- Beranda
- Stories from the Heart
Sonne Mond und Stern
...
TS
glitch.7
Sonne Mond und Stern
die SONNE der MOND und der STERN
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Tak Lagi Sama - Noah
Spoiler for Cover Stories:
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 95% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahdan lanjutan dari sebuah cerita Love in Elegy yang pernah Gua tulis di Forum ini.
Quote:
Versi PDF Dua Thread Sebelumnya :

*mulustrasi karakter dalam cerita ini
Quote:
*thanks to my brother in law yang bantu index dan update selama gua mudik
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 239 suara
Siapakah pendamping Eza sebenarnya ?
Sherlin Putri Levanya
55%
Franziska Luna Katrina
17%
Giovanna Almira
28%
Diubah oleh glitch.7 08-01-2022 09:16
chamelemon dan 125 lainnya memberi reputasi
122
1.9M
8.8K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
glitch.7
#3257
Continues
"Yang bener kamu, Mas ?!! Masa sih ? Kok baru cerita kalo dia dari Jogja juga!", terkejutlah Mba Yu.
"Ya makanya itu aku ketawa.. Gak enaklah aku kalo cerita dari dulu soal Vera ke kamu, Mba.", jawab gua lagi.
"Sebentar deh. Apanya yang lucu kalo Vera sama Sherlin ternyata satu kampung halaman..?", tanya Ibu kali ini.
"Stop! Jangan dijawab, Mas.. Yang ada aku nyesek nanti, huh... Kesel aku!", sungut Mba Yu.
"Kayaknya cuma Mba deh yang gagal paham sama kalian.. Ada apaan sih ?", kepo deh Ibu gua.
"Iish.. Gak penting kok, Mba..",
"Beneran... Si Eza aja sama Feri tuh yang lebay...", potong Mba Yu buru-buru, agar gua dan suaminya tidak menjawab rasa penasaran Ibu.
"Hahaha.. Udah masa lalu ini sih, biarin aja kali.. Atau kalo kamu masih kesel, berarti masih ada perasaan dong ke Eza.. Hayoooo ?", weh, kena skak Mba Yu sama misua-nya sendiri.
"By the way, berarti lu udah denger ceritanya dong, Fer ?", tanya gua.
"Hahah.. Iya udah lah, Za.. Waktu abis nikah ama dia nih, dia cerita sendiri soal hubungan lu ama dia dulu.. Hehehe.. Kasian istrikuuu.. Hahaha..", jawab Feri yang kemudian menggoda istrinya lagi.
"Please.. Can anyone tell me, what's going on here ?",Nah nah nah.. Ibu gua mulai kesel, mulai gak sabar deh doi.
"Okey-okey.. Biar gua yang jelasin, Za..", ucap Feri. Lalu tangannya merangkul pundak sang istri.
"Udah enggak apa-apa, masa lalu biarlah berlalu sayang... Hehehe..", lanjutnya.
Mba Yu hanya menanggapi ledekan suaminya itu dengan memalingkan wajah ke sisi lain, sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Geli gua liat tingkah lakunya Mba Yu gemesh. Hahahaha...
"Ehm.. Jadi gini, Mba Laras...", Feri memulai cerita sambil tersenyum lebar, melirik sebentar kepada Mba Yu, lalu melirik ke Ibu gua lagi.
"Dulu tuh, ah ya... Mba Laras pasti tau lah, kalo Sherlin sama Eza sempet deket kan, setelah putus dari Luna, sebelum deket sama Helen dan Vera...", lanjutnya.
"Iya, terus ?", tanya Ibu gua penasaran.
"Nah, waktu itukan, saya sama Sherlin belum nikah, Mba.. Karena yaa... Ini nih.. Laki-laki ini Mba yang bikin galau Sherlin, milih lamaran saya apa nungguin dia nih... Hehehe...", ucap Feri sambil menunjuk gua dengan sumpit.
"Ya kan ujungnya milih La'u, Bro...", timpal gua singkat.
"Hahaha yaiyalah milih gua, siapa cewek yang tahan di php-in, Bro... Hahaha...", jawabnya dengan tawa kemenangan.
"Kampret...", sungut gua.
"Nah terus Mba, waktu itu tuh, katanya sih nih cewek", Feri mencolek dagu istrinya itu. "Sempet punya keinginan, kalo jadi nikah sama Eza, dia mau gelar pernikahannya di kampung halaman Papahnya, di Jogja gitu.. Hehehe.. Tapi... Yaaa... takdir berkata lain ya kan, pupus sudah harapan cewek cantik ini, Mba.. Hehehehe..", lanjut Feri menerangkan ke Ibu.
Wajah Mba Yu makin cemberut aja. Walaupun wajahnya berpaling ke sisi lain, tapi gua masih sempat melihat ekspresinya itu.
"Ooooh... Pantesan.. Kamu enggak cerita ke Sherlin kalo Vera juga sama-sama dari daerah yang sama ya, Za ?", ucap Ibu gua sambil menengok kepada gua.
Gua terkekeh sambil mengangguk dan menaik-turunkan alis. "Yoi.. Hehehe... Maapkeun Mas mu iki loch, Mba Yuuu...", jawab gua lalu melirik kepada perempuan cantik nan seksi di depan sana.
"Bodooo... Au ah gelap", ucapnya penuh kekesalan.
Gua dan suaminya tertawa, tapi lain halnya dengan Mba Yu dan Ibu, mereka hanya diam. Kemudian Ibu tersenyum, lalu meraih punggung tangan kanan Mba Yu yang sebelumnya masih terlipat di depan dada. Setelah itu, Ibu menggenggam tangan Mba Yu diatas meja makan ini. Gua dan Feri saling menengok keherenan.
"Hey... Maafin Eza nya, jangan marah lagi, sekarang kan kamu juga udah punya suami. Gak boleh lagi mendem perasaan ke Eza, ada suami kamu sekarang yang lebih berhak mendapatkan kasih sayang sepenuhnya dari kamu, Sher..", ucap Ibu gua serius.
Bangke... Momentnya jadi gak asyik gini. Ah si Ibu ma malah bikin Mba Yu makin baper. Kacau ini nih.. Haduuuuh...
"Eza juga bentar lagi mau nikahin Vera kan, bukannya itu yang kamu mau juga, Sher ?", lanjut Ibu kepada Mba Yu.
Mba Yu mengangguk dan tersenyum. Tapi, kami semua disini tau. Ada airmata yang nyaris saja tertumpah dari kedua sudut matanya itu. Apalagi untuk obrolan kami selanjutnya...
"Jadi, kamu sama Vera mau langsungin pernikahan di Jogja ?", tanyanya dengan nada suara yang sedikit berat.
Gua menaikan bahu, dan menggelengkan kepala. "Enggak tau juga sih kalo soal itu, kan kamu juga tau, aku ngelamar Vera aja belom, ini rencana lamaran dan semua persiapan cuma kita berempat yang tau... Soal dimana nikahnya sih aku belum tau Vera dan kelaurganya mau gimana, cuma kalo aku pribadi pinginnya sih di kota kita aja, biar gak terlalu jauh..", ucap gua menjelaskan.
"Nah, kalo Vera dan keluarganya pingin gelar nikahan di Jogja ? Berarti mau gak mau lu ngikut jugakan, Za...?", tanya Feri tiba-tiba.
Gua menghela nafas dengan kasar. Pe'a emang ini lakinya satu, udah jelas itu Ibu gua ngomong sebelumnya ke istrinya, biar gak baper eh malah dibahas lagi. Kurang peuka juga nih anak... Hadeuh.
"Ya gak tau lah, Fer... Gimana nanti aja itu ma...", jawab gua, agar kota Jogja tidak lagi terucap.
"Ya elah, masa kalo keluarganya minta di gelar di Jogja, lu gak nyanggupin, Za ? Ada-ada aja elu ma.. Lagian di Jogja bagus kok, adem dan budayanya oke punya... Adaaww.... Apaan lu nendang-nendang ?!!", teriak Feri tiba-tiba diakhir omongannya.
Gua memang sengaja menendang tulang keringnya dari bawah meja dengan ujung sepatu, biar si kampret bisa ngerem omongannya.
Gua pelototi dia, lalu melirik ke istrinya sesaat.
"Uppss.. Sorry sayang.. Gak maksud beneran...", ucap Feri setelah melirik ke istrinya.
"Ah enggak apa-apa, aku udah ada kamu kok, Mas..", jawab Mba Yu kepada suaminya itu.
"Ya berarti yang jodoh nikahnya di Jogja, kamu sama Vera... Bukan sama aku gittuuuu deehh...", lanjut Mba Yu kali ini kepada gua, dengan nada meledek diakhir ucapannya.
Gua dan Feri cengengesan lagi, ya gimana gak ketawa, itu wajahnya lucu banget si Mba Yu. Dia mainkan jarinya ke ujung rambutnya, memutar-mutar jari dihelaian rambut dengan wajah tengil.
Dulu... Memang Mba Yu ingin menikah dengan gua, saat kami berdua belum dekat lagi dengan pasangan kami masing-masing. Masih sama-sama single. Saat Mba Yu sempat putus dari Feri, dan saat gua belum kembali dekat dengan Nona Ukhti, apalagi Helen.
Saat itulah, Mba Yu sempat mengungkapkan keinginannya, dimana jika gua dan dirinya berjodoh, Mba Yu ingin menggelar pernikahan kami di jawa tengah, Yogyakarta.
Tapi sayang mimpi itu harus menguap dan lenyap ketika kehadiran Nona Ukhti kembali membuat hati gua bimbang, antara meneruskan janji kepada Mba Yu, atau meneruskan janji kepada Nona Ukhti.
Dan saat Mba Yu menyadari kebimbangan gua, di saat itulah dia memutuskan memilih Feri, karena gua yang dianggap tidak bisa memilih dengan cepat, ditambah Feri dan keluarganya datang tiba-tiba ke rumah Mba Yu dan meminang dirinya. Disanalah gua kalah telak dari Feri, yang berani langsung meminta persetujuan kepada Papahnya Mba Yu.
Mba Yu mungkin agak sedikit terjebak kenangan masa lalu saat masih bersama gua. Ketika mengetahui kalau Nona Ukhti juga ternyata satu daerah dengannya.
Apalagi kalau sampai kejadian ternyata nanti gua dan Nona Ukhti menggelar acara penting tersebut di Yogyakarta. Karena pertemuan hari ini, antara gua, Ibu, Mba Yu dan Feri membahas soal E.O untuk pernikahan gua nanti, karena gua tau kenalan E.O nya Mba Yu itu sudah terjamin. Saat dulu gua menikahi almarhumah istri gua dulu.
Memang Nona Ukhti dan keluarganya belum mengetahui sama sekali niatan gua dan Ibu ini, tapi gua ingin sedikit memberikan kejutan kepada Nona Ukhti, dan keinginan gua ini sudah gua ceritakan beberapa hari lalu kepada Ibu dan Mba Yu tanpa diketahui Nona Ukhti.
"Jadi intinya, sekarang kamu mau gimana, Mas ?", tanya Mba Yu kepada gua.
"Ya aku cuma minta hitungan kasarnya aja, soal biaya nikah lewat temen E.O mu itu, Mba.. Terus soal tempat sih nanti aja, setelah aku udah ngelamar Vera..", jawab gua.
"Sebentar, Za.. Maaf nih, gua jadi kepikiran... Lu udah ngerencanain E.O dan segalanya, tapi lu belum ngelamar Vera dan minta ke Bokapnya kan ?", sela Feri.
Gua mengangguk, mengiyakan pertanyaannya.
"Maaf ya, Za.. Ini sih gua mikir jeleknya aja... Andaikan loch ya.. Andaikan aja nih... Andai ternyata keluarganya menolak gimana ?", tanya Feri.
Sontak lah gua dan yang lain terkejut mendengar pertanyaannya itu.
"Maksudnya, lamarannya ditolak gitu ?", tanya ulang Mba Yu kepada suaminya.
Feri mengangguk. "Iya, inikan cuma berandai-andai aja, toh semua hal harus diliat dari sisi baik dan buruknya kan ?", jawab Feri.
"Hehehe... Sembilan puluh sembilan persen gak mungkin lah, Fer.. Gua tau kok Vera dan kelaurganya gimana ke gua..", jawab gua.
Akhirnya setelah selesai membahas soal E.O dan segala rencana gua kepada mereka, kami pun beranjak pergi dari restoran ini, tentu saja setelah Ibu membayar makanan pesanan kami semua.
Kami berempat menuruni escalator, untuk kembali menuju parkiran mobil. Tapi, saat gua melintasi sebuah toko di lantai tiga, tiba-tiba gua teringat sesuatu.
"Mmm... Mba", panggil gua kepada Mba Yu yang berjalan di depan.
"Hm ? Kenapa ?", Mba Yu berbalik kepada gua.
"Kamu sama Mba Laras dan Feri duluan ke parkiran ya, aku ada perlu, ada yang kelupaan...", ucap gua.
"Apa yang ketinggalan ? Hape kamu di restoran ?", dikiranya hp gua ketinggalan karena lupa.
"Bukan, udah deh pokoknya kamu duluan sama yang lain ya ke parkiran, nanti aku nyusul, enggak lama kok...", jawab gua cepat.
Kemudian setelah memastikan Mba Yu dan yang lainnya menuruni escalator ke lantai dua, gua kembali buru-buru bergegas berjalan ke sisi lain di dalam mall lantai tiga ini.
Gua masuki lagi toko yang sebelumnya sempat gua datangi bersama Ibu. Dan si pramuniaga kepo sebelumnya pun masih ada dibalik etalase.
"Selamat siang... Eh ? Mas nya yang tadi datang kesini kan ?", tanyanya mengingat gua.
Gua berjalan menghampirinya. "Iya, Mba..".
"Ada apa, Mas ? Jadi beli barang yang dipilih-pilih tadi ?", tanyanya lagi dengab tersenyum.
"Gini, Mba.. Saya mau minta tolong sama Mba nya.. Kira-kira bisa gak nih Mba nolongin saya...?", tanya gua.
"Minta tolong apa, Mas ?".
"Jadi gini, Mba.. Mmm.. Sebentar, mana tadi barang yang dipilih Ibu saya ?", tanya gua sambil melirik kearah etalase di depan bawah kami.
"Oh, kalung yang pertama Mba nya liat ya... Yang ini, Mas...", jawabnya seraya membuka etalase dan mengambil sebuah kalung berwarna silver dengan bandul batu berwarna merah.
"Nah itu.. Berapa harganya, Mba ?", tanya gua setelah dirinya meletakan kalung di atas etalase.
"Sekian rupiah, Mas..".
"Hah ?!! Busyet... Mahal amat, Mbaaa.. Gile..", gua terkejut mendengar harga sebuah kalung simpel namun memang bukan barang murahan.
"Iya soalnya lapisan emas putih untuk keseluruhan bahan kalungnya sekian karat, Mas.. Dan bandulnya itu batu ruby dari Myanmar, Mas nya boleh cek keasliannya kok, dan ada jaminannya juga kalau ternyata yang kita jual ini barang palsu, kami ganti dua kali lipat dari harga jual ke Mas nya", terang si pramuniaga tersebut panjang lebar.
Gua mengambil kalung tersebut, melihatnya dengan seksama. Bukan berarti gua ahli dan mengerti soal perhiasan. Tapi gua memikirkan apakah perlu benar-benar memilih kalung ini atau tidak. Setelah cukup lama berfikir, dan rasanya enggak enak juga kelamaan mikir nih, akhirnya terbesitlah ide gila di otak gua secara tiba-tiba.
Gua tersenyum. "Mba, gini deh.. Tadikan saya bilang, mau minta tolong ke Mba, nah rencana saya nih gini... Ini kalung tolong di keep dulu, jangan sampe kejual ke pembeli lain... Nah untuk itu, saya pake dp gimana ? Bisa enggak tuh ?", tanya gua pada akhirnya.
Pramuniaga tersebut tersenyum lebar, lalu mengangguk." Bisa kok, Mas.. Pasti mau nabung dulu ya ? Hihihi... Romantis banget Mas ke calon istrinya... Hihihi..", ucapnya seraya terkekeh.
Gua tau, bakal salah paham nih pramuniaga kepo. Bener ajakan.
"Bukan gitu, Mba.. Pertama nih, saya kasih tau deh.. Ini kalung untuk Ibu saya... Bukan calon istri saya. Dan yang kedua... Saya enggak akan beli atau melunasi kalung ini, hehehe...", jawab gua gantian terkekeh.
"Loch kok gitu ? Katanya tadi mau dp kalung ini, terus diangusin gitu ? Gak dilunasin ? Gimana sih, Mas ? Rugi dong Mas nya... Aneh-aneh aja deh..", ucapnya heran.
Gua kembali tersenyum. "Saya tanya, Mba udah nikah ?", tanya gua.
"Udah, Mas.. Kenapa ?", tanyanya balik.
"Waktu dulu di lamar sama suami, Mba.. Mba pingin beli perhiasan untuk lamaran itu dibeliin siapa ? Keluarga atau calon suami, Mba dulu ?".
"Ya calon suami lah... Emangnya kenapa ?", tanyanya lagi.
"Begitupun saya, Mba. Saya ini anak tirinya wanita yang Mba kira pacar saya tadi, dan Ayah saya udah meninggal beberapa tahun lalu, so.. Ibu saya tadi itu masih menjanda sampai sekarang, Mba.. Dan rencana saya, kelak kalau Ibu saya itu dipertemukan lagi sama jodohnya, saya mau calon suaminya itu yang melunasi kalung ini, Mba...", jawab gua menjelaskan kepadanya.
"Oooh gitu... Pantesan kok Ibu sama anak wajahnya sama-sama masih muda, enggak jauh beda. Hmmm.. Maaf ya, Mas, saya jadi gak enak...", jawabnya.
"Gak enak kasih kucing aja, Mba..", jawab gua singkat.
"Hah ? Ahahaha... Bisa aja si Mas... Hihihihi...", tawanya hingga menutupi mulutnya itu dengan tangan kanan.
"Udah ketawanya, Mba, sekarang back to bisnis nih... Gimana, Mba ? Bisa gak ?", tanya gua lagi.
"Oh iya, maaf hehe.. Mmm.. Sebenernya boleh sih Mas kayak gitu, di dp, terus biasanya di cicil dengan harga kesepakatan. Tapi kan ini beda ya, Mas.. Maksud saya, kata Mas nya tadi yang mau lunasin kan calon suaminya Ibu Mas itu, nah memangnya Mas tau kapan Ibunya ketemu sama jodohnya itu ? Bisa aja lama kan ? Sedangkan cicilan kalungnya gimana, atau Mas yang bayarin juga ?".
"Hehehe.. Soal itu tenang aja, Mba... Udah saya pikirin mateng-mateng, kurang lebih seperti yang Mba nya bilang, yang penting harganya cocok untuk dp dan cicilan, dan jangan lupa, jangan sampe dijual ke orang lain... Saya yakin, enggak akan lama kok ini kalung dilunasin sama someone spesialnya Ibu saya".
"Ooh udah ada toh calonnya... Kalo gitu sih gak masalah dong, Mas... Hihihi...", timpal si pramuniaga.
"Hm ? Siapa yang bilang udah ada ? Belom kok, belom ada calon Bapak tiri saya", potong gua.
"Loch ? Katanya tadi bakal dilunasin sama someone spesial Ibunya, berarti udah ada kan ?", cecarnya.
"Yaelah si Mba, keponya mulai lagi deh. Udah udah pokoknya saya dp sekarang nih kalung, nanti saya balik lagi buat lunasin ini kalung, hadeh ribet Mba ah...", sungut gua karena terlalu kepo ini pramuniaga.
"Diih yang ribet situ juga.. Yaudah iya, Mas.. Ini kalo dicicil selama satu tahun, sekian dpnya, dan harga cicilannya perbulan sekian, itu setahun sudah paling maksimal Mas jangka waktu cicilnya", terangnya lagi.
Gua cukup menelan ludah mendengar harga dp dan cicilan perbulannya. Sebenarnya bisa aja gua lunasin ini kalung dan beli secara langsung, tapii.. Aing teu jadi kimpoi atuh jeung Neng Ukhti... (Gua gak jadi nikah atuh sama Nona Ukhti).
Singkatnya selesai bertransaksi dp untuk kalung yang Ibu gua idamkan itu, gua pun kembali keluar toko. Dan bergegas menuju parkiran.
"Ya makanya itu aku ketawa.. Gak enaklah aku kalo cerita dari dulu soal Vera ke kamu, Mba.", jawab gua lagi.
"Sebentar deh. Apanya yang lucu kalo Vera sama Sherlin ternyata satu kampung halaman..?", tanya Ibu kali ini.
"Stop! Jangan dijawab, Mas.. Yang ada aku nyesek nanti, huh... Kesel aku!", sungut Mba Yu.
"Kayaknya cuma Mba deh yang gagal paham sama kalian.. Ada apaan sih ?", kepo deh Ibu gua.
"Iish.. Gak penting kok, Mba..",
"Beneran... Si Eza aja sama Feri tuh yang lebay...", potong Mba Yu buru-buru, agar gua dan suaminya tidak menjawab rasa penasaran Ibu.
"Hahaha.. Udah masa lalu ini sih, biarin aja kali.. Atau kalo kamu masih kesel, berarti masih ada perasaan dong ke Eza.. Hayoooo ?", weh, kena skak Mba Yu sama misua-nya sendiri.
"By the way, berarti lu udah denger ceritanya dong, Fer ?", tanya gua.
"Hahah.. Iya udah lah, Za.. Waktu abis nikah ama dia nih, dia cerita sendiri soal hubungan lu ama dia dulu.. Hehehe.. Kasian istrikuuu.. Hahaha..", jawab Feri yang kemudian menggoda istrinya lagi.
"Please.. Can anyone tell me, what's going on here ?",Nah nah nah.. Ibu gua mulai kesel, mulai gak sabar deh doi.
"Okey-okey.. Biar gua yang jelasin, Za..", ucap Feri. Lalu tangannya merangkul pundak sang istri.
"Udah enggak apa-apa, masa lalu biarlah berlalu sayang... Hehehe..", lanjutnya.
Mba Yu hanya menanggapi ledekan suaminya itu dengan memalingkan wajah ke sisi lain, sambil melipat kedua tangannya di depan dada. Geli gua liat tingkah lakunya Mba Yu gemesh. Hahahaha...
"Ehm.. Jadi gini, Mba Laras...", Feri memulai cerita sambil tersenyum lebar, melirik sebentar kepada Mba Yu, lalu melirik ke Ibu gua lagi.
"Dulu tuh, ah ya... Mba Laras pasti tau lah, kalo Sherlin sama Eza sempet deket kan, setelah putus dari Luna, sebelum deket sama Helen dan Vera...", lanjutnya.
"Iya, terus ?", tanya Ibu gua penasaran.
"Nah, waktu itukan, saya sama Sherlin belum nikah, Mba.. Karena yaa... Ini nih.. Laki-laki ini Mba yang bikin galau Sherlin, milih lamaran saya apa nungguin dia nih... Hehehe...", ucap Feri sambil menunjuk gua dengan sumpit.
"Ya kan ujungnya milih La'u, Bro...", timpal gua singkat.
"Hahaha yaiyalah milih gua, siapa cewek yang tahan di php-in, Bro... Hahaha...", jawabnya dengan tawa kemenangan.
"Kampret...", sungut gua.
"Nah terus Mba, waktu itu tuh, katanya sih nih cewek", Feri mencolek dagu istrinya itu. "Sempet punya keinginan, kalo jadi nikah sama Eza, dia mau gelar pernikahannya di kampung halaman Papahnya, di Jogja gitu.. Hehehe.. Tapi... Yaaa... takdir berkata lain ya kan, pupus sudah harapan cewek cantik ini, Mba.. Hehehehe..", lanjut Feri menerangkan ke Ibu.
Wajah Mba Yu makin cemberut aja. Walaupun wajahnya berpaling ke sisi lain, tapi gua masih sempat melihat ekspresinya itu.
"Ooooh... Pantesan.. Kamu enggak cerita ke Sherlin kalo Vera juga sama-sama dari daerah yang sama ya, Za ?", ucap Ibu gua sambil menengok kepada gua.
Gua terkekeh sambil mengangguk dan menaik-turunkan alis. "Yoi.. Hehehe... Maapkeun Mas mu iki loch, Mba Yuuu...", jawab gua lalu melirik kepada perempuan cantik nan seksi di depan sana.
"Bodooo... Au ah gelap", ucapnya penuh kekesalan.
Gua dan suaminya tertawa, tapi lain halnya dengan Mba Yu dan Ibu, mereka hanya diam. Kemudian Ibu tersenyum, lalu meraih punggung tangan kanan Mba Yu yang sebelumnya masih terlipat di depan dada. Setelah itu, Ibu menggenggam tangan Mba Yu diatas meja makan ini. Gua dan Feri saling menengok keherenan.
"Hey... Maafin Eza nya, jangan marah lagi, sekarang kan kamu juga udah punya suami. Gak boleh lagi mendem perasaan ke Eza, ada suami kamu sekarang yang lebih berhak mendapatkan kasih sayang sepenuhnya dari kamu, Sher..", ucap Ibu gua serius.
Bangke... Momentnya jadi gak asyik gini. Ah si Ibu ma malah bikin Mba Yu makin baper. Kacau ini nih.. Haduuuuh...
"Eza juga bentar lagi mau nikahin Vera kan, bukannya itu yang kamu mau juga, Sher ?", lanjut Ibu kepada Mba Yu.
Mba Yu mengangguk dan tersenyum. Tapi, kami semua disini tau. Ada airmata yang nyaris saja tertumpah dari kedua sudut matanya itu. Apalagi untuk obrolan kami selanjutnya...
"Jadi, kamu sama Vera mau langsungin pernikahan di Jogja ?", tanyanya dengan nada suara yang sedikit berat.
Gua menaikan bahu, dan menggelengkan kepala. "Enggak tau juga sih kalo soal itu, kan kamu juga tau, aku ngelamar Vera aja belom, ini rencana lamaran dan semua persiapan cuma kita berempat yang tau... Soal dimana nikahnya sih aku belum tau Vera dan kelaurganya mau gimana, cuma kalo aku pribadi pinginnya sih di kota kita aja, biar gak terlalu jauh..", ucap gua menjelaskan.
"Nah, kalo Vera dan keluarganya pingin gelar nikahan di Jogja ? Berarti mau gak mau lu ngikut jugakan, Za...?", tanya Feri tiba-tiba.
Gua menghela nafas dengan kasar. Pe'a emang ini lakinya satu, udah jelas itu Ibu gua ngomong sebelumnya ke istrinya, biar gak baper eh malah dibahas lagi. Kurang peuka juga nih anak... Hadeuh.
"Ya gak tau lah, Fer... Gimana nanti aja itu ma...", jawab gua, agar kota Jogja tidak lagi terucap.
"Ya elah, masa kalo keluarganya minta di gelar di Jogja, lu gak nyanggupin, Za ? Ada-ada aja elu ma.. Lagian di Jogja bagus kok, adem dan budayanya oke punya... Adaaww.... Apaan lu nendang-nendang ?!!", teriak Feri tiba-tiba diakhir omongannya.
Gua memang sengaja menendang tulang keringnya dari bawah meja dengan ujung sepatu, biar si kampret bisa ngerem omongannya.
Gua pelototi dia, lalu melirik ke istrinya sesaat.
"Uppss.. Sorry sayang.. Gak maksud beneran...", ucap Feri setelah melirik ke istrinya.
"Ah enggak apa-apa, aku udah ada kamu kok, Mas..", jawab Mba Yu kepada suaminya itu.
"Ya berarti yang jodoh nikahnya di Jogja, kamu sama Vera... Bukan sama aku gittuuuu deehh...", lanjut Mba Yu kali ini kepada gua, dengan nada meledek diakhir ucapannya.
Gua dan Feri cengengesan lagi, ya gimana gak ketawa, itu wajahnya lucu banget si Mba Yu. Dia mainkan jarinya ke ujung rambutnya, memutar-mutar jari dihelaian rambut dengan wajah tengil.
Dulu... Memang Mba Yu ingin menikah dengan gua, saat kami berdua belum dekat lagi dengan pasangan kami masing-masing. Masih sama-sama single. Saat Mba Yu sempat putus dari Feri, dan saat gua belum kembali dekat dengan Nona Ukhti, apalagi Helen.
Saat itulah, Mba Yu sempat mengungkapkan keinginannya, dimana jika gua dan dirinya berjodoh, Mba Yu ingin menggelar pernikahan kami di jawa tengah, Yogyakarta.
Tapi sayang mimpi itu harus menguap dan lenyap ketika kehadiran Nona Ukhti kembali membuat hati gua bimbang, antara meneruskan janji kepada Mba Yu, atau meneruskan janji kepada Nona Ukhti.
Dan saat Mba Yu menyadari kebimbangan gua, di saat itulah dia memutuskan memilih Feri, karena gua yang dianggap tidak bisa memilih dengan cepat, ditambah Feri dan keluarganya datang tiba-tiba ke rumah Mba Yu dan meminang dirinya. Disanalah gua kalah telak dari Feri, yang berani langsung meminta persetujuan kepada Papahnya Mba Yu.
Mba Yu mungkin agak sedikit terjebak kenangan masa lalu saat masih bersama gua. Ketika mengetahui kalau Nona Ukhti juga ternyata satu daerah dengannya.
Apalagi kalau sampai kejadian ternyata nanti gua dan Nona Ukhti menggelar acara penting tersebut di Yogyakarta. Karena pertemuan hari ini, antara gua, Ibu, Mba Yu dan Feri membahas soal E.O untuk pernikahan gua nanti, karena gua tau kenalan E.O nya Mba Yu itu sudah terjamin. Saat dulu gua menikahi almarhumah istri gua dulu.
Memang Nona Ukhti dan keluarganya belum mengetahui sama sekali niatan gua dan Ibu ini, tapi gua ingin sedikit memberikan kejutan kepada Nona Ukhti, dan keinginan gua ini sudah gua ceritakan beberapa hari lalu kepada Ibu dan Mba Yu tanpa diketahui Nona Ukhti.
"Jadi intinya, sekarang kamu mau gimana, Mas ?", tanya Mba Yu kepada gua.
"Ya aku cuma minta hitungan kasarnya aja, soal biaya nikah lewat temen E.O mu itu, Mba.. Terus soal tempat sih nanti aja, setelah aku udah ngelamar Vera..", jawab gua.
"Sebentar, Za.. Maaf nih, gua jadi kepikiran... Lu udah ngerencanain E.O dan segalanya, tapi lu belum ngelamar Vera dan minta ke Bokapnya kan ?", sela Feri.
Gua mengangguk, mengiyakan pertanyaannya.
"Maaf ya, Za.. Ini sih gua mikir jeleknya aja... Andaikan loch ya.. Andaikan aja nih... Andai ternyata keluarganya menolak gimana ?", tanya Feri.
Sontak lah gua dan yang lain terkejut mendengar pertanyaannya itu.
"Maksudnya, lamarannya ditolak gitu ?", tanya ulang Mba Yu kepada suaminya.
Feri mengangguk. "Iya, inikan cuma berandai-andai aja, toh semua hal harus diliat dari sisi baik dan buruknya kan ?", jawab Feri.
"Hehehe... Sembilan puluh sembilan persen gak mungkin lah, Fer.. Gua tau kok Vera dan kelaurganya gimana ke gua..", jawab gua.
Akhirnya setelah selesai membahas soal E.O dan segala rencana gua kepada mereka, kami pun beranjak pergi dari restoran ini, tentu saja setelah Ibu membayar makanan pesanan kami semua.
Kami berempat menuruni escalator, untuk kembali menuju parkiran mobil. Tapi, saat gua melintasi sebuah toko di lantai tiga, tiba-tiba gua teringat sesuatu.
"Mmm... Mba", panggil gua kepada Mba Yu yang berjalan di depan.
"Hm ? Kenapa ?", Mba Yu berbalik kepada gua.
"Kamu sama Mba Laras dan Feri duluan ke parkiran ya, aku ada perlu, ada yang kelupaan...", ucap gua.
"Apa yang ketinggalan ? Hape kamu di restoran ?", dikiranya hp gua ketinggalan karena lupa.
"Bukan, udah deh pokoknya kamu duluan sama yang lain ya ke parkiran, nanti aku nyusul, enggak lama kok...", jawab gua cepat.
Kemudian setelah memastikan Mba Yu dan yang lainnya menuruni escalator ke lantai dua, gua kembali buru-buru bergegas berjalan ke sisi lain di dalam mall lantai tiga ini.
Gua masuki lagi toko yang sebelumnya sempat gua datangi bersama Ibu. Dan si pramuniaga kepo sebelumnya pun masih ada dibalik etalase.
"Selamat siang... Eh ? Mas nya yang tadi datang kesini kan ?", tanyanya mengingat gua.
Gua berjalan menghampirinya. "Iya, Mba..".
"Ada apa, Mas ? Jadi beli barang yang dipilih-pilih tadi ?", tanyanya lagi dengab tersenyum.
"Gini, Mba.. Saya mau minta tolong sama Mba nya.. Kira-kira bisa gak nih Mba nolongin saya...?", tanya gua.
"Minta tolong apa, Mas ?".
"Jadi gini, Mba.. Mmm.. Sebentar, mana tadi barang yang dipilih Ibu saya ?", tanya gua sambil melirik kearah etalase di depan bawah kami.
"Oh, kalung yang pertama Mba nya liat ya... Yang ini, Mas...", jawabnya seraya membuka etalase dan mengambil sebuah kalung berwarna silver dengan bandul batu berwarna merah.
"Nah itu.. Berapa harganya, Mba ?", tanya gua setelah dirinya meletakan kalung di atas etalase.
"Sekian rupiah, Mas..".
"Hah ?!! Busyet... Mahal amat, Mbaaa.. Gile..", gua terkejut mendengar harga sebuah kalung simpel namun memang bukan barang murahan.
"Iya soalnya lapisan emas putih untuk keseluruhan bahan kalungnya sekian karat, Mas.. Dan bandulnya itu batu ruby dari Myanmar, Mas nya boleh cek keasliannya kok, dan ada jaminannya juga kalau ternyata yang kita jual ini barang palsu, kami ganti dua kali lipat dari harga jual ke Mas nya", terang si pramuniaga tersebut panjang lebar.
Gua mengambil kalung tersebut, melihatnya dengan seksama. Bukan berarti gua ahli dan mengerti soal perhiasan. Tapi gua memikirkan apakah perlu benar-benar memilih kalung ini atau tidak. Setelah cukup lama berfikir, dan rasanya enggak enak juga kelamaan mikir nih, akhirnya terbesitlah ide gila di otak gua secara tiba-tiba.
Gua tersenyum. "Mba, gini deh.. Tadikan saya bilang, mau minta tolong ke Mba, nah rencana saya nih gini... Ini kalung tolong di keep dulu, jangan sampe kejual ke pembeli lain... Nah untuk itu, saya pake dp gimana ? Bisa enggak tuh ?", tanya gua pada akhirnya.
Pramuniaga tersebut tersenyum lebar, lalu mengangguk." Bisa kok, Mas.. Pasti mau nabung dulu ya ? Hihihi... Romantis banget Mas ke calon istrinya... Hihihi..", ucapnya seraya terkekeh.
Gua tau, bakal salah paham nih pramuniaga kepo. Bener ajakan.
"Bukan gitu, Mba.. Pertama nih, saya kasih tau deh.. Ini kalung untuk Ibu saya... Bukan calon istri saya. Dan yang kedua... Saya enggak akan beli atau melunasi kalung ini, hehehe...", jawab gua gantian terkekeh.
"Loch kok gitu ? Katanya tadi mau dp kalung ini, terus diangusin gitu ? Gak dilunasin ? Gimana sih, Mas ? Rugi dong Mas nya... Aneh-aneh aja deh..", ucapnya heran.
Gua kembali tersenyum. "Saya tanya, Mba udah nikah ?", tanya gua.
"Udah, Mas.. Kenapa ?", tanyanya balik.
"Waktu dulu di lamar sama suami, Mba.. Mba pingin beli perhiasan untuk lamaran itu dibeliin siapa ? Keluarga atau calon suami, Mba dulu ?".
"Ya calon suami lah... Emangnya kenapa ?", tanyanya lagi.
"Begitupun saya, Mba. Saya ini anak tirinya wanita yang Mba kira pacar saya tadi, dan Ayah saya udah meninggal beberapa tahun lalu, so.. Ibu saya tadi itu masih menjanda sampai sekarang, Mba.. Dan rencana saya, kelak kalau Ibu saya itu dipertemukan lagi sama jodohnya, saya mau calon suaminya itu yang melunasi kalung ini, Mba...", jawab gua menjelaskan kepadanya.
"Oooh gitu... Pantesan kok Ibu sama anak wajahnya sama-sama masih muda, enggak jauh beda. Hmmm.. Maaf ya, Mas, saya jadi gak enak...", jawabnya.
"Gak enak kasih kucing aja, Mba..", jawab gua singkat.
"Hah ? Ahahaha... Bisa aja si Mas... Hihihihi...", tawanya hingga menutupi mulutnya itu dengan tangan kanan.
"Udah ketawanya, Mba, sekarang back to bisnis nih... Gimana, Mba ? Bisa gak ?", tanya gua lagi.
"Oh iya, maaf hehe.. Mmm.. Sebenernya boleh sih Mas kayak gitu, di dp, terus biasanya di cicil dengan harga kesepakatan. Tapi kan ini beda ya, Mas.. Maksud saya, kata Mas nya tadi yang mau lunasin kan calon suaminya Ibu Mas itu, nah memangnya Mas tau kapan Ibunya ketemu sama jodohnya itu ? Bisa aja lama kan ? Sedangkan cicilan kalungnya gimana, atau Mas yang bayarin juga ?".
"Hehehe.. Soal itu tenang aja, Mba... Udah saya pikirin mateng-mateng, kurang lebih seperti yang Mba nya bilang, yang penting harganya cocok untuk dp dan cicilan, dan jangan lupa, jangan sampe dijual ke orang lain... Saya yakin, enggak akan lama kok ini kalung dilunasin sama someone spesialnya Ibu saya".
"Ooh udah ada toh calonnya... Kalo gitu sih gak masalah dong, Mas... Hihihi...", timpal si pramuniaga.
"Hm ? Siapa yang bilang udah ada ? Belom kok, belom ada calon Bapak tiri saya", potong gua.
"Loch ? Katanya tadi bakal dilunasin sama someone spesial Ibunya, berarti udah ada kan ?", cecarnya.
"Yaelah si Mba, keponya mulai lagi deh. Udah udah pokoknya saya dp sekarang nih kalung, nanti saya balik lagi buat lunasin ini kalung, hadeh ribet Mba ah...", sungut gua karena terlalu kepo ini pramuniaga.
"Diih yang ribet situ juga.. Yaudah iya, Mas.. Ini kalo dicicil selama satu tahun, sekian dpnya, dan harga cicilannya perbulan sekian, itu setahun sudah paling maksimal Mas jangka waktu cicilnya", terangnya lagi.
Gua cukup menelan ludah mendengar harga dp dan cicilan perbulannya. Sebenarnya bisa aja gua lunasin ini kalung dan beli secara langsung, tapii.. Aing teu jadi kimpoi atuh jeung Neng Ukhti... (Gua gak jadi nikah atuh sama Nona Ukhti).
Singkatnya selesai bertransaksi dp untuk kalung yang Ibu gua idamkan itu, gua pun kembali keluar toko. Dan bergegas menuju parkiran.
°°°
Tiga Hari kemudian...
Gua sedang berada di rumah Nenek, sedang mengunjungi beliau setelah sebelumnya di telpon oleh Nenek, yang ingin dibelikan martabak telur.
Saat itu gua sedang duduk dan menikmati kopi serta sebatang rokok di teras depan kamar sendirian.
Diluar hujan gerimis, tidak terlalu deras tapi hawa dinginnya cukup membuat gua mengenakan jaket. Ketika gua sedang melamun tidak jelas, menghadap kearah jalan di depan rumah. Seorang perempuan berjalan cepat dibawah rintikan hujan.
Gua cukup terkejut melihatnya, lalu secara reflek memanggil namanya seraya bangkit dari duduk.
"Mbaaa....", teriak gua.
Perempuan itu menengok kearah teras ini dengan mata yang sedikit memicing. Mungkin memastikan siapa yang memanggilnya ini.
"Eza ?", ucapnya.
Gua tersenyum. "Mba.. Sini mampir dulu..", ajak gua.
Kemudian dia berjalan menghampiri gua.
"Za ? Lagi disini ? Tumben sih...", tanyanya ketika sudah berada dihadapan gua.
"Iya, Mba.. Lagi maen aja. Eh apa kabar ?", tanya gua balik.
"Alhamdulilah baik.. Kamu makin tinggi ya, rambut gondrong lagi...", jawabnya seraya memperhatikan gua dari ujung kaki sampai ujung rambut.
"Heheh... Gitulah, Mba.. Oh ya, ayo masuk dulu, Mba.. Udah lama gak ngobrol nih..", ajak gua.
Kemudian tanpa ragu, dia menaruh payung di depan teras dan ikut masuk ke dalam teras.
"Duduk, Mba... Mau minum apa ?".
"Mmm.. Apa aja deh, eh tapi yang anget ya...", ucapnya malu-malu.
"Kalo yang anget ma sini aku peluk aja, heheheh...", goda gua.
"Iiih.. Masih aja ya genit, gak berubah...".
Ehm, Mba... Siapa yang gak genit kalo godaannya perempuan secantik kamu..
"Yaudah aku bikinin teh manis aja ya.. Sebentar..", gua pun masuk kedalam rumah.
"Okey...", jawabnya dengan tersenyum.
Tidak lama kemudian gua kembali dengan secangkir teh manis hangat untuknya.
"Silahkan diminum, Mba..", ucap gua setelah meletakan cangkir teh diatas meja teras depannya.
Kemudian gua duduk disampingnya.
Dia tersenyum lebar sambil memperhatikan gua.
"Kenapa, Mba ? Kok senyam-senyum ?".
"Yang kenapa tuh kamu.. Apa coba duduk sebelah aku ? Hayoo mau ngapain ?", godanya.
"Hahaha... Enggaklah.. Emang mau ngapain coba, duduk doang juga ah... Hehehe..", jawab gua malu, ketahuan modus ini sih, asyem...
"Yakin ? Awas ya kalo godain aku.. Udah ada yang punya sekarang nih soalnya... Hihihi...", ucapnya lagi.
"Hah ? Serius nih udah punya pacar, Mba ? Siapa ?", kepo gua.
"Ada deeh.. Mau tauuuu ajaa.. Hihihihi...".
"Hehehe.. Enggak penting sih, Mba.. Cuma ya kalo ujan gini nih, duduk duaan pula, jadi inget yang dulu-dulu gitu...", timpal gua menggodanya.
"Tuhkan.. Mulai deh genitnya..".
"Yang penting aku tanya, inget gak kalo ujan gini dulu di kontarkan kamu ngapain kita ?", tempel terus jangan kasih napas.
"Iiih.. Apaan emang ? gak ngapa-ngapain juga.. Dasar mesum kamu tuh!".
"Aawww.. Maen cubit-cubit aja nih ya.. Kan kan.. Inget berarti ya hahaha...", ucap gua yang sebelumnya kena cubit dibagian pinggang.
"Udah lama gak ketemu bukannya nanya kabar, nanyain kerjaan atau apa gitu.. Dasar iih.. Ngeseliiiinn...", kembali dia mencubit pipi gua dengan gemas.
Karena cubitannya itu, gua sampai oleng ke kiri, sedikit rebahan dengan menahan tubuh diatas sofa. Sedangkan tangannya masih berusaha mencubit pipi gua, yang otomatis tubuhnya ikut condong kearah gua.
"Aduh.. Udah atuh, sakit, Mba... Ampuun..", ucap gua seraya menepis cubitannya.
"Biariin..ngeselin abisnya...", sungutnya kesal.
Gua tahan kedua tangannya.
"Mba", gua tatap matanya lekat-lekat.
"Apa sih ? Gak usah liatin aku kayak gitu..", wajahnya berpaling, tapi tangannya masih gua genggam.
"Kangen gak sama aku ?", tanya gua dengan tersenyum tipis.
Dia tidak menjawab, hanya matanya melirik kepada gua dengan sinis. Kemudian tanpa berpikir panjang dan kurang ajar. Gua tarik tangannya yang masih gua genggam, otomatis tubuhnya semakin jatuh ke arah gua yang masih sedikit rebahan.
***sensor***
"Hhh... Hh.. Apaan sih, Za..? Hhh.. Hhhh...", tanyanya dengan nafas yang sedikit terengah-engah.
Gua bangun dan membenarkan posisi duduk, lalu menyeka bibir yang sedikit basah, akibat pergelutan bibir dengan perempuan itu.
"Sorry.", jawab gua pelan.
"Aku pulang.", ucapnya, lalu bangkit dari duduk dan berjalan kearah luar teras.
"Mba.. Maafin aku kebawa suasana tadi...", ucap gua mengejarnya.
Dia menengok kepada gua. "Tapi sengaja kan ?", tembaknya dengan mata sinis.
"Iya sengaja.. Tuh aku ngaku, maafin ya, maaf banget, Mba..", sesal gua.
"Udah, aku pulang... Makasih tehnya..", lalu dia pergi dengan menggunakan payung untuk menghalau hujan yang turun, dan berjalan cepat pergi meninggalkan gua.
"Ehm!".
Gua terkejut, lalu menengok ke sumber suara dibelakang sana.
"Ngapain tadi kamu sama Siska ?!", tanya Nenek dengan raut muka menahan amarah.
Gua sedang berada di rumah Nenek, sedang mengunjungi beliau setelah sebelumnya di telpon oleh Nenek, yang ingin dibelikan martabak telur.
Saat itu gua sedang duduk dan menikmati kopi serta sebatang rokok di teras depan kamar sendirian.
Diluar hujan gerimis, tidak terlalu deras tapi hawa dinginnya cukup membuat gua mengenakan jaket. Ketika gua sedang melamun tidak jelas, menghadap kearah jalan di depan rumah. Seorang perempuan berjalan cepat dibawah rintikan hujan.
Gua cukup terkejut melihatnya, lalu secara reflek memanggil namanya seraya bangkit dari duduk.
"Mbaaa....", teriak gua.
Perempuan itu menengok kearah teras ini dengan mata yang sedikit memicing. Mungkin memastikan siapa yang memanggilnya ini.
"Eza ?", ucapnya.
Gua tersenyum. "Mba.. Sini mampir dulu..", ajak gua.
Kemudian dia berjalan menghampiri gua.
"Za ? Lagi disini ? Tumben sih...", tanyanya ketika sudah berada dihadapan gua.
"Iya, Mba.. Lagi maen aja. Eh apa kabar ?", tanya gua balik.
"Alhamdulilah baik.. Kamu makin tinggi ya, rambut gondrong lagi...", jawabnya seraya memperhatikan gua dari ujung kaki sampai ujung rambut.
"Heheh... Gitulah, Mba.. Oh ya, ayo masuk dulu, Mba.. Udah lama gak ngobrol nih..", ajak gua.
Kemudian tanpa ragu, dia menaruh payung di depan teras dan ikut masuk ke dalam teras.
"Duduk, Mba... Mau minum apa ?".
"Mmm.. Apa aja deh, eh tapi yang anget ya...", ucapnya malu-malu.
"Kalo yang anget ma sini aku peluk aja, heheheh...", goda gua.
"Iiih.. Masih aja ya genit, gak berubah...".
Ehm, Mba... Siapa yang gak genit kalo godaannya perempuan secantik kamu..

"Yaudah aku bikinin teh manis aja ya.. Sebentar..", gua pun masuk kedalam rumah.
"Okey...", jawabnya dengan tersenyum.
Tidak lama kemudian gua kembali dengan secangkir teh manis hangat untuknya.
"Silahkan diminum, Mba..", ucap gua setelah meletakan cangkir teh diatas meja teras depannya.
Kemudian gua duduk disampingnya.
Dia tersenyum lebar sambil memperhatikan gua.
"Kenapa, Mba ? Kok senyam-senyum ?".
"Yang kenapa tuh kamu.. Apa coba duduk sebelah aku ? Hayoo mau ngapain ?", godanya.
"Hahaha... Enggaklah.. Emang mau ngapain coba, duduk doang juga ah... Hehehe..", jawab gua malu, ketahuan modus ini sih, asyem...
"Yakin ? Awas ya kalo godain aku.. Udah ada yang punya sekarang nih soalnya... Hihihi...", ucapnya lagi.
"Hah ? Serius nih udah punya pacar, Mba ? Siapa ?", kepo gua.
"Ada deeh.. Mau tauuuu ajaa.. Hihihihi...".
"Hehehe.. Enggak penting sih, Mba.. Cuma ya kalo ujan gini nih, duduk duaan pula, jadi inget yang dulu-dulu gitu...", timpal gua menggodanya.
"Tuhkan.. Mulai deh genitnya..".
"Yang penting aku tanya, inget gak kalo ujan gini dulu di kontarkan kamu ngapain kita ?", tempel terus jangan kasih napas.
"Iiih.. Apaan emang ? gak ngapa-ngapain juga.. Dasar mesum kamu tuh!".
"Aawww.. Maen cubit-cubit aja nih ya.. Kan kan.. Inget berarti ya hahaha...", ucap gua yang sebelumnya kena cubit dibagian pinggang.
"Udah lama gak ketemu bukannya nanya kabar, nanyain kerjaan atau apa gitu.. Dasar iih.. Ngeseliiiinn...", kembali dia mencubit pipi gua dengan gemas.
Karena cubitannya itu, gua sampai oleng ke kiri, sedikit rebahan dengan menahan tubuh diatas sofa. Sedangkan tangannya masih berusaha mencubit pipi gua, yang otomatis tubuhnya ikut condong kearah gua.
"Aduh.. Udah atuh, sakit, Mba... Ampuun..", ucap gua seraya menepis cubitannya.
"Biariin..ngeselin abisnya...", sungutnya kesal.
Gua tahan kedua tangannya.
"Mba", gua tatap matanya lekat-lekat.
"Apa sih ? Gak usah liatin aku kayak gitu..", wajahnya berpaling, tapi tangannya masih gua genggam.
"Kangen gak sama aku ?", tanya gua dengan tersenyum tipis.
Dia tidak menjawab, hanya matanya melirik kepada gua dengan sinis. Kemudian tanpa berpikir panjang dan kurang ajar. Gua tarik tangannya yang masih gua genggam, otomatis tubuhnya semakin jatuh ke arah gua yang masih sedikit rebahan.
***sensor***
"Hhh... Hh.. Apaan sih, Za..? Hhh.. Hhhh...", tanyanya dengan nafas yang sedikit terengah-engah.
Gua bangun dan membenarkan posisi duduk, lalu menyeka bibir yang sedikit basah, akibat pergelutan bibir dengan perempuan itu.
"Sorry.", jawab gua pelan.
"Aku pulang.", ucapnya, lalu bangkit dari duduk dan berjalan kearah luar teras.
"Mba.. Maafin aku kebawa suasana tadi...", ucap gua mengejarnya.
Dia menengok kepada gua. "Tapi sengaja kan ?", tembaknya dengan mata sinis.
"Iya sengaja.. Tuh aku ngaku, maafin ya, maaf banget, Mba..", sesal gua.
"Udah, aku pulang... Makasih tehnya..", lalu dia pergi dengan menggunakan payung untuk menghalau hujan yang turun, dan berjalan cepat pergi meninggalkan gua.
"Ehm!".
Gua terkejut, lalu menengok ke sumber suara dibelakang sana.
"Ngapain tadi kamu sama Siska ?!", tanya Nenek dengan raut muka menahan amarah.
Diubah oleh glitch.7 08-10-2017 23:57
oktavp dan 2 lainnya memberi reputasi
3

