- Beranda
- Stories from the Heart
Sonne Mond und Stern
...
TS
glitch.7
Sonne Mond und Stern
die SONNE der MOND und der STERN
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Tak Lagi Sama - Noah
Spoiler for Cover Stories:
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 95% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahdan lanjutan dari sebuah cerita Love in Elegy yang pernah Gua tulis di Forum ini.
Quote:
Versi PDF Dua Thread Sebelumnya :

*mulustrasi karakter dalam cerita ini
Quote:
*thanks to my brother in law yang bantu index dan update selama gua mudik
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 239 suara
Siapakah pendamping Eza sebenarnya ?
Sherlin Putri Levanya
55%
Franziska Luna Katrina
17%
Giovanna Almira
28%
Diubah oleh glitch.7 08-01-2022 09:16
chamelemon dan 125 lainnya memberi reputasi
122
1.9M
8.8K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
glitch.7
#5538
PART 22
Satu bulan berlalu, sekarang usia kandungan Nona Ukhti sudah memasuki bulan kelima. Enggak sabar rasanya menunggu waktu empat bulan kedepan.
Demi menyambut kehadiran si buah hati gua memang sedikit berlebihan. Gimana enggak, walaupun masih empat bulan nanti anak kami lahir ke dunia, gua sudah ingin membeli kebutuhan dan perlengkapan bayi. Seperti sore ini, setelah pulang kerja gua menyempatkan diri pergi ke sebuah mall di Ibu kota.
"Mas, tumben ngajak nge-mall ?", tanya si mantan semlohay.
"Hehehe, iya Mba.. Soalnya aku mau beli perlengkapan bayi", jawab gua ketika kami masih di dalam mobil.
Gua hari ini memang menjemput Mba Yu di kantornya. Seperti saat dulu, saat Mba Yu dan Nona Ukhti tidak berselisih paham. Alhamdulillah sekarang pun istri gua tidak lagi mempermasalahkan kedekatan gua dengan si mantan terbaik satu itu. Tinggal bagaimana gua dan Mba Yu menjaga kepercayaan yang diberikan oleh Nona Ukhti kepada kami berdua.
Setelah sampai di mall kami berdua menuju ke salah satu gerai baby shop. Gua dan Mba Yu melihat-lihat beberapa pakaian.
"Mas, beli yang umum aja dulu, kan belum pasti tuh anak kamu cowok atau ceweknya", ucap Mba Yu memberi saran.
"Iya juga sih.. Oh iya.. Lagian Mba sebenernya masih banyak kalo pakean bayi ma di rumah", tiba-tiba saja teringat pakaian-pakaian anak pertama gua.
"Eh iya punya Jingga kan.. Nah kalo gitu sekarang ngapain beli pakaian lagi ? Emang masih ada yang kurang ?", tanyanya lagi.
Gua ingat-ingat kembali kira-kira apa perlengkapan bayi yang belum ada di rumah, tapi setelah dipikir-pikir rasanya semuanya masih ada.
"Ada semua deh, lengkap Mba.. Baju-baju yang beli sendiri, yang pengasih... Kamu juga waktu itu sempet beliin perlengkapan makan sama pakean juga, Luna beliin kereta bayi..", jawab gua mengingat hadiah-hadiah yang pernah dibelikan oleh orang-orang terdekat untuk Jingga.
Mba Yu melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya sedikit memicing menatap gua.
"Maksudnya apa ngomong gitu ?", tanyanya sinis.
"Hm ? Ngomong gitu gimana ?", tanya gua balik seraya menengok kearahnya lagi setelah sebelumnya melihat-lihat perlengkapan mandi untuk bayi.
"Iya itu tadi, maksud kamu apa sampe nyebutin aku beli perlengkapan makan sedangkan Luna beliin kereta bayi ?! Kamu nyindir aku ? Iya ?!", jelasnya dengan raut wajah yang udah mulai emosi.
Duh, mampus gua. Salah ngomong ini.
"Eh bukan bukan... Bukan gitu", gua sedikit gelagapan, sadar kalo contoh yang gua ambil dari dua perempuan yang pernah berseteru itu bisa membuat jiwa gua terancam.
"Maksud aku ya iya bener kata kamu kalo ternyata perlengkapan buat si debay istri ku banyak banget, punyanya Jingga yang dulu dikasih kamu, dikasih Mba Siska juga, dari Nindi, terus...".
"Terus Luna! Paling mahal! Iyakan ?!", potongnya.
"Ya Allah, Mba... Enggak kok, aku gak banding-bandingin siapa yang ngasih paling mahal. Bukan gitu maksud aku...", jawab gua mencoba menenangkannya.
"Tau ah tau ah! Bete aku jadinya.. Terserah!", tukasnya sebelum ia berbalik badan dan pergi keluar toko.
"Lah ? Mba ? Mbaaa... Tunggu hey..".
"Iya Mas ? Ada yang bisa dibantu ?", tiba-tiba suara seorang perempuan dari belakang gua terdengar.
"Eh ? Oh bukan, maaf Mba.. Saya manggil temen saya tadi, hehe.. Eeeuu.. Maaf ya Mba nanti aja saya belanjanya.. Permisii..", jawab gua kepada pelayan toko dan buru-buru mengejar si semlohay.
Kenapa jadi cemberut juga itu si pelayan coba. Sorry deh Mba kalo gak jadi belanjanya. Ada yang lebih penting urusannya daripada sekedar belanja nih...
Gua sedikit berlari untuk mengejar Mba Yu yang berjalan cepat menuju eskalator.
"Mba maaf deh maaf.. Aku minta maaf kalo salah ngomong, tapi jujur aku gak da maksud apa-apa beneran!", ucap gua setelah berdiri sejajar dengannya di eskalator yang sedang bergerak turun.
"Terserah!", Mba Yu memalingkan wajahnya dengan cepat ke sisi lain.
"Hey, jangan marah gitu dong, kamu tau lah aku gak mungkin banding-bandingin pemberian orang kayak gitu.. Please jangan dianggap serius yang tadi...", lanjut gua.
"Iya tapi ngapain yang diinget harus Luna coba ? Itu kan karena kamu tau dia ngasih kado yang lebih bagus dari aku!", ucapnya sedikit keras.
"Ya Allah.. Beneran sumpah demi Allah, aku gak gitu.. Gak da pikiran kayak gitu..".
"Tau ah terserah!".
Karena memang dibawah kami tidak ada orang, jadi Mba Yu kembali menuruni tangga eskalator dengan hentakan yang cukup keras, kebayang lah gimana sepatu kantor model high-heels yang menghentak gitu.
Belum sempat gua mengejarnya, gua sedikit terusik ketika mendengar suara cekikikan dari arah belakang. Gua menengok dan ternyata bener aja, ada sepasang abg yang sedang menertawai gua.
"Ngapain lu ketawa berdua ? Ada yang lucu ?!", tanya gua emosi.
"Dih marah, gak usah marah ke kita Mas, mending kejar tuh pacarnya, daripada diputusin.. Hihihi...", jawab si cewek abg.
Kampret nih anak satu, minta gua sleding apa palanya... Tapi bener juga kata dia, mending gua ngejar Mba Yu yang udah sampai di lantai bawah dan semakin jauh berjalan.
Gua kembali sedikit berlari setelah menemukan sosok Mba Yu yang sudah jauh beberapa meter di depan sana, setelah berada tepat dibelakangnya, gua tahan dengan memegang tangan kanannya.
"Mba.. Jangan kayak gini, malu diliat orang..", ucap gua langsung setelah dia berhenti berjalan dan menengok.
"Iih.. Apa sih.. Kamu yang malu-maluin, biasa aja kali.. Lepasin tangan aku", jawabnya.
Anjir salah lagi gua deh.
"Huufttt.. Iya iya.. Yaudah yu pulang", ajak gua setelah melepas tangannya.
"Bentar aku mau ke toilet..", dia membuka tas kerjanya, entah mencari apa didalam sana. Kemudian melirik kearah gua lagi dengan wajah yang cemberut. "Mau ganti pembalut!", lanjutnya pelan sebelum kembali berjalan kearah toilet mall.
Gua... Gua bengong beberapa detik, masih berdiri sendiri ditempat sebelumnya, mencerna ucapannya sampai akhirnya sadar. Gua terkekeh pelan sambil melihat dia yang terus berjalan kearah toilet sana, menggelengkan kepala lalu mengusap wajah.
Astagfirullah, gusti nu agung, ngaha sim kuring nu kena getah na... Aya aya wae aing ma... Ucap gua dalam hati.
(Astagfirullah, Raja yang Agung, kenapa saya yang kena getahnya, ada-ada aja).
...
Sekitar pukul delapan malam, gua hentikan mobil tepat di depan rumah Mba Yu.
"Makasih ya udah di anterin lagi", ucap Mba Yu seraya melepaskan seat-belt.
"Iya, Mba sama-sama... Aku langsung pulang ya, gak mampir dulu", jawab gua.
"Mas..".
"Hm ?".
"Yang tadi ituuu... Maafin ya.. Aku berlebihan ya ?".
Gua tersenyum, dan semakin lebar senyuman ini ketika melihat raut wajahnya ketika mengucapkan maaf. Parasnya yang cantik itu berubah seperti anak kecil, kedua pipinya sedikit mengembung, bibirnya manyun, jemari tangannya memainkan tali dari tas kantor yang ia taruh diatas kedua pahanya. Lucu banget, sambil terus mencuri pandang kearah gua, dia menundukan kepala dan melirik gua dengan wajah seperti tadi.
Tuk..
"Aduh..", dia mengerenyitkan kening lalu mengusap keningnya dengan tangan kananya.
Gua sengaja sedikit mendorong keningnya itu dengan kedua jari tangan, tentunya dengan lembut dan pelan. Lalu terkekeh.. (Kalo yang suka nonton Naruto, pasti tau apa yang gua lakukan sama seperti saat Itachi menyentuh kening Sasuke).
"Cewe tuh yaa.. Selalu gitu, gak kamu, gak Vera, gak Echa.. Sama aja. Kalo lagi pms gak peduli dimana dan siapa aja pasti kena getahnya..", ucap gua sambil tersenyum.
Mba Yu menahan senyuman, kedua pipinya kembali mengembung. "Iih.. Maaf... Namanya juga cewek lagi dateng bulan, moodnya labil, Mas.. Hhuufftt.. Maapin atuh..", jawabnya malu-malu.
"Bulan kok disalahin sih, Mba ? Ada apa dengan bulan coba sampe buat mood kamu labil ? Hehehe..", canda gua.
"Issh.. Bulannya cewek tuh beda, ah gitulah pokoknya, kamu masa gak ngerti..", jawabnya seperti anak kecil.
Enggak Mba, aku gak ngerti Bulan macam apa yang kamu maksud itu.
"Yaudah kamu hati-hati ya, jangan ngebut, inget tuh tadi Vera titip martabak manis, jangan sampe lupa, lagi ngidam dia, Mas..", ucap Mba Yu mengingatkan gua ketika Nona Ukhti menelpon saat di perjalanan pulang tadi.
"Iya, sip...".
Kemudian Mba Yu turun dari mobil dan menutup pintunya. Gua turunkan kaca mobil.
"Hati-hati..", ucapnya sedikit menunduk untuk melihat gua.
"Okey, yaudah aku pamit ya.. Wassalamualaikum..".
"Walaikumsalam, daaah...", jawabnya seraya melambaikan tangan.
...
Martabak isi cokelat keju yang gua beli setelah mengantarkan Mba Yu tadi sedang dilahap dengan khidmat oleh perempuan yang perutnya sekarang nampak sedikit membesar dari biasanya. Gua pun ikut duduk di ruang tamu sambil menikmati martabak manis tersebut.
"Tadi aku gak jadi belanja buat si debay, Ve..", ucap gua setelah menelan makanan.
"Kenapa gitu, Mas ? Pantes kok aku liat tadi kamu gak bawa kantong belanjaan, cuma bawa martabak", tanyanya yang duduk di samping gua.
"Aku inget ternyata perlengkapan bayi udah banyak loch.. Kamu juga lupa ya ? Ikut yu bentar..".
Gua mengajak istri ke kamar yang biasa ditempati Nenek, kamar yang berada di sebrang kamar Ibu dan berada di dekat ruang tamu.
"Tuh, liatkan..", ucap gua setelah membuka pintu.
"Eh iya ya.. Inikan punya Jingga ya, Mas..", ucap Nona Ukhti sambil berjalan masuk dan melihat cukup banyak barang perlengkapan bayi dari mulai yang ditaruh diatas lemari, sampai beberapa lainnya di dekat ranjang kamar tersebut.
"Ini kereta bayi masih bagus loch.. Dari Luna kan ?", tanyanya saat memegang kereta bayi yang berada dipojok kamar.
Gua tersenyum lalu berjalan kedalam kamar, lalu duduk di sisi ranjang sambil memandangi semua perlengkapan bayi milik Jingga.
"Iya.. Dari Luna..", gua kembali menyapukan pandangan. "Banyak ya ternyata...".
Nona Ukhti tersenyum. "Iya alhamdulillah loch, Mas.. Masih pada baru ini sih, Jingga banyak dapet kado, hihihi...".
"Iya.. Banyak... Dan sayangnya gak sempat dia nyobain semua ini...", ucap gua sendu.
Istri gua sadar, kemudian dia berjalan mendekat lalu mengusap punggung gua.
"Mas.. Ikhlas..", ucapnya dengan senyum yang menenangkan.
Gua menghirup udara dalam-dalam, sebelum akhirnya kembali bisa tersenyum dan menatap balik istri tercinta.
"Jingga dan Teteh insya Allah berada ditempat terbaik...", kemudian dia memegang tangan kanan gua, "Wanita yang meninggal karena melahirkan termasuk apa, Mas ?", tanyanya.
"Jihad...", jawab gua pelan.
Istri gua mengangguk membenarkan. "Dan anak yang meninggal sebelum baligh adalah perisai untuk orang tuanya dari siksa api neraka.. Insya Allah Jingga dan Teteh ditempatkan di tempat yang terbaik dan indah disana, Mas...", lanjutnya.
"Aamiin, Aamiin, Aamiin Yaa Rabb..", ucap gua mengamini sebelum akhirnya Nona Ukhti memeluk tubuh gua dengan lembut.
Demi menyambut kehadiran si buah hati gua memang sedikit berlebihan. Gimana enggak, walaupun masih empat bulan nanti anak kami lahir ke dunia, gua sudah ingin membeli kebutuhan dan perlengkapan bayi. Seperti sore ini, setelah pulang kerja gua menyempatkan diri pergi ke sebuah mall di Ibu kota.
"Mas, tumben ngajak nge-mall ?", tanya si mantan semlohay.
"Hehehe, iya Mba.. Soalnya aku mau beli perlengkapan bayi", jawab gua ketika kami masih di dalam mobil.
Gua hari ini memang menjemput Mba Yu di kantornya. Seperti saat dulu, saat Mba Yu dan Nona Ukhti tidak berselisih paham. Alhamdulillah sekarang pun istri gua tidak lagi mempermasalahkan kedekatan gua dengan si mantan terbaik satu itu. Tinggal bagaimana gua dan Mba Yu menjaga kepercayaan yang diberikan oleh Nona Ukhti kepada kami berdua.
Setelah sampai di mall kami berdua menuju ke salah satu gerai baby shop. Gua dan Mba Yu melihat-lihat beberapa pakaian.
"Mas, beli yang umum aja dulu, kan belum pasti tuh anak kamu cowok atau ceweknya", ucap Mba Yu memberi saran.
"Iya juga sih.. Oh iya.. Lagian Mba sebenernya masih banyak kalo pakean bayi ma di rumah", tiba-tiba saja teringat pakaian-pakaian anak pertama gua.
"Eh iya punya Jingga kan.. Nah kalo gitu sekarang ngapain beli pakaian lagi ? Emang masih ada yang kurang ?", tanyanya lagi.
Gua ingat-ingat kembali kira-kira apa perlengkapan bayi yang belum ada di rumah, tapi setelah dipikir-pikir rasanya semuanya masih ada.
"Ada semua deh, lengkap Mba.. Baju-baju yang beli sendiri, yang pengasih... Kamu juga waktu itu sempet beliin perlengkapan makan sama pakean juga, Luna beliin kereta bayi..", jawab gua mengingat hadiah-hadiah yang pernah dibelikan oleh orang-orang terdekat untuk Jingga.
Mba Yu melipat kedua tangannya di depan dada. Matanya sedikit memicing menatap gua.
"Maksudnya apa ngomong gitu ?", tanyanya sinis.
"Hm ? Ngomong gitu gimana ?", tanya gua balik seraya menengok kearahnya lagi setelah sebelumnya melihat-lihat perlengkapan mandi untuk bayi.
"Iya itu tadi, maksud kamu apa sampe nyebutin aku beli perlengkapan makan sedangkan Luna beliin kereta bayi ?! Kamu nyindir aku ? Iya ?!", jelasnya dengan raut wajah yang udah mulai emosi.
Duh, mampus gua. Salah ngomong ini.
"Eh bukan bukan... Bukan gitu", gua sedikit gelagapan, sadar kalo contoh yang gua ambil dari dua perempuan yang pernah berseteru itu bisa membuat jiwa gua terancam.
"Maksud aku ya iya bener kata kamu kalo ternyata perlengkapan buat si debay istri ku banyak banget, punyanya Jingga yang dulu dikasih kamu, dikasih Mba Siska juga, dari Nindi, terus...".
"Terus Luna! Paling mahal! Iyakan ?!", potongnya.
"Ya Allah, Mba... Enggak kok, aku gak banding-bandingin siapa yang ngasih paling mahal. Bukan gitu maksud aku...", jawab gua mencoba menenangkannya.
"Tau ah tau ah! Bete aku jadinya.. Terserah!", tukasnya sebelum ia berbalik badan dan pergi keluar toko.
"Lah ? Mba ? Mbaaa... Tunggu hey..".
"Iya Mas ? Ada yang bisa dibantu ?", tiba-tiba suara seorang perempuan dari belakang gua terdengar.
"Eh ? Oh bukan, maaf Mba.. Saya manggil temen saya tadi, hehe.. Eeeuu.. Maaf ya Mba nanti aja saya belanjanya.. Permisii..", jawab gua kepada pelayan toko dan buru-buru mengejar si semlohay.
Kenapa jadi cemberut juga itu si pelayan coba. Sorry deh Mba kalo gak jadi belanjanya. Ada yang lebih penting urusannya daripada sekedar belanja nih...
Gua sedikit berlari untuk mengejar Mba Yu yang berjalan cepat menuju eskalator.
"Mba maaf deh maaf.. Aku minta maaf kalo salah ngomong, tapi jujur aku gak da maksud apa-apa beneran!", ucap gua setelah berdiri sejajar dengannya di eskalator yang sedang bergerak turun.
"Terserah!", Mba Yu memalingkan wajahnya dengan cepat ke sisi lain.
"Hey, jangan marah gitu dong, kamu tau lah aku gak mungkin banding-bandingin pemberian orang kayak gitu.. Please jangan dianggap serius yang tadi...", lanjut gua.
"Iya tapi ngapain yang diinget harus Luna coba ? Itu kan karena kamu tau dia ngasih kado yang lebih bagus dari aku!", ucapnya sedikit keras.
"Ya Allah.. Beneran sumpah demi Allah, aku gak gitu.. Gak da pikiran kayak gitu..".
"Tau ah terserah!".
Karena memang dibawah kami tidak ada orang, jadi Mba Yu kembali menuruni tangga eskalator dengan hentakan yang cukup keras, kebayang lah gimana sepatu kantor model high-heels yang menghentak gitu.
Belum sempat gua mengejarnya, gua sedikit terusik ketika mendengar suara cekikikan dari arah belakang. Gua menengok dan ternyata bener aja, ada sepasang abg yang sedang menertawai gua.
"Ngapain lu ketawa berdua ? Ada yang lucu ?!", tanya gua emosi.
"Dih marah, gak usah marah ke kita Mas, mending kejar tuh pacarnya, daripada diputusin.. Hihihi...", jawab si cewek abg.
Kampret nih anak satu, minta gua sleding apa palanya... Tapi bener juga kata dia, mending gua ngejar Mba Yu yang udah sampai di lantai bawah dan semakin jauh berjalan.
Gua kembali sedikit berlari setelah menemukan sosok Mba Yu yang sudah jauh beberapa meter di depan sana, setelah berada tepat dibelakangnya, gua tahan dengan memegang tangan kanannya.
"Mba.. Jangan kayak gini, malu diliat orang..", ucap gua langsung setelah dia berhenti berjalan dan menengok.
"Iih.. Apa sih.. Kamu yang malu-maluin, biasa aja kali.. Lepasin tangan aku", jawabnya.
Anjir salah lagi gua deh.
"Huufttt.. Iya iya.. Yaudah yu pulang", ajak gua setelah melepas tangannya.
"Bentar aku mau ke toilet..", dia membuka tas kerjanya, entah mencari apa didalam sana. Kemudian melirik kearah gua lagi dengan wajah yang cemberut. "Mau ganti pembalut!", lanjutnya pelan sebelum kembali berjalan kearah toilet mall.
Gua... Gua bengong beberapa detik, masih berdiri sendiri ditempat sebelumnya, mencerna ucapannya sampai akhirnya sadar. Gua terkekeh pelan sambil melihat dia yang terus berjalan kearah toilet sana, menggelengkan kepala lalu mengusap wajah.
Astagfirullah, gusti nu agung, ngaha sim kuring nu kena getah na... Aya aya wae aing ma... Ucap gua dalam hati.
(Astagfirullah, Raja yang Agung, kenapa saya yang kena getahnya, ada-ada aja).
...
Sekitar pukul delapan malam, gua hentikan mobil tepat di depan rumah Mba Yu.
"Makasih ya udah di anterin lagi", ucap Mba Yu seraya melepaskan seat-belt.
"Iya, Mba sama-sama... Aku langsung pulang ya, gak mampir dulu", jawab gua.
"Mas..".
"Hm ?".
"Yang tadi ituuu... Maafin ya.. Aku berlebihan ya ?".
Gua tersenyum, dan semakin lebar senyuman ini ketika melihat raut wajahnya ketika mengucapkan maaf. Parasnya yang cantik itu berubah seperti anak kecil, kedua pipinya sedikit mengembung, bibirnya manyun, jemari tangannya memainkan tali dari tas kantor yang ia taruh diatas kedua pahanya. Lucu banget, sambil terus mencuri pandang kearah gua, dia menundukan kepala dan melirik gua dengan wajah seperti tadi.
Tuk..
"Aduh..", dia mengerenyitkan kening lalu mengusap keningnya dengan tangan kananya.
Gua sengaja sedikit mendorong keningnya itu dengan kedua jari tangan, tentunya dengan lembut dan pelan. Lalu terkekeh.. (Kalo yang suka nonton Naruto, pasti tau apa yang gua lakukan sama seperti saat Itachi menyentuh kening Sasuke).
"Cewe tuh yaa.. Selalu gitu, gak kamu, gak Vera, gak Echa.. Sama aja. Kalo lagi pms gak peduli dimana dan siapa aja pasti kena getahnya..", ucap gua sambil tersenyum.
Mba Yu menahan senyuman, kedua pipinya kembali mengembung. "Iih.. Maaf... Namanya juga cewek lagi dateng bulan, moodnya labil, Mas.. Hhuufftt.. Maapin atuh..", jawabnya malu-malu.
"Bulan kok disalahin sih, Mba ? Ada apa dengan bulan coba sampe buat mood kamu labil ? Hehehe..", canda gua.
"Issh.. Bulannya cewek tuh beda, ah gitulah pokoknya, kamu masa gak ngerti..", jawabnya seperti anak kecil.
Enggak Mba, aku gak ngerti Bulan macam apa yang kamu maksud itu.
"Yaudah kamu hati-hati ya, jangan ngebut, inget tuh tadi Vera titip martabak manis, jangan sampe lupa, lagi ngidam dia, Mas..", ucap Mba Yu mengingatkan gua ketika Nona Ukhti menelpon saat di perjalanan pulang tadi.
"Iya, sip...".
Kemudian Mba Yu turun dari mobil dan menutup pintunya. Gua turunkan kaca mobil.
"Hati-hati..", ucapnya sedikit menunduk untuk melihat gua.
"Okey, yaudah aku pamit ya.. Wassalamualaikum..".
"Walaikumsalam, daaah...", jawabnya seraya melambaikan tangan.
...
Martabak isi cokelat keju yang gua beli setelah mengantarkan Mba Yu tadi sedang dilahap dengan khidmat oleh perempuan yang perutnya sekarang nampak sedikit membesar dari biasanya. Gua pun ikut duduk di ruang tamu sambil menikmati martabak manis tersebut.
"Tadi aku gak jadi belanja buat si debay, Ve..", ucap gua setelah menelan makanan.
"Kenapa gitu, Mas ? Pantes kok aku liat tadi kamu gak bawa kantong belanjaan, cuma bawa martabak", tanyanya yang duduk di samping gua.
"Aku inget ternyata perlengkapan bayi udah banyak loch.. Kamu juga lupa ya ? Ikut yu bentar..".
Gua mengajak istri ke kamar yang biasa ditempati Nenek, kamar yang berada di sebrang kamar Ibu dan berada di dekat ruang tamu.
"Tuh, liatkan..", ucap gua setelah membuka pintu.
"Eh iya ya.. Inikan punya Jingga ya, Mas..", ucap Nona Ukhti sambil berjalan masuk dan melihat cukup banyak barang perlengkapan bayi dari mulai yang ditaruh diatas lemari, sampai beberapa lainnya di dekat ranjang kamar tersebut.
"Ini kereta bayi masih bagus loch.. Dari Luna kan ?", tanyanya saat memegang kereta bayi yang berada dipojok kamar.
Gua tersenyum lalu berjalan kedalam kamar, lalu duduk di sisi ranjang sambil memandangi semua perlengkapan bayi milik Jingga.
"Iya.. Dari Luna..", gua kembali menyapukan pandangan. "Banyak ya ternyata...".
Nona Ukhti tersenyum. "Iya alhamdulillah loch, Mas.. Masih pada baru ini sih, Jingga banyak dapet kado, hihihi...".
"Iya.. Banyak... Dan sayangnya gak sempat dia nyobain semua ini...", ucap gua sendu.
Istri gua sadar, kemudian dia berjalan mendekat lalu mengusap punggung gua.
"Mas.. Ikhlas..", ucapnya dengan senyum yang menenangkan.
Gua menghirup udara dalam-dalam, sebelum akhirnya kembali bisa tersenyum dan menatap balik istri tercinta.
"Jingga dan Teteh insya Allah berada ditempat terbaik...", kemudian dia memegang tangan kanan gua, "Wanita yang meninggal karena melahirkan termasuk apa, Mas ?", tanyanya.
"Jihad...", jawab gua pelan.
Istri gua mengangguk membenarkan. "Dan anak yang meninggal sebelum baligh adalah perisai untuk orang tuanya dari siksa api neraka.. Insya Allah Jingga dan Teteh ditempatkan di tempat yang terbaik dan indah disana, Mas...", lanjutnya.
"Aamiin, Aamiin, Aamiin Yaa Rabb..", ucap gua mengamini sebelum akhirnya Nona Ukhti memeluk tubuh gua dengan lembut.
°°°
Saat itu hari libur kerja, di minggu pagi itu gua dan istri sedang membereskan pakaian-pakaian bayi, Nona Ukhti bernisiatif untuk memilah pakaian yang harus dicuci kembali, karena beberapa pakaian itu terlalu lama ditaruh di dalem lemari membuat aromanya tidak karuan.
Saat kami sudah selesai membereskan pakaian dan beberapa barang dipindah ke kamar atas, kamar dimana gua dan Nona Ukhti tidur pun ikut sedikit dibereskan.
"Mas, nanti kalo udah tujuh bulan kita pindah kebawah dulu ya.. Aku ngeri kalo harus turun naik ke kamar ini", ucapnya saat melipat baju gua dan memasukannya ke dalam lemari pakaian.
"Oh iya juga ya.. Sampe lupa aku, mmm.. Atau mau sekarang aja ? Pindah kebawah ?", tanya gua.
"Enggak nanti aja bulan depan gak apa-apa, gak semua juga kan dipindah kebawah, cuma sementara aja kok, Mas..", jawabnya.
Gua berjalan mendekatinya yang masih beres-beres lemari pakaian kami. Kemudian gua memeluknya dari arah belakang.
"Aku gak mau kamu sampe kenapa-kenapa, sayang...", bisik gua lembut.
"Iya sayang, aku juga gak mau.. Insya Allah untuk kehamilan yang sekarang semuanya bakal baik-baik aja, kan aku rutin cek perkembangan ke dokter..", jawabnya sambil menengok kepada gua.
Gua kecup pipinya sesaat. "Aamiin..".
"Ini pakaian kita udah banyak banget loch, Mas... Aku mau milihin yang udah gak kepake, terus disumbangin aja, Mas..", ucapnya saat mengambil setumpuk pakaian yang terlipat.
"Eh eh.. Sini sini aku aja yang pegang, duh banyak amat yang kamu ambil ini...", gua langsung merebut setumpuk pakaian tersebut dari tangannya.
"Iiih gak berat kali, segitu khawatirnya sama aku...", goda istri gua sambil terkekeh.
"Iyalah, Nyonya ma diem aja udah gak boleh cape-cape...", timpal gua dan menaruh setumpuk pakaian tersebut diatas ranjang.
Gua akhirnya memilih pakaian-pakaian yang memang sudah cukup lama tidak gua pakai, memisahkannya untuk disumbangkan sesuai saran istri tercinta. Sedangkan istri gua masih membereskan lemari kami.
"Mas.. Aku dari dulu lupa mau nanya soal ini..", ucapnya tiba-tiba sambil berjalan mendekat.
"Apa, Ve ?", gua masih asyik memilih pakaian diatas ranjang.
"Liat dulu dong, sayang...", ucapnya lagi karena gua belum menengok juga.
"Eh..", gua sedikit tertegun melihat sebuah amplop yang berada di genggaman tangannya.
Nona Ukhti tersenyum. "Aku nemu surat ini waktu pertama masukin barang-barang ku ke laci di dalem lemari itu, tapi aku gak berani buka dan baca sebelum izin ke kamu, jadi aku taro lagi dibawah kotak perhiasan Teteh.." ucapnya sambil menyerahkan surat tersebut.
Gua terima amplop tersebut, membukanya dan mengeluarkan surat yang berada di dalamnya.
"Sini sayang, duduk disebelah aku.. Kita baca aja..", ajak gua.
Nona Ukhti duduk tepat di samping gua, gua memegang surat yang sudah terbuka dan kami berdua pun membaca isi surat tersebut di dalam hati sampai selesai.
Surat itu adalah surat dimana saat dulu Kakak gua di amanatkan oleh Almh. Ibu untuk diberikan kepada gua. Surat yang selalu gua simpan dibawah kotak perhiasan milik Echa, di laci lemari pakaian kamar ini yang ternyata akhirnya ditemukan lagi oleh Nona Ukhti.
Selesai membaca, Nona Ukhti meraih surat itu dari tangan gua.
"Mas, ini surat belum dibakar, bukannya amanat Ibu kamu minta dibakar kalo kamu udah punya anak ?", tanyanya.
"Aku lupa, karena... Ehm.. Karena saat itu momennya bener-bener bikin aku kacau, Ve.. Kamu tau Jingga lahir dan Echa meninggal.. Aku gak inget sama sekali dengan surat ini, dan saat itu fokus ke Jingga, aku fikir Jingga lah satu-satunya kebahagiaan aku saat itu... Tapi akhirnya ? Ehm....", gua tercekat.
"Oh.. Iya-iya aku paham, maaf Mas gak maksud buat kamu nginget kejadian itu..", ucapnya cepat.
"Gak apa-apa, tapi syukur kamu nemuin nih surat lagi, jadi inget deh harus dibakar..", jawab gua.
"Mmm.. Aku ada saran, gimana kalo kita copy surat ini baru bakar yang aslinya ? Gak masalah kan, Mas ? Kan yang diminta dibakar yang asli".
Gua tersenyum mendengar ide brilian istri gua itu.
Dan akhirnya, hari itu setelah gua meng-copy surat tersebut, barulah kami berdua membakar surat asli dari Almarhumah Nyonya Katsumi di halaman belakang dekat makam Echa dan Jingga.
Saat kami sudah selesai membereskan pakaian dan beberapa barang dipindah ke kamar atas, kamar dimana gua dan Nona Ukhti tidur pun ikut sedikit dibereskan.
"Mas, nanti kalo udah tujuh bulan kita pindah kebawah dulu ya.. Aku ngeri kalo harus turun naik ke kamar ini", ucapnya saat melipat baju gua dan memasukannya ke dalam lemari pakaian.
"Oh iya juga ya.. Sampe lupa aku, mmm.. Atau mau sekarang aja ? Pindah kebawah ?", tanya gua.
"Enggak nanti aja bulan depan gak apa-apa, gak semua juga kan dipindah kebawah, cuma sementara aja kok, Mas..", jawabnya.
Gua berjalan mendekatinya yang masih beres-beres lemari pakaian kami. Kemudian gua memeluknya dari arah belakang.
"Aku gak mau kamu sampe kenapa-kenapa, sayang...", bisik gua lembut.
"Iya sayang, aku juga gak mau.. Insya Allah untuk kehamilan yang sekarang semuanya bakal baik-baik aja, kan aku rutin cek perkembangan ke dokter..", jawabnya sambil menengok kepada gua.
Gua kecup pipinya sesaat. "Aamiin..".
"Ini pakaian kita udah banyak banget loch, Mas... Aku mau milihin yang udah gak kepake, terus disumbangin aja, Mas..", ucapnya saat mengambil setumpuk pakaian yang terlipat.
"Eh eh.. Sini sini aku aja yang pegang, duh banyak amat yang kamu ambil ini...", gua langsung merebut setumpuk pakaian tersebut dari tangannya.
"Iiih gak berat kali, segitu khawatirnya sama aku...", goda istri gua sambil terkekeh.
"Iyalah, Nyonya ma diem aja udah gak boleh cape-cape...", timpal gua dan menaruh setumpuk pakaian tersebut diatas ranjang.
Gua akhirnya memilih pakaian-pakaian yang memang sudah cukup lama tidak gua pakai, memisahkannya untuk disumbangkan sesuai saran istri tercinta. Sedangkan istri gua masih membereskan lemari kami.
"Mas.. Aku dari dulu lupa mau nanya soal ini..", ucapnya tiba-tiba sambil berjalan mendekat.
"Apa, Ve ?", gua masih asyik memilih pakaian diatas ranjang.
"Liat dulu dong, sayang...", ucapnya lagi karena gua belum menengok juga.
"Eh..", gua sedikit tertegun melihat sebuah amplop yang berada di genggaman tangannya.
Nona Ukhti tersenyum. "Aku nemu surat ini waktu pertama masukin barang-barang ku ke laci di dalem lemari itu, tapi aku gak berani buka dan baca sebelum izin ke kamu, jadi aku taro lagi dibawah kotak perhiasan Teteh.." ucapnya sambil menyerahkan surat tersebut.
Gua terima amplop tersebut, membukanya dan mengeluarkan surat yang berada di dalamnya.
"Sini sayang, duduk disebelah aku.. Kita baca aja..", ajak gua.
Nona Ukhti duduk tepat di samping gua, gua memegang surat yang sudah terbuka dan kami berdua pun membaca isi surat tersebut di dalam hati sampai selesai.
Surat itu adalah surat dimana saat dulu Kakak gua di amanatkan oleh Almh. Ibu untuk diberikan kepada gua. Surat yang selalu gua simpan dibawah kotak perhiasan milik Echa, di laci lemari pakaian kamar ini yang ternyata akhirnya ditemukan lagi oleh Nona Ukhti.
Selesai membaca, Nona Ukhti meraih surat itu dari tangan gua.
"Mas, ini surat belum dibakar, bukannya amanat Ibu kamu minta dibakar kalo kamu udah punya anak ?", tanyanya.
"Aku lupa, karena... Ehm.. Karena saat itu momennya bener-bener bikin aku kacau, Ve.. Kamu tau Jingga lahir dan Echa meninggal.. Aku gak inget sama sekali dengan surat ini, dan saat itu fokus ke Jingga, aku fikir Jingga lah satu-satunya kebahagiaan aku saat itu... Tapi akhirnya ? Ehm....", gua tercekat.
"Oh.. Iya-iya aku paham, maaf Mas gak maksud buat kamu nginget kejadian itu..", ucapnya cepat.
"Gak apa-apa, tapi syukur kamu nemuin nih surat lagi, jadi inget deh harus dibakar..", jawab gua.
"Mmm.. Aku ada saran, gimana kalo kita copy surat ini baru bakar yang aslinya ? Gak masalah kan, Mas ? Kan yang diminta dibakar yang asli".
Gua tersenyum mendengar ide brilian istri gua itu.
Dan akhirnya, hari itu setelah gua meng-copy surat tersebut, barulah kami berdua membakar surat asli dari Almarhumah Nyonya Katsumi di halaman belakang dekat makam Echa dan Jingga.
°°°
Karena Istri gua sedang mengandung otomatis kegiatannya selama ini hanya berada di rumah, sesekali dia berkunjung ke seorang dokter spesialis kenalan Papahnya yang berada di kota kami.
Sebut saja nama dokter tersebut adalah dokter Maria. Beliau sudah di anggap seperti Ibu sendiri oleh istri gua, kenal cukup lama karena memang sahabat dekat Papahnya. Dan hubungan mereka akhirnya semakin dekat ketika istri gua memutuskan meminta Beliau untuk membantu masalah pekerjaan dan bisnis yang akan dijalankan oleh istri gua.
Sebenarnya memang sudah cukup lama Nona Ukhti ingin membuka praktek dan mengaplikasikan bidang studi yang ia pelajari selama di Singapore, tapi karena saat ini dia sedang mengandung, apalagi sebelumnya sempat keguguran, jadi cita-citanya itu sedikit tertunda sampai sekarang.
Setelah sedikit berdiskusi dengan gua, akhirnya pelan-pelan Nona Ukhti mulai merencanakan bagaimana dia akan memulai pekerjaan atau bisnis (sebut saja begitu) nya itu dengan dokter Maria. Kebetulan juga Bu Maria ini memiliki spesialis di bidang yang sama dengan istri gua, dan syukur alhamdulillah beliau mau membantu.
Saat itu gua sudah pulang kerja dan selesai mandi, gua tiduran di samping istri tercinta. Seperti biasanya, akan ada pillow talkdiantara kami sebelum beristirahat.
"Mas, tadi aku abis ketemu Bu Maria lagi, insya Allah katanya dia mau bantu...", ucapnya sambil merubah posisi tidurnya agar lebih dekat dengan gua.
"Alhamdulilah kalo gitu, tapi jadinya tuh mau bantu gimana sih ? Aku gak gitu paham..", tanya gua.
"Nah rencananya tuh nanti kalo aku udah dapet tempat dan izinnya udah keluar, dia mau praktek di tempat aku, ya tapi karena dia juga kerja di rumah sakit palingan tinggal atur jadwal prakteknya aja...", jawabnya.
"Ooh.. Nah berarti sekarang kamu harus cari lokasi dong buat prakteknya, terus nanti kalo dia lagi gak da jadwal ditempat kamu gimana ? Kamu udah bisa sendiri ?", tanya gua lagi.
"Makanya itu kalo soal lokasi kamu bantu aku ya, kira-kira dimana bagusnya. Kalo soal praktek sih tenang aja, jadi mulai sekarang aku dapet izin untuk ikut Bu Maria dulu di tempat dia.. Sekalian ngulang pengalaman di Singapore dulu, Mas.. Pokoknya tenang aja soal praktek, insya Allah aku bisa, yang penting izin dari dinkes keluar dulu", jelasnya.
"Ciamik deh, kamu... Hehehe.. Pinter. Ya aku sih gak masalah kalo kamu sekarang ada kegiatan, yang penting inget, jaga kondisi jangan terlalu cape. Terus soal lokasi nanti aku cariin ya, biar aku juga ngobrol sama Ibu, siapa tau Ibu juga punya saran buat lokasi praktek kamu itu", gua merangkul pundaknya dan mencium keningnya.
"Iya Mas tenang aja, kan gak tiap hari aku ikut Bu Maria, paling seminggu cuma tiga kali, ya biar tambah pengalaman lah kalo nanti aku udah bener-bener buka klinik sendiri. Mmm.. Makasih ya Mas udah diijinin dan bantuin aku", Nona Ukhti tersenyum.
"Anytime honey, gak perlu gitu, udah kewajiban aku bantu istri sendiri... Yaudah sekarang kita istirahat dulu, besok aku harus ke Bandung kan sama Ibu...".
"Oh iyaya, berangkat subuh kan ?"
Gua mengangguk.
"Yaudah, nanti aku bangun lebih pagi lagi buat siapin sarapan ya, Mas.. Yuk istirahat..".
Istri gua menarik selimut berwarna putih susu yang cukup tebal untuk menyelimuti tubuh kami berdua, Gua mematikan lampu tidur yang berada diatas meja kecil samping ranjang kami, kemudian gua melingkarkan tangan ke perutnya yang sudah terasa membesar.
"Jangan lupa baca do'a, Mas..".
"Siap komandan..".
Hening beberapa saat di dalam kamar yang sudah gelap, selasai membaca do'a tidur di dalam hati, gua masih belum bisa tertidur beberapa menit setelahnya.
Walaupun mata ini sudah terpejam tapi rasa kantuk belum juga terasa. Ya gimana ya, namanya juga udah agak lama dari terakhir 'bertempur', jadi wajar rasanya kalo tiba-tiba gua malah iseng.
Ada yang gerak di dalem selimut...
"Mas..".
"Hm ?".
"Kan udah baca do'a tidur.. Kok tangannya gak mau diem ?".
"Hmmm...".
"Mas...".
"Hmm.."
"Mas iih..".
"Hm..".
"Isssh.. Geli ah..".
"Hm...".
"Sshh.. Mas tidur iiih...".
"Hm.. Yakin ?", bisik gua setelah berhasil melucuti bagian atasnya...
Sebut saja nama dokter tersebut adalah dokter Maria. Beliau sudah di anggap seperti Ibu sendiri oleh istri gua, kenal cukup lama karena memang sahabat dekat Papahnya. Dan hubungan mereka akhirnya semakin dekat ketika istri gua memutuskan meminta Beliau untuk membantu masalah pekerjaan dan bisnis yang akan dijalankan oleh istri gua.
Sebenarnya memang sudah cukup lama Nona Ukhti ingin membuka praktek dan mengaplikasikan bidang studi yang ia pelajari selama di Singapore, tapi karena saat ini dia sedang mengandung, apalagi sebelumnya sempat keguguran, jadi cita-citanya itu sedikit tertunda sampai sekarang.
Setelah sedikit berdiskusi dengan gua, akhirnya pelan-pelan Nona Ukhti mulai merencanakan bagaimana dia akan memulai pekerjaan atau bisnis (sebut saja begitu) nya itu dengan dokter Maria. Kebetulan juga Bu Maria ini memiliki spesialis di bidang yang sama dengan istri gua, dan syukur alhamdulillah beliau mau membantu.
Saat itu gua sudah pulang kerja dan selesai mandi, gua tiduran di samping istri tercinta. Seperti biasanya, akan ada pillow talkdiantara kami sebelum beristirahat.
"Mas, tadi aku abis ketemu Bu Maria lagi, insya Allah katanya dia mau bantu...", ucapnya sambil merubah posisi tidurnya agar lebih dekat dengan gua.
"Alhamdulilah kalo gitu, tapi jadinya tuh mau bantu gimana sih ? Aku gak gitu paham..", tanya gua.
"Nah rencananya tuh nanti kalo aku udah dapet tempat dan izinnya udah keluar, dia mau praktek di tempat aku, ya tapi karena dia juga kerja di rumah sakit palingan tinggal atur jadwal prakteknya aja...", jawabnya.
"Ooh.. Nah berarti sekarang kamu harus cari lokasi dong buat prakteknya, terus nanti kalo dia lagi gak da jadwal ditempat kamu gimana ? Kamu udah bisa sendiri ?", tanya gua lagi.
"Makanya itu kalo soal lokasi kamu bantu aku ya, kira-kira dimana bagusnya. Kalo soal praktek sih tenang aja, jadi mulai sekarang aku dapet izin untuk ikut Bu Maria dulu di tempat dia.. Sekalian ngulang pengalaman di Singapore dulu, Mas.. Pokoknya tenang aja soal praktek, insya Allah aku bisa, yang penting izin dari dinkes keluar dulu", jelasnya.
"Ciamik deh, kamu... Hehehe.. Pinter. Ya aku sih gak masalah kalo kamu sekarang ada kegiatan, yang penting inget, jaga kondisi jangan terlalu cape. Terus soal lokasi nanti aku cariin ya, biar aku juga ngobrol sama Ibu, siapa tau Ibu juga punya saran buat lokasi praktek kamu itu", gua merangkul pundaknya dan mencium keningnya.
"Iya Mas tenang aja, kan gak tiap hari aku ikut Bu Maria, paling seminggu cuma tiga kali, ya biar tambah pengalaman lah kalo nanti aku udah bener-bener buka klinik sendiri. Mmm.. Makasih ya Mas udah diijinin dan bantuin aku", Nona Ukhti tersenyum.
"Anytime honey, gak perlu gitu, udah kewajiban aku bantu istri sendiri... Yaudah sekarang kita istirahat dulu, besok aku harus ke Bandung kan sama Ibu...".
"Oh iyaya, berangkat subuh kan ?"
Gua mengangguk.
"Yaudah, nanti aku bangun lebih pagi lagi buat siapin sarapan ya, Mas.. Yuk istirahat..".
Istri gua menarik selimut berwarna putih susu yang cukup tebal untuk menyelimuti tubuh kami berdua, Gua mematikan lampu tidur yang berada diatas meja kecil samping ranjang kami, kemudian gua melingkarkan tangan ke perutnya yang sudah terasa membesar.
"Jangan lupa baca do'a, Mas..".
"Siap komandan..".
Hening beberapa saat di dalam kamar yang sudah gelap, selasai membaca do'a tidur di dalam hati, gua masih belum bisa tertidur beberapa menit setelahnya.
Walaupun mata ini sudah terpejam tapi rasa kantuk belum juga terasa. Ya gimana ya, namanya juga udah agak lama dari terakhir 'bertempur', jadi wajar rasanya kalo tiba-tiba gua malah iseng.
Ada yang gerak di dalem selimut...
"Mas..".
"Hm ?".
"Kan udah baca do'a tidur.. Kok tangannya gak mau diem ?".
"Hmmm...".
"Mas...".
"Hmm.."
"Mas iih..".
"Hm..".
"Isssh.. Geli ah..".
"Hm...".
"Sshh.. Mas tidur iiih...".
"Hm.. Yakin ?", bisik gua setelah berhasil melucuti bagian atasnya...

Diubah oleh glitch.7 15-02-2018 23:15
oktavp dan 3 lainnya memberi reputasi
4

