- Beranda
- Stories from the Heart
Sonne Mond und Stern
...
TS
glitch.7
Sonne Mond und Stern
die SONNE der MOND und der STERN
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Tak Lagi Sama - Noah
Spoiler for Cover Stories:
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 95% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahdan lanjutan dari sebuah cerita Love in Elegy yang pernah Gua tulis di Forum ini.
Quote:
Catatan:
1. Mengacu pada aturan main forum H2H dan SFTH
2. 95% Semua tokoh/karakter di cerita ini sudah memberikan izin
3. Sikapi dengan bijak apa yang tertuang disini
4. Jangan meminta lebih dari apa yang sudah diberikan
5. Sopanlah dalam berkomentar
6. Saling menghargai TS, penulis dan sesama kaskuser disini
1. Mengacu pada aturan main forum H2H dan SFTH
2. 95% Semua tokoh/karakter di cerita ini sudah memberikan izin
3. Sikapi dengan bijak apa yang tertuang disini
4. Jangan meminta lebih dari apa yang sudah diberikan
5. Sopanlah dalam berkomentar
6. Saling menghargai TS, penulis dan sesama kaskuser disini
Versi PDF Dua Thread Sebelumnya :

*mulustrasi karakter dalam cerita ini
Quote:
BAB I & BAB II
BAB III & BAB IV
***
Tralala_Trilili
PROLOG
BAB V
PART 1
PART 2
PART 3
PART 4
PART 5
PART 6
PART 7
PART 8
PART 9
PART 10
PART 11
PART 12
PART 13
PART 14
PART 15- continues
PART 16
PART 17
PART 18
PART 19
PART 20
***
SEBELUM CAHAYA
PART I
PART II
PART III - The Ghost of You
PART IV
PART V
PART VI
PART VII
PART VIII
Cooling Down
PART IX
PART X - continues
PART XI
PART XII
PART XIII
PART XIV
PART XV
PART XVI
PART XVII A
PART XVII B
PART XVIII
PART XIX - continues
PART XX
PART XXI
PART XXII
PART XXIII
PART XXIV
PART XXV
PART XXVI
PART XXVII
PART XXVIII
PART XXIX
PART XXX
PART XXXI
PART XXXII
PART XXXIII
PART XXXIV
PART XXXV
PART XXXVI - continues
PART XXXVII
PART XXXVIII
PART XXXIX
Vor dem Licht XL - Das Ende
***
BAB V
PART 21
PART 22
Tentang Rasa
PART 23
PART 24
PART 25
PART 26
PART 27
Von Hier Wegfliegen
Teils Eins - Vorstellen
Teils Zwei - Anfang
Teils Drei - Der Erbarmer
Teils Vier - Von Hier Wegfliegen
Lembayung Senja
Bagian Satu
Bagian Dua
Bagian Tiga
Bagian Empat
Bagian Lima - continues
Bagian Enam
Bagian Tujuh
Bagian Delapan
Bagian Sembilan
Bagian Sepuluh - continues
Breaking Dawn
One Step Closer
Ascension
Throwback Stories
Life is Not Always Fair
Dusk till Dawn
Awal Semula
Untuk Masa Depan
Terimakasih
Omong Kosong
Kepingan Cerita
Menyerah
Restoe
Rasanya - Rasain
Pengorbanan
Menuju Senja
Kenyataan
Wiedersehen
Cobalah untuk Mengerti
Pengorbanan
Tentang Kita
SIDE STORY
VFA
Daily Life I
Daily Life II
Maaf NEWS
Tentang MyPI
*thanks to my brother in law yang bantu index dan update selama gua mudik
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 239 suara
Siapakah pendamping Eza sebenarnya ?
Sherlin Putri Levanya
55%
Franziska Luna Katrina
17%
Giovanna Almira
28%
Diubah oleh glitch.7 08-01-2022 09:16
chamelemon dan 125 lainnya memberi reputasi
122
1.9M
Kutip
8.8K
Balasan
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
bunbun.orenz
#6124
Von Hier Wegfliegen
Teils Drei - Der Erbarmer
QS (55) Ar-Rahman - Recitation by Mishary Rashid Alafasy
Quote:
"Katrin, mau pergi sekarang ?".
Jalanan di dekat sungai Rhein selalu ramai sebelum matahari akan tenggelam beberapa jam kedepan. Dan ini adalah kali kedua Aku pergi bersama Saleh tanpa Melis.
Ada rasa canggung sebenarnya ketika harus pergi berdua dengannya. Maksudku Saleh adalah orang baik. Dia selalu menjaga perilakunya terhadap wanita. Tidak pernah dia melontarkan rayuan apalagi terang-terangan menggodaku. Karena sikapnya yang baik dan santun itulah yang membuatku canggung dan sedikit 'salah tingkah' ketika harus berduaan dengannya seperti sekarang.
Sebenarnya Saleh tidak ingin kami pergi berdua tapi Melis benar-benar tidak bisa ikut karena mendadak harus menggantikan pekerjaan temannya yang sakit. Melis memang sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah cafe muslim di dekat Königsallee.
Sore itu kami duduk bersama pengunjung lainnya. Saleh selalu menjaga jarak dengan setiap wanita yang ia temui, termasuk denganku sahabat adiknya ini.
"Katrin, Kau tidak ingin pulang ke Indonesia ?".
"Ada alasan yang membuatku lebih memilih stay disini. Selain karena studiku sebelumnya, sekarang Aku ingin menata masa depan disini juga. Dusseldorf sudah seperti bagian dari hidupku, Saleh".
Cukup lama rasanya Saleh terdiam setelah tersenyum mendengar jawabanku sebelumnya. Beberapa pengunjung mulai bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan suasana senja di tempat wisata ini. Aku masih terdiam dan tidak tahu harus memulai obrolan seperti apa dengannya.
"Katrin, melupakan bukanlah berarti memutus tali silaturahmi".
Aku terkejut mendengar ucapannya yang tiba-tiba. "Maksudmu ?".
"Ah, lupakan. Maaf Aku tidak berhak mengomentari masa lalumu".
Aku yang sudah terlanjur sadar maksud ucapannya itu langsung menanggapinya lagi.
"Aku hanya ingin melupakan hal yang menyakitkan. Apa itu salah ?".
"Tidak, tapi maksudku hubungan silaturahminya yang harus kita jaga. Aku yakin Kau tahu kalau memaafkan lebih mulia daripada dimaafkan".
"Aku sudah melupakan kejadian itu dan memaafkannya".
"Tapi tidak ingin pulang ke Indonesia ?", Saleh tersenyum.
"Saleh, Pulang ke Indonesia bukan berarti harus bertemu dengannyakan ?". Jujur saja, Aku sedikit terusik dengan pertanyaan yang terasa memojokkanku itu.
"Hahaha. Okey maaf-maaf, Katrin. Kau tidak perlu merasa tersindir. Aku hanya ingin tahu perasaanmu".
"Eh ?", aku kembali terkejut dan akhirnya tertunduk malu-malu.
"Oh maaf, Katrin. Aku tidak maksud macam-macam. Maksudku hanya ingin tahu bagaimana perasaanmu sekarang. Perasaanmu yang lebih baik dari masalah yang diceritakan Melis dulu. That's it".
Sore itu ingin sekali rasanya Aku menelan bulat-bulat pria Turkey yang berada di sampingku itu.
Sebelum masuk waktu maghrib, Saleh mengajakku pergi. Seperti sebelumnya, dia melaksanakan ibadah berjamaah di masjid. Aku menunggu di luar.
Pikiranku sore itu sedikit terganggu oleh ucapan Saleh sebelumnya. Apa benar dia hanya ingin mengetahui tentang perasaanku terhadap masalah yang sudah setahun berlalu atau perasaanku terhadapnya ?. Atau mungkin saja Aku yang merasa sedikit berlebihan menanggapinya. Tapi kenapa harus bersikap seperti tadi ? Jangan membuatku bingung Saleh.
"Ayo kita pulang, Katrin. Melis sudah berada di rumah dan Kofte sapi kesukaanmu juga sudah menunggu katanya".
Aku berdiri dan tersenyum. "Ayo".
Setengah jam kemudian Aku sudah duduk di ruang makan sambil menikmati kofte sapi khas buatan Melis. Aku mendengarkan bagaimana Melis menceritakan pekerjaannya yang menyenangkan walaupun lelah karena harus mengantarkan pesanan pengunjung cafe. Tapi bagiku itu cukup mengherankan.
"Melis, kamu ga' lelah dengan pekerjaanmu itu ? Maksudku, Aku tahu kamu adalah seorang waitress, tapi melihat antusiasmu menceritakan pekerjaanmu itu rasanya sedikit membuatku heran".
Melis menelan suapan terakhir koftenya dan meneguk minuman dingin miliknya sebelum akhirnya tersenyum kepadaku.
"Tidak ada hal yang perlu dikeluhkan Katrin jika kita bekerja dengan sepenuh hati. Insya Allah lelahku terbayar dengan sepadan. Selain upah yang cukup, dengan bekerja sepenuh hati membuatku melupakan rasa lelah sekaligus bersedekah juga".
"Bersedekah ?", tanyaku.
"Ya, bersedekah yang termasuk salah satu ibadah. Ibadah yang kulakukan adalah tersenyum kepada pengunjung ketika mengantarkan pesanan mereka. Mungkin terdengar sepele. Tapi senyum dan keramahan mereka pula membuatku ikut senang. Akhirnya ? Alhamdulillah rasa lelah pun bisa terasa hilang dan menjadi berkah yang artinya menjadi baik atau nikmat".
Ya begitulah. Dia Melis yang senang bersedekah. Bersedekah yang termasuk ibadah paling mudah dengan tersenyum.
Lalu tiba-tiba terdengar suara.
"A'udhu billahi minash shaitanir rajim... Bismillahirrahmaanirrahiim".
Aku menatap Melis dan dia langsung tersenyum.
"Kak' Saleh akan mengaji", ucapnya pelan.
Lalu Melis memejamkan matanya. Aku menangkap maksudnya untuk mendengarkan Kakaknya itu.
"Ar-rahmaan". Suara itu mulai terdengar kembali dari dalam salah satu kamar.
" 'Allamal qur-aan
Khalaqal insaan
'Allamahul bayaan
Asy-syamsu wal qamaru bihusbaan
Wan najmu wasy-syajaru yasjudaan
Wassamaa-a rafa'ahaa wa wadha'al miizaan
Allaa tathghau fiil miizaan
Wa aqiimuul wazna bil qisthi wa laa tukhsiruul miizaan
Wal ardha wa dha'ahaa lil-anaam".
Apa yang dibaca Saleh dan terdengar olehku dari ruang makan ini sama seperti saat pertama kali aku menunggu kakak beradik itu shalat di masjid.
"Fiihaa faakihatun wannakhlu dzaatul akmaam
Wal habbu dzuul 'ashfi warraihaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Khalaqal insaana min shalshaalin kal fakh-khaar
Wa khalaqal jaanna min maarijim min naar
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan".
Tapi jelas ini berbeda. Cara Saleh membaca sangat berbeda dengan apa yang kudengar sebelumnya di masjid minggu lalu.
"Rabbul masyriqaini wa rabbul maghribain
Fab-iayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Marajal bahraini yaltaqiyaan
Bainahumaa barzakhul laa yabghiyaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Yakhruju minhumaallu'lu'u wal marjaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Wa lahul jawaaril munsyaaatu fiil bahri kal a'laam
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Kullu man 'alaihaa faan
Wayabqaa wajhu rabbika dzuul jalaali wal-ikraam
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Yas-aluhuu man fiis-samaawaati wal ardhi kulla yaumin huwa fii sya'n
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Sanafrughu lakum ayyuhaats-tsaqalaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Yaa ma'syaral jinni wal-insi iniistatha'tum an tanfudzuu min aqthaaris-samaawaati wal ardhi faanfudzuu laa tanfudzuuna illaa bisulthaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan".
Suara Saleh lebih terdengar merdu menurutku. Aku menatap Melis yang masih memejamkan matanya dan tersenyum dengan kepalanya yang sedikit tertunduk. Kedua tangannya bertumpuk diatas meja.
"Yursalu 'alaikumaa syuwaazhun min naarin wa nuhaasun falaa tantashiraan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Fa-idzaaan-syaqqatis-samaa-u fakaanat wardatan kaddihaan
Fabiayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Fayauma-idzil laa yusalu 'an dzanbihi insun wa laa jaann
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Yu'raful mujrimuuna bisiimaahum fayu'khadzu binnawaashii wal aqdaam
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Haadzihii jahannamullatii yukadz-dzibu bihaal mujrimuun
Yathuufuuna bainahaa wa baina hamiimin aan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Wa liman khaafa maqaama rabbihii jannataan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Dzawaataa afnaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Fiihimaa 'ainaani tajriyaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Fiihimaa min kulli faakihatin zaujaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Muttaki-iina 'alaa furusyin bathaa-inuhaa min istabraqin wa janal jannataini daan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan".
Aku hanya bisa mengikuti Melis pada akhirnya. Aku memejamkan mata dan mencoba lebih dalam untuk mendengarkan lantunan surat itu.
"Fiihinna qaashiraatuth-tharfi lam yathmitshunna insun qablahum wa laa jaann
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Ka-annahunnal yaaquutu wal marjaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Hal jazaa-ul ihsaani ilaal ihsaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Wa min duunihimaa jannataan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Mudhaammataan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Fiihimaa 'ainaani nadh-dhaakhataan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Fiihimaa faakihatun wanakhlun wa rummaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Fiihinna khairaatun hisaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Huurun maqshuuraatun fiil khiyaam
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Lam yathmitshunna insun qablahum wa laa jaann
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Muttaki-iina 'alaa rafrafin khudhrin wa 'abqariyyin hisaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Tabaarakaasmu rabbika dziil jalaali wal-ikraam".
Lantunan ayat suci yang terdengar merdu itu benar-benar membuatku merasakan hal yang berbeda. Ini bukan soal perkara siapa yang melantunkannya. Lebih dari itu. Aku masih mengingat beberapa arti ayat dari surat tersebut yang diberitahukan Melis minggu lalu.
"Katrin".
Aku merasakan Melis memegang pundak kiriku. Lalu Aku membuka mata untuk menatapnya yang sedang terkejut.
"Kenapa kamu meneteskan airmata, Katrin ?".
"Ah ? Aku.. Aku ga' sadar, Melis".
Entah sejak kapan airmataku membasahi sebagian pipi ini. Aku buru-buru menyeka airmata dan tersenyum kepada Melis.
"Ar-rahman, Melis", ucapku lagi.
Melis mengangguk dan tersenyum kembali.
"Tuhan Yang Maha Pemurah - Yang telah mengajarkan Al-Qur’an - Dia menciptakan manusia - Mengajarnya pandai berbicara - Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan - Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya - Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca keadilan - Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu - Dan tegakkanlah timbangan dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. Ayat satu sampai sembilan, Katrin", Ucap Melis mengingatkanku akan arti ayat satu hingga sembilan dari surat Ar-rahman.
Aku mengangguk. "Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk-Nya - di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang - Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya - Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan ? - Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar - Dia menciptakan jin dari nyala api - Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan ? - Rabb yang memelihara kedua tempat terbitnya matahari dan Rabb yang memelihara kedua tempat terbenamnya - Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan ? - Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu - antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing - Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan ?". Ucapku kali ini yang mengartikan ayat sepuluh hingga dua puluh satu.
"Kamu sudah hafal Katrin". Melis tersenyum lebar dan matanya berbinar.
"Tidak semuanya, Melis. Aku sangat suka dengan arti dari surat Ar-rahman, tapi sayangnya Aku tidak bisa mempelajarinya".
"Kenapa tidak bisa ?", tanya Melis.
"Karena Aku bukan seorang muslim".
Melis kembali tersenyum lagi. Lalu kedua tangannya menggenggam kedua tanganku yang berada diatas meja makan. Tangan kami saling bertumpuk. Genggamannya cukup erat.
"Katrin. Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Yang artinya islam adalah agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semuanya. Bagi seisi alam semesta ini, termasuk hewan, tumbuhan dan jin. Apalagi sesama manusia", Melis masih menatapku dengan senyumannya yang meneduhkan itu. "Allah berfirman dalam surat al-Anbiya ayat seratus tujuh, bunyinya, 'wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil’aalamiina'. Artinya, Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Kamu yang dimaksud adalah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Islam itu melarang manusia berlaku semena-mena terhadap sesama makhluk Allah".
Lalu Aku tersenyum. "Dan itu artinya aku boleh mempelajarinya walaupun bukan seorang muslim ?".
Melis mengangguk. "Jika agama ini membawa kebaikan untuk alam semesta beserta isinya, maka tidaklah salah, bahkan seharusnya memang sangat perlu untuk dipelajari. Ini demi kebaikanmu Katrin. Jadi tidak ada yang salah soal itu".
Tidak lama kemudian Saleh keluar dari dalam kamar dan berjalan ke sisi meja makan. Dia berdiri di dekat kami berdua.
Malam itu Saleh mengenakan pakaian yang sangat bagus. Janggutnya terkucur lebih rapih. Wajahnya seolah-olah seperti bersinar bak cahaya bulan di malam hari.
"Saleh, Kau membaca surat Ar-rahman dengan cara yang berbeda ?", tanyaku.
Saleh tersenyum. "Aku membacanya dengan Murottal, Katrin". Senyumannya benar-benar indah.
"Murottal ?".
"Apa Kamu ingin mempelajari cara Murottal juga, Katrin ?", tanya Melis.
Aku melirik kepada Kakak beradik itu bergantian sebelum pada akhirnya memutuskan hal yang akan menuntunku kepada jalan yang dipenuhi cahaya-Nya.
"Melis. Bantu Aku untuk mempelajari cara Murottal. Bantu Aku untuk mempelajari kitab suci itu, Melis", pintaku sungguh-sungguh.
Airmata ini menetes lagi. Melis bangun dan menghampiriku. Dia memelukku dan menciumi keningku dari samping.
"Insya Allah, Katrin. Insya Allah. Aku dan Kak' Saleh akan membantumu", ucap Melis. Ucapan yang terdengar sedikit bergetar.
Airmata Melis nampak terlihat jelas. Tapi kami tahu. Kami tahu kalau airmata kami berdua ini adalah airmata bahagia. Airmataku adalah airmata kerinduan akan kasih sayang-Nya. Dan airmata Melis adalah airmata seorang muslim yang bahagia karena akan segera menyambut saudarinya ini.
Jalanan di dekat sungai Rhein selalu ramai sebelum matahari akan tenggelam beberapa jam kedepan. Dan ini adalah kali kedua Aku pergi bersama Saleh tanpa Melis.
Ada rasa canggung sebenarnya ketika harus pergi berdua dengannya. Maksudku Saleh adalah orang baik. Dia selalu menjaga perilakunya terhadap wanita. Tidak pernah dia melontarkan rayuan apalagi terang-terangan menggodaku. Karena sikapnya yang baik dan santun itulah yang membuatku canggung dan sedikit 'salah tingkah' ketika harus berduaan dengannya seperti sekarang.
Sebenarnya Saleh tidak ingin kami pergi berdua tapi Melis benar-benar tidak bisa ikut karena mendadak harus menggantikan pekerjaan temannya yang sakit. Melis memang sudah mendapatkan pekerjaan di sebuah cafe muslim di dekat Königsallee.
Sore itu kami duduk bersama pengunjung lainnya. Saleh selalu menjaga jarak dengan setiap wanita yang ia temui, termasuk denganku sahabat adiknya ini.
"Katrin, Kau tidak ingin pulang ke Indonesia ?".
"Ada alasan yang membuatku lebih memilih stay disini. Selain karena studiku sebelumnya, sekarang Aku ingin menata masa depan disini juga. Dusseldorf sudah seperti bagian dari hidupku, Saleh".
Cukup lama rasanya Saleh terdiam setelah tersenyum mendengar jawabanku sebelumnya. Beberapa pengunjung mulai bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan suasana senja di tempat wisata ini. Aku masih terdiam dan tidak tahu harus memulai obrolan seperti apa dengannya.
"Katrin, melupakan bukanlah berarti memutus tali silaturahmi".
Aku terkejut mendengar ucapannya yang tiba-tiba. "Maksudmu ?".
"Ah, lupakan. Maaf Aku tidak berhak mengomentari masa lalumu".
Aku yang sudah terlanjur sadar maksud ucapannya itu langsung menanggapinya lagi.
"Aku hanya ingin melupakan hal yang menyakitkan. Apa itu salah ?".
"Tidak, tapi maksudku hubungan silaturahminya yang harus kita jaga. Aku yakin Kau tahu kalau memaafkan lebih mulia daripada dimaafkan".
"Aku sudah melupakan kejadian itu dan memaafkannya".
"Tapi tidak ingin pulang ke Indonesia ?", Saleh tersenyum.
"Saleh, Pulang ke Indonesia bukan berarti harus bertemu dengannyakan ?". Jujur saja, Aku sedikit terusik dengan pertanyaan yang terasa memojokkanku itu.
"Hahaha. Okey maaf-maaf, Katrin. Kau tidak perlu merasa tersindir. Aku hanya ingin tahu perasaanmu".
"Eh ?", aku kembali terkejut dan akhirnya tertunduk malu-malu.
"Oh maaf, Katrin. Aku tidak maksud macam-macam. Maksudku hanya ingin tahu bagaimana perasaanmu sekarang. Perasaanmu yang lebih baik dari masalah yang diceritakan Melis dulu. That's it".
Sore itu ingin sekali rasanya Aku menelan bulat-bulat pria Turkey yang berada di sampingku itu.
Sebelum masuk waktu maghrib, Saleh mengajakku pergi. Seperti sebelumnya, dia melaksanakan ibadah berjamaah di masjid. Aku menunggu di luar.
Pikiranku sore itu sedikit terganggu oleh ucapan Saleh sebelumnya. Apa benar dia hanya ingin mengetahui tentang perasaanku terhadap masalah yang sudah setahun berlalu atau perasaanku terhadapnya ?. Atau mungkin saja Aku yang merasa sedikit berlebihan menanggapinya. Tapi kenapa harus bersikap seperti tadi ? Jangan membuatku bingung Saleh.
"Ayo kita pulang, Katrin. Melis sudah berada di rumah dan Kofte sapi kesukaanmu juga sudah menunggu katanya".
Aku berdiri dan tersenyum. "Ayo".
Setengah jam kemudian Aku sudah duduk di ruang makan sambil menikmati kofte sapi khas buatan Melis. Aku mendengarkan bagaimana Melis menceritakan pekerjaannya yang menyenangkan walaupun lelah karena harus mengantarkan pesanan pengunjung cafe. Tapi bagiku itu cukup mengherankan.
"Melis, kamu ga' lelah dengan pekerjaanmu itu ? Maksudku, Aku tahu kamu adalah seorang waitress, tapi melihat antusiasmu menceritakan pekerjaanmu itu rasanya sedikit membuatku heran".
Melis menelan suapan terakhir koftenya dan meneguk minuman dingin miliknya sebelum akhirnya tersenyum kepadaku.
"Tidak ada hal yang perlu dikeluhkan Katrin jika kita bekerja dengan sepenuh hati. Insya Allah lelahku terbayar dengan sepadan. Selain upah yang cukup, dengan bekerja sepenuh hati membuatku melupakan rasa lelah sekaligus bersedekah juga".
"Bersedekah ?", tanyaku.
"Ya, bersedekah yang termasuk salah satu ibadah. Ibadah yang kulakukan adalah tersenyum kepada pengunjung ketika mengantarkan pesanan mereka. Mungkin terdengar sepele. Tapi senyum dan keramahan mereka pula membuatku ikut senang. Akhirnya ? Alhamdulillah rasa lelah pun bisa terasa hilang dan menjadi berkah yang artinya menjadi baik atau nikmat".
Ya begitulah. Dia Melis yang senang bersedekah. Bersedekah yang termasuk ibadah paling mudah dengan tersenyum.
Lalu tiba-tiba terdengar suara.
"A'udhu billahi minash shaitanir rajim... Bismillahirrahmaanirrahiim".
Aku menatap Melis dan dia langsung tersenyum.
"Kak' Saleh akan mengaji", ucapnya pelan.
Lalu Melis memejamkan matanya. Aku menangkap maksudnya untuk mendengarkan Kakaknya itu.
"Ar-rahmaan". Suara itu mulai terdengar kembali dari dalam salah satu kamar.
" 'Allamal qur-aan
Khalaqal insaan
'Allamahul bayaan
Asy-syamsu wal qamaru bihusbaan
Wan najmu wasy-syajaru yasjudaan
Wassamaa-a rafa'ahaa wa wadha'al miizaan
Allaa tathghau fiil miizaan
Wa aqiimuul wazna bil qisthi wa laa tukhsiruul miizaan
Wal ardha wa dha'ahaa lil-anaam".
Apa yang dibaca Saleh dan terdengar olehku dari ruang makan ini sama seperti saat pertama kali aku menunggu kakak beradik itu shalat di masjid.
"Fiihaa faakihatun wannakhlu dzaatul akmaam
Wal habbu dzuul 'ashfi warraihaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Khalaqal insaana min shalshaalin kal fakh-khaar
Wa khalaqal jaanna min maarijim min naar
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan".
Tapi jelas ini berbeda. Cara Saleh membaca sangat berbeda dengan apa yang kudengar sebelumnya di masjid minggu lalu.
"Rabbul masyriqaini wa rabbul maghribain
Fab-iayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Marajal bahraini yaltaqiyaan
Bainahumaa barzakhul laa yabghiyaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Yakhruju minhumaallu'lu'u wal marjaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Wa lahul jawaaril munsyaaatu fiil bahri kal a'laam
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Kullu man 'alaihaa faan
Wayabqaa wajhu rabbika dzuul jalaali wal-ikraam
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Yas-aluhuu man fiis-samaawaati wal ardhi kulla yaumin huwa fii sya'n
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Sanafrughu lakum ayyuhaats-tsaqalaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Yaa ma'syaral jinni wal-insi iniistatha'tum an tanfudzuu min aqthaaris-samaawaati wal ardhi faanfudzuu laa tanfudzuuna illaa bisulthaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan".
Suara Saleh lebih terdengar merdu menurutku. Aku menatap Melis yang masih memejamkan matanya dan tersenyum dengan kepalanya yang sedikit tertunduk. Kedua tangannya bertumpuk diatas meja.
"Yursalu 'alaikumaa syuwaazhun min naarin wa nuhaasun falaa tantashiraan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Fa-idzaaan-syaqqatis-samaa-u fakaanat wardatan kaddihaan
Fabiayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Fayauma-idzil laa yusalu 'an dzanbihi insun wa laa jaann
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Yu'raful mujrimuuna bisiimaahum fayu'khadzu binnawaashii wal aqdaam
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Haadzihii jahannamullatii yukadz-dzibu bihaal mujrimuun
Yathuufuuna bainahaa wa baina hamiimin aan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Wa liman khaafa maqaama rabbihii jannataan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Dzawaataa afnaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Fiihimaa 'ainaani tajriyaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Fiihimaa min kulli faakihatin zaujaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Muttaki-iina 'alaa furusyin bathaa-inuhaa min istabraqin wa janal jannataini daan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan".
Aku hanya bisa mengikuti Melis pada akhirnya. Aku memejamkan mata dan mencoba lebih dalam untuk mendengarkan lantunan surat itu.
"Fiihinna qaashiraatuth-tharfi lam yathmitshunna insun qablahum wa laa jaann
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Ka-annahunnal yaaquutu wal marjaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Hal jazaa-ul ihsaani ilaal ihsaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Wa min duunihimaa jannataan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Mudhaammataan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Fiihimaa 'ainaani nadh-dhaakhataan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Fiihimaa faakihatun wanakhlun wa rummaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Fiihinna khairaatun hisaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Huurun maqshuuraatun fiil khiyaam
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Lam yathmitshunna insun qablahum wa laa jaann
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Muttaki-iina 'alaa rafrafin khudhrin wa 'abqariyyin hisaan
Fabi-ayyi aalaa-i rabbikumaa tukadz-dzibaan
Tabaarakaasmu rabbika dziil jalaali wal-ikraam".
Lantunan ayat suci yang terdengar merdu itu benar-benar membuatku merasakan hal yang berbeda. Ini bukan soal perkara siapa yang melantunkannya. Lebih dari itu. Aku masih mengingat beberapa arti ayat dari surat tersebut yang diberitahukan Melis minggu lalu.
"Katrin".
Aku merasakan Melis memegang pundak kiriku. Lalu Aku membuka mata untuk menatapnya yang sedang terkejut.
"Kenapa kamu meneteskan airmata, Katrin ?".
"Ah ? Aku.. Aku ga' sadar, Melis".
Entah sejak kapan airmataku membasahi sebagian pipi ini. Aku buru-buru menyeka airmata dan tersenyum kepada Melis.
"Ar-rahman, Melis", ucapku lagi.
Melis mengangguk dan tersenyum kembali.
"Tuhan Yang Maha Pemurah - Yang telah mengajarkan Al-Qur’an - Dia menciptakan manusia - Mengajarnya pandai berbicara - Matahari dan bulan beredar menurut perhitungan - Dan tumbuh-tumbuhan dan pohon-pohonan kedua-duanya tunduk kepada-Nya - Dan Allah telah meninggikan langit dan Dia meletakkan neraca keadilan - Supaya kamu jangan melampaui batas tentang neraca itu - Dan tegakkanlah timbangan dengan adil dan janganlah kamu mengurangi neraca itu. Ayat satu sampai sembilan, Katrin", Ucap Melis mengingatkanku akan arti ayat satu hingga sembilan dari surat Ar-rahman.
Aku mengangguk. "Dan Allah telah meratakan bumi untuk makhluk-Nya - di bumi itu ada buah-buahan dan pohon kurma yang mempunyai kelopak mayang - Dan biji-bijian yang berkulit dan bunga-bunga yang harum baunya - Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan ? - Dia menciptakan manusia dari tanah kering seperti tembikar - Dia menciptakan jin dari nyala api - Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan ? - Rabb yang memelihara kedua tempat terbitnya matahari dan Rabb yang memelihara kedua tempat terbenamnya - Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan ? - Dia membiarkan dua lautan mengalir yang keduanya kemudian bertemu - antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui oleh masing-masing - Maka nikmat Tuhan mu yang manakah yang kamu dustakan ?". Ucapku kali ini yang mengartikan ayat sepuluh hingga dua puluh satu.
"Kamu sudah hafal Katrin". Melis tersenyum lebar dan matanya berbinar.
"Tidak semuanya, Melis. Aku sangat suka dengan arti dari surat Ar-rahman, tapi sayangnya Aku tidak bisa mempelajarinya".
"Kenapa tidak bisa ?", tanya Melis.
"Karena Aku bukan seorang muslim".
Melis kembali tersenyum lagi. Lalu kedua tangannya menggenggam kedua tanganku yang berada diatas meja makan. Tangan kami saling bertumpuk. Genggamannya cukup erat.
"Katrin. Islam adalah agama rahmatan lil ‘alamin. Yang artinya islam adalah agama yang membawa rahmat dan kesejahteraan bagi semuanya. Bagi seisi alam semesta ini, termasuk hewan, tumbuhan dan jin. Apalagi sesama manusia", Melis masih menatapku dengan senyumannya yang meneduhkan itu. "Allah berfirman dalam surat al-Anbiya ayat seratus tujuh, bunyinya, 'wamaa arsalnaaka illaa rahmatan lil’aalamiina'. Artinya, Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam. Kamu yang dimaksud adalah Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan Islam itu melarang manusia berlaku semena-mena terhadap sesama makhluk Allah".
Lalu Aku tersenyum. "Dan itu artinya aku boleh mempelajarinya walaupun bukan seorang muslim ?".
Melis mengangguk. "Jika agama ini membawa kebaikan untuk alam semesta beserta isinya, maka tidaklah salah, bahkan seharusnya memang sangat perlu untuk dipelajari. Ini demi kebaikanmu Katrin. Jadi tidak ada yang salah soal itu".
Tidak lama kemudian Saleh keluar dari dalam kamar dan berjalan ke sisi meja makan. Dia berdiri di dekat kami berdua.
Malam itu Saleh mengenakan pakaian yang sangat bagus. Janggutnya terkucur lebih rapih. Wajahnya seolah-olah seperti bersinar bak cahaya bulan di malam hari.
"Saleh, Kau membaca surat Ar-rahman dengan cara yang berbeda ?", tanyaku.
Saleh tersenyum. "Aku membacanya dengan Murottal, Katrin". Senyumannya benar-benar indah.
"Murottal ?".
"Apa Kamu ingin mempelajari cara Murottal juga, Katrin ?", tanya Melis.
Aku melirik kepada Kakak beradik itu bergantian sebelum pada akhirnya memutuskan hal yang akan menuntunku kepada jalan yang dipenuhi cahaya-Nya.
"Melis. Bantu Aku untuk mempelajari cara Murottal. Bantu Aku untuk mempelajari kitab suci itu, Melis", pintaku sungguh-sungguh.
Airmata ini menetes lagi. Melis bangun dan menghampiriku. Dia memelukku dan menciumi keningku dari samping.
"Insya Allah, Katrin. Insya Allah. Aku dan Kak' Saleh akan membantumu", ucap Melis. Ucapan yang terdengar sedikit bergetar.
Airmata Melis nampak terlihat jelas. Tapi kami tahu. Kami tahu kalau airmata kami berdua ini adalah airmata bahagia. Airmataku adalah airmata kerinduan akan kasih sayang-Nya. Dan airmata Melis adalah airmata seorang muslim yang bahagia karena akan segera menyambut saudarinya ini.
*
*
*
Tatkala hati ini lelah dan hampir menyerah
Aku berserah kepada Mu.
Tatkala Aku merasa semuanya terasa tidak adil
Aku bersujud di sepertiga malam kepada Mu.
Kuatkanlah iman dalam hati kami Ya Rabb
Karena kami takut jika harus jauh dari Mu.
***
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبهِۦ جَنتَانِ
Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga
(QS Ar-Rahman 55:46)
فَبِأَى ءَالَآءِ رَبكُمَا تُكَذبَانِ
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
(QS Ar-Rahman 55:47)
*
*
Tatkala hati ini lelah dan hampir menyerah
Aku berserah kepada Mu.
Tatkala Aku merasa semuanya terasa tidak adil
Aku bersujud di sepertiga malam kepada Mu.
Kuatkanlah iman dalam hati kami Ya Rabb
Karena kami takut jika harus jauh dari Mu.
***
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبهِۦ جَنتَانِ
Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua surga
(QS Ar-Rahman 55:46)
فَبِأَى ءَالَآءِ رَبكُمَا تُكَذبَانِ
Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?
(QS Ar-Rahman 55:47)
Diubah oleh bunbun.orenz 14-04-2018 15:39
xennid memberi reputasi
3
Kutip
Balas

