- Beranda
- Stories from the Heart
Sonne Mond und Stern
...
TS
glitch.7
Sonne Mond und Stern
die SONNE der MOND und der STERN
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Tak Lagi Sama - Noah
Spoiler for Cover Stories:
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 95% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahdan lanjutan dari sebuah cerita Love in Elegy yang pernah Gua tulis di Forum ini.
Quote:
Versi PDF Dua Thread Sebelumnya :

*mulustrasi karakter dalam cerita ini
Quote:
*thanks to my brother in law yang bantu index dan update selama gua mudik
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 239 suara
Siapakah pendamping Eza sebenarnya ?
Sherlin Putri Levanya
55%
Franziska Luna Katrina
17%
Giovanna Almira
28%
Diubah oleh glitch.7 08-01-2022 09:16
chamelemon dan 125 lainnya memberi reputasi
122
1.9M
8.8K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
glitch.7
#4445
Sebelum Cahaya
PART XXVI
Sekitar pukul setengah tiga sore gua sudah berkendara pulang dari utara Jakarta menuju rumah. Sepanjang perjalanan pulang itu gua masih memikirkan obrolan beberapa jam yang lalu dengan Nindi...
Quote:
°°°
Bunyi nada panggilan telpon masuk berdering dari blackberry yang gua taruh di dashboard, gua pelankan laju kendaraan dan mengangkat telpon tersebut.
Sore menjelang, gua sudah parkirkan mobil di depan rumah seorang mantan terseksi sepanjang masa.
Kami bertiga sedang menikmati mie ayam yang sebelumnya calon istri gua beli. Gua duduk di sofa ruang tamunya bersebelahan dengan Nona Ukhti, sedangkan si Semlohay duduk di hadapan kami.
"Mas, gimana kabar Nindi ?", tanya Mba Yu disela-sela makannya.
"Alhamdulilah dia baik, makin cantik juga...", jawab gua setelah menelan makanan.
"Hmmm... Gak usah macem-macem, Mas... Inget itu yang disebelah bentar lagi mau kamu nikahin..", timpal Mba Yu sambil melotot.
Gua lirik perempuan berkerudung merah di samping. Dia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Yaiya emang aku mau nikahin ni perempuan, tapi ngakuin kecantikan perempuan lain kan bukan berarti mau macem-macem, Mba..", jawab gua setelah melirik Mba Yu lagi dengan tersenyum lebar.
"Jawaban sama senyuman kamu itu men-cuu-rii-gaa-kan!", balasnya dengan mengeja kata terakhir.
Gua dan Nona Ukhti tertawa mendengarnya.
"Terus ketemu Dian juga gak, Za ?", tanya Nona Ukhti kali ini setelah selesai menghabiskan mie ayamnya.
"Oh aku cuma ketemu Kak Nindi doang tadi, soalnya Papahnya kerja, terus Dian belum pulang sekolah katanya.. Kak Nindi juga titip salam buat kamu, Ve..", jawab gua.
"Walaikumsalam.. Ooh iya ya, Dian masih sekolah..", ucap Nona Ukhti.
"Sebentar... Jadi kamu sama Nindi cuma berduaan doang tadi ?", tanya Mba Yu tiba-tiba.
Sesaat suasana hening.
Kriik..
Kriik..
Kriik..
"Mas..".
"Eh iya, cuma ketemu Kak Nindi doang aku..", jawab gua akhirnya.
Mba Yu memicingkan matanya kearah gua. Menatap sinis. Gua melirik kepada calon istri gua di samping yang ternyata sedang memangku dagunya dengan punggung tangan kirinya, mendongakan kepala sedikit dan mata yang ikutan menatap sinis kepada gua.
"Hm ? Apa ?", ucap Nona Ukhti.
Gua tersenyum lebar, lalu tertawa. "Hahahahaha... Ini kalian berdua kenapa coba ? Hahaha.. Emang kenapa kalo aku ketemu dia doang sih ? Hahaha..", tanya gua sambil tertawa.
Mba Yu entah misuh-misuh apaan, gua gak gitu dengerin ocehannya itu. Gua pegang tangan kanan Nona Ukhti lalu menatap matanya lekat-lekat.
"Kamu jangan sering-sering main sama dia", gua lirik sebentar Mba Yu sebelum kembali menatap Nona Ukhti. "Gak baik buat perkembangan perasaan kita loch...", lanjut gua sambil nyengir.
"Heh! Enak aja! Dikira aku doktrin apaan ke Vera, sembarangan kamu, Mas..", teriak Mba Yu pura-pura marah.
"Atau sekalian aja deh, biar Vera tau kelakuan kamu dulu, aku ceritain nih...", ancamnya.
Nona Ukhti tersenyum. "Aku udah tau Mba, Eza pernah ngapain aja dulu sama mantan-mantannya, sampe yang cuma jadi selingkuhannya juga aku tau...", ucap Nona Ukhti.
Mba Yu mengehela nafas dengan kasar.
Genggaman gua pada tangan Nona Ukhti gua per-erat. Memberikan sinyal bahwa ketakutan dalam diri gua ini sedang meningkat, dan berharap jangan sampai Nona Ukhti menceritakan masa lalu gua, apalagi soal Tissa. This is like a hanging by a thread.
Sebaliknya, gua malah tidak perduli kalau Mba Yu yang menceritakan kelakuan gua saat dulu bersamanya. Karena apa yang diketahui Mba Yu belum seberapa dengan apa yang sudah Nona Ukhti ketahui soal keburukan gua.
Nona Ukhti tersenyum jahil kepada gua sambil menaik turunkan kedua alisnya. Dia tau apa yang gua takutkan.
"Hmm.. Jadi kebalik nih ya ? Malah aku kayaknya yang belum tau soal kelakuan dia, Ve...", ucap Mba Yu tepat sasaran. Gile bener...
"Ya pokoknya gak baik deh, Mba... Daripada bikin hati panas mending gak usah di publish, hihihihi...", jawab Nona Ukhti.
"Udah-udah ah.. Gak baik loch menceritakan keburukan seseorang, dan intinya tadi aku ketemu Kak Nindi cuma ngobrol soal nikahan aku dan Vera, sama ngomongin keluarga aja, gak lebih dari itu kok, sumpah demi Allah...", ucap gua serius dan tersenyum kepada Mba Yu.
Mba Yu melunak, raut wajahnya tidak securiga dan setegang tadi.
"Tapi ini yang pingin aku tanyain dari dulu ke Vera...", ucap Mba Yu serius.
"Kenapa, Mba ?", tanya Nona Ukhti.
"Mmm.. Kamu kan bilang udah tau semua keburukan dan hal negatif dia, kenapa kamu masih mau nerima dia, Ve ?", tanya Mba Yu.
Nona Ukhti tersenyum, menatap gua dan Mba Yu bergantian.
"Semua orang pasti punya pengalaman buruk, punya sisi negatif, punya sisi gelap dalam dirinya, tapi kita bisa melihat bagaimana kesungguhan orang tersebut untuk berubah, berubah menjadi lebih baik, menjadi manusia yang lebih berguna, dan yang terpenting dari semua itu adalah rasa percaya, percaya dalam hati dan jiwa kita kepada orang yang kita sayangi...", jawab calon istri gua dengan nada yang lembut.
Mba Yu tersenyum tipis.
"Dan aku menerima semua kekurangan Eza seperti Eza menerima kekurangan aku, Mba.. Masa lalu dia biar menjadi memori di belakang sana, dan sekarang aku percaya kalau masa depan kami berdua memiliki cerita yang indah nantinya...", lanjut Nona Ukhti.
Atmosfer ruang tamu ini seketika berubah. Apa yang sudah diucapkan Nona Ukhti itu membuat gua dan Mba Yu terdiam dan meresapi ucapannya. Gua... Calon suaminya, benar-benar merasakan sesuatu yang lain saat itu, rasa cinta begitu dalam semakin terasa untuk seorang perempuan yang masih menggenggam erat tangan ini.
Tapi...
Apakah keyakinannya itu benar-benar akan terwujud ? Di masa yang akan datang nanti... Apakah benar cerita kami berdua akan indah ?.
Who knows...
Sebelum maghrib, gua dan Nona Ukhti pamit pulang dari rumah Mba Yu. Nona Ukhti masih mengenakan sepatunya di teras, gua baru saja bangun dari sofa ruang tamu. Mba Yu mendekati gua dan berbisik.
"Kamu beruntung dapetin dia, jaga dia baik-baik ya, Mas.. Berusaha bertanggungjawab dan sekecil mungkin jangan buat dia kecewa...", ucap Mba Yu.
"Ya, Aku akan berusaha jadi yang terbaik untuk Vera.. Makasih banyak untuk semuanya, Mba", jawab gua sambil tersenyum.
Gua melihat sekilas ada wajah murung dari perempuan yang sedang berada di hadapan gua itu. Gua menghela nafas sedikit kasar lalu memegang bahu kanannya.
"Jangan nunjukin perasaan kamu kayak gitu, Mba...", ucap gua.
"Apa ?", tanyanya pelan.
Kedua bola matanya sudah berkaca-kaca.
"Mba, please... Kita udah punya jalan masing-masing sekarang..".
"Iyaaa..", jawabnya dengan suara tercekat dan wajah yang sudah menunduk.
"Huufftt..", gua hela nafas dengan kasar kali ini, lalu memeluknya.
Tubuhnya bergetar dan suara isak tangisnya pun pecah.
Gua memeluk Mba Yu, dan menatap Nona Ukhti yang berada di ambang pintu.
Calon istri gua itu memberikan raut wajah bertanya 'kenapa ?', tanpa suara.
Gua hanya menggelengkan kepala pelan.
Beberapa saat, gua masih terdiam memeluk Mba Yu, Nona Ukhti hanya menunggu di teras sambil memperhatikan kami berdua.
"Udah ya nangisnya, maafin aku.. Maaf...", ucap gua sambil membelai lembut rambutnya yang sebahu.
Lambat laun suara tangisnya terdengar pelan, lalu tubuhnya bergerak melepas pelukan gua.
Gua tersenyum sambil mengusap airmatanya dengan kedua ibu jari, baru kemudian gua pegang kedua sisi wajahnya dan menatap matanya lekat-lekat.
"Aku sayang sama kamu, Vera juga sayang sama kamu. Kita semua keluarga kan ?", tanya gua lembut sambil tersenyum.
Mba Yu mengangguk cepat. Gua terkekeh pelan ketika dia memanyunkan bibirnya, cemberut dia.
"Udah ah.. Tuh Vera ngeliatin daritadi, gak enak loch...", ucap gua sambil mengacak rambut bagian atas kepalanya.
Mba Yu menengok kebelakang, kepada Nona Ukhti yang sedang tersenyum kearah kami.
"Maaf ya, Ve.. Mas mu nyebelin abisnya... Hiks..", ucapnya yang masih sedikit tersedu.
"Iya, Mba.. Enggak apa-apa.. Terusin aja, anggap aja aku enggak adaaa..", celetuk Nona Ukhti sambil tersenyum lebar dan menaik turunkan kedua alisnya.
"Aaaaah.. Kamu marah sih sama aku, Ve... Iih maaf atuuh..", Mba Yu berteriak manja seperti anak kecil.
"Hahaha enggaklah, Mba.. Aku bercanda kok.. Tenang aja, hihihi..", jawab Nona Ukhti sambil tertawa.
Mba Yu kembali menengok kepada gua, dia tersenyum lebar sambil mengelus dada gua dengan kedua telapak tangannya yang lembut.
Dia menarik nafas dalam-dalam.
"Aku ikhlas.. Makasih ya, Mas.. Untuk semua kenangan selama ini, semoga kita semua selalu menjaga silaturahmi ini dengan baik..", ucapnya tulus.
Gua tersenyum dan mengangguk. "Sama-sama, Mba.. Makasih juga ya...", jawab gua, lalu sesaat melirik kearah Nona Ukhti. "Sayang.. Aku boleh peluk Mba Yu lagikah ?", tanya gua meminta izin.
"Boleeeh... Boleh banget sayang, silahkan peluk aja... Enggak apa-apa kok.. Monggo.. Aku legowo loch.. Legowo bangeeeettttt malah..", jawabnya teramat sarkas.
Gua terkekeh pelan, begitupun dengan Mba Yu.
"Nah berarti itu artinya gak boleh, Mba... Sorry ya gak bisa meluk kamu, lain kali aja deh ya.. Hehehehe... Itu juga kalo ada kesempatan sih, hahahaha..", ucap gua kepada Mba Yu.
Sedetik kemudian sebuah sepatu high-heels siap dilayangkan kearah gua dari ujung pintu rumah di depan sana. Gua buru-buru pamit kepada Mba Yu dan berlari menuju si pelempar sepatu yang untungnya masih kesulitan membuka kaitan high-heels nya itu...
Quote:
Sore menjelang, gua sudah parkirkan mobil di depan rumah seorang mantan terseksi sepanjang masa.
Kami bertiga sedang menikmati mie ayam yang sebelumnya calon istri gua beli. Gua duduk di sofa ruang tamunya bersebelahan dengan Nona Ukhti, sedangkan si Semlohay duduk di hadapan kami.
"Mas, gimana kabar Nindi ?", tanya Mba Yu disela-sela makannya.
"Alhamdulilah dia baik, makin cantik juga...", jawab gua setelah menelan makanan.
"Hmmm... Gak usah macem-macem, Mas... Inget itu yang disebelah bentar lagi mau kamu nikahin..", timpal Mba Yu sambil melotot.
Gua lirik perempuan berkerudung merah di samping. Dia tersenyum sambil menggelengkan kepalanya.
"Yaiya emang aku mau nikahin ni perempuan, tapi ngakuin kecantikan perempuan lain kan bukan berarti mau macem-macem, Mba..", jawab gua setelah melirik Mba Yu lagi dengan tersenyum lebar.
"Jawaban sama senyuman kamu itu men-cuu-rii-gaa-kan!", balasnya dengan mengeja kata terakhir.
Gua dan Nona Ukhti tertawa mendengarnya.
"Terus ketemu Dian juga gak, Za ?", tanya Nona Ukhti kali ini setelah selesai menghabiskan mie ayamnya.
"Oh aku cuma ketemu Kak Nindi doang tadi, soalnya Papahnya kerja, terus Dian belum pulang sekolah katanya.. Kak Nindi juga titip salam buat kamu, Ve..", jawab gua.
"Walaikumsalam.. Ooh iya ya, Dian masih sekolah..", ucap Nona Ukhti.
"Sebentar... Jadi kamu sama Nindi cuma berduaan doang tadi ?", tanya Mba Yu tiba-tiba.
Sesaat suasana hening.
Kriik..
Kriik..
Kriik..
"Mas..".
"Eh iya, cuma ketemu Kak Nindi doang aku..", jawab gua akhirnya.
Mba Yu memicingkan matanya kearah gua. Menatap sinis. Gua melirik kepada calon istri gua di samping yang ternyata sedang memangku dagunya dengan punggung tangan kirinya, mendongakan kepala sedikit dan mata yang ikutan menatap sinis kepada gua.
"Hm ? Apa ?", ucap Nona Ukhti.
Gua tersenyum lebar, lalu tertawa. "Hahahahaha... Ini kalian berdua kenapa coba ? Hahaha.. Emang kenapa kalo aku ketemu dia doang sih ? Hahaha..", tanya gua sambil tertawa.
Mba Yu entah misuh-misuh apaan, gua gak gitu dengerin ocehannya itu. Gua pegang tangan kanan Nona Ukhti lalu menatap matanya lekat-lekat.
"Kamu jangan sering-sering main sama dia", gua lirik sebentar Mba Yu sebelum kembali menatap Nona Ukhti. "Gak baik buat perkembangan perasaan kita loch...", lanjut gua sambil nyengir.
"Heh! Enak aja! Dikira aku doktrin apaan ke Vera, sembarangan kamu, Mas..", teriak Mba Yu pura-pura marah.
"Atau sekalian aja deh, biar Vera tau kelakuan kamu dulu, aku ceritain nih...", ancamnya.
Nona Ukhti tersenyum. "Aku udah tau Mba, Eza pernah ngapain aja dulu sama mantan-mantannya, sampe yang cuma jadi selingkuhannya juga aku tau...", ucap Nona Ukhti.
Mba Yu mengehela nafas dengan kasar.
Genggaman gua pada tangan Nona Ukhti gua per-erat. Memberikan sinyal bahwa ketakutan dalam diri gua ini sedang meningkat, dan berharap jangan sampai Nona Ukhti menceritakan masa lalu gua, apalagi soal Tissa. This is like a hanging by a thread.
Sebaliknya, gua malah tidak perduli kalau Mba Yu yang menceritakan kelakuan gua saat dulu bersamanya. Karena apa yang diketahui Mba Yu belum seberapa dengan apa yang sudah Nona Ukhti ketahui soal keburukan gua.
Nona Ukhti tersenyum jahil kepada gua sambil menaik turunkan kedua alisnya. Dia tau apa yang gua takutkan.
"Hmm.. Jadi kebalik nih ya ? Malah aku kayaknya yang belum tau soal kelakuan dia, Ve...", ucap Mba Yu tepat sasaran. Gile bener...
"Ya pokoknya gak baik deh, Mba... Daripada bikin hati panas mending gak usah di publish, hihihihi...", jawab Nona Ukhti.
"Udah-udah ah.. Gak baik loch menceritakan keburukan seseorang, dan intinya tadi aku ketemu Kak Nindi cuma ngobrol soal nikahan aku dan Vera, sama ngomongin keluarga aja, gak lebih dari itu kok, sumpah demi Allah...", ucap gua serius dan tersenyum kepada Mba Yu.
Mba Yu melunak, raut wajahnya tidak securiga dan setegang tadi.
"Tapi ini yang pingin aku tanyain dari dulu ke Vera...", ucap Mba Yu serius.
"Kenapa, Mba ?", tanya Nona Ukhti.
"Mmm.. Kamu kan bilang udah tau semua keburukan dan hal negatif dia, kenapa kamu masih mau nerima dia, Ve ?", tanya Mba Yu.
Nona Ukhti tersenyum, menatap gua dan Mba Yu bergantian.
"Semua orang pasti punya pengalaman buruk, punya sisi negatif, punya sisi gelap dalam dirinya, tapi kita bisa melihat bagaimana kesungguhan orang tersebut untuk berubah, berubah menjadi lebih baik, menjadi manusia yang lebih berguna, dan yang terpenting dari semua itu adalah rasa percaya, percaya dalam hati dan jiwa kita kepada orang yang kita sayangi...", jawab calon istri gua dengan nada yang lembut.
Mba Yu tersenyum tipis.
"Dan aku menerima semua kekurangan Eza seperti Eza menerima kekurangan aku, Mba.. Masa lalu dia biar menjadi memori di belakang sana, dan sekarang aku percaya kalau masa depan kami berdua memiliki cerita yang indah nantinya...", lanjut Nona Ukhti.
Atmosfer ruang tamu ini seketika berubah. Apa yang sudah diucapkan Nona Ukhti itu membuat gua dan Mba Yu terdiam dan meresapi ucapannya. Gua... Calon suaminya, benar-benar merasakan sesuatu yang lain saat itu, rasa cinta begitu dalam semakin terasa untuk seorang perempuan yang masih menggenggam erat tangan ini.
Tapi...
Apakah keyakinannya itu benar-benar akan terwujud ? Di masa yang akan datang nanti... Apakah benar cerita kami berdua akan indah ?.
Who knows...
Sebelum maghrib, gua dan Nona Ukhti pamit pulang dari rumah Mba Yu. Nona Ukhti masih mengenakan sepatunya di teras, gua baru saja bangun dari sofa ruang tamu. Mba Yu mendekati gua dan berbisik.
"Kamu beruntung dapetin dia, jaga dia baik-baik ya, Mas.. Berusaha bertanggungjawab dan sekecil mungkin jangan buat dia kecewa...", ucap Mba Yu.
"Ya, Aku akan berusaha jadi yang terbaik untuk Vera.. Makasih banyak untuk semuanya, Mba", jawab gua sambil tersenyum.
Gua melihat sekilas ada wajah murung dari perempuan yang sedang berada di hadapan gua itu. Gua menghela nafas sedikit kasar lalu memegang bahu kanannya.
"Jangan nunjukin perasaan kamu kayak gitu, Mba...", ucap gua.
"Apa ?", tanyanya pelan.
Kedua bola matanya sudah berkaca-kaca.
"Mba, please... Kita udah punya jalan masing-masing sekarang..".
"Iyaaa..", jawabnya dengan suara tercekat dan wajah yang sudah menunduk.
"Huufftt..", gua hela nafas dengan kasar kali ini, lalu memeluknya.
Tubuhnya bergetar dan suara isak tangisnya pun pecah.
Gua memeluk Mba Yu, dan menatap Nona Ukhti yang berada di ambang pintu.
Calon istri gua itu memberikan raut wajah bertanya 'kenapa ?', tanpa suara.
Gua hanya menggelengkan kepala pelan.
Beberapa saat, gua masih terdiam memeluk Mba Yu, Nona Ukhti hanya menunggu di teras sambil memperhatikan kami berdua.
"Udah ya nangisnya, maafin aku.. Maaf...", ucap gua sambil membelai lembut rambutnya yang sebahu.
Lambat laun suara tangisnya terdengar pelan, lalu tubuhnya bergerak melepas pelukan gua.
Gua tersenyum sambil mengusap airmatanya dengan kedua ibu jari, baru kemudian gua pegang kedua sisi wajahnya dan menatap matanya lekat-lekat.
"Aku sayang sama kamu, Vera juga sayang sama kamu. Kita semua keluarga kan ?", tanya gua lembut sambil tersenyum.
Mba Yu mengangguk cepat. Gua terkekeh pelan ketika dia memanyunkan bibirnya, cemberut dia.
"Udah ah.. Tuh Vera ngeliatin daritadi, gak enak loch...", ucap gua sambil mengacak rambut bagian atas kepalanya.
Mba Yu menengok kebelakang, kepada Nona Ukhti yang sedang tersenyum kearah kami.
"Maaf ya, Ve.. Mas mu nyebelin abisnya... Hiks..", ucapnya yang masih sedikit tersedu.
"Iya, Mba.. Enggak apa-apa.. Terusin aja, anggap aja aku enggak adaaa..", celetuk Nona Ukhti sambil tersenyum lebar dan menaik turunkan kedua alisnya.
"Aaaaah.. Kamu marah sih sama aku, Ve... Iih maaf atuuh..", Mba Yu berteriak manja seperti anak kecil.
"Hahaha enggaklah, Mba.. Aku bercanda kok.. Tenang aja, hihihi..", jawab Nona Ukhti sambil tertawa.
Mba Yu kembali menengok kepada gua, dia tersenyum lebar sambil mengelus dada gua dengan kedua telapak tangannya yang lembut.
Dia menarik nafas dalam-dalam.
"Aku ikhlas.. Makasih ya, Mas.. Untuk semua kenangan selama ini, semoga kita semua selalu menjaga silaturahmi ini dengan baik..", ucapnya tulus.
Gua tersenyum dan mengangguk. "Sama-sama, Mba.. Makasih juga ya...", jawab gua, lalu sesaat melirik kearah Nona Ukhti. "Sayang.. Aku boleh peluk Mba Yu lagikah ?", tanya gua meminta izin.
"Boleeeh... Boleh banget sayang, silahkan peluk aja... Enggak apa-apa kok.. Monggo.. Aku legowo loch.. Legowo bangeeeettttt malah..", jawabnya teramat sarkas.
Gua terkekeh pelan, begitupun dengan Mba Yu.
"Nah berarti itu artinya gak boleh, Mba... Sorry ya gak bisa meluk kamu, lain kali aja deh ya.. Hehehehe... Itu juga kalo ada kesempatan sih, hahahaha..", ucap gua kepada Mba Yu.
Sedetik kemudian sebuah sepatu high-heels siap dilayangkan kearah gua dari ujung pintu rumah di depan sana. Gua buru-buru pamit kepada Mba Yu dan berlari menuju si pelempar sepatu yang untungnya masih kesulitan membuka kaitan high-heels nya itu...
°°°
Di dalam mobil menuju perjalanan pulang...
Sebuah cahaya senja sore menembus kedalam mobil, menampakkan kilau oranye pada tubuh kami berdua yang duduk di bangku depan.
Gua masih mengemudikan mobil, seorang perempuan disamping gua duduk manis menatap jalan raya di depan.
Gua arahkan kemudi ke kiri, memutar balik ketika lampu merah menyala.
"Loch ? Kok ? Mau kemana, Za...?", tanyanya.
"Ada yang perlu aku ceritain ke kamu soal Nindi... Kita ke rumah Nenek dulu ya, Ve...", jawab gua.
Tepat saat adzan maghrib berkumandang, kami berdua sudah sampai di rumah Nenek. Gua masuk lewat pintu utama rumah, Nenek menyambut kami berdua sebelum melaksanakan shalat maghrib.
Setelah mencium tangan beliau, Nenek pamit ke kamarnya lagi untuk melaksanakan shalat. Nona Ukhti mengambil wudhu di dalam kamar mandi belakang.
Gua masuki kamar yang cukup lama sudah gua tinggalkan. Semua isi dan letak barang di dalam kamar ini masih sama, tidak ada yang berubah.
Gua berjalan kearah meja komputer, tersenyum saat melihat foto kecil di dalam bingkai berwarna biru.
Di dalam foto itu ada dua orang sedang tersenyum, si lelaki yang sedang dirangkul oleh si perempuan. Kemudian gua keluarkan foto berukuran post card tersebut dari bingkainya, membalik foto dan membaca sebuah tulisan tangan yang khas, yang indah dan sedikit memudar warna tinta birunya.
'Solo - with Love 2007'.
Gua terdiam, memori indah saat lebaran di kampung halamannya seketika memenuhi otak gua. Adegan-adegan saat bersamanya di kota jawa tengah benar-benar kembali hadir, saat gua bercengkarama dengan keluarga besarnya, saat kami berdua main ke alkid, saat pergi ke keraton dan menikmati bakso bakar... Semuanya masih gua ingat.
Aku kangen kamu, sayang... Kangen banget.
"Za....? Kenapa ?", tanya Nona Ukhti yang ternyata sudah berdiri di samping gua.
"Eh, Ve... Ehm... Enggak, ini lagi liatin foto Echa...", jawab gua tersadar dari lamunan.
Nona Ukhti mengulurkan tangannya, gua berikan foto tersebut kepadanya.
"Solo, dua ribu tujuh...", ucapnya membaca tulisan dibalik foto tersebut.
"Momen lebaran tahun dua ribu tujuh...", timpal gua menambahkan.
Kemudian dia balik foto tersebut, tersenyum melihat dua orang yang tercetak dalam kertas itu.
"Cantik ya, Teteh...", ucapnya.
"Iya...".
Kemudian Nona Ukhti memeluk gua dari samping dan mengelus dada gua.
"Dia pasti bahagia di sana,sayang.. Jangan lupa untuk selalu mendo'a kan Teteh ya...", ucapnya lagi dengan tersenyum manis sekali.
Gua mengangguk pelan lalu tersenyum juga. Tapi...
Lama kelamaan senyum gua semakin lebar sambil tetap menatap wajah Nona Ukhti. Akhirnya dia mengerenyitkan keningnya.
"Kenapa kamu ?", tanyanya.
"Yoih.. Peluk aja terus... Wudhu ma bisa diulang ini ya, Ve ?", tanya gua kali ini dengan senyum yang lebar dan menahan tawa.
"Aaaaa.. Iya lupaaa.. Iiih.. Aduh astagfirullah... Udah udah, aku mau wudhu lagi deh.. Ah kamu ma bukannya ngingetin...", teriaknya sambil menjauh dan berjalan keluar kamar lagi.
Gua menggelengkan kepala lalu buru-buru teriak.
"Hey mau kemana ?".
"Ya wudhu lah..".
"Jauh amat, ini disini ada kamar mandi juga kok... Hahahaha...".
Nona Ukhti berhenti berjalan dan membalikan tubuhnya. Wajahnya cemberut menatap gua. Gua semakin geli melihat tingkah dan raut wajahnya itu.
"Hahahaha.. Udah sini, wudhu disini aja... Hahaha...".
Nona Ukhti pun kembali masuk kedalam kamar.
"Dasar! Nyebelin emang kata Mba Sherlin juga..! Huh!", tukasnya sambil mencubit lengan gua ketika melewati gua menuju kamar mandi.
Gua terkekeh pelan, lalu gua rapihkan foto kenangan sebelumnya, menaruhnya dengan rapih lagi diatas meja komputer.
Kemudian saat Nona Ukhti masih berwudhu, gua berjongkok di depan lemari berukuran kecil, membuka kuncinya dan mengambil sebuah kotak persegi. Gua keluarkan isinya, sebuah benda dingin yang memiliki tulisan S&W dan cukup berbobot gua taruh ke samping, dibawah benda sebelumnya itu, gua ambil sebuah amplop yang warnanya sudah mulai menguning.
Nona Ukhti sudah keluar dari kamar mandi. Dia berjalan mendekat.
"Za, mukena sama sajadah dimana ?", tanyanya yang berdiri di samping gua.
Gua masih berjongkok, kedua tangan gua masih berada di dalam lemari di depan gua.
"Kamu minta ke Nenek gih, ke kamarnya aja gak apa-apa...", jawab gua.
Kemudian Nona Ukhti berjalan keluar kamar. Lalu buru-buru gua membereskan benda berbahaya sebelumnya kedalam kotak persegi lagi, tentunya setelah gua ambil amplop yang memang gua butuhkan.
"Kiblat nya kemana sayang ?", tanya Nona Ukhti setelah kembali dengan mukena dan sajadah yang ia bawa.
Gua tunjuk pintu kamar yang mengarah ke ruang tamu. Kemudian gua pun mengambil wudhu ke kamar mandi.
Singkat cerita Nona Ukhti shalat duluan, baru setelah itu gua. Saat gua melaksanakan shalat maghrib, Nona Ukhti membuatkan gua kopi, dan menunggu di ruang makan bersama Nenek.
Beres melaksanakan ibadah, gua menuju ruang makan dan memanggil Nona Ukhti yang masih mengobrol di meja makan bersama Nenek.
"Ve, aku mau ngomong sebentar. Nek, sebentar ya, Eza ada perlu sama Vera..", ucap gua kepada mereka berdua.
Gua ajak Nona Ukhti ke teras depan kamar, duduk bersebelahan di sofa teras. Secangkir kopi hitam sudah berada di depan gua.
"Ada apa soal Kak Nindi, Za ?", tanyanya sambil merapihkan jilbab yang ia kenakan.
Gua bakar sebatang rokok lights, lalu mengeluarkan amplop dari saku celana belakang.
"Ini, kamu baca aja dulu ya...", jawab gua sambil memberikan amplop yang sudah menguning itu kepadanya.
Nona Ukhti menerimanya dengan sedikit bingung, tapi dia menahan pertanyaannya dan mulai membuka isi amplop itu.
Gua menghisap rokok dalam-dalam, menikmati setiap racun yang masuk kedalam tubuh ini. Gua lirik perempuan manis berjilbab merah di samping kiri yang nampak serius membaca surat pada tangannya, beberapa kali gua lihat raut wajahnya berubah, dari tersenyum, mengerenyitkan keningnya, lalu sedikit terkejut.
Akhirnya dia menghela nafas dengan perlahan, senyumnya sedikit mengembang, ya sedikit...
"Ibu kamu, sayang banget sebenarnya sama kamu, Za... Beliau udah kamu maafin kan ?", tanyanya.
Gua mengangguk. "Iya, udah kok, Ve...", jawab gua pelan.
"Gimanapun dia adalah wanita yang udah melahirkan kamu, kamu gak boleh benci sama dia sayang, apalagi sekarang dia udah enggak ada, Za...", lanjutnya.
"Iya, Ve.. Aku ngerti kok..", gua tersenyum kepadanya.
"Terus.. Sekarang maksudnya gimana soal Kakak kamu itu ?", tanyanya dengan mata yang sedikit malas.
Gua buang abu rokok ke asbak di dekat kopi, lalu meminum kopi hitam favorit yang sudah mulai dingin.
"Menurut kamu, gimana ?", tanya gua balik setelah meminum kopi dan melirik kepadanya.
Nona Ukhti nampak heran, dia terlihat sedikit tidak suka dengan gua yang balik bertanya.
"Kok gitu ? Malah nanya balik ? Kamu suka sama Kak Nindi ?", tanyanya serius.
Gua tersenyum manis kepada calon istri gua itu.
"Eza...".
"Ya, Ve ?".
"Aku tanya kok gak dijawab...".
"Bentar, Ve... Aku capek ngetik, istirahat dulu ya sayang...".
Sebuah cahaya senja sore menembus kedalam mobil, menampakkan kilau oranye pada tubuh kami berdua yang duduk di bangku depan.
Gua masih mengemudikan mobil, seorang perempuan disamping gua duduk manis menatap jalan raya di depan.
Gua arahkan kemudi ke kiri, memutar balik ketika lampu merah menyala.
"Loch ? Kok ? Mau kemana, Za...?", tanyanya.
"Ada yang perlu aku ceritain ke kamu soal Nindi... Kita ke rumah Nenek dulu ya, Ve...", jawab gua.
Tepat saat adzan maghrib berkumandang, kami berdua sudah sampai di rumah Nenek. Gua masuk lewat pintu utama rumah, Nenek menyambut kami berdua sebelum melaksanakan shalat maghrib.
Setelah mencium tangan beliau, Nenek pamit ke kamarnya lagi untuk melaksanakan shalat. Nona Ukhti mengambil wudhu di dalam kamar mandi belakang.
Gua masuki kamar yang cukup lama sudah gua tinggalkan. Semua isi dan letak barang di dalam kamar ini masih sama, tidak ada yang berubah.
Gua berjalan kearah meja komputer, tersenyum saat melihat foto kecil di dalam bingkai berwarna biru.
Di dalam foto itu ada dua orang sedang tersenyum, si lelaki yang sedang dirangkul oleh si perempuan. Kemudian gua keluarkan foto berukuran post card tersebut dari bingkainya, membalik foto dan membaca sebuah tulisan tangan yang khas, yang indah dan sedikit memudar warna tinta birunya.
'Solo - with Love 2007'.
Gua terdiam, memori indah saat lebaran di kampung halamannya seketika memenuhi otak gua. Adegan-adegan saat bersamanya di kota jawa tengah benar-benar kembali hadir, saat gua bercengkarama dengan keluarga besarnya, saat kami berdua main ke alkid, saat pergi ke keraton dan menikmati bakso bakar... Semuanya masih gua ingat.
Aku kangen kamu, sayang... Kangen banget.
"Za....? Kenapa ?", tanya Nona Ukhti yang ternyata sudah berdiri di samping gua.
"Eh, Ve... Ehm... Enggak, ini lagi liatin foto Echa...", jawab gua tersadar dari lamunan.
Nona Ukhti mengulurkan tangannya, gua berikan foto tersebut kepadanya.
"Solo, dua ribu tujuh...", ucapnya membaca tulisan dibalik foto tersebut.
"Momen lebaran tahun dua ribu tujuh...", timpal gua menambahkan.
Kemudian dia balik foto tersebut, tersenyum melihat dua orang yang tercetak dalam kertas itu.
"Cantik ya, Teteh...", ucapnya.
"Iya...".
Kemudian Nona Ukhti memeluk gua dari samping dan mengelus dada gua.
"Dia pasti bahagia di sana,sayang.. Jangan lupa untuk selalu mendo'a kan Teteh ya...", ucapnya lagi dengan tersenyum manis sekali.
Gua mengangguk pelan lalu tersenyum juga. Tapi...
Lama kelamaan senyum gua semakin lebar sambil tetap menatap wajah Nona Ukhti. Akhirnya dia mengerenyitkan keningnya.
"Kenapa kamu ?", tanyanya.
"Yoih.. Peluk aja terus... Wudhu ma bisa diulang ini ya, Ve ?", tanya gua kali ini dengan senyum yang lebar dan menahan tawa.
"Aaaaa.. Iya lupaaa.. Iiih.. Aduh astagfirullah... Udah udah, aku mau wudhu lagi deh.. Ah kamu ma bukannya ngingetin...", teriaknya sambil menjauh dan berjalan keluar kamar lagi.
Gua menggelengkan kepala lalu buru-buru teriak.
"Hey mau kemana ?".
"Ya wudhu lah..".
"Jauh amat, ini disini ada kamar mandi juga kok... Hahahaha...".
Nona Ukhti berhenti berjalan dan membalikan tubuhnya. Wajahnya cemberut menatap gua. Gua semakin geli melihat tingkah dan raut wajahnya itu.
"Hahahaha.. Udah sini, wudhu disini aja... Hahaha...".
Nona Ukhti pun kembali masuk kedalam kamar.
"Dasar! Nyebelin emang kata Mba Sherlin juga..! Huh!", tukasnya sambil mencubit lengan gua ketika melewati gua menuju kamar mandi.
Gua terkekeh pelan, lalu gua rapihkan foto kenangan sebelumnya, menaruhnya dengan rapih lagi diatas meja komputer.
Kemudian saat Nona Ukhti masih berwudhu, gua berjongkok di depan lemari berukuran kecil, membuka kuncinya dan mengambil sebuah kotak persegi. Gua keluarkan isinya, sebuah benda dingin yang memiliki tulisan S&W dan cukup berbobot gua taruh ke samping, dibawah benda sebelumnya itu, gua ambil sebuah amplop yang warnanya sudah mulai menguning.
Nona Ukhti sudah keluar dari kamar mandi. Dia berjalan mendekat.
"Za, mukena sama sajadah dimana ?", tanyanya yang berdiri di samping gua.
Gua masih berjongkok, kedua tangan gua masih berada di dalam lemari di depan gua.
"Kamu minta ke Nenek gih, ke kamarnya aja gak apa-apa...", jawab gua.
Kemudian Nona Ukhti berjalan keluar kamar. Lalu buru-buru gua membereskan benda berbahaya sebelumnya kedalam kotak persegi lagi, tentunya setelah gua ambil amplop yang memang gua butuhkan.
"Kiblat nya kemana sayang ?", tanya Nona Ukhti setelah kembali dengan mukena dan sajadah yang ia bawa.
Gua tunjuk pintu kamar yang mengarah ke ruang tamu. Kemudian gua pun mengambil wudhu ke kamar mandi.
Singkat cerita Nona Ukhti shalat duluan, baru setelah itu gua. Saat gua melaksanakan shalat maghrib, Nona Ukhti membuatkan gua kopi, dan menunggu di ruang makan bersama Nenek.
Beres melaksanakan ibadah, gua menuju ruang makan dan memanggil Nona Ukhti yang masih mengobrol di meja makan bersama Nenek.
"Ve, aku mau ngomong sebentar. Nek, sebentar ya, Eza ada perlu sama Vera..", ucap gua kepada mereka berdua.
Gua ajak Nona Ukhti ke teras depan kamar, duduk bersebelahan di sofa teras. Secangkir kopi hitam sudah berada di depan gua.
"Ada apa soal Kak Nindi, Za ?", tanyanya sambil merapihkan jilbab yang ia kenakan.
Gua bakar sebatang rokok lights, lalu mengeluarkan amplop dari saku celana belakang.
"Ini, kamu baca aja dulu ya...", jawab gua sambil memberikan amplop yang sudah menguning itu kepadanya.
Nona Ukhti menerimanya dengan sedikit bingung, tapi dia menahan pertanyaannya dan mulai membuka isi amplop itu.
Gua menghisap rokok dalam-dalam, menikmati setiap racun yang masuk kedalam tubuh ini. Gua lirik perempuan manis berjilbab merah di samping kiri yang nampak serius membaca surat pada tangannya, beberapa kali gua lihat raut wajahnya berubah, dari tersenyum, mengerenyitkan keningnya, lalu sedikit terkejut.
Akhirnya dia menghela nafas dengan perlahan, senyumnya sedikit mengembang, ya sedikit...
"Ibu kamu, sayang banget sebenarnya sama kamu, Za... Beliau udah kamu maafin kan ?", tanyanya.
Gua mengangguk. "Iya, udah kok, Ve...", jawab gua pelan.
"Gimanapun dia adalah wanita yang udah melahirkan kamu, kamu gak boleh benci sama dia sayang, apalagi sekarang dia udah enggak ada, Za...", lanjutnya.
"Iya, Ve.. Aku ngerti kok..", gua tersenyum kepadanya.
"Terus.. Sekarang maksudnya gimana soal Kakak kamu itu ?", tanyanya dengan mata yang sedikit malas.
Gua buang abu rokok ke asbak di dekat kopi, lalu meminum kopi hitam favorit yang sudah mulai dingin.
"Menurut kamu, gimana ?", tanya gua balik setelah meminum kopi dan melirik kepadanya.
Nona Ukhti nampak heran, dia terlihat sedikit tidak suka dengan gua yang balik bertanya.
"Kok gitu ? Malah nanya balik ? Kamu suka sama Kak Nindi ?", tanyanya serius.
Gua tersenyum manis kepada calon istri gua itu.
"Eza...".
"Ya, Ve ?".
"Aku tanya kok gak dijawab...".
"Bentar, Ve... Aku capek ngetik, istirahat dulu ya sayang...".

Diubah oleh glitch.7 27-11-2017 04:58
oktavp dan 4 lainnya memberi reputasi
5


: