Kaskus

Story

glitch.7Avatar border
TS
glitch.7
Sonne Mond und Stern
die SONNE der MOND und der STERN




Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku


Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku

Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku


Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku

Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.


Tak Lagi Sama - Noah


Spoiler for Cover Stories:


JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 95% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA


Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahdan lanjutan dari sebuah cerita Love in Elegy yang pernah Gua tulis di Forum ini.


Quote:


Versi PDF Dua Thread Sebelumnya :

Masa yang Paling Indah
Credit thanks to Agan njum26

Love in Elegy
Credit thanks to Agan redmoon97


Sonne Mond und Stern
*mulustrasi karakter dalam cerita ini


Quote:

*thanks to my brother in law yang bantu index dan update selama gua mudik
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 239 suara
Siapakah pendamping Eza sebenarnya ?
Sherlin Putri Levanya
55%
Franziska Luna Katrina
17%
Giovanna Almira
28%
Diubah oleh glitch.7 08-01-2022 09:16
snf0989Avatar border
pulaukapokAvatar border
chamelemonAvatar border
chamelemon dan 125 lainnya memberi reputasi
122
1.9M
8.8K
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread52KAnggota
Tampilkan semua post
glitch.7Avatar border
TS
glitch.7
#4558
Sebelum Cahaya
PART XXVII


"Beneran ?".

"Iya, beneran. Aku enggak bohong, Ve", jawab gua sambil tersenyum dan memegang tangan kanannya.

Gua memang pernah menyukai Kakak tiri gua itu, tapi itu dulu saat masih di SMA dan sebelum mengetahui kenyataan apa yang sebenarnya terjadi diantara keluarga kami. Setelah itu perasaan gua pun berubah menjadi benci kepada Nindi, sampai saat sebuah pertengkaran diantara kami pun terjadi beberapa tahun kebelakang.

"Hm... Sempet pacaran gak dulu ?", tanyanya.

"Enggak pernah, Ve. Cuma sempet deket aja..", jawab gua lagi.

Nona Ukhti pun mengangguk, lalu tangan kirinya memegang tangan gua, sehingga tangan kami pun bertumpuk, dia usap tangan gua itu lalu tersenyum.

"Aku percaya sama kamu, Za. Aku cuma pingin tau aja perasaan kamu sekarang, dan yang terpenting perasaan kita. I love you", ucapnya dengan tetap tersenyum manis kepada gua.

"Makasih, Ve... I love you too", jawab gua, kemudian gua peluk dirinya.

....
....
....




Hari yang Cerah untuk Jiwa yang Sepi - Peterpan



Beberapa hari setelahnya...

Gua baru terbangun di kamar ketika jam dinding sudah menunjukan pukul delapan pagi. Gua masuki kamar mandi untuk segera bersih-bersih, setelah beres dan memakai kaos hitam polos, serta celana denim berwarna biru dongker, gua keluar kamar dan turun ke ruang makan.

Hari ini rencananya gua akan pergi ke rumah Nona Ukhti, tapi apa yang gua lihat di ruang makan membuat gua cukup terkejut di pagi itu.

"Pagi, Kak...", sapa seorang bidadari cantik.

Gua terpana, bukan lebay karena memang enggak percaya dirinya bisa ada di sini sekarang, dihadapan gua.

"Kok bengong sih ?", tanyanya membuyarkan lamunan gua.

"Eh, ii-iya.. Pagi juga, Ay...", jawab gua pada akhirnya, dan berjalan kembali ke arah ruang makan.

"Maaf ya, pagi-pagi udah kesini, mmm.. Ini Kak, aku mau ngasih ini buat kamu...", ucapnya sambil bangun dari kursi dan menunjuk kearah meja makan.

Gua kembali terkejut melihat apa yang ia bawa, kemudian tersenyum sambil terkekeh.

"Buatan Mamah loch, masih suka kan ?", tanyanya lagi sambil menarik tangan kanan gua kali ini.

Kami berdua akhirnya duduk bersebelahan.

"Suka kok, tapi ada apa ini, Ay ? Tumben kamu sampe bawa nasi kuning gini ?", tanya gua kali ini agak heran.

"Selamat ulangtahun, Kak.. Semoga panjang umur, sehat selalu dan semakin dewasa ya..", jawabnya.

Gua tersenyum lebar, ah ternyata dia tau dan inget kalo hari ini adalah ulangtahun gua. Tapi gimanapun gua tetap merasa enggak enak sama Helen. Ada sedikit rasa canggung sebenarnya diantara kami.

"Mmm... Makasih banyak ya, Ay.. Aamiin untuk do'a nya dan ini sarapan paginya bener-bener bikin aku inget waktu kita di SMP dulu, loch... Aku cobain ya..", ucap gua.

Kemudian Helen memberikan sendok makan, gua langsung menyendok nasi kuning yang menggugah selera di depan ini. Helen memperhatikan gua seolah-olah dia menunggu reaksi gua, melipat kedua tangan diatas meja dan memajukan wajahnya sedikit sambil menahan senyum.

Ah beneran enak banget ini nasi kuning campur teri kacang balado, suwiran ayam dan potongan telur dadar. Gua jadi inget dulu waktu sarapan di kantin bareng dia, waktu itulah gua pertama kali nyobain masakan Mamahnya.

"Gimana ?", tanyanya.

"Eemmmhh... Mantep asli, Ay... Enak banget ini... Rasanya jadi inget waktu kita makan di kantin pagi-pagi sebelum ulangan... Sama persis nih kayaknya..", jawab gua jujur.

Helen tersipu. Ya dia tersipu, gua fikir karena dia mendengar gua yang masih inget kejadian makan di kantin itu. Ternyata...

"Ehm, kalo yang kali ini, aku sendiri loch sebenernya yang masak...", ucapnya pelan sambil menunduk dengan senyuman yang masih tersungging di wajahnya.

Gua berhenti mengunyah, sekali lagi bukan so lebay, tapi emang gua gak percaya aja kalo dia yang masak makanan pagi ini.

"Eh serius kamu sendiri yang masak ini ?", tanya gua enggak percaya.

Helen mengangguk sambil tersenyum lebar.

"Sumpah enak beneran loch, Ay... Pasti minta ajarin Mamah ya ?", tanya gua lagi.

"Iya, Mamah yang ngasih tau bahan dan caranya, aku praktekin deh... Suka enggak ?".

Gua mengangguk cepat. "Iya suka, suka banget aku...", sambil menatap wajahnya lekat-lekat.

Terjadi awkward moments sesaat, gua rasa dia juga ngerti fikiran gua malah kemana. Setelah hening beberapa detik diantara kami, Helen masih tersenyum dan semakin lebar senyumannya. Gua jadi ikutan cengar-cengir...

"Eh, hehehe.. Sorry-sorry, maksud aku, suka sama masakan kamu ini, hahahah....", ucap gua sambil tergelak.

Helen pun terkekeh, lalu mengusap wajah gua dengan tangan kanannya.

"Hihihihi... Dasar. Iya aku juga tau kok...", ucapnya menimpali.

"Hahaha.. Kirain... Sorry ya, Ay.. Hehehe...", lanjut gua malu sendiri.

Bisa kacau kalo nih bidadari mikir gua suka pake banget sama dia lagi ma. Waktu udah mepet buat akad, gak ada waktu dan lempar jaring buat perempuan lain lagi. Cukuplah gua menyakiti hati bidadari di hadapan gua itu.

Setelah beres menghabiskan makanan, gua mengajaknya ke gazebo di belakang, duduk bersebrangan di dalam gazebo tersebut dengan pemandangan kolam serta 'rumah Echa' dari sisi kanan gua.

Gua membakar sebatang rokok, menikmati racun yang gua hisap dan bersemayam di dalam paru-paru.

Semilir angin pagi menjelang siang membuat halaman belakang rumah menjadi sejuk.

Lama rasanya mata ini memandangi bidadari yang masih terdiam di depan gua itu, hingga rokok gua pun habis, kami berdua masih terdiam. Hanya sesekali matanya menatap balik kepada gua.

"Ay...".

"Hm ?", bibir bawahnya digigit, matanya malas, dan kakinya bergoyang pelan.

"Aku... Aku minta maaf ya, aku bener-bener minta maaf sama kamu".

Dia hanya menyunggingkan satu sudut bibirnya. Lalu membuang pandangan ke arah kolam.

Gua bangun, dan menghampiri bidadari yang sedang murung itu. Duduk di sisi kanannya.

"Kamu, Mm... Maksud aku, aku tau kamu masih marah dan kecewa sama aku soal kemaren kan.. Aku bukan mau minta kamu ngertiin posisi aku dan nerima semua ini gitu aja, tapi...", ucapan gua dipotong.

"Kak.. Aku tau apa yang udah Kak Vera lewatin sama kamu gak mudah, perasaan yang tumbuh diantara kalian juga begitu kuat... Gak sebanding dengan apa yang udah kita jalanin selama ini.. Tapi...".

Helen berbalik memandangi gua, menatap gua dengan sendu.

"Tapi apa segampang itu buat kamu lupain aku ?", tanyanya.

"Aku bukannya lupain kamu, Ay.. Tapi aku cuma...".

Gua tidak jadi melanjutkan omongan. Beberapa saat hening kembali, sampai...

"Cuma apa, Kak ? Cuma karena Kak Luna bilang kamu lebih baik milih Kak Vera ? Iya ? Gitu kan ?", tembaknya.

Gua sedikit terkejut, darimana dia tau soal itu.

"Bukan gitu, Ay... Ini gak ada hubungannya sama Luna...".

"Bohong banget kamu! Kamu milih Kak Vera selain karena perasaan kamu itu, karena penyakit Kak Luna juga kan ?!".

Gua benar-benar terkejut kali ini.

"Aku udah tau semuanya, leukemia yang di derita Kak Luna juga sekarang udah sembuh...", lanjutnya.

Gua menelan ludah, masih tidak percaya kalau adiknya ini mengetahui penyakit kakaknya yang selama ini ditutupi dari keluarganya sendiri, lebih tepatnya dari Helen dan Sang Mamah.

"Kamu... Kamu tau darimana ?", tanya gua pelan.

"Papah cerita semuanya sama aku...", jawabnya sambil merapihkan helaian rambut yang tertiup angin.
"Kak.. Alasan Luna ngelepas kamu gak bisa buat aku paham, karena dia takut kamu menderita, dia relain kamu... Dia lebih milih Erick sebagai perisai gitu ? Nyakitin hati kamu ? Bukannya malah berjuang bersama kamu ? Akhirnya apa ? Nyakitin hati suaminya juga, dia sehat, dan lagi hamil anak pertama...".

Apa yang diucapkan Helen memang sama persis dengan apa yang gua fikirkan dulu soal kenyataan tentang Luna. Apa yang salah kalau Luna memang mau bersama gua saat itu dan berjuang bersama-sama demi kebahagiaan kami. Penyakitnya itu bukanlah suatu halangan dan alasan untuk hubungan kami.

Tapi sekarang semuanya sudah lain, sudah terjadi, dan enggak mungkin mengembalikan apa yang sudah berlalu, baik dari Luna ataupun gua sendiri.

"Ay, untuk sekarang aku bersyukur dan seneng denger kabar Luna udah sehat... Apalagi dia lagi hamil, alhamdulilah untuk itu semua, berarti semuanya berjalan dengan baik..", ucap gua.
"Tapi, Ay... Apapun alasan aku memilih Vera, terlepas dari permintaan Luna, kamu tau sendirikan gimana perasaan aku ke Vera ?", lanjut gua.

Helen menundukan kepalanya, lalu mengangguk pelan.

"Ya semuanya udah terjadi, gak perlu lagi mikirin hati orang lain, gak perlu lagi mikirin perasaan orang lain. Dan kamu juga bahagia dengan pilihan kamu... Makasih untuk semuanya, Kak...", jawaban yang terdengar sarkas itu begitu menohok hati gua.

Helen bangkit dari duduknya, dia menatap gua sambil berdiri dengan tersenyum tipis.

"Aku mau lanjutin kuliah ke Jerman, maaf kayaknya aku gak akan bisa dateng ke acara pernikahan kamu...", ucapnya parau.
"Ini kado untuk ulangtahun kamu sekaligus pernikahan kamu...", suaranya semakin terdengar bergetar.

"Ay.. Ay...", gua memanggilnya pelan sambil berdiri, menerima sebuah kado berbentuk persegi. Tapi gua buru-buru memegang kedua bahunya.

"Ay maafin aku, please aku bener-bener minta maaf untuk semua yang udah terjadi, aku... Aku sayang sama kamu, tapi mungkin memang begini ujung dari cerita kita berdua, Ay...", ucap gua sambil berusaha memeluknya.

Kedua tangan gua ditahan, dia menatap gua dengan airmata yang sudah berlinang.

"Aku tau kamu beda dengan Luna, tapi sayangnya, perempuan yang kamu perjuangain itu... Hiks... Hiks.. Vera.. Hiks..", ucapnya diiringi tangis.

"Maafin aku, Ay... Maaf..", ucap gua sambil kembali berusaha memeluknya.

"Enggak! aku enggak mau dipeluk! Lepas Kak! Hiks.. Hiks... Hiks...", dia meronta, berusaha menahan gua agar tidak memeluknya.

"Ay...".

"Udah, hiks.. Cukup.. Aku udah selesai di sini... Hiks.. Hiks...".

Dia membalikan tubuh dan segera berjalan keluar gazebo sambil menutupi mulutnya dan suara isak tangisnya masih terdengar.

Sial... Kejar... Jangan.... Kejar... Jangan... Kejar... Jangan... Jangan... Jangan kejar... Oh Fvck!

....

"Maaf... Maafin aku... Maafin aku, Ay...", ucap gua sungguh-sungguh.

Kemilau cahaya mentari pagi yang begitu cerah memantul melalui air kolam renang.
Pagi yang indah...
Tapi suasana yang nampak hangat itu sangat berbanding terbalik dengan apa yang di rasakan seorang bidadari dalam pelukan gua...

Di sisi kolam itu, gua memeluknya...
Dia sandarkan kepalanya ke dada ini...
Dia masih menangis dan terus menangis, seiring usapan tangan gua membelai rambutnya yang hitam kemerahan...

Cerahnya pagi itu, tidak secerah dan sehangat isi hatinya...


... 'Maaf, Ay' ....


Hari yang cerah untuk jiwa yang sepi
Begitu terang untuk cinta yang mati




°°°



Siang hari gua sudah berada di daerah Sentul, di rumah Nona Ukhti. Calon istri gua itu baru saja selesai berdandan.

"Za, kamu udah shalat belum ?", tanyanya yang baru saja keluar dari kamar ke ruang tamu.

"Belum, tadi masih di jalan pas adzan...".

"Yaudah, shalat dulu di kamar Gimma gih, biar tenang nanti perginya..".

Gua pun mengambil wudhu dan melaksanakan shalat di kamar adik tiri Nona Ukhti, saat itu memang adiknya belum pulang ke rumah karena masih kuliah di kota lain, rencananya mungkin lusa keluarga Nona Ukhti berkumpul untuk mempersiapkan akad pernikahan kami berdua.

Beres melaksanakan shalat, gua kembali ke ruang tamu. Disana selain ada Nona Ukhti, sudah ada Mamah kandung dan Papah tirinya, kedua orangtua itu dandanannya pun rapih.

"Mau kemana Mah, Pah ?", tanya gua setelah duduk bersebelahan dengan Nona Ukhti.

"Ini Papah mau ke rumah saudara dan teman kerja, ngabarin pernikahan kalian", jawab Papah tirinya.

"Kalian udah nyebarin undangan kan ?", tanya Mamahnya kali ini.

Gua mengangguk dan mengiyakan pertanyaan beliau sebagai jawaban.

"Sisa sedikit lagi sih yang belum disebar, Mah. Hari ini rencananya mau kasih ke temen SMA", timpal Nona Ukhti.

Memang beberapa hari yang lalu gua sudah menyebarkan undangan akad pernikahan ke beberapa teman dekat waktu SMA dan teman rumah gua. Saat itu gua dibantu Unang berkeliling menyebarkan undangan, karena Nona Ukhti berada di Singapore untuk mengurus cuti kuliah bersama Papah kandungnya disana, yang otomatis membuat gua tidak bisa menemaninya ke Singapore, mengurus urusan kami secara terpisah agar lebih cepat selesai. Hanya dua hari dia di sana, dan sekarang Nona Ukhti sudah kembali ke Indonesia.

Tidak berapa lama, kedua orangtua Nona Ukhti pergi berdua, tinggal gua dan Nona Ukhti yang masih berada di ruang tamu rumahnya ini.

"Sebentar ya, Za... Aku ambil sisa undangan dulu...".

Nona Ukhti kembali ke dalam kamar untuk mengambil sisa undangan yang belum disebarkan. Setelah itu barulah gua pergi bersamanya keliling kota untuk menyebarkan undangan lagi.

...

"Sisa berapa undangan, Ve ?", tanya gua yang sudah mengemudikan mobil di jalan tol.

"Mmm.. Gak nyampe sepuluh nih, enaknya kemana dulu ya ?", tanyanya balik.

"Kalo gitu kita ke rumah Airin dulu gimana ?, kan deket tuh dari sini..", jawab gua.

Nona Ukhti langsung meletakan kartu undangan itu diatas pahanya lalu menengok kepada gua sambil cemberut.

"Hahahaha.. Ya gimana atuh, kan itu di kartu undangan ada nama dia juga, masa gak dikasihin sih ?", gua tertawa melihat ekspresi wajahnya itu.

"Sebel aku", ucapnya pelan dengan bibir yang masih cemberut.

Gua hanya tertawa lagi dan menggelengkan kepala.

Cewek kalo udah cemburu amit-amit juga ternyata, enggak ilang itu rasa dongkolnya ama temen satu kelas dulu.

Singkatnya kami berdua sudah berada di depan rumah Airin, gua membuka pintu pagar rumah lalu berjalan masuk diikuti Nona Ukhti.

Gua lihat pintu rumahnya terbuka, lalu mengucapkan salam beberapa kali karena belum ada jawaban dari dalam rumah.

"Assalamualaikum... Permisi...", ucap gua sedikit berteriak untuk keempat kalinya.

"Bener enggak ini rumahnya, Za ?", tanya Nona Ukhti yang berdiri di samping gua.

"Bener kok, Ve... Masih inget aku waktu kesini, tuh mobilnya yang itu punya Papahnya...", jawab gua sambil melirik kearah mobil yang terparkir di sisi kanan kami.

"Hmmm.. Apal bangeeett... Terus terus waktu itu ngapain aja disini ? Enak ya ? Enak-enakan ya ? Iyakan ?", ucapnya sinis sambil melipat kedua tangan di depan dadanya.

Serba salah gua ma... Katanya kemaren suruh di undang aja, begitu udah kirim undangan kayak gini, gua juga yang kena semprot... emoticon-Nohope

"Ssst... Berisik ah, malu nanti kedengeran sama Papahnya...", jawab gua ngeles.

"Iisshh... Ngeles aja kayak bajay!", timpalnya lagi.

"Walaikumsalam... Siapa ya ?".

Tidak lama seorang pria paruh baya sudah berdiri di ambang pintu, di hadapan kami berdua.

"Ah siang, Om.. Saya Eza, dan ini Vera...", jawab gua memperkenalkan diri dan Nona Ukhti.

"Ada apa ya Mas dan Mba nya ?", tanyanya lagi ramah.

"Ini kami berdua teman satu sekolahnya Airin di SMA. Kami berdua mau ngasih undangan pernikahan saya dan Vera ini...", jawab gua lagi.

Kemudian Nona Ukhti memberikan satu kartu undangan yang tertulis atas nama teman satu kelas kami itu.

"Oh gitu... Wah selamat, kalian mau nikah toh.. Maaf sebentar saya lihat duluan gakpapa kan ?", ucap beliau sambil menerima kartu undangan dan membukanya.

Setelah membaca acara yang tertera di kartu undangan tersebut, Papahnya Airin langsung tersenyum.

"Okey, nanti saya kabarkan Airin, mudah-mudahan dia bisa datang ke acara akad ini, oh ya kok resepsinya jauh banget ya di Jogja ? Waktunya juga masih lama...", tanya beliau lagi.

"Iya Om, memang rencana kami dan keluarga sepakat kalau akadnya aja disini, karena Papah dan Mamah saya ingin resepsinya dipisah dan dilaksanakan di Jogja nanti", jawab Nona Ukhti kali ini.

"Oh gitu, yaudah saya do'a kan semoga semuanya berjalan dengan lancar dan selamat. Nanti pasti saya telpon Airin soal kabar bahagia ini.".

"Maaf, Om.. Memang Airin nya kemana ya ?", tanya Nona Ukhti.

"Airin ikut suaminya di kota xxx, sekarang tinggal disana. Tapi insya Allah dia bisa datang mungkin sama suaminya", jawab Papahnya Airin sambil tersenyum.

"Suami ? Oh Airin udah nikah... Wah saya malah gak tau Om", ucap gua cukup terkejut, begitupun dengan Nona Ukhti yang nampak kaget juga.

"Iya sudah menikah, baru enam bulan yang lalu lah. Dia juga lagi isi sekarang. Oh ya, maaf kalo saya dan Airin gak sempat ngundang kalian berdua, karena acaranya waktu itu di adakan di kota xxx. Teman SMA nya yang datang juga gak banyak, cuma sedikit seingat saya", ucap beliau sungkan.

Ya ternyata teman satu kelas kami itu sudah menikah dan sedang mengandung anak pertama mereka.

"Enggak apa-apa, Om.. Mudah-mudahan nanti Airin dan suaminya bisa datang ke acara nikah saya dan Eza. Kalau gitu kami pamit dulu, masih ada undangan yang harus kami sebar soalnya", ucap Nona Ukhti.

Setelah menyalami Papahnya, gua dan Nona Ukhti pun pamit dari rumah Airin.

...

Di perjalanan menuju teman kami yang lain...

"Airin ? Udah merit ?", ucap gua mengeluarkan pertanyaan di dalam otak ini sambil mengemudikan mobil.

"Iya ya ? Kok gak ada temen yang tau sih, Za ?", ucap Nona Ukhti yang ikutan heran.

Gua menyeringai. "Apaa.. Jangan-jangan...", gua mengira-ngira.

"Hussh.. Jangan mikir sembarangan.. Gak boleh suudzon ah", potong Nona Ukhti dengan cepat, seolah-olah tau apa yang ada di dalam fikiran gua itu.

"Hehehe... Sok tau kamu, emang aku mikir apaan coba ? Hehehe", tanya gua pura-pura.

"Ck.. Tau lah aku pikiran kamu kemana... Gak boleh gitu, lah kamu aja nikah sama Teh Echa pas masih kuliah kan ? Baru lulus sekolah setahun pula loch itu", jawab Nona Ukhti.

"Iya sih... Hehehe...", ucap gua yang hanya bisa terkekeh.

Sebenarnya inilah salah satu sifat dari Nona Ukhti yang gua suka. Dia begitu cemburu dengan teman satu kelas kami yang bernama Airin itu, tapi di sisi lain, dia juga bisa menempatkan diri bagaimana harus bersikap ketika gua yang hanya bercanda soal Airin yang sudah menikah dengan fikiran yang macam-macam. Mungkin jiwa korsa nya sebagai sesama kaum hawa ikutan terusik kali ya...

Singkat cerita gua dan Nona Ukhti beres menyebarkan sisa undangan, dari mulai ke rumah Olla, nitip ke Om Rambo lagi seperti dulu saat gua dan Echa menikah, sekaligus titip undangan untuk Bernat, lalu ke rumah Dewi, sepupu almarhumah istri gua, kemudian ke beberapa rumah teman dekat Nona Ukhti, semacam genk cewe gitulah waktu SMA.

Ah ya, ada yang menarik kali ini, ternyata sisa kartu undangan yang belum diberikan nama masih tersisa beberapa, alhasil tanpa mengurangi rasa hormat, gua dan Nona Ukhti memutuskan menulis nama tamu undangan dengan tulisan tangan Nona Ukhti untuk beberapa orang, seperti Opung si Satpam sekolah, Ibu warung nasi uduk, dimana gua dan sahabat-sahabat masa SMA gua sering nongkrong saat istirahat, dan tentunya tempat gua sering ehm, pokoknya ma tempat fotocopyan lah ya, jadi gua undang juga tuh Kang Dodo, Kang Ucup dan pemilik fotocopyan, Bang Rojak.

Ada sedikit cerita mengenai Opung. Selang setahun dari gua mengundang beliau ke acara akad nikah, beliau dipanggil pulangoleh sang Pencipta karena sakit. Untuk sekarang memang sudah berlalu sekain tahun lamanya, sekalipun gua tidak terlalu akrab, tapi gua sempat beberapa kali ditolong oleh Opung saat dulu gua sering berkelahi di luar sekolah dengan kakak-kakak kelas gua yang sering mengatakan gua bangsa penjajah. Dan kabar lainnya, alhamdulilah menurut kepala sekolah terdahulu yang juga adalah Papahnya Bernat, anak-anak Opung sudah menjadi orang yang berhasil, satu anaknya menjadi tentara, dan yang satunya bekerja di Unicef.

Untuk kesekian kalinya, gua melihat bukti bahwa perjuangan orangtua demi anaknya tidak sia-sia, gua memang tidak tau bagaimana Opung mendidik kedua anaknya itu, tapi kalau melihatnya sekarang, beliau berhasil menjadi orangtua yang baik dan patut di contoh, sekalipun pekerjaannya kadang di pandang sebelah mata oleh beberapa orang.

Terimakasih untuk sebuah cerita di masa putih-abu itu Opung...
Diubah oleh glitch.7 02-12-2017 18:48
fatqurr
oktavp
oktavp dan fatqurr memberi reputasi
2
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.