Kaskus

Story

glitch.7Avatar border
TS
glitch.7
Sonne Mond und Stern
die SONNE der MOND und der STERN




Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku


Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku

Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku


Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku

Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.


Tak Lagi Sama - Noah


Spoiler for Cover Stories:


JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 95% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA


Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahdan lanjutan dari sebuah cerita Love in Elegy yang pernah Gua tulis di Forum ini.


Quote:


Versi PDF Dua Thread Sebelumnya :

Masa yang Paling Indah
Credit thanks to Agan njum26

Love in Elegy
Credit thanks to Agan redmoon97


Sonne Mond und Stern
*mulustrasi karakter dalam cerita ini


Quote:

*thanks to my brother in law yang bantu index dan update selama gua mudik
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 239 suara
Siapakah pendamping Eza sebenarnya ?
Sherlin Putri Levanya
55%
Franziska Luna Katrina
17%
Giovanna Almira
28%
Diubah oleh glitch.7 08-01-2022 09:16
snf0989Avatar border
pulaukapokAvatar border
chamelemonAvatar border
chamelemon dan 125 lainnya memberi reputasi
122
1.9M
8.8K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
glitch.7Avatar border
TS
glitch.7
#4859
Sebelum Cahaya
PART XXX


Satu minggu berlalu, saat itu gua dan istri baru saja pulang dari bulan madu di Bali. Tapi seperti yang sudah kalian baca Gais, gak ada yang namanya malam pertama, kedua, ketiga dan seterusnya, karena roti jepangitu masih juga dipakai oleh istri gua.

"Seharusnya kita undur honey moon ini, Ve...", ucap gua ketika kami berada di dalam taxi menuju rumah dari bandara Soetta.

"Ya enggak apa-apa juga, sayang.. Itung-itung refreshing gitu, kan abis ini aku harus back to Singapore...", jawabnya seraya meletakkan tangan kirinya di atas paha kanan gua.

"Ya iya juga sih, kalo gitu nanti cari waktu lagi aja kapan kamu dapet libur kuliah", ucap gua dengan tersenyum.

"Untuk ?", tanyanya bingung.

"second honey moon".

"Oh, tapi daripada gitu, mending uangnya ditabung, buat keperluan lain sayang", jawab istri gua bijak... Atau irit ? Hehehe.


°°°


Hari berganti, minggu pun ikut berganti. Sekarang Nona Ukhti yang sudah sah menjadi istri gua kini kembali menjalani perkuliahannya di Singapore, yang artinya mau enggak mau kami berdua harus terpisah jarak lagi dan lagi.

Saat Nona Ukhti kembali ke Singapore, gua pun sudah kembali bekerja di ibu kota, menjalani aktifitas seperti biasa, sebelum satu bulan kedepan harus pergi ke Yogyakarta.

Selama Nona Ukhti kuliah, gua tetap tinggal di rumah peninggalan alm. Echa, masih bersama Ibu.

Skip...

Hari resepsi tiba, gua bersama istri dan juga keluarga berangkat ke Yogyakarta untuk melangsungkan acara resepsi, di kampung halaman Nona Ukhti.

Jogja Jogja tetap istimewa
Istimewa negerinya istimewa orangnya
Jogja Jogja tetap istimewa
Jogja istimewa untuk Indonesia


Jogja Istimewa - Jogja HipHop Foundation


Gua setuju dengan penggalan lirik lagu diatas, kota ini memang istimewa terlepas dari cerita yang gua alami secara pribadi bersama Istri. Jogja saat itu yang gua ingat, cuacanya ternyata cukup panas. Tapi salah satu yang gua sukai adalah keramah tamahan masyarakatnya, gua suka dengan bahasa jawa dari apa yang gua dengar, terasa ramah dan sopan walaupun gua tidak paham apa yang mereka ucapkan, dan terakhir yang menarik perhatian gua adalah bangunan-bangunan kuno di dekat jalan Malioboro.

Hari itu adalah sabtu pagi menjelang siang. Gua dan keluarga sudah berada di dalam sebuah gedung yang bentuknya lebih mirip seperti keraton, walaupun ini bukan keraton. Disinilah acara resepsi pernikahan gua dan Nona Ukhti diselenggarakan.

"Ve, gak usah ya...", ucap gua menatap sebuah baju adat yang gua genggam.

"Enggak apa-apa kok, sayang... Gak akan ada yang komplen, percaya sama aku", ucap Istri gua untuk kesekian kalinya agar gua yakin.

"Tapi.. Aku gak mau bikin keluarga kamu malu, Ve", gua masih tidak yakin.

"Za, Papah sama Mamah gak masalahin kok, mereka juga tau".

"Ehm, gini loch.. Ini acarakan yang datang kebanyakan keluarga kamu, saudara-saudara kamu, nanti apa kata mereka kalo tau suaminya Vera kok begini", gua ragu, bukannya takut atau apa, tapi gua lebih memilih untuk menjaga tradisi masyarakat setempat yang menjunjung tinggi norma-norma kebaikan dan sebagainya. Selain dari itu, gua juga ingin menjaga nama baik keluarga Nona Ukhti.

"Kamu gak usah malu, gak usah takut ih, cuek aja kenapa sih".

"Aku bukannya malu, bukannya takut, malah sebaliknya, Ve... Aku takut bikin malu keluarga kamu disini, gak enaklah aku kalo jadi bahan omongan, kalo aku sih bisa aja cuek".

"Terus sekarang tetep gak mau dipake tuh ?", tanyanya dengan raut wajah yang sedikit kecewa.

"Aduh, maafin aku ya sayang, kamu jangan marah gitu, maafin aku ya, inikan demi nama baik keluarga kamu...", gua menghampiri Istri gua yang duduk di hadapan meja rias, karena memang dia masih di rias.

"Yaudah terserah kamu", jawabnya singkat tanpa menoleh.

Gua pegang tangan kirinya. "Sayang, maaf ya, toh gak pake baju yang ini juga gak apa-apa kan.. Aku minta maaf, tapi ini demi kebaikan kita jugakan..", lanjut gua.

"Iya-iya, yaudah kamu ganti dulu kalo gitu, sebentar lagi acaranya dimulai, Za", jawabnya sedikit melunak.

Ya akhirnya gua tidak jadi mengenakan pakaian adat tersebut, pakaian adat setempat yang tanpa atasan. Alasan gua jelas, gimana nanti saat di pelaminan ketika para tamu undangan yang kebanyakan keluarga dan juga teman-teman orangtua Nona Ukhti melihat tatto yang berada di tubuh gua. Kalo cuma satu dua gambar sih mungkin gak masalah. Lah masalahnya full body bagian punggung dan bagian depan sampai ke dada kanan-kiri gua. Bukan malu tapi gak enak aja sama keluarga besarnya Nona Ukhti disini, walaupun kedua orangtuanya sudah tau.

Singkat cerita, gua akhirnya mengenakan pakaian adat jawa tapi yang tertutup, Nona Ukhti walaupun mengenakan pakaian adat juga tapi tetap mengenakan hijabnya. Kami berdua sudah berada di pelaminan karena hari ini memang hanya resepsi.

Apa yang gua pilih untuk tidak mengenakan pakaian adat tanpa atasan sepertinya tepat, tamu undangan di acara hari ini ternyata cukup banyak. Entah bagaimana sosok keluarga Nona Ukhti di sini, mungkin Kakek dan Neneknya cukup dikenal sampai banyaknya tamu yang datang.

Ada sedikit cerita sebelumnya, saat gua selesai akad di rumah Nona Ukhti dulu, gua sempat meminta maaf kepada kedua orangtuanya. Karena jujur saja, untuk acara resepsi hari ini gua tidak memiliki uang yang cukup sama sekali, gua terang-terangan mengatakan kalau gua saat itu hanya memiliki pegangan uang satu juta setengah, jadi gua benar-benar tidak bisa memberikan uang yang cukup untuk resepsi di Yogyakarta.

Alhamdulilahnya, keluarga Nona Ukhti mengerti dan enggak mempersulit gua, maksud gua mereka tidak marah ataupun kecewa. Walaupun setelah Ibu gua tau, dia menawarkan, apa ya.. semacam bantuan lah untuk biaya resepsi ini kepada gua. Tapi gua tolak, karena gua tidak ingin membebankan Ibu saat itu.

Kembali ke acara resepsi, tidak ada satupun tamu undangan yang gua kenal saat itu, kecuali keluarga gua sendiri dan beberapa teman gua yang ikut kesini. Salah satunya adalah Mba Yu dan Feri, ya mereka berdua datang bersama kedua orangtua Mba Yu juga, katanya sih sekalian pulang kampung, walaupun sama-sama berasal dari Yogyakarta, tapi daerah kediaman Kakek dan Nenek Mba Yu cukup jauh ternyata dari tempat tinggal Kakeknya istri gua.

"Sayang, mau ngemil atau makan ?", tawar istri gua saat waktu sudah cukup siang.

"Mmm.. Aku mau nyobain kuenya aja, belom terlalu laper sih", jawab gua.

Sesaat kemudian, istri gua meminta tolong kepada adik tiri perempuannya untuk mengambilkan kami makanan, adik perempuan yang gua maksud adalah adiknya Gimma.

Acara resepsi yang cukup ramai dan penuh tamu undangan, baru sebentar duduk sudah harus berdiri lagi untuk menyalami tamu yang baru datang. Lama-lama pegel juga gua. Tapi akhirnya semua selesai dan alhamdulillah lancar ketika waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, karena memang gedung yang disewa oleh pihak keluarga istri gua itu hanya sampai pukul tiga.

Selesai acara resepsi, gua duduk di salah satu bangku depan pelaminan, bersama Mba Yu berdua saat itu. Sedangkan keluarga Mba Yu, Feri dan keluarga gua ada di sisi lain gedung. Sambil merokok dan menunggu istri gua yang masih di ruang rias, kami berdua terlibat beberapa obrolan basa-basi.

"Mas, kamu enggak pake baju adat Jogja sih ? Bukannya harusnya pake ya kata Vera ?", tanya Mba Yu yang saat itu memakai kebaya berwarna hijau tosca, rambutnya juga disanggul.

Mba Yu hari itu terlihat sangat cantik dengan riasan make-up yang pas. Benar-benar ayu tenan, rek...

"Enggak, Mba... Aku enggak mau malu-maluin keluarga Vera, hehehe..", jawab gua setelah menghembuskan asap rokok ke bawah meja.

"Maksudnya gimana, Mas ?".

"Ya aku kan punya tatto, Mba.. Dan itu gak sedikit, kamu juga pernah liat toh waktu aku berenang di rumah...", jawab gua.

"Ooh iya ya.. Aku lupa. Terus apa kata Vera ?".

"Sempet bete sih dia, Papahnya juga nanyain kenapa gak pake baju adat yang itu, tapi ya akhirnya mereka ngerti alesan aku..".

"Hmm.. Oiya, Mas. Ngomong-ngomong berapa lama kamu disini sama Vera ?", tanya Mba Yu lagi seraya mengambil minumannya yang berada diatas meja.

"Lusa juga pulang kok, total cuma tiga hari disini berarti..", jawab gua.

"Loch ? Kok cepet amat ? Kenapa, Mas ?", tanyanya sedikit kaget sampai tidak jadi meminum minumannya.

"Vera masih ada kuliah, dia gak bisa lama-lama di Indonesia, karena harus bimbingan katanya, dia kan da mulai skripsi juga, Mba..".

"Oh, terus gak jalan-jalan dong disini ? Padahal banyak tempat bagus Mas di Jogja..".

"Besok juga bisa, Mba.. Tenang aja itu ma, hehehe.. Oh ya kamu sendiri berapa lama disini ?", tanya gua balik.

"Gak lama juga sih, tapi mungkin tiga hari lagi aku baru pulang sama Feri, dia minta jalan-jalan juga soalnya disini", jawab Mba Yu.

"Oh gitu, besok kayaknya aku sama Vera mau ke malioboro, keraton sama candi borobudur, kamu mau ikut gak sama Feri ?", ajak gua.

"Borobudur ? Itu lumayan jauh loch dari sini, Mas.. Mmm.. Kayaknya enggak bisa deh besok aku ada acara soalnya di rumah Mbah ku", jawabnya.

"Iya, tapi ada sodaranya Vera yang mau anter katanya pake mobil ke borobudur. Oh gak bisa, yaudah gak apa-apa, lain kali aja kalo gitu, Mba..".

Tidak lama, istri gua pun sudah selesai berganti pakaian dan keluar dari ruang rias. Selang setengah jam kemudian kami pun pulang ke rumah kakeknya Nona Ukhti. Mba Yu pun pamit untuk pulang ke rumah Mbahnya.

...

Malam harinya, gua ingat saat itu Jogja cukup dingin. Gua sedang menikmati kopi hitam di halaman rumah kakeknya Nona Ukhti, tentu saja ditemani istri tercinta.

Oh ya, keluarga gua, ibu, Nenek dan keluarga Om gua saat itu menginap di Hotel.

"Enak ya disini, Ve.. Adem", ucap gua sambil menikmati suasana kampung halaman istri gua itu.

"Iya, beda ya sama di kota kita, kamu suka disini ?", tanyanya sambil tersenyum.

"Suka, aku selalu suka suasana pedesaan kayak gini, Ve.. Dulu waktu lebaran di kampung halaman Echa, aku juga suka dengan suasananya yang asri..", jawab gua seraya mengingat kembali momen bersama almh. Istri pertama gua dulu.

"Oh di Solo itu ya ?".

Gua mengangukkan kepala sambil tersenyum tanpa menengok kepadanya.

Kemudian suasana menjadi sedikit hening diantara kami berdua, hanya ada bunyi jangkrik serta desiran angin malam yang bergesekan dengan dedaunan yang kami dengar malam itu. Orang-orang yang berada di dalam rumah pun sepertinya sudah pada terlelap dalam tidur, karena memang saat itu sudah cukup larut.

"Sayang..".

"Ya, Ve ?".

"Kamu kangen ya sama Teteh ?".

Gua mengehela nafas dengan pelan sebelum menengok ke kanan, kepada istri gua yang sedang duduk, lalu tersenyum.

"Selalu.. Selalu, Ve..".

"Kirim do'a setiap kamu ingat dan kangen sama dia, sayang...", ucap istri gua seraya menyunggingkan senyumannya.

Gua mengangguk untuk mengiyakan ucapannya itu.

"Pasti, Ve...".

"Masuk yu, udah jam sebelas. Besokkan mau ke Magelang katanya, kita istirahat dulu biar gak kesiangan, Za..", ajaknya.

Istri gua bangun dari duduknya, yang kemudian gua mengikutinya. Dia menggandeng tangan kanan gua ketika kami memasuki rumah. Sampai akhirnya kami masuk kedalam kamar.

Istri gua menutup pintu kamar dan menguncinya, gua baru saja melepas baju dan berniat untuk mengenakan baju tidur yang lebih nyaman, tapi...

"Eh ? Kenapa ?", tanya gua ketika hendak memakai baju yang baru saja gua ambil dari dalam tas.

Istri gua tidak menjawab, dia malah mempererat pelukkannya itu. Ya, Nona Ukhti memeluk gua dari belakang, kedua tangannya melingkar erat ke perut gua saat itu. Dan kepalanya bersandar di punggung gua.

"Ve ? Ada apa ?", gua tanya lagi karena sedikit khawatir.

Lalu tiba-tiba, tangan yang memeluk gua itu, menarik lepas baju yang masih gua pegang. Kemudian dengan lembut dia berbisik...

"Begadang aja deh, Za..", bisiknya penuh arti...

Sudah
Dapat
Dipastikan
Tidak
Ada
Roti
Jepang
Malam
Itu.

Jogja yang indah...


°°°


Keesokan hari sekitar pukul sepuluh pagi, gua dan istri yang diantar oleh pamannya sudah berada di Magelang untuk berwisata ke candi borobudur. Mungkin karena bukan liburan anak sekolah atau hari besar, tempat wisata ini nampak sepi pengunjung, walaupun ada beberapa wisatawan lokal seperti kami, tapi tidak banyak saat itu.

Sekitar satu jam kami berada disana menikmati keindahan candi borobudur sampai ke tempat paling atas, dan tidak lupa mengabadikan momen tersebut pada sebuah kamera digital dan juga kamera dari smartphone.

Ketika dirasa sengatan cahaya matahari mulai begitu panas, istri gua memilih kembali turun ke bawah, sekalian mengajak gua untuk mencari masjid terdekat, bersiap melaksanakan shalat dzuhur katanya.

Selesai beribadah di masjid sekitar tempat wisata, kami melanjutkan perjalanan mencari tempat makan. Yang gua ingat saat itu, kami berdua diajak makan sego godog oleh pamannya. Lalu sebelum kembali ke Jogja, kami juga membeli souvenir dan oleh-oleh, seperti tas dari bahan jerami dan gantungan kunci berbentuk candi borobudur, tidak lupa juga makanan, getuk dan tape ketan muntilan.

Sampai di Jogja, kami tidak langsung kembali ke rumah, melainkan langsung diantar ke keraton Ngayagyokarta hadiningrat. Gua lupa saat itu masuk lewat pintu gerbang yang mana, yang jelas saat mobil sudah parkir, kami masih harus lanjut berjalan dan sebelum memasuki keraton, banyak pedagang di sekitar keraton, dari mulai yang menjual souvenir, baju batik, dan barang khas Jogja lainnya.

Belum rejeki sepertinya, ya karena saat kami sudah memasuki kawasan keraton di dalam, oleh penjaga atau petugas keraton yang memakai pakaian adat jawa dan juga blangkon mengatakan dengan bahasa jawa kepada paman istri gua bahwa keraton saat itu sedang tutup. Gua sedikit bingung, tutup tidak bisa masuk ke area lebih dalam mungkin maksudnya.

Alhasil pengalaman gua ke keraton Jogja hanya sampai pelataran luarnya saja. Gua masih ingat saat itu kami hanya bisa masuk sampai aula yang katanya kalau sedang ada acara, biasanya di aula itulah ada pertunjukan gamelan.

Dari situ kami langsung diantar lagi ke jalan Malioboro. Nah disinilah gua dan Nona Ukhti bisa cukup terhibur, memanjakan mata dengan deretan toko-toko dipinggir jalan. Cukup banyak saat itu istri gua membeli souvenir, pakaian, dan oleh-oleh untuk keluarga gua dan juga saudaranya nanti. Setelah belanja souvenir dan pakaian, istri gua meminta pamannya untuk mengantar kami ke tempat pembuatan bakpia.

Tidak jauh ternyata dari deretan toko pakaian yang sebelumnya kami singgahi, tinggal menyebrang jalan dan memasuki sebuah gang yang cukup luas, kami sampai di sebuah, apa ya, dibilang rumah mungkin, tapi ternyata di dalamnya adalah pabrik rumahan yang dijadikan tempat untuk membuat bakpia.

Cukup ramai saat itu, hingga kami mengantri beberapa lama. Setelah membeli cukup banyak bakpia, dan melihat langsung pembuatan makanan tersebut, akhirnya kami pulang ke rumah.

Mobil bertipe mini-bus milik pamannya itu kini sudah terlihat penuh isi dalamnya, apalagi kalau bukan karena belanjaan istri gua sebelumnya. Mau protes gimana, dia beli pake uangnya sendiri dan lagian untuk keluarga juga.

Sesampainya di rumah kakeknya istri gua, ternyata disana sudah ada keluarga gua, ada Ibu, Nenek dan keluarga Om gua. Mereka sedang ngobrol di halaman depan bersama orangtua Nona Ukhti da saudaranya yang lain.

Tidak lama disitulah istri gua membagikan oleh-oleh yang sebelumnya kami beli. Sambil menceritakan jalan-jalan kami tadi.

"Za, kami hari ini pulang duluan ya, kamu besok sama Vera pulangnya kan ?", ucap Nenek tiba-tiba.

"Loch kok pulang sekarang ? Kenapa ?", tanya gua heran.

"Nenek mau ke bandung sama Om mu", jawab Nenek.

"Mba juga gak bisa ninggalin kerjaan lama-lama, Za..", timpal Ibu yang berada disamping Nenek.

Om gua pun sama, yang saat itu masih berdinas tidak bisa tinggal lebih lama di Jogja. Ya gua juga gak bisa menahan mereka, walaupun besok sebenarnya gua dan keluarga Nona Ukhti juga akan pulang dan kembali ke kota kami.

Selesai shalat maghrib, gua, istri, dan Papah mertua mengantar Nenek dan keluarga gua ke bandara Adisutjipto. Pesawat mereka akan berangkat pukul sembilan waktu setempat saat itu. Setelah berpamitan dan tidak lupa mengucapkan terimakasih kepada mereka, akhirnya keluarga gua pun pergi untuk segera melakukan check-in.

Malam terakhir di Jogja, gua mengajaknya jalan-jalan lagi, walaupun sedikit lelah, tapi rasanya sayang kalau sampai gua tidak merasakan pengalaman jalan malam di kota istimewa ini. Setelah meminjam motor matic milik saudaranya, kami berdua pun mengitari kota.

Dengan percaya diri dan cueknya gua yang tidak tau jalan disini mengendarai motor mengikuti jalan raya. Cukup lama kami jalan-jalan tanpa tujuan, sampai akhirnya kami sampai di sebuah perempatan jalan dengan sebuah tugu yang berada ditengah-tengah persimpangan jalan Sudirman tersebut.

"Sayang, foto disitu yu..", ucap gua yang memelankan laju motor.

"Foto disitu dimana, Za ?".

Gua hentikan motor di pinggir jalan, dan turun.

"Tuh di tugu itu", gua menunujuk tugu tersebut.

"Eh ? Gak bahaya apa ?", tanya istri gua sedikit khawatir.

"Enggaklah, itu tadi kamu liatkan ada yang foto-foto juga...".

Dengan sedikit ragu, akhirnya istri gua mau juga berfoto-foto ria di tugu Jogja tersebut, sama halnya seperti orang-orang yang kami lihat sebelumnya.

Puas mengabadikan momen di Tugu Jogja, akhirnya istri gua mengajak jalan lagi, dari situ gua berhenti lagi di pinggir jalan, entah di jalan apa, yang jelas kami menikmati makan malam di sebuah angkringan. Ini adalah pertama kalinya bagi gua mencicipi nasi kucing, yang ternyata porsinya tidak cukup untuk hanya di makan satu porsi. Gua suka dengan nasi kucing, yang isinya ada teri pedas, atau isi ati-ampela.

"Jogja malam hari indah juga ya, masih kerasa suasana jaman dulunya, Ve.. Beda rasanya dengan di kota kita", ucap gua setelah makan dan menikmati rokok.

"Iya, sejuk juga.. Gimana makanannya ? Kamu suka ?", tanyanya.

"Suka, aku suka nasi kucing yang isinya teri pedes tadi, sama gudeg buatan Nenek kamu tadi siang, aku juga suka...", jawab gua.

"Nanti deh aku belajar masak gudeg", istri gua tersenyum.

Malam itu cukup dingin walaupun tidak turun hujan.

Gua duduk diatas motor menyamping, sedangkan istri gua berdiri sambil bersandar di samping gua.

"Ve..".

Istri gua menengok.

"I love you".

Dia tersenyum. "I love you more, Za..".
0
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.