- Beranda
- Stories from the Heart
Sonne Mond und Stern
...
TS
glitch.7
Sonne Mond und Stern
die SONNE der MOND und der STERN
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Cerita ini tak lagi sama
Meski hatimu selalu di sini
Mengertilah bahwa ku tak berubah
Lihat aku dari sisi yang lain
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Waktu yang telah kita lalui
Buatmu jadi lebih berarti
Luluhkan kerasnya dinding hati
Engkaulah satu yang aku cari
Bersandar padaku, rasakan hatiku
Bersandar padaku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu tuk memelukku
Kau melengkapiku, kau sempurnakan aku
Dan diriku bukanlah aku tanpa kamu menemaniku
Kau menenangkanku,Kau melegakan aku.
Tak Lagi Sama - Noah
Spoiler for Cover Stories:
JAGALAH SOPAN-SANTUN ANDA DALAM BERKOMENTAR, KARENA 95% TOKOH DISINI IKUT MEMBACA
Masa ini adalah lanjutan dari sebuah Masa yang Paling Indahdan lanjutan dari sebuah cerita Love in Elegy yang pernah Gua tulis di Forum ini.
Quote:
Versi PDF Dua Thread Sebelumnya :

*mulustrasi karakter dalam cerita ini
Quote:
*thanks to my brother in law yang bantu index dan update selama gua mudik
Polling
Poll ini sudah ditutup. - 239 suara
Siapakah pendamping Eza sebenarnya ?
Sherlin Putri Levanya
55%
Franziska Luna Katrina
17%
Giovanna Almira
28%
Diubah oleh glitch.7 08-01-2022 09:16
chamelemon dan 125 lainnya memberi reputasi
122
1.9M
8.8K
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•52KAnggota
Tampilkan semua post
TS
glitch.7
#1929
PART 16
Gua baru saja terbangun dari tidur sepanjang hari, mengistirahatkan tubuh dari rasa pegal dan otot yang kaku karena selama tiga hari dua malam yang lalu tubuh ini tidak mendapatkan tempat berbaring yang layak. Beralaskan tikar dalam area yang sangat terbatas karena harus berbagi dengan orang lain, ditambah udara yang pengap membuat gua tidak nyaman. Tapi, akhirnya hari ini alhamdulillah gua bisa keluar dari balik jeruji dengan status bebas bersyarat. Penjaminnya adalah Ibu, Mba Yu, dan Ryo. Bagaimana gua bisa keluar dengan status bebas bersyarat ? Tentu saja pencabutan laporan dari korban, siapa lagi kalau bukan Feri. Dia memilih jalan berdamai dengan pengganti biaya pengobatan sampai pulih seratus persen, gak mungkin sih seratus persen... Padahal menurut Gusmen, sekalipun Feri mencabut laporannya, gua semestinya masih harus mendekam di balik jeruji besi karena kepemilikan senjata ilegal. Dan untuk yang satu itu, Ryo beserta koleganyalah yang membantu gua. Thanks for all of you Gais...
Hari menjelang sore ketika gua selesai mandi dan sudah berganti pakaian santai. Gua mengenakan celana pendek berwarna hitam dengan kaos oblong berwarna putih. Turun dari tangga lantai dua, gua menuju ke ruang makan untuk menikmati masakan Ibu.
"Eh udah bangun anak ganteng...", ucap Ibu ketika melihat gua menarik kursi makan.
"Ketidurannya lama juga aku, Bu... Sekarang udah jam lima sore ternyata...", jawab gua sambil duduk di depan meja makan.
"Enggak apa-apa lah, kamu dari kemarin-kemarin kan tidur di lantai terus, Za...", ucapnya lagi kali ini sambil berjalan menghampiri. "Nih, makan dulu ya sayang, Ibu masakin makanan kesukaan kamu tuh..", piring yang diatasnya sudah terisi nasi dengan teri kacang balado serta sebuah mangkuk kecil berisi sayur asem pun disajikan oleh Ibu gua tercinta.
Gua tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Terimakasih Bu...", ucap gua tulus, sangat tulus hingga mata gua berkaca-kaca.
"Iya.. Ayo makan yang banyak ya...", Ibu memegangi kedua bahu gua dengan posisi berdiri dibelakang dari tempat gua duduk.
Kemudian kedua tangan lembut beliau mengelus-ngelus lembut kedua bahu gua ini. Tanpa terasa airmata gua mengalir karena kini, Beliau memeluk gua dari belakang, dan berbisik dengan lembut... "Ibu sayang sama Eza.. Jangan bertindak gegabah lagi ya sayang...", ucapnya.
Tubuh gua bergetar dan ketika airmata ini semakin deras mengalir, beliau mencium lembut pipi gua sesaat, lalu menempelkan sisi wajahnya ke wajah ini.
Kalian harus tau, kalimat sederhana yang terdengar seperti ucapan orangtua kepada anak kecil itulah yang gua harapkan... Ya gua memang merindukan kalimat tersebut. Kata 'sayang' dari seorang Ibu. Ehm, tanpa mengurangi rasa cinta, sayang dan hormat gua kepada Nenek dan Ayahanda, jauh di lubuk hati gua yang terdalam, adalah keinginan untuk mendengar kalimat tersebut diucapkan oleh Almh. Ny. Hikari... Ibu kandung gua. Tapi ketika semuanya sudah terlambat, kini hadir seorang wanita yang bernama Larasati, seorang wanita yang baik hati nan tulus mencintai dan juga menyanyangi gua seperti seorang Ibu kepada anak kandungnya sendiri. Gua bersyukur atas pemberian Allah SWT, Dia hadirkan seorang wanita yang kini menjadi Ibu gua. Lebih dari itu, gua sangat menghormati beliau, Ibu gua. Karena di usia yang belum genap tiga puluh tahun sifat keibuan dan rasa kepeduliannya kepada gua sangatlah dalam, dan nanti pada akhirnya, gua mengetahui alasan beliau yang sebenarnya...
Selesai makan berdua bersama sang Ibu, gua meminta dibuatkan kopi hitam kepada Bibi. Kini Gua duduk bersimpuh di depan kedua makam orang yang selalugua cintai selama-lamanya. Tersenyum sesaat lalu merasakan malu serta penyesalan. Ya gua menyesal harus melakukan hal keterlaluan nan bodoh kepada Feri. Malu kepada Almh. Echa dan juga Almh. Jingga...
Kemudian gua berdiri dan duduk dalam gazebo, menikmati secangkir kopi yang sebelumnya sudah diantarkan oleh Bibi. Gua membakar sebatang rokok sambil memainkan blackberry, membaca beberapa notifikasi chatt bbm dari sang Nyonya yang tidak gua balas dari tiga hari lalu. Gua menghela nafas lalu menghisap rokok dalam-dalam dan kembali menghembuskan asapnya keatas. Menimang-nimang harus memberikan jawaban apa selama tiga hari gua tidak membalas chatting serta panggilan telpon darinya. Sedangkan Ibu gua sama sekali tidak bilang apakah beliau cerita kepada Nyonya atau tidak. Akhirnya gua mencoba menelepon nomor internasional tersebut tapi ternyata nomornya tidak aktif, masuk ke mailbox. Tiga kali gua mencoba menelpon tapi tetap saja hanya masuk ke mailbox. Gua mulai khawatir...
Gua semakin khawatir ketika mencoba menelpon ayah mertua juga tidak ada jawaban, walaupun tersambung tapi tidak diangkat. Gua mulai panik... Ya gua panik karena takut terjadi hal-hal buruk yang bisa saja menimpa sang Nyonya. Alasan gua kuat, karena seperti yang gua bilang, gua selalu overprotective akan keselamatan istri tercinta gua itu. Masih dalam keadaan panik, gua mencoba meneguk kopi hitam walaupun masih terasa panas hingga habis setengah gelas. Lalu gua berdiri hendak berjalan masuk lagi ke dalam rumah untuk menemui Ibu.
Baru saja gua berjalan sampai di ruang tamu, gua berhenti, menatap kearah depan, dimana Ibu gua sedang berdiri di ambang pintu rumah dengan posisi memebelakangi gua. Gua kembali berjalan dan lagi-lagi kembali menghentikan langkah ketika Ibu menyambut seorang wanita dengan suara bahagia dan memeluknya. Gua cukup terkejut dengan sosok wanita tersebut...
"Assalamualaikum, Mas..", ucap sang Nyonya ketika melihat gua dari balik tubuh Ibu.
"Eh ? Ii.. Iya walaikumsalam...", gua masih tidak percaya kalau ternyata dia sudah berada di rumah ini.
Sang Nyonya berjalan masuk dengan koper kecil yang dibawakan oleh Tante gua, Kinanti. Kemudian Ibu berjalan disebelah sang Nyonya. Dia mencium punggung tangan kanan gua ketika sudah berdiri tepat dihadapan gua. Tanpa menunggu waktu lama, gua langsung reflek memeluknya dengan erat.
"Aku kangen kamu, sayang...", ucap gua dengan mata terpejam dan masih memeluknya.
"Iya, Mas.. Aku juga kangen sama kamu...", balasnya seraya mengelus punggung gua.
Kemudian gua melepaskan pelukkan dan memegang kedua sisi lengannya, menatap matanya yang indah dengan kedua bola mata ini sudah berkaca-kaca. Nyonya tersenyum membalas tatapan gua. Sedetik kemudian gua mengecup keningnya dalam-dalam...
"Aku gak apa-apa kok sayang..", ucapnya tiba-tiba.
Gua menyudahi kecupan di keningnya. "Tau, aja kamu, kalo suaminya khawatir...", gua tersenyum tipis sambil mencolek hidungnya.
"Iyalah, aku yakin kalo kamu pasti daritadi nyoba nelpon aku... Hihihi...", balasnya dengan nada jahil.
Dasar ya... Hmmm... Gua menghela nafas pelan, lalu mengucapkan syukur alhamdulillah di dalam hati ketika mengetahui kalau sekarang istri gua, sang Nyonya sudah berada di hadapan gua dengan keadan selamat tanpa kurang suatu apapun. Kemudian dia izin untuk berganti pakaian ke kamar di lantai dua. Gua duduk bersama Kinanti dan Ibu di ruang tamu.
Gua baru tau ternyata Kinanti yang menjemput sang Nyonya ke bandara Soetta. Sedangkan Ibu juga sudah cerita kejadian yang menimpa gua kepada sang Nyonya kemarin hari di telpon. Dan ya... Istri tercinta gua itu langsung meminta izin kepada perusahaan atau tempat prakteknya itu untuk pulang ke Indonesia keesokan harinya, ya itu hari ini. Dan sialnya, gua baru sadar, gimana menjelaskan kejadian beberapa hari lalu kepadanya. Pasti shock dirinya, pasti.
"Za... Gimana di dalem penjara ? Enak gak ?", tanya Kinanti setelah kami bercerita soal kepulangan sang Nyonya.
"Biasa aja, ah... Hehehe...", jawab gua asal karena masih memikirkan harus ngomong apa sama sang Nyonya nanti.
"Biasa aja gimana ? Katanya sakit badan tidur disana.. Makanya laen kali kalo mau bertindak tuh difikir dulu", sungutnya dengan wajah kesal.
"Yeee namanya juga emosi, lagian siapa juga laki-laki yang bisa nahan emosi kalo liat perempuan digituin...", jawab gua sambil menyandarkan punggung ke bahu sofa.
"Ya, karena mantan kamu, Mba Yu mu itu juga kan... Coba kalo bukan dia, belum tentu kamu separah itu nyiksa Feri...", ucap Kinanti lagi.
Gua tersenyum, kemudian menegakkan lagi posisi duduk. Menatap matanya lekat-lekat yang duduk di sofa sebrang gua. "Jangankan Sherlin, Kak... Kalo kamu yang mengalami hal yang sama juga, aku bakal ngelakuin hal yang sama juga ke laki-laki yang berani ngasarin kamu kok...", jawab gua masih tetap tersenyum.
Dan ya ya ya... Dia baper, speechless deh malu-malu wajahnya tertunduk menahan senyum. Gombal jutsu mode on...
"Udah gak usah godain Tante kamu ah, kasian cintanya bertepuk sebelah tangan...", timpal Ibu gua tiba-tiba yang duduk disamping adik kandungnya itu.
"Iiiihhh... Apan sih, Mba! Siapa juga yang suka sama Eza! Iih.. Rese deh...", jawab Kinanti gelagapan.
"Ppfftttt...", gua menahan tawa. "Iya iya... Gak suka.. Cuma sayang... Ya kaaannn...? Huahahahahhahahaha....".
"Berisik ah! Aku ke dapur aja, cape abis jemput bukan disuguhin minuman, parah kalian...", kesel deh si Tante.
Kinanti berjalan meninggalkan ruang tamu dengan raut wajah yang merah merona menahan malu dan bibir yang manyun. Sedangkan gua dan Ibu tertawa melihatnya menutupi perasaan tulusnya itu. Aah maafin Eza ya Kakak Kinanti kuuu... Aku sayang kok sama kamu, tentu saja sebagai saudara.
Adzan maghrib berkumandang, kemudian istri gua meminta gua menjadi imam shalat maghrib berjamaah bersama Ibu dan juga Kinanti. Kami semua melaksanakan shalat maghrib berjamaah di depan kamar lantai dua, tepatnya di beranda dekat tangga. Selesai melaksanakan shalat berjamaah, Kinanti pamit pulang ke rumah beserta Ibu gua.
"Loch kok Ibu pulang juga ? Kenapa gak nginep aja sih ?", tanya gua ketika mendengar dirinya akan pamit pulang.
Beliau tersenyum penuh arti, lalu melirik kepada wanita yang berdiri tepat di samping gua. "Kalian butuh waktu berdua malam ini, yaa sepertinya kamu harus banyak bercerita ke istri kamu, Za...", jawabnya dengan tetap tersenyum.
Gua menghela nafas pelan lalu mengangguk, akhirnya gua tidak bisa menahan Ibu untuk ikut pulang bersama Kinanti. Sekitar pukul tujuh malam mereka berdua pulang dan meninggalkan gua serta istri gua di rumah ini, selain Bibi tentunya. Nyonya mengajak gua masuk ke dalam kamar di lantai dua, dimana ruang istirahat gua dan dirinya berada. Hati gua mulai risau, masih khawatir bagaimana tanggapannya setelah mendengarkan cerita kejadian kemarin dari mulut gua suaminya sendiri.
Gua duduk di atas kasur dengan menyandarkan punggung kebelakang, kemudian istri gua mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur yang berada di sisi kasur, barulah dia ikut naik keatas kasur lalu duduk di samping gua. Wajahnya menengok ke kanan, dimana gua duduk. Gua melirik kepadanya sebentar lalu tersenyum tipis sambil memainkan jemari.
"Sayang..".
"Iya... Iya iya, aku salah... Salah sayang.. Maafin, aku.. Sumpah aku gak akan ngelakuin hal kayak gitu lagi, beneran sayang... Ini terakhir dan gak akan berbuat hal keji lagi, gak akan.. Maafin ak.. Eh ?".
Tiba-tiba saja ia rebahan, meletakkan kepalanya diatas paha gua dan wajahnya itu menatap wajah gua dari bawah sana, lengkung senyum terlihat jelas dari bibirnya yang sangat indah itu.
"Aku mau denger apa yang kamu lakuin sama Feri... Jangan merasa bersalah dulu sama aku...", ucapnya dengan nada suara yang sangat ramah dan senyumannya semakin mengembang.
Shiitt... Ini yang gua malesin, wajib dan harus merunut dari awal, tidak akan terima dirinya kalau ada kejadian buruk seperti ini gua langsung meminta maaf dan straight to the point. I don't have any choice...
Gua mulai bercerita ketika Mba Yu curhat soal perselingkuhan Feri, dan berakhir pada tindak kekerasan yang harus dialaminya. Menerima pecutan sabuk pinggang yang setiap melayani Feri diatas ranjang dengan kedua tangan terikat. Dan nyatanya, perilaku menyimpang Feri pun baru diketahui oleh Mba Yu satu bulan terakhir itu. Pantas saja, kata Mba Yu, Feri seperti tidak bergairah jika melakukan hubungan intim dengan cara normal dan baik. Jadi ya seperti yang gua ceritakan di part sebelumnya, kalo hasrat seksual Feri itu mengarah kepada BDSM. Dan selama ini, Mey lah yang menjadi pelampiasannya, sedangkan berhubungan intim dengan istri sahnya sangat jarang dilakukan sampai akhirnya, dimana untuk pertama kali Mba Yu baru mengetahui penyimpangan seksual sang suaminya itu hingga harus menerima segala kekerasn fisik. Fuckdat!
"Kamu... Kamu enggak apa-apa kan ?", tanya gua menahan cerita sampai dimana Mba Yu dilakukan secara kasar oleh Feri.
Nyonya tersenyum tipis lalu mengangguk. Gua tau, selama gua bercerita tadi, dia mendengarkan dengan ekspresi yang sedikit nampak ketakutan... Ya kamu pasti takut dan selalu seperti itu kan. Ah, fakin past time.
"Terus ? Setelah itu kamu langsung samperin Feri ?", tanyanya.
Gua mengangguk. Dan kembali menceritakan segala hal yang gua lakukan kepada Feri dan Mey di malam itu. Setiap detailnya, hingga sang Nyonya meminta gua berhenti bercerita saat sampai dimana gua mengukir kalimat di punggung lengan Feri.
"Oke, stop...", ucapnya lalu bangkit dari paha gua dan duduk menghadap kearah suaminya ini.
"Maafin aku sayang...", ucap gua menyesal harus menceritakan semuanya, bukan menyesal lagi karena tindakan gua kepada Feri.
"Mas.. Kamu janji waktu itukan gak akan ngelakuin hal kejam seperti dulu..", ucapnya seraya memegang tangan kiri gua.
"Aku emang udah janji, tapi saat aku liat luka di kedua lengan Mba Yu... Sisi gelap itu bangkit lagi.. Tanpa bisa aku tahan... Maafin aku sampai harus membuat kamu dan keluarga kita malu... Maaf...", jawab gua kali ini sambil tertunduk.
"Jujur sama aku sekarang, Mas.. Berapa orang waktu di Jepang ?", tanyanya tiba-tiba.
Ah, dia masih ingat cerita itu dan yang tidak pernah gua jawab pertanyaannya sebelum menikahinya sampai detik ini. Tiba-tiba sekarang dia ingat dan kembali mempertanyakannya.
"Sepuluh....", jawab gua kali ini jujur.
Kedua matanya terbelalak dengan satu tangan yang menutupi mulutnya. Kedua matanya kini sudah berkaca-kaca. Beberapa saat kami terdiam, lalu setelah gua melihat perubahan pada wajahnya yang mulai kembali tenang, kini dia tersenyum dan kembali bertanya...
"Dan apa yang kamu lakukan sama pelaku yang menganiaya aku dulu ?".
"Dia mati bunuh diri, aku gak ngelakuin apa-apa, sumpah...", jawab gua jujur.
"Tapi kamu minta tolong teman kamu kan, Mas ? Aku tau rumahnya kebakaran, masuk koran, Mas... Adik perempuannya dirudapaksa dan meninggal karena bunuh diri...", lanjutnya.
"Udah ? Terus sekarang mau kamu apa ? Dia sangat pantas menerima itu semua, kamu gak punya salah apa-apa dan gak pantas menerima kejadian sialan itu!", akhirnya gua pun emosi mengingat kejadian lampau tersebut. "Sebelum aku minta tolong, aku udah mengucap sumpah di dalam hati, kalo dosanya aku yang tanggung... Semua itu aku lakukan demi kamu... Demi orang yang aku cintai saat itu.. Kamu.. Sampai kamu berani meninggalkan aku disaat aku mau melamar kamu dulu, Ve...".
Sang Nyonya... Vera Tunggadewi... Memeluk gua erat dan menangis dengan kepala yang ia sandarkan ke bahu ini.
"Jangan emosi lagi... Aku gak mau liat kamu marah, Mas... Hiks.. Hiks.. Hiks..".
Gua memejamkan mata sesaat. Lalu membalas pelukkannya. "Maaf, maafin aku, Ve... Aku sayang kamu.. Maaf...".
Hari menjelang sore ketika gua selesai mandi dan sudah berganti pakaian santai. Gua mengenakan celana pendek berwarna hitam dengan kaos oblong berwarna putih. Turun dari tangga lantai dua, gua menuju ke ruang makan untuk menikmati masakan Ibu.
"Eh udah bangun anak ganteng...", ucap Ibu ketika melihat gua menarik kursi makan.
"Ketidurannya lama juga aku, Bu... Sekarang udah jam lima sore ternyata...", jawab gua sambil duduk di depan meja makan.
"Enggak apa-apa lah, kamu dari kemarin-kemarin kan tidur di lantai terus, Za...", ucapnya lagi kali ini sambil berjalan menghampiri. "Nih, makan dulu ya sayang, Ibu masakin makanan kesukaan kamu tuh..", piring yang diatasnya sudah terisi nasi dengan teri kacang balado serta sebuah mangkuk kecil berisi sayur asem pun disajikan oleh Ibu gua tercinta.
Gua tersenyum sambil menggelengkan kepala. "Terimakasih Bu...", ucap gua tulus, sangat tulus hingga mata gua berkaca-kaca.
"Iya.. Ayo makan yang banyak ya...", Ibu memegangi kedua bahu gua dengan posisi berdiri dibelakang dari tempat gua duduk.
Kemudian kedua tangan lembut beliau mengelus-ngelus lembut kedua bahu gua ini. Tanpa terasa airmata gua mengalir karena kini, Beliau memeluk gua dari belakang, dan berbisik dengan lembut... "Ibu sayang sama Eza.. Jangan bertindak gegabah lagi ya sayang...", ucapnya.
Tubuh gua bergetar dan ketika airmata ini semakin deras mengalir, beliau mencium lembut pipi gua sesaat, lalu menempelkan sisi wajahnya ke wajah ini.
Kalian harus tau, kalimat sederhana yang terdengar seperti ucapan orangtua kepada anak kecil itulah yang gua harapkan... Ya gua memang merindukan kalimat tersebut. Kata 'sayang' dari seorang Ibu. Ehm, tanpa mengurangi rasa cinta, sayang dan hormat gua kepada Nenek dan Ayahanda, jauh di lubuk hati gua yang terdalam, adalah keinginan untuk mendengar kalimat tersebut diucapkan oleh Almh. Ny. Hikari... Ibu kandung gua. Tapi ketika semuanya sudah terlambat, kini hadir seorang wanita yang bernama Larasati, seorang wanita yang baik hati nan tulus mencintai dan juga menyanyangi gua seperti seorang Ibu kepada anak kandungnya sendiri. Gua bersyukur atas pemberian Allah SWT, Dia hadirkan seorang wanita yang kini menjadi Ibu gua. Lebih dari itu, gua sangat menghormati beliau, Ibu gua. Karena di usia yang belum genap tiga puluh tahun sifat keibuan dan rasa kepeduliannya kepada gua sangatlah dalam, dan nanti pada akhirnya, gua mengetahui alasan beliau yang sebenarnya...
Selesai makan berdua bersama sang Ibu, gua meminta dibuatkan kopi hitam kepada Bibi. Kini Gua duduk bersimpuh di depan kedua makam orang yang selalugua cintai selama-lamanya. Tersenyum sesaat lalu merasakan malu serta penyesalan. Ya gua menyesal harus melakukan hal keterlaluan nan bodoh kepada Feri. Malu kepada Almh. Echa dan juga Almh. Jingga...
Kemudian gua berdiri dan duduk dalam gazebo, menikmati secangkir kopi yang sebelumnya sudah diantarkan oleh Bibi. Gua membakar sebatang rokok sambil memainkan blackberry, membaca beberapa notifikasi chatt bbm dari sang Nyonya yang tidak gua balas dari tiga hari lalu. Gua menghela nafas lalu menghisap rokok dalam-dalam dan kembali menghembuskan asapnya keatas. Menimang-nimang harus memberikan jawaban apa selama tiga hari gua tidak membalas chatting serta panggilan telpon darinya. Sedangkan Ibu gua sama sekali tidak bilang apakah beliau cerita kepada Nyonya atau tidak. Akhirnya gua mencoba menelepon nomor internasional tersebut tapi ternyata nomornya tidak aktif, masuk ke mailbox. Tiga kali gua mencoba menelpon tapi tetap saja hanya masuk ke mailbox. Gua mulai khawatir...
Gua semakin khawatir ketika mencoba menelpon ayah mertua juga tidak ada jawaban, walaupun tersambung tapi tidak diangkat. Gua mulai panik... Ya gua panik karena takut terjadi hal-hal buruk yang bisa saja menimpa sang Nyonya. Alasan gua kuat, karena seperti yang gua bilang, gua selalu overprotective akan keselamatan istri tercinta gua itu. Masih dalam keadaan panik, gua mencoba meneguk kopi hitam walaupun masih terasa panas hingga habis setengah gelas. Lalu gua berdiri hendak berjalan masuk lagi ke dalam rumah untuk menemui Ibu.
Baru saja gua berjalan sampai di ruang tamu, gua berhenti, menatap kearah depan, dimana Ibu gua sedang berdiri di ambang pintu rumah dengan posisi memebelakangi gua. Gua kembali berjalan dan lagi-lagi kembali menghentikan langkah ketika Ibu menyambut seorang wanita dengan suara bahagia dan memeluknya. Gua cukup terkejut dengan sosok wanita tersebut...
"Assalamualaikum, Mas..", ucap sang Nyonya ketika melihat gua dari balik tubuh Ibu.
"Eh ? Ii.. Iya walaikumsalam...", gua masih tidak percaya kalau ternyata dia sudah berada di rumah ini.
Sang Nyonya berjalan masuk dengan koper kecil yang dibawakan oleh Tante gua, Kinanti. Kemudian Ibu berjalan disebelah sang Nyonya. Dia mencium punggung tangan kanan gua ketika sudah berdiri tepat dihadapan gua. Tanpa menunggu waktu lama, gua langsung reflek memeluknya dengan erat.
"Aku kangen kamu, sayang...", ucap gua dengan mata terpejam dan masih memeluknya.
"Iya, Mas.. Aku juga kangen sama kamu...", balasnya seraya mengelus punggung gua.
Kemudian gua melepaskan pelukkan dan memegang kedua sisi lengannya, menatap matanya yang indah dengan kedua bola mata ini sudah berkaca-kaca. Nyonya tersenyum membalas tatapan gua. Sedetik kemudian gua mengecup keningnya dalam-dalam...
"Aku gak apa-apa kok sayang..", ucapnya tiba-tiba.
Gua menyudahi kecupan di keningnya. "Tau, aja kamu, kalo suaminya khawatir...", gua tersenyum tipis sambil mencolek hidungnya.
"Iyalah, aku yakin kalo kamu pasti daritadi nyoba nelpon aku... Hihihi...", balasnya dengan nada jahil.
Dasar ya... Hmmm... Gua menghela nafas pelan, lalu mengucapkan syukur alhamdulillah di dalam hati ketika mengetahui kalau sekarang istri gua, sang Nyonya sudah berada di hadapan gua dengan keadan selamat tanpa kurang suatu apapun. Kemudian dia izin untuk berganti pakaian ke kamar di lantai dua. Gua duduk bersama Kinanti dan Ibu di ruang tamu.
Gua baru tau ternyata Kinanti yang menjemput sang Nyonya ke bandara Soetta. Sedangkan Ibu juga sudah cerita kejadian yang menimpa gua kepada sang Nyonya kemarin hari di telpon. Dan ya... Istri tercinta gua itu langsung meminta izin kepada perusahaan atau tempat prakteknya itu untuk pulang ke Indonesia keesokan harinya, ya itu hari ini. Dan sialnya, gua baru sadar, gimana menjelaskan kejadian beberapa hari lalu kepadanya. Pasti shock dirinya, pasti.
"Za... Gimana di dalem penjara ? Enak gak ?", tanya Kinanti setelah kami bercerita soal kepulangan sang Nyonya.
"Biasa aja, ah... Hehehe...", jawab gua asal karena masih memikirkan harus ngomong apa sama sang Nyonya nanti.
"Biasa aja gimana ? Katanya sakit badan tidur disana.. Makanya laen kali kalo mau bertindak tuh difikir dulu", sungutnya dengan wajah kesal.
"Yeee namanya juga emosi, lagian siapa juga laki-laki yang bisa nahan emosi kalo liat perempuan digituin...", jawab gua sambil menyandarkan punggung ke bahu sofa.
"Ya, karena mantan kamu, Mba Yu mu itu juga kan... Coba kalo bukan dia, belum tentu kamu separah itu nyiksa Feri...", ucap Kinanti lagi.
Gua tersenyum, kemudian menegakkan lagi posisi duduk. Menatap matanya lekat-lekat yang duduk di sofa sebrang gua. "Jangankan Sherlin, Kak... Kalo kamu yang mengalami hal yang sama juga, aku bakal ngelakuin hal yang sama juga ke laki-laki yang berani ngasarin kamu kok...", jawab gua masih tetap tersenyum.
Dan ya ya ya... Dia baper, speechless deh malu-malu wajahnya tertunduk menahan senyum. Gombal jutsu mode on...
"Udah gak usah godain Tante kamu ah, kasian cintanya bertepuk sebelah tangan...", timpal Ibu gua tiba-tiba yang duduk disamping adik kandungnya itu.
"Iiiihhh... Apan sih, Mba! Siapa juga yang suka sama Eza! Iih.. Rese deh...", jawab Kinanti gelagapan.
"Ppfftttt...", gua menahan tawa. "Iya iya... Gak suka.. Cuma sayang... Ya kaaannn...? Huahahahahhahahaha....".
"Berisik ah! Aku ke dapur aja, cape abis jemput bukan disuguhin minuman, parah kalian...", kesel deh si Tante.
Kinanti berjalan meninggalkan ruang tamu dengan raut wajah yang merah merona menahan malu dan bibir yang manyun. Sedangkan gua dan Ibu tertawa melihatnya menutupi perasaan tulusnya itu. Aah maafin Eza ya Kakak Kinanti kuuu... Aku sayang kok sama kamu, tentu saja sebagai saudara.
Adzan maghrib berkumandang, kemudian istri gua meminta gua menjadi imam shalat maghrib berjamaah bersama Ibu dan juga Kinanti. Kami semua melaksanakan shalat maghrib berjamaah di depan kamar lantai dua, tepatnya di beranda dekat tangga. Selesai melaksanakan shalat berjamaah, Kinanti pamit pulang ke rumah beserta Ibu gua.
"Loch kok Ibu pulang juga ? Kenapa gak nginep aja sih ?", tanya gua ketika mendengar dirinya akan pamit pulang.
Beliau tersenyum penuh arti, lalu melirik kepada wanita yang berdiri tepat di samping gua. "Kalian butuh waktu berdua malam ini, yaa sepertinya kamu harus banyak bercerita ke istri kamu, Za...", jawabnya dengan tetap tersenyum.
Gua menghela nafas pelan lalu mengangguk, akhirnya gua tidak bisa menahan Ibu untuk ikut pulang bersama Kinanti. Sekitar pukul tujuh malam mereka berdua pulang dan meninggalkan gua serta istri gua di rumah ini, selain Bibi tentunya. Nyonya mengajak gua masuk ke dalam kamar di lantai dua, dimana ruang istirahat gua dan dirinya berada. Hati gua mulai risau, masih khawatir bagaimana tanggapannya setelah mendengarkan cerita kejadian kemarin dari mulut gua suaminya sendiri.
Gua duduk di atas kasur dengan menyandarkan punggung kebelakang, kemudian istri gua mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur yang berada di sisi kasur, barulah dia ikut naik keatas kasur lalu duduk di samping gua. Wajahnya menengok ke kanan, dimana gua duduk. Gua melirik kepadanya sebentar lalu tersenyum tipis sambil memainkan jemari.
"Sayang..".
"Iya... Iya iya, aku salah... Salah sayang.. Maafin, aku.. Sumpah aku gak akan ngelakuin hal kayak gitu lagi, beneran sayang... Ini terakhir dan gak akan berbuat hal keji lagi, gak akan.. Maafin ak.. Eh ?".
Tiba-tiba saja ia rebahan, meletakkan kepalanya diatas paha gua dan wajahnya itu menatap wajah gua dari bawah sana, lengkung senyum terlihat jelas dari bibirnya yang sangat indah itu.
"Aku mau denger apa yang kamu lakuin sama Feri... Jangan merasa bersalah dulu sama aku...", ucapnya dengan nada suara yang sangat ramah dan senyumannya semakin mengembang.
Shiitt... Ini yang gua malesin, wajib dan harus merunut dari awal, tidak akan terima dirinya kalau ada kejadian buruk seperti ini gua langsung meminta maaf dan straight to the point. I don't have any choice...
Gua mulai bercerita ketika Mba Yu curhat soal perselingkuhan Feri, dan berakhir pada tindak kekerasan yang harus dialaminya. Menerima pecutan sabuk pinggang yang setiap melayani Feri diatas ranjang dengan kedua tangan terikat. Dan nyatanya, perilaku menyimpang Feri pun baru diketahui oleh Mba Yu satu bulan terakhir itu. Pantas saja, kata Mba Yu, Feri seperti tidak bergairah jika melakukan hubungan intim dengan cara normal dan baik. Jadi ya seperti yang gua ceritakan di part sebelumnya, kalo hasrat seksual Feri itu mengarah kepada BDSM. Dan selama ini, Mey lah yang menjadi pelampiasannya, sedangkan berhubungan intim dengan istri sahnya sangat jarang dilakukan sampai akhirnya, dimana untuk pertama kali Mba Yu baru mengetahui penyimpangan seksual sang suaminya itu hingga harus menerima segala kekerasn fisik. Fuckdat!
"Kamu... Kamu enggak apa-apa kan ?", tanya gua menahan cerita sampai dimana Mba Yu dilakukan secara kasar oleh Feri.
Nyonya tersenyum tipis lalu mengangguk. Gua tau, selama gua bercerita tadi, dia mendengarkan dengan ekspresi yang sedikit nampak ketakutan... Ya kamu pasti takut dan selalu seperti itu kan. Ah, fakin past time.
"Terus ? Setelah itu kamu langsung samperin Feri ?", tanyanya.
Gua mengangguk. Dan kembali menceritakan segala hal yang gua lakukan kepada Feri dan Mey di malam itu. Setiap detailnya, hingga sang Nyonya meminta gua berhenti bercerita saat sampai dimana gua mengukir kalimat di punggung lengan Feri.
"Oke, stop...", ucapnya lalu bangkit dari paha gua dan duduk menghadap kearah suaminya ini.
"Maafin aku sayang...", ucap gua menyesal harus menceritakan semuanya, bukan menyesal lagi karena tindakan gua kepada Feri.
"Mas.. Kamu janji waktu itukan gak akan ngelakuin hal kejam seperti dulu..", ucapnya seraya memegang tangan kiri gua.
"Aku emang udah janji, tapi saat aku liat luka di kedua lengan Mba Yu... Sisi gelap itu bangkit lagi.. Tanpa bisa aku tahan... Maafin aku sampai harus membuat kamu dan keluarga kita malu... Maaf...", jawab gua kali ini sambil tertunduk.
"Jujur sama aku sekarang, Mas.. Berapa orang waktu di Jepang ?", tanyanya tiba-tiba.
Ah, dia masih ingat cerita itu dan yang tidak pernah gua jawab pertanyaannya sebelum menikahinya sampai detik ini. Tiba-tiba sekarang dia ingat dan kembali mempertanyakannya.
"Sepuluh....", jawab gua kali ini jujur.
Kedua matanya terbelalak dengan satu tangan yang menutupi mulutnya. Kedua matanya kini sudah berkaca-kaca. Beberapa saat kami terdiam, lalu setelah gua melihat perubahan pada wajahnya yang mulai kembali tenang, kini dia tersenyum dan kembali bertanya...
"Dan apa yang kamu lakukan sama pelaku yang menganiaya aku dulu ?".
"Dia mati bunuh diri, aku gak ngelakuin apa-apa, sumpah...", jawab gua jujur.
"Tapi kamu minta tolong teman kamu kan, Mas ? Aku tau rumahnya kebakaran, masuk koran, Mas... Adik perempuannya dirudapaksa dan meninggal karena bunuh diri...", lanjutnya.
"Udah ? Terus sekarang mau kamu apa ? Dia sangat pantas menerima itu semua, kamu gak punya salah apa-apa dan gak pantas menerima kejadian sialan itu!", akhirnya gua pun emosi mengingat kejadian lampau tersebut. "Sebelum aku minta tolong, aku udah mengucap sumpah di dalam hati, kalo dosanya aku yang tanggung... Semua itu aku lakukan demi kamu... Demi orang yang aku cintai saat itu.. Kamu.. Sampai kamu berani meninggalkan aku disaat aku mau melamar kamu dulu, Ve...".
Sang Nyonya... Vera Tunggadewi... Memeluk gua erat dan menangis dengan kepala yang ia sandarkan ke bahu ini.
"Jangan emosi lagi... Aku gak mau liat kamu marah, Mas... Hiks.. Hiks.. Hiks..".
Gua memejamkan mata sesaat. Lalu membalas pelukkannya. "Maaf, maafin aku, Ve... Aku sayang kamu.. Maaf...".
Diubah oleh glitch.7 02-08-2017 18:43
oktavp dan 4 lainnya memberi reputasi
5

