Kaskus

Story

glitch.7Avatar border
TS
glitch.7
Sonne Mond und Stern
die SONNE der MOND und der STERN




Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku


Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku

Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku


Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku

Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.


Tak Lagi Sama - Noah


Spoiler for Cover Stories:


JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 95% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA


Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahdan lanjutan dari sebuah cerita Love in Elegy yang pernah Gua tulis di Forum ini.


Quote:


Versi PDF Dua Thread Sebelumnya :

Masa yang Paling Indah
Credit thanks to Agan njum26

Love in Elegy
Credit thanks to Agan redmoon97


Sonne Mond und Stern
*mulustrasi karakter dalam cerita ini


Quote:

*thanks to my brother in law yang bantu index dan update selama gua mudik
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 239 suara
Siapakah pendamping Eza sebenarnya ?
Sherlin Putri Levanya
55%
Franziska Luna Katrina
17%
Giovanna Almira
28%
Diubah oleh glitch.7 08-01-2022 09:16
snf0989Avatar border
pulaukapokAvatar border
chamelemonAvatar border
chamelemon dan 125 lainnya memberi reputasi
122
1.9M
8.8K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
non.artemisiaAvatar border
non.artemisia
#5238
Sebelum Cahaya

PART XXXVIII


Pagi yang cerah untuk memulai aktifitas. Tapi sayangnya tidak secerah suasana di kamar gua hari ini.

Mentari diluar sana yang terasa cukup hangat sepertinya tidak membuat hati wanita berparas manis disamping gua ini tersenyum seperti pagi-pagi sebelumnya.

"Sayang...", gua merangkul pundak kirinya dari sisi kanannya.

Dia masih memalingkan wajah sedari tadi.

Pagi ini gua bukan hendak merayu istri tercinta, tapi gua berusaha meminta maaf setulus hati. Gua sadar apa yang telah gua lakukan sebelumnya bersama si mantan seksi gua itu adalah kesalahan yang cukup besar.

"Aku bener-bener minta maaf sama kamu, Ve. Aku janji gak akan ngajak Sherlin pergi berdua lagi, atau kalo perlu aku gak akan pulang bareng dia lagi. Maafin aku, Ve..", lanjut gua mencoba mendapatkan maafnya.

"Aku mau nanya serius, dan tolong kamu jawab jujur, Za...", ucapnya melirik kepada gua kali ini.

"Iya, apa itu ?".

Dia tatap mata gua tajam. Beberapa detik gua menunggu pertanyaan darinya.

"Kamu masih suka sama dia ?".

"Ya, aku suka sama dia..", jawab gua jujur.

Lalu gua menggeser duduk agar berhadapan dan memegang lembut kedua tangannya.

"Aku... Aku suka sama Sherlin hanya sebatas suka, bukan suka ingin memiliki dan punya perasaan lebih. Aku tau itu tetep salah. Please maafin aku, Ve", lanjut gua menjelaskan.

"Perasaan suka kamu itu lama kelamaan akan menjadi rasa sayang dan cinta. Gimanapun dia pernah punya cerita sama kamu di masa SMA", ucapnya.

"Iya aku ngerti...", gua menundukkan kepala.

Beberapa lama kami terdiam, sampai akhirnya tangan lembut itu mengusap pelan sisi wajah gua.

"Za... Aku sayang sama kamu. Sekarang kita bukan sekedar pacaran. Aku mencintai kamu tulus, dan tolong, kalo memang kamu sayang dan cinta juga sama aku, kubur perasaan kamu untuk Sherlin. Sebelum kamu benar-benar menghancurkan rumah tangga ini, Za", ucapannya kali ini diiringi dengan butiran air yang sudah siap jatuh dari kedua sudut matanya.

Gua langsung memeluknya dan menyandarkan kepalanya itu ke bahu kiri ini. Gua usap lembut bahunya itu.

"Maaf... Maafin aku, sayang. Aku janji, aku gak akan merusak apa yang udah kita jalani selama ini, Ve... Aku cinta sama kamu. Maafin aku sayang", ucap gua dengan suara yang sedikit tertahan.

"Iya, hiks.. Iya, Za.. Hiks.. Hiks..".


°°°


Lusanya, gua mengantarkan istri tercinta ke bandara soekarno-hatta untuk pulang ke Singapore. Hari ini dia memang harus kembali ke negara tetangga karena urusan perkuliahannya.

"Sayang, ngomong sama Sherlin pelan-pelan aja ya.. Jangan sampe dia mikir macem-macem, gimanapun aku gak enak sama dia", ucap istri gua sambil menundukkan kepalanya.

Gua tersenyum lebar. "Kamu tuh dari kemaren khawatir banget. Segitu malunya apa keliatan cemburu ?", tanya gua.

"Huuh.. Gak enak aja tau sama dia..", jawabnya sambil memanyunkan bibirnya.

Gua tertawa pelan melihat ekspresi yang ia tunjukkan itu.

Memang sejak kemarin, dia sudah mengingatkan gua untuk ngomong ke Mba Yu dengan hati-hati, maksudnya agar mantan seksi gua itu tidak tersinggung.

Tidak lama kemudian suara dari announcer di bandara terdengar menginformasikan keberangkatan penerbangan ke Singapore. Lalu istri gua pun mencium punggung tangan kanan gua untuk berpamitan.

Setelah gua cium kening dan memeluknya, akhirnya kami pun harus kembali berpisah untuk sementara waktu.

...

Seminggu berlalu...

Hari ini gua sudah mengabarkan istri gua untuk bertemu Mba Yu sepulang kerja, yang artinya gua akan pulang bersama Mba Yu sekalian membahas soal hubungan kami. Setelah mendapat izin Nona Ukhti, sore itu gua menjemput Mba Yu seperti yang sudah-sudah, menunggu di depan kantornya sekitar pukul setengah enam sore.

Gua sengaja mengajaknya makan dulu sebelum mengantarnya pulang ke rumah. Singkatnya kami sudah duduk bersebelahan di sebuah restoran cepat saji di Ibu kota.

"Mba, aku mau ngomong sama kamu", ucap gua setelah meneguk soft drink.

"Ada apa, Mas ? Tumben kayaknya serius", tanyanya sedikit heran.

"Mmm.. Ini soal kedekatan kita, Mba..", lanjut gua dengan suara yang sedikit pelan.

"Hm ? Kenapa gitu ?".

"Aku nih... Mmm.. Jujur aja, Mba. Aku suka sama kamu", lanjut gua sambil melirik ke kanan, dimana ia duduk tepat disamping gua.

Mba Yu mengerenyitkan kening, lalu tersenyum.

"Makasih loch, Mas. Aku tersanjung nih..", jawabnya dengan senyuman yang semakin lebar, sebelum ia menggelengkan kepalanya pelan.

"Aku serius...".

Kali ini dia menghela nafasnya sambil memejamkan mata sejenak sebelum menatap gua dengan ekspresi wajahnya yang serius.

"Terus ? Mau kamu apa ?", tanyanya.

"Aku mau perasaan ini cuma sekedar suka. Aku gak mau perasaan ini jadi berkembang ke tahap yang lebih serius dan merusak keadaan kita semua", lanjut gua menjelaskan.

Mba Yu mengangguk pelan, lalu melipat kedua tangannya di depan dada.

"Sekarang apa yang mau kamu lakuin ?".

"Kayaknya kita gak bisa sering-sering berdua lagi kayak sekarang, Mba.. Aku gak mau buat keadaan semakin buruk. Aku sayang sama istriku, aku juga menghormati suami kamu, Mba..", jawab gua.

Mba Yu kembali memejamkan matanya. Beberapa saat kami terdiam, lalu saat matanya terbuka, dia tersenyum tipis.

"Okey, aku paham maksud kamu... Aku setuju... Karena aku juga ngerasain hal yang sama dengan kamu, Mas..", ucapnya.

Gua sedikit terkejut dan bingung sebenarnya. Entah saat itu apa yang dimaksud dengan perkataannya soal 'perasaan yang sama dengan kamu', gua gak paham, apakah dia juga memiliki perasaan yang sama dengan gua, yang artinya dia juga masih menyukai gua atau sadar kalau dia juga merasa kedekatan kami bisa memperburuk keadaan rumah tangga kami masing-masing, entahlah. Yang jelas gua lebih memilih untuk diam dan menahan diri untuk bertanya lebih jauh.

"Maafin aku ya, Mba..".

Dia tersenyum manis, lalu menggenggam tangan kanan gua yang berada diatas meja resto.

"Enggak apa-apa.. Aku juga minta maaf kalo udah terlalu banyak ngambil waktu kamu selama ini", jawabnya.

Semakin bingung aja gua dengan jawabannya itu. Waktu ? Waktu gimana ?. Ah entahlah, yang jelas setelah itu kami pun lebih memilih untuk pulang ke kota kami.

...

Malam harinya gua menelpon Nona Ukhti, kami mengobrol cukup lama saat itu, tentu saja gua juga menceritakan soal obrolan gua dengan Mba Yu sore tadi.

Quote:


...
...
...

Hari demi hari pun berlalu...

Sekarang semuanya kembali berjalan seperti seharusnya. Gua bekerja seperti biasa, pulang sendiri tanpa harus menjemput Mba Yu lagi. Soal komunikasi kami masih sering bbm-an, tapi hanya sekedar basa-basi.

Sampai akhirnya hari ini tiba...

Sore hari gua pulang lebih cepat, karena lima menit yang lalu gua baru saja mendapatkan kabar dari restoran pusat kalau Ibu Direktur baru saja jatuh pingsan dan sedang dibawa ke rumah sakit di kota kami.

Sejam lebih gua menempuh perjalan dari Ibu kota, akhirnya gua sampai juga di sebuah rumah sakit di jalan protokol.

Gua berlari kecil setelah mendapatkan letak ruang igd dari resepsionis rumah sakit.

"Kak...", panggil gua beberapa meter sebelum sampai di depan tante gua yang sedang duduk di depan ruang igd.

Kinanti langsung berdiri, wajahnya nampak khawatir.

"Za.. Mba Laras.. Hiks..", ucapnya dengan airmata yang mulai menetes.

"Gimana kejadiannya ?", tanya gua.

"Aku gak tau.. Aku juga ditelpon orang resto, terus langsung kesini", jawabnya sambil menyeka airmatanya itu.

"Tadi, Bu Laras ngeluh sakit perutnya, Mas. Terus pas lagi jalan keluar ruangan akunting dia mendadak jatuh di depan pintu... Aku sama yang lain langsung bawa dia kesini, karena beliau udah pingsan", ucap Intan, pegawai akunting di restoran pusat.

Gua menghela nafas, lalu tidak lama gua pun masuk ke ruang igd untuk bertemu dokter yang menangani Ibu.

Setelah mendengar keterangan dokter tersebut soal kondisi Ibu, gua dan Kinan benar-benar sedih. Kami berdua tidak tau kalau ternyata Ibu sudah mengalami sakit yang cukup lama pada perutnya itu. Walaupun sebelumnya gua telah mendengar langsung dari Ibu saat dulu di halaman belakang rumah, tapi gua tidak diberitahukan kondisi dirinya yang ternyata sudah cukup parah menurut gua.

Sampai saat itu, gua dan Kinan hanya bisa menunggu Ibu siuman dan selanjutnya dia harus menjalani beberapa tahap pengecekan medis.

Sekitar jam tujuh malam, Ibu yang sudah dipindahkan ke ruang rawat inap akhirnya sadar.

Gua yang duduk di sisi kanan ranjang langsung berdiri dan mendekatinya, begitupun dengan Kinan yang duduk di sisi kiri.

Matanya terbuka tapi tidak penuh, nampak wajahnya cukup pucat. Bibir yang biasanya terlihat cerah dab merona kini nampak berbeda.

"Mba..", ucap gua sambil memegang lembut tangannya.

Ibu berusaha tersenyum. Lalu dia menengok kepada adiknya di sisi kiri.

"Dek, kamu jangan cerita ke Mamah sama Papah ya..", ucap Ibu kepada adiknya itu.
Ya mau tidak mau, kami berdua mengikuti apa yang ia ucapkan itu. Alasannya cukup jelas dan masuk diakal. Karena gua yang baru tau kalau ternyata Mamahnya Kinanti punya riwayat penyakit jantung, jadi rasanya kami setuju untuk tidak mengabarkan kedua orangtuanya saat itu.

Selama Ibu dirawat, otomatis gua dan Kinanti lah yang bergantian menjaganya. Beruntung Kinan sedang libur cukup lama dari pekerjaannya di Bali. Dan rasanya keputusan dia untuk berhenti bekerja di pulau dewata saat itu adalah pilihan tepat. Rencananya dia akan memilih bekerja di ibu kota setelah Ibu kembali sehat.

Gua juga dilarang memberitahukan kondisi Ibu kepada istri tercinta. Ibu tidak mau membuat khawatir keluarga katanya. Ya, saat itu gua dan Kinan hanya bisa melakukan apa yang dikatakan Ibu. Mencoba merahasiakan keadaan ini dari orang terdekat kami.

Karena Ibu tidak ingin Nona Ukhti mengetahui kondisinya, mau tidak mau gua berbohong kepada istri tercinta. Setiap kami telponan, gua selalu mengobrol di dalam kamar rawat, di dekat Ibu dengan televisi kamar rawat yang dinyalakan, beruntung saat itu belum ada video call. Gua selalu mengatakan sedang menonton televisi di dalam kamar.

Seminggu berlalu, akhirnya Ibu diizinkan pulang dan tentu saja beliau harus sering-sering check-up, berobat jalan.

Setelah Ibu diperbolehkan pulang, Kinanti ikut menemani sang Kakak merawat dan menemaninya di rumah gua. Oh ya Nenek pada akhirnya mengetahui kondisi Ibu, karena saat Nenek berkunjung ke rumah gua siang hari, disana jelas Ibu dan Kinan ada di rumah, Ibu yang belum bisa beraktifitas seperti biasa pun hanya terbaring diatas kasur di dalam kamarnya, dan saat itulah Nenek mengetahui kondisi beliau.

Semenjak Nenek mengetahui kondisi Ibu, Alhamdulilah semenjak itu juga Nenek ikut merawat dan menemani menantu kesayangannya itu, tentu saja berdua dengan Kinanti saat gua harus pergi bekerja.

Hampir satu bulan setelah Ibu diperbolehkan pulang. Gua hari itu baru saja mendapatkan sebuah chatt bbm dari si mantan seksi, dia minta gua untuk mengantarnya ke sebuah mall, karena suaminya besok akan ulang tahun. Gua tidak langsung mengiyakan tapi mengabari istri terlebih dahulu, setelah mendapatkan izin dari Nona Ukhti, baru lah gua menyanggupi permintaan Mba Yu.

Sepulang kantor gua langsung menuju salah satu mall di ibu kota ini, Mba Yu yang memang sudah lebih dulu pulang kantor memilih menunggu gua duluan di mall tersebut.

Gua parkirkan mobil di basement mall, lalu bergegas menuju lantai lima, dimana perempuan seksi itu menunggu gua.

"Mas..", panggilnya sedikit berteriak saat gua memasuki sebuah restoran eropa.

Gua langsung berjalan kearahnya.

"Maaf Mba, lama ya ? Macet tadi soalnya..", ucap gua setelah menarik kursi dihadapannya.

"Enggak apa-apa, makasih loch udah mau nemenin aku hari ini.. Hehehe..", jawabnya sumringah.

"Jadi gimana ? Mau beliin apa rencananya untuk Feri ?", tanya gua.

"Aku bingung, antara jam tangan atau kemeja ya ? Menurut kamu gimana ?", tanyanya balik.

"Yaudah nanti kita liat-liat barangnya dulu aja di toko, ngomong-ngomong kamu udah pesen makanan ?".

"Belum, nunggu kamu dulu, hehehe..".

Setelah itu kami pun memesan makanan dan mengisi perut terlebih dahulu sebelum berburu hadiah untuk suami dari perempuan seksi dihadapan gua ini.

Beres menyantap makanan, kami berdua pun pergi dari restoran tersebut, tentu saja setelah membayar makanan di kasir.

Gua menemaninya memilih barang apa yang lebih cocok untuk Feri. Dari mulai toko pakaian dan jam tangan kami sambangi, akhirnya gua menyarankan untuk membeli sebuah dasi. Ya rasanya hadiah tersebut lebih cocok untuk Feri, toh menurut gua saat itu, kemeja atau jam tangan sudah cukup biasa. Mereka adalah pasangan suami istri, dan hadiah sebuah dasi adalah sesuatu yang cukup penting untuk dijadikan kado kepada suaminya.

"Coba yang ini, gimana ?", tanya gua seraya menyerahkan sebuah dasi kepada Mba Yu.

Dia melihat-lihat dasi tersebut, lalu mencocokannya kepada gua. Seolah-olah ingin mengukur.

Kalau dilihat orang lain, jelas apa yang sedang Mba Yu lakukan seperti seorang pasangan yang sedang mencocokan barang tersebut kepada kekasihnya.

"Okey, bagus pilihan kamu, Mas.. Ini aja deh", jawabnya setelah mengukur dasi tersebut dari tubuh gua.

"Cocok gak kira-kira...?", tanya gua sekali lagi.

"Cocok kok, Mas.. Kalo diliat kamu yang pake sih cocok, di Feri juga pasti cocok", jawabnya.

"Gak sekalian beliin buat aku nih ?", goda gua bercanda.

Mba Yu tersenyum. "Kamu mau juga ?", tanyanya.

Gua terkekeh pelan. "Kalo dibeliin sih mau, harganya amit-amit tapi Mba.. Hahahah..".

"Yaudah kalo mau, pilih aja, tapi jangan warna yang sama ya".

"Eh enggak kok, aku bercanda kok.. Hahaha...".

Mba Yu terkekeh pelan sambil menggelengkan kepalanya. Lalu mencubit perut gua pelan.

"Dasar, kirain beneran mau..", ucapnya sebelum kami beranjak ke kasir.

Selesai mendapatkan kado untuk Feri, kami langsung menuju parkiran di lantai basement. Lalu bergegas pulang ke kota kami karena waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam saat itu.

Gua mengantar Mba Yu sampai di depan rumahnya, lalu tanpa bertamu dulu, gua langsung pulang ke rumah.

Di rumah saat itu masih ada Kinanti, Nenek dan tentu saja Ibu yang mulai kembali sehat walaupun belum benar-benar sembuh total. Beberapa kali Ibu masih merasakan mual, sakit pada perutnya dan sedikit pusing. Hampir sebulan ini dia tidak masuk bekerja.

Keesokan harinya gua malas untuk berangkat kerja, bukan karena sakit atau kondisi yang kurang fit. Tapi karena hujan yang sedari subuh belum juga berhenti turun membuat gua lebih memilih untuk bersantai di rumah. Toh gua jarang bolos ini, lagian siapa juga yang berani marahin gua... Ehm, kecuali Ibu Direktur tentunya.

Menjelang siang hari, gua yang saat itu baru selesai mandi dan sedang menikmati kopi hitam di dalam gazebo halaman belakang melihat layar blackberry menyala, nampak di layar tersebut ada sebuah panggilan telpon.

Quote:


Baru saja gua mematikan telpon, Kinanti datang menghampiri.

"Za, aku sama Nenek mau ke rumah sakit dulu ya, anter Mba Laras check-up", ucap Kinanti.

"Oh gitu ? Yaudah iya..", jawab gua yang masih memikirkan Mba Yu.

"Yaudah aku berangkat dulu..", lanjutnya.

"Iya, Kak.. Hati-hati dijalan ya..", jawab gua lagi.

Setelah mobil milik Ibu pergi meninggalkan rumah yang dikendarai oleh tante gua itu, tidak lama masuklah mobil milik Mba Yu.

Sambil berlari kecil, seorang perempuan dengan pakaian santainya menghindari hujan menuju teras rumah ini.

Gua yang berdiri di dekat pintu utama rumah pun langsung menyambutnya.

"Hai, ada apa kamu sampe nangis sih ?", tanya gua tanpa basa-basi.

Wajahnya yang tertunduk mulai menatap gua. Terlihat sembab matanya yang indah itu. Jaket denimnya sedikit kebasahan karena hujan yang memang cukup deras siang ini.

Dia tidak menjawab pertanyaan gua. Kemudian gua ajak dia masuk kedalam dan duduk bersebelahan di sofa ruang tamu.

Gua buatkan teh hangat untuknya karena sudah satu minggu art pulang kampung.

"Diminum dulu, Mba.. Kalo udah rileks, baru kamu cerita ya", ucap gua setelah meletakkan cangkir berisi teh manis untuknya.

Beberapa saat kami berdua terdiam, gua menunggunya yang masih memejamkan mata dan menyandarkan kepalanya ke bahu sofa.

Sampai akhirnya dia membuka matanya dan memandangi sejenak langit-langit ruang tamu rumah ini.

"Aku liat Feri sama perempuan lain...", ucapnya setelah menghela nafas dengan kasar.

Gua tertegun mendengar ucapnya itu. Sebenarnya gua memang punya prasangka seperti yang ia ucapkan dari beberapa waktu lalu. Tapi mendengarnya langsung membuat gua cukup terkejut.

"Kamu yakin ?", tanya gua.

Dia menegakkan tubuhnya, lalu menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, bahunya mulai naik turun, terdengar suara isak tangisnya.

Gua ragu... Ragu, haruskah gua menenangkannya dengan memegang bahunya...?.

Tapi bagaimanapun dia adalah perempuan baik yang pernah gua kenal. Dia adalah perempuan yang selalu ada untuk gua saat dimana gua terpuruk diawal masa SMA dulu.

Saat itu, gua tidak berfikir macam-macam, gua menyayangi sebatas sebagai sahabat, lebih dari itu, dia sudah gua anggap keluarga sendiri. Apa yang gua lakukan hanyalah sebatas untuk menenangkannya dan berbagi kesedihan.

Ya, akhirnya gua merangkul bahunya, megusap bahunya pelan, tentu saja dengan batasan yang ada.

Tapi...

Dia membalasnya dengan menyandarkan tubuhnya kepada gua. Sebenarnya gua ingin menolak, karena sekarang di rumah ini hanya ada kami berdua.

Mba Yu masih menangis dipelukkan gua, beberapa saat gua membiarkannya menumpahkan rasa sedihnya itu lewat airmata yang ia tumpahkan.

Gua hanya bisa terdiam, gua tidak melakukan hal sebelumnya, gua hentikan usapan tangan gua dari bahunya.

Tidak lama kemudian, Mba Yu menengadahkan kepalanya menatap gua. Terlihat kesedihan yang jelas dari wajahnya itu.

Gua hanya ingin membuatnya tenang.

Gua menyingkirkan helaian rambut yang sedikit acak-acakan dan menutupi wajah cantiknya itu.

"Mas..", ucapnya parau.

Posisi kami sangat dekat. Jarak wajah kami pun hanya beberapa centimeter.

"Sabar ya, Mba.. Tenang dulu..", jawab gua mencoba menenangkannya.

Dan tepat saat gua membelai rambut bagian belakangnya. Sebuah teriakan mengejutkan kami berdua.

"Astagfirullah! EZA!!".

Kami berdua terkejut dan langsung menatap kearah pintu rumah, dimana suara teriakan itu berasal.

"Ve.. Vera ?!", ucap Mba Yu terkejut melihat sosok istri gua sudah berada di ambang pintu rumah.
Diubah oleh non.artemisia 20-01-2018 21:24
fatqurr
oktavp
oktavp dan fatqurr memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.