heran gua bisa tiba-tiba nanya tuh anak. 'Ayah mana cokelat kindeljoy Orenz ?'.
Kalo gak ada yang makan malah gak dimakan juga ama doi.
Bunbun meminta gua duduk disampingnya, Orenz asyik dengan kinderjoynya diatas karpet depan Tv.
"Yah, Orenz udah sembuh bener ?", tanya Bunbun.
Gua mengangguk. "Ya udah fit lah. Udah aktif lagi hari ini. Makannya juga abis tadi", jawab gua.
Tiba-tiba bini gua ini langsung mengaitkan tangan kirinya ke lengan kanan gua. Dia sandarkan kepalanya ke bahu gua.
"Maaf yaaa", ucapnya dengan nada merayu.
"Maaf kenapa ?", tanya gua.
"Ya ninggalin kamu sama Orenz dua hari. Maafin aku. Beneran kemaren tuh gak dapet tiket pulang kesini", jawabnya.
"Ya ampun. Yaudahlah gak apa-apa, kan kamu da jelasin ditelpon dari kemaren. Udah gak apa-apa, tuh anaknya juga udah sehat. Kamunya juga sekarang udah di rumah lagikan", ucap gua santai.
"Iya tapi aku kan kepikiran pas tau dia sakitnya belum sembuh kemaren. Aku ngerasa bersalah banget ninggalin kalian berdua", lanjutnya.
Gua kecup keningnya. "Udah gak apa-apa, gak usah dibahas terus ah. Mending ceritain gimana di Surabaya kemaren, dapet tempat ?", tanya gua mengalihkan obrolan.
"Mmm... Dapet sih. Harga sewanya beda tipis ternyata sama di Jakarta. Aku sih cocok sama tempat dan lokasinya, karena kota besar jugakan disana. Mudah-mudahan bisa rame kayak di Jakarta", jawab Bunbun mulai antusias ngomongin bisnisnya.
"Aamiin.. Optimis dong... As always..", timpal gua mengamini.
"Iya insya Allah. Aamiin. Makasih supportnya, sayang". Balasnya lalu mengecup bibir gua. "Cuupp..".
"Leh! Ada anak pitik itu didepan!", gua kaget.
"Hihihi, gak liat kesini ini sih.. Biarin lagi anteng, hehehe", jawab Bunbun cuek sambil menggelayutkan kedua lengannya ketengkuk gua.
Gua berada di rumah bersama seorang putri mungil yang baru saja sembuh dari demam.
"Ayaaaahhh... Olenz mau mamam!".
"Astagfirullah! Pelan-pelan atuh ngomongnya, Neng! Gak usah teriak-teriak gitu.. Heuh!".
Orenz cuma cengar-cengir sambil turun dari pangkuan gua. "Ayo ayo kita macak ya Yah di dapul..", ajaknya sambil menarik tangan gua kali ini.
Dengan sedikit malas gua beranjak mengikuti tuntunan tangan mungilnya yang memegang erat jari telunjuk gua.
"Mau dimasakin apa ?", tanya gua.
Orenz mengangkat satu tangannya dan meletakkan jari telunjuknya tepat dibawah dagunya, sedangkan tangan satunya menopang tangan yang terangkat tersebut.
Kemudian kepalanya bergerak dari kiri ke kanan dengan pandangan yang menyapu seluruh ruang dapur ini.
"Olenz mau sclambel eg", jawabnya dengan wajah serius.
Gua menahan tawa. "Hadeuh Neng.. Neng.. Hoyong endog orak-arik ge meuni gaya kamu ma.. Hahaha..", gua sentil pelan keningnya yang tertutup rambut poninya itu.
"Iiih ci Ayah maa.. Ibeut.. Kan kayak Bunbun tauu.. Hehehe..", timpalnya seraya tertawa menunjukkan salah satu giginya yang bolong.
"Oke deh, ayo kita masak..".
"Oke! Lets gooowww...", teriaknya antusias sambil meninju langit dengan bibir yang monyong.
Gua mengambil telur di dalam kulkas, Orenz naik keatas bangku kayu di depan kitchen set.
"Ayah Ayah... Olenz yang mutel-mutelin telolnya yaa Yah", teriaknya lagi ketika gua sudah membawa dua telur.
"Muter-muterin ? Hahaha... Kamu aya-aya wae ah. Dikocok kali", ralat gua.
"Iya digituin tea..", tangannya muter-muter diatas table kitchen. "Ci Ayah ma.. Hihihi", lanjutnya terkekeh.
"Ci Ayah ci Ayah ci Ayah wae ah.. Ssstt da ah jangan bawel. Kita masak aja sekarang ma..".
Acara memasak pagi menjelang siang itu pun dimulai. Orenz anteng ngemix telur didalam mangkuk. Gua sudah selesai menyiapkan mentega, susu, garam dan merica.
"De, campurin dulu ini..", ucap gua menyodorkan susu, garam dan merica.
"Iyah sebental Yah ini Olenz putelin dulu...", jawabnya dengan tampang serius tanpa menoleh kepada gua.
"Udah dulu, ini masukin dulu garem ama susunya, De... Tar puter-puter lagi dah..".
"Manah manah manaaah.. Cini Olenz yang masupin!", jawabnya kali ini dengan wajah yang sok iye.
"Tah tah taah.. Asupkeun saeutik-saeutiknya".
(Nih nih nih.. Masukin sedikit-sedikit ya).
Orenz menuangkan susu, sedangkan gua memasukkan garam dan merica secukupnya. Bahaya kalo dia yang nuangin. Bisa-bisa keasinan nanti... Macem Mba Yu aja kalo masak asin wae.. Like Mo.. Eh.. Like Daugh.. Eh... Hehehehe.
"Udah-udah ayo dimasak telornya, De.."
"Tunggu-tunggu, geselin bangkunya dulu Yah!", teriaknya.
"Hah ? Kenapa digeser ?", tanya gua bingung.
"Kata Bunbun halus menjauh kalo macak, nanti kena minyak goleng tangan Olenz, nanti Olenz nangis, nanti tangan Olenz ada bawangnya", jawabnya serius.
Gua menggelengkan kepala. Bisaan Emaknya kalau ngasih tau anak. Padahal ma jauh ini dari kompor ama wajan.
"Bawang apaan, De ?", tanya gua lagi.
"Tangannya nanti ada bawangnya kata Bunbun. Coklat-coklat tangan Olenz, jelek katanya nanti... Olenz ma gak mau.. Takut!", jawabnya kali ini seraya memeluk diri sendiri dengan kedua tangan.
"Hahahaha... Bisaan Emak maneh ma. Kos nu heu'euh! Hahaha..".
Ditengah-tengah acara memasak telur orak-arik atau bahasa kerennya 'sclambel eg' kata Orenz, tiba-tiba Orenz berdiri diatas bangku kayu dengan hati-hati. Gua kaget melihatnya, takut jatuh tuh anak, bahaya pake banget kalo ampe tuh anak terjun bebas... Bisa-bisa dicincang gua ama Emaknya.
"Heh heh! Ngapain kamu te ?!", tanya gua kaget menoleh kepadanya.
"Waaaa!!!", Orenz berteriak saat kakinya goyang dan keseimbangan berdirinya goyah.
Gua langsung memegang tangan kanannya dengan tangan kiri gua, sedangkan tangan kanan masih memegang spatula.
Braakk!bangku kayu tanpa penyangga tubuh itupun jatuh.
Gua udah kayak megangin anak orangutan aja megangin si Orenz dengan satu tangan, doi gelantungan dah. Selang satu detik kemudian pecah dah tangisnya.
Gua taruh spatula sembarangan, lalu menurunkan Orenz dan berjongkok didepannya.
"Hey, jangan nangis sayang. Gak apa-apa kan Ayah pegangin tadi", ucap gua lembut sambil memegang kedua pinggangnya.
"Huuwaaaaa... Heeuuu.. Heeuu... Huuwwaaaaa!!!". Doi masih nangis dengan intensitas teriakan seratus dB (desibel). Penging cuy denger doi nangis sambil teriak gitu.
"Ayah maaaa! Heeuuu.. Heeuu.. Huwaaaa!!".
"Udah-udah jangan nangis geulis. Kamu ge aya-aya wae sih, ngapain diri ? Kan katanya mau diem. Sok-sok'an diri sih".
"Heeeuu.. Hiks.. Heeuu.. Hiks... Olenz kaget tau!", jawabnya disela-sela tangisan yang belum berhenti itu.
"Kaget kenapa ?".
"Kaget ama Ayah! Hiks.. Hiks.. Heeuu.. Hiks.. Heeuu...".
"Loch kok jadi Ayah ? Kan kamu yang diem-diem berdiri diatas bangku... Untung Ayah liat...".
Orenz makin kejer nangisnya. Akhirnya gua mikir lagi, oh mungkin maksud dia kaget pas tadi lagi mau berdiri, langsung gua tanya 'ngapain ?' dengan nada sedikit keras. Bukan keras sih sebenernya, nada suara gua kaget liat tuh anak tiba-tiba berani diri diatas bangku. Eh malah doi ikutan kaget, jadi ajakan.... Nyaris jatoh...
Gua peluk Orenz lalu menggendongnya. "Iya-iya maaf ya Ayah ngagetin Ade.. Nanti kita beli es krim di depan abis makan deh.. Sekarang udahan dulu nangisnya ya geulis..", ucap gua sambil mengelus punggungnya.
"Huwwaaa... Gak mauu! Gak mauuu! Heeu.. Hiks.. Hiks.. Heuu..", doi nutup mukanya pake kedua tangan.
"Yaudah-yaudah mau apa tuh ? Jangan nangis terus nanti jelek..", tanya gua sambil menurunkan satu tangannya.
Matanya sedikit sembab. "Olenz ma mau kindeljoy! Belinya di alpaindo.. Heeuu...heuu..hiks..hiks..", jawabnya lagi masih sesenggukan.
"Oh kinderjoy. Oke deh.. Belinya di alpacino ya ?", goda gua.
"Bukaaannn! Alpaindo iih! Heeuu.. Hiks.. Hiks..", ralat Orenz dengan wajah marahnya.
"Hehehe iya alpacino.. Eh alpaindo deh.. Hehehe..".
"Hiks..hiks.. Ayah ma gak tau'eun cii.. Ibeut Ayah ma.. Hiks.. Hiks..".
"Yaa maap. Lupa dah Ayah.. Udah jangan nangis lagi. Makan telor dulu yak pake nasi".
Begitu gua membalikan badan kearah kompor... Ya gitulaah.. Telur orak-arik dengan warna black sudah menanti kami berdua. Amsyong dah, gosong tuh telur...
"Yaaaa De... Angus teyoynya. Gocong De..", ucap gua nelangsa sambil memperhatikan orak-arik telur gosong diatas wajan.
"Hah ? Manah-manah-manah ?", Orenz beringsut memajukan tubuhnya dalam gendongan gua. "Yaaa.. Ci Ayah maa.. Olenz gak jadi mamam atuh.. Iih!", lanjutnya bete.
Gua nyengir. "Tenang. Kita makan nugget aja ya ? Daripada masak nasi goreng lama lagi. Kamu kan da laper..", ucap gua menawarkan.
Akhirnya Orenz mau juga. Dia anteng duduk diatas lantai dapur setelah gua keluarkan mainan 'My Little Pony' pemberian salah satu mantan gua beberapa hari yang lalu.
Nugget udah mateng, nasi udah dipiring, saos tomat favorit Orenz juga udah gua tuangin dipinggir piring. Tinggal pindah lagi kita ke ruang tamu.
"Ayo makan dulu, mau disuapin apa sendiri ?", tanya gua setelah kami berada di ruang tamu.
"Cuapin aja. Olenz sambil main ama Ponii", jawabnya sambil menunjukkan salah satu kuda pony mainannya.
Suap demi suap nasi nugget plus saos tomat dilahap olehnya, doi anteng gua suapin sambil mainin ketujuh kuda pony dengan warna yang berbeda. Sisa dua suapan lagi tiba-tiba Orenz minta dinyalain dvd Naruto.
"Ayah mau nonton Nalto..", ucapnya setelah meletakkan kuda pony sembarangan.
"Hm ? Yaudah abisin dulu nih, baru kita nonton Naruto", jawab gua seraya menyodorkan sendok berisi makanan kearah mulutnya.
"Enggak mau. kenyang. Nalto aja", jawabnya mulai bete lagi dah.
"Iya nontonnya abis makan. Tuh liat tinggal dua sendok lagi geulis.. Ayo Aaaa dulu..", bujuk gua.
Orenz buru-buru menutup mulutnya dengan kedua tangan sambil menggelengkan kepala. Gua apal kalo udah kayak gini bakalan susah.
"Tapi janji nonton Narutonya sambil Ayah suapin lagi ya ? Ini tinggal dikit tuh nuggetnya. Oke ?".
"Iyah! Okeh!".
Akhirnya gua mengalah. Gua nyalakan dulu dvd Naruto kesukaannya.
"Wooaahh.. Lasengan Yah lasengan tuuh..", ucapnya ketika dvd Naruto sudah gua putar beberapa menit.
"Iya keren kan ?".
"Heu'euh!", jawabnya cepat sambil mengangguk tanpa melepas pandangan dari layar Tv.
"Nih, De... Rasengan, Dee.. Ayo cepet...", gua angkat sendok berisi suapan makanannya.
Orenz melirik tangan gua yang hendak menyuapi, doi hampir mau menutup lagi mulutnya, tapi gua buru-buru mengingatkan dia.
"Eits.. Mau ngapain itu tangannya ? Ade mau ingkar janji sama Ayah ?", tanya gua cepat.
Orenz menggelengkan kepalanya.
Ini salah satu rasa syukur gua saat Ibu mengajarkan Orenz yang masih berumur dibawah lima tahun itu tentang bagaimana menepati ucapan dan janji. Gua dan Bunbun hampir tidak percaya kalau nyatanya ajaran Ibu melekat di benak Orenz. Padahal saat itu dia benar-benar belum mengerti, namanya anak kecil, batita juga belum. Tapi nyatanya alhamdulillah. Orenz takut kalau sampai mengingkari janji.
Akhirnya dua suapan terkahir pun habis dilahapnya.
"Nih minum dulu..", gua berikan segelas anggur merah. Enggak deng, whiskey doang kok.. Kagak.. Kagak.. Apasiih!
"Sekarang minum siropnya.. Manis yang manis kok.. Gak pait", ucap gua sambil menuangkan obat sirup ke sendok.
"Kan kan Olenz udah syembuuh... Ga ucah minum obat lagi Yah..".
"Ini ma bukan obat oge. Sirop De sirop.. Yang manis tea.. Rasa stroberi", bujuk gua.
"Ga pait ?" tanyanya khawatir.
"Enggaklah.. Manisss beut! Yang sirop stroberi, yang Orenz suka tea..".
Gua mulai sodorkan sirup dalam sendok kearah mulutnya. Matanya awas memperhatikan gerak tangan gua hingga sejengkal lagi sampai di mulutnya, Orenz memundurkan kepala.
"Loch ? Ini manis sayang. Ayo dong minum dulu, Ade ma pinter ge..", bujuk gua lagi.
"Ga pait ?", tanyanya ulang. Sebuah kekhawatiran anak kecil ketika minum obat. Hahahaha.
"Enggaaak.. Beneran enggak pait anak pinteerrr.. Ini ma sirop yang Orenz suka minum tea", jawab gua mulai gak sabar.
"Manis ya Yah ?".
Ebusyet masih nanya aja.
"De..".
"Apah ?".
"Mau dicekok apa enggak ?", tanya gua dingin.
"Ga mau ga mau... Ga mau dicekokin.. Ga mauuu!", jawabnya cepat dengan raut sedikit ketakutan.
"Yaudah ayo minum siropnya, enggak pait kok beneran. Liat tuh warna merah, rasa stroberi", ucap gua lagi.
Akhirnyaaa... Fiuh.. Mau juga nih anak minum sirop penurun demam. Emang gak pait sih, cuma gua beneran lupa kalo ternyata rasanya bukan pait bukan manis. Tapi asem.

"Aceemmm Ayaahh! Minuuuumm.. Aceemm!!", teriaknya dengan raut wajah mengkerut.
Gua ngakak sebelum ngasih dia air mineral.
"Hahahaha.. Sorry Bos... Lupa Ayah kalo siropnya asem.. Hehehe.. Nih nih buruan minum, hehehe..".
Beres udah. Perut sang princess fulltank, obat demam da masuk pencernaan juga. Tinggal janji gua di dapur tadi yang belum selesai.
"De mau ke alpacino gak ?", tanya gua ketika dia mulai bosan dengan tontonan Narutonya.
"Mau ke alpaindo bukan alpcino Ayaaah.. Cii Ayah ma lupa'eun wae..", ralatnya sok iye.
"Hehehe yaudah hayu atuh.. Pake jaket ya. Kan Ade baru sembuh".
"Okeh".
Setelah gua kenakan jaket dan mengganti celananya dengan celana panjang dan memakaikan sepatu, gua gendong dia keluar rumah. Sampai di halaman gua tanya nih anak kodok satu.
"Mau jalan apa naek motor ?", tanya gua.
Orenz nampak sedikit berfikir. "Eeeuu.. Kan Olenz balu syembuh, kata Bunbun ga boleh naek motol..", jawabnya mengingat ucapan sang induk semang.
"Sip.. Pinter deh. Kita jalan aja kesana ya..", ucap gua lagi sambil menurunkan Orenz.
"Iih kok tulun ?", tanyanya bingung.
"Kan katanya jalan.. Orenz ama Ayah jalan kedepan", jawab gua pura-pura serius.
Kedua tangannya gak mau melepaskan lengan gua. Dipegangnya kuat-kuat.
"Iiih Ayah maa.. Olenz ma maunya digendong.. Gendong.. Gendong.. Gendooong...", rengeknya sambil menghentak-hentakkan kedua kakinya bergantian.
"Oooh.. Ayah yang jalan, Orenz digendong gitu ?", goda gua lagi.
"Iiyaa atuuhh.. Cii Ayah maaa..".
"Okey deh.. Berangkat Bos..", gua gendong lagi nih anak.
Sampai di depan gerbang, Pak Yanto keluar dari posnya.
"Eh Dede udah sembuh ? Mau kemana siang-siang De ?", sapa Pak Yanto ramah.
"Olenz mo ke alpaindo. Mo beli kindeljoy, Uwa..", jawab Orenz.
"Wah kinderjoy terus. Nanti rumahnya penuh ama kinderjoy dong..", ucap Pak Yanto.
"Iyaa doong.. Iya kan ya, Yah ?", Orenz melirik kepada gua.
"Yoih. Tawarin dong, Uwa Eunto mau gak ?", jawab gua.
"Uwa Eunto mau ga ?" tanya Orenz.
"Enggak ah, Uwa gak suka. Uwa titip kratingdank aja, boleh gak ?".
"Ah ? Apah ? Apaan ?", tanya Orenz bingung.
Gua dan Pak Yanto terkekeh liat raut mukanya si Orenz.
"Yaudah mau titip itu aja ?", tanya gua kali ini.
"Iya Bos, biasa.. Hehehe", jawab Pak Yanto sambil cengar-cengir.
Gua pun melanjutkan jalan kaki sambil menggendong Orenz. Tapi Baru aja keluar gerbang, langkah gua terhenti, teringat ada yang salah keknya.
"Sebentar-sebentar...", gua membalikkan badan dan melihat Pak Yanto yang masih berdiri di depan gerbang.
"Ada yang lupa, Bos ?", tanyanya.
Gua menghela nafas. "Kayaknya ada yang salah deh... Kok jadi La'u yang nitip ama si go'ut ? Kenapa bukan si La'u yang jalan ke kodep... Ini siapa Bos nya kalo gini...?", tanya gua.
"Hehehe.. Kayak Orenz mau aja jalan kedepan ama saya.. Heheheh..", jawabnya enteng.
Si kampret bener...
"Heuh! La'u.. La'u.. Ada aja jawabnya. Yaudah sini mana duitnya ? Kan nitip si La'u ?", palak gua.
Senyuman dari pria tua yang awalnya bekerja sebagai supir selama bertahun-tahun untuk keluarga Bunbun itu semakin lebar.
"Hehehe.. Itu dia, saya mau minta tolong sekalian ama Bos. Tolong bilangin ke Bunbun, dompet udah tipis ini, cairin atuh gaji bulan ini dalam tempo yang sesingkat-singkatnya... Hehehehe", jawabnya sambil cengar-cengir.
"Heuh! Maneh ma.. Teu baleg..", timpal gua.
(Ah! La'u ma.. Gak bener)
Btw, gua memang akrab dengan Pak Yanto. Segala obrolan gua dengan orangtua satu itu memang seperti teman akrab. Tapi bukan berarti gua tidak menghormatinya sebagai orang yang lebih tua dengan berbicara 'lu-gua' atau terkadang 'slengean'. Ada kalanya dimana ketika gua dengan orang-orang yang bekerja di rumah ataupun resto mengobrol santai seperti obrolan gua dengan Pak Yanto. Dan tentunya gua ataupun mereka tau kapan harus mengobrol santai seperti teman, dan kapan harus sopan sampai terkadang terdengar baku. Oh ya, Orenz memang sejak awal diajari memanggil Uwa kepada Pak Yanto. Panggilan Uwa permintaan Pak Yanto sendiri.
Singkat cerita gua dan Orenz sudah kembali dari Alpaindo.
"Eh, Bunbun udah pulang tuh", ucap gua ketika memasuki gerbang dan melihat mobil bini sudah terparkir.
"Bunbun pulaaaangng. Yeeee..", teriak Orenz yang masih dalam gendongan gua.
"Nih Bos, kratindank ama rokoknya", gua berikan titipan Pak Yanto plus sebungkus rokok samket kedemenannya saat melewati pos jaga dia.
"Wah.. Di bonusin.. Hehehe, makasih banyak, Bos..", jawab Pak Yanto sambil menerima titipan.
"Oh selooww, Bos. Ada yang kurang gak ? Cek dulu, takutnya ada yang gak cocok pesenennya ya kan... Nanti saya lagi yang dimarahin..", ledek gua.
"Ah bisa aja si Bos. Matur suwun ya Bos. Hehehe jadi enak ini", nyengir dah nih aki-aki atu.
"Yoih.. Ne'ak retus. Sering-sering ja'a.. Eh ngomong-ngomong, jangan bilang si go'ut yang bokulin ududnya kalo ditanya Emaknya Orenz...".
"Woh siap, Ndan.. Pokoke sailen ini mulut", jawab Pak Yanto lagi.
"Silent kayak hape La'u ya ? Hahaha..", ngakak gua.
"Woalah masih diinget aja kejadian itu, hehehe..".
Kalo inget kata silent, inget Pak Yanto dengan hape barunya dah. Gara-gara dibeliin hape baru sama Bunbun. Terus nanyain pengaturan profile 'diam' kayak hape jadulnya yang dulu gimana caranya. Karena pernah doi lagi anter Bunbun pulang dari rumah sakit, kondisi orang baru sembuh kan emosinya gak stabil tuh, di jalan hapenya Pak Tua bunyi mulu, kebetulan di setting bahasa inggris tuh hape, jadi Bunbun bilang silent aja biar gak berisik.
"Tapi itu ma gak ada apa-apanya, Bos. Dibanding sama push-up sepuluh kali...", timpalnya dengan wajah 'tertekuk' kali ini.
"Huahahahahaaa.. Aduh Pak Pak.. Hahaha.. Itu ma La'u cari perkara sih. Tapi lumayan gak pernah olahraga kan La'u.. Hehehe..", ngakak lagi gua inget doi disuruh push-up sama Bunbun.

Umur udah uzur, dihukum push-up sama Bunbun di halaman rumah.. Hahaha. Bukan tanpa alasan juga sih Bunbun sampe ngasih hukuman itu, bukan soal tega juga. Masalahnya Pak Yanto berani-beraninya ngerokok dalem mobil Bunbun pas nungguin Bunbun fitnes di Mall. Namanya asep dan bau rokok, kretek pula rokok Pak Tua itu, amsyong udah pas Bunbun balik ke mobil. Untung aja gak disuruh push-up di parkiran Mall. By the way jangankan doi, gua yang lakinya aja kalo ke-gep ngerokok dalem mobil balik-balik suruh sparring (baca : banting), apalagi doi.

Sampai di dalam rumah Bunbun sudah menunggu di sofa ruang tamu. Gua turunkan Orenz, dan dia langsung berlari kecil menghampiri induk semangnya.
"Darimana inii anak Bundaaa.. Uduh-uduh.. Kangen ya ?", ucap Bunbun ketika Orenz nemplok ke pangkuannya setelah sebelumnya si Orenz mencium tangan Bunbun.
"Beli kindeljoy ama Ayah di alpaindo..", jawab Orenz antusias. "Bunbun Bunbun.. Olenz tadi nangis ama Ayaah..", lanjutnya lagi.
Wah gak asyik nih anak. Pake acara ngadu segala.

"Hah ? Nuangis ? Nuangis kunapa Adeee ?", tanya Bunbun dengan nada meledek.
"Tadiii.. Olenz kan di dapull, telus.. Telus Olenz naek kul..". Gua potong ucapan Orenz buru-buru.
"Raaassss....seeengngng...Gaaannn!!!", gua combo itu anak dengan jurus Rasengan kearah perutnya. (kelitikin).
"Aaaahhh.. Gantian-gantian... Cidoliiiii...!!!", teriak Orenz membalas combo kearah perut gua.
(FYI : Kalo gua ma ngelitikin perutnya dia pake Rasengan, tapi kalo doi ma beneran ninju ke perut gua. Emaknya banget emang nih anak. Zzzz...
).Tapi gak apa, yang penting Chidori nya Sasuke Uchiha sukses mengalihkan perhatian. Doi gak jadi ngadu ke Emaknya. Aman. Eman. Entaps..

Orenz akhirnya anteng bukain kinderjoy. Cokelatnya dibiarin, malah maenannya yang jadi perhatian. Kebiasaan anak kecil emang gitu sih. Tapi kalo gua atau Bunbun makan bagian cokelatnya, doi tau aja, heran gua bisa tiba-tiba nanya tuh anak. 'Ayah mana cokelat kindeljoy Orenz ?'.
Kalo gak ada yang makan malah gak dimakan juga ama doi.
Bunbun meminta gua duduk disampingnya, Orenz asyik dengan kinderjoynya diatas karpet depan Tv.
"Yah, Orenz udah sembuh bener ?", tanya Bunbun.
Gua mengangguk. "Ya udah fit lah. Udah aktif lagi hari ini. Makannya juga abis tadi", jawab gua.
Tiba-tiba bini gua ini langsung mengaitkan tangan kirinya ke lengan kanan gua. Dia sandarkan kepalanya ke bahu gua.
"Maaf yaaa", ucapnya dengan nada merayu.
"Maaf kenapa ?", tanya gua.
"Ya ninggalin kamu sama Orenz dua hari. Maafin aku. Beneran kemaren tuh gak dapet tiket pulang kesini", jawabnya.
"Ya ampun. Yaudahlah gak apa-apa, kan kamu da jelasin ditelpon dari kemaren. Udah gak apa-apa, tuh anaknya juga udah sehat. Kamunya juga sekarang udah di rumah lagikan", ucap gua santai.
"Iya tapi aku kan kepikiran pas tau dia sakitnya belum sembuh kemaren. Aku ngerasa bersalah banget ninggalin kalian berdua", lanjutnya.
Gua kecup keningnya. "Udah gak apa-apa, gak usah dibahas terus ah. Mending ceritain gimana di Surabaya kemaren, dapet tempat ?", tanya gua mengalihkan obrolan.
"Mmm... Dapet sih. Harga sewanya beda tipis ternyata sama di Jakarta. Aku sih cocok sama tempat dan lokasinya, karena kota besar jugakan disana. Mudah-mudahan bisa rame kayak di Jakarta", jawab Bunbun mulai antusias ngomongin bisnisnya.
"Aamiin.. Optimis dong... As always..", timpal gua mengamini.
"Iya insya Allah. Aamiin. Makasih supportnya, sayang". Balasnya lalu mengecup bibir gua. "Cuupp..".
"Leh! Ada anak pitik itu didepan!", gua kaget.
"Hihihi, gak liat kesini ini sih.. Biarin lagi anteng, hehehe", jawab Bunbun cuek sambil menggelayutkan kedua lengannya ketengkuk gua.
Diubah oleh glitch.7 29-06-2018 00:12
kifif dan 9 lainnya memberi reputasi
10
Kutip
Balas

