Entertainment
Pencarian Tidak Ditemukan
KOMUNITAS
link has been copied
332
Lapor Hansip
11-10-2021 12:29

Jepang: Menghadapi Perang Psikologi Dan Ambisi Hegemoni Tiongkok Di Asia Timur

.
Jepang semakin keras merespon perang psikologi yang dilancarkan oleh Tiongkok (RRT) di kawasan Laut TIongkok Timur atau Asia Timur selama berpuluh tahun hingga dalam seminggu terakhir ini. Tidak ditujukan hanya kepada Taiwan, tapi juga kepada Jepang.

Pada Juli 2021, Tiongkok mengancam akan merudal nuklir Negeri Sakura itu sejak Pemerintah Jepang menunjukkan dukungannya secara terbuka kepada Taiwan. Jepang akan mengerahkan kekuatan militernya untuk menghalau serangan RRT kepada Taiwan jika negara itu diserang oleh RRT. Mulai Juli 2021 hingga seterusnya, Jepang terus memperkuat basis militernya sepanjang rantai pulau mulai dari Kepulauan Ryukyu hingga Pulau Yonaguni di timur Taiwan.

Jepang  melihat negaranya akan menjadi sasaran berikutnya jika RRT berhasil menguasai Taiwan. Mempertahankan Taiwan sama saja dengan mempertahankan Jepang.


Jepang: Menghadapi Perang Psikologi Dan Ambisi Hegemoni Tiongkok Di Asia Timur
Sistem pertahanan rudal darat ke udara PAC-3 dipasang di Pulau Ishigaki, Prefektur Okinawa, Jepang. Sumber


Perkembangan terakhir dalam satu setengah minggu yang lalu, Tiongkok semakin menunjukkan ototnya kepada Taiwan. Pada Tgl 1, 2 dan 4 Oktober 2021, Negara Tirai Bambu itu  mengerahkan berturut-turut 38, 39 dan 56 pesawat tempurnya dalam berbagai jenis, termasuk pembom nuklir, ke zona pertahanan udara Taiwan.

Tiga hari itu adalah rekor berturut-turut jumlah pesawat tempur RRT 'menghiasi' ruang udara Taiwan. Ditambah lagi dengan sejumlah latihan militer intensif selama Juli - September 2021 yang mensimulasikan penyerangan intensif dan tiba-tiba (blitzkrieg) ke Taiwan.

Perkembangan terakhir tsb sangat serius bagi Taiwan dan Jepang sendiri. Jepang semakin menghitung dan mempersiapkan kekuatan militernya hari demi hari untuk melindungi Taiwan dan Jepang.


Mengapa Tiongkok begitu 'bernafsu' ingin menghancur-leburkan Jepang?

"Jepang ingin melindungi Taiwan" tampaknya bukanlah alasan utama. Negara bertetangga biasa berselisih, demikian juga yang terjadi pada RRT dan Jepang. Namun, perselisihan kedua negara itu diperkeruh oleh perjalanan sejarah modern yang sangat kelam dan propaganda.

Sedikitnya satu dari dua negara itu masih hidup di masa lalu atau 'belum move on' dengan mengungkiit-ungkit masa lalu untuk dijadikan pembenaran.

Dimulai dari Perang Kerajaan Qing - Jepang I (1894 - 1895) di mana Kerajaan Qing kalah dan berakhir dengan Perjanjian Damai Shimonoseki pada April 1895. Perang dan Perjanjian tersebut ditambah dengan Perang Opium I (1839 - 1842) dan Perang Opium II (1856 - 1860) menandai kemunduran besar Dinasti Qing sebagai negara terkuat di kawasan Asia Timur yang memicu nasionalisme orang-orang Tiongkok dan sentimen besar terhadap Jepang. Faktanya, kemunduran wibawa Qing itulah yang membuat Partai Komunisme Tiongkok - yang berkuasa di Tiongkok hingga sekarang - bisa berkembang pesat dan selanjutnya menggulingkan Kuomintang, saingannya.

Perang Kerajaan Qing - Jepang II (1931 - 1945) atau lebih luasnya sebagai Penjajahan Jepang atas Kerajaan Qing hingga Jepang takluk pada Perang Dunia II.
Pembantaian dan Pemerkosaan Nanking adalah perisitiwa yang paling diingat dari penjajahan Jepang tsb. Pembantaian berlangsung selama enam minggu, mulai dari 13 Desember 1937, hari pertama Jepang menguasai Nanking, ibukota Kerajaan Qing. Jepang membantai 200 - 300 Ribu jiwa - tentara Tiongkok yang menyerah dan sipil -, merudapaksa perempuan sebanyak-banyaknya dan merampas harta benda rakyat. Peristiwa antikemanusiaan yang sangat mengerikan telah ditorehkan oleh Jepang di abad modern ini melalui Pembantaian dan Pemerkosaan Nanking1937. Selain Tiongkok, Korea juga mengalami hal yang sama pada masa perang itu.

Dibandingkan dengan Jerman, sikap para pemimpin dan rakyat Jepang selama ini tidak memberikan kesan rasa bersalah atau permintaan maaf yang kuat atas kejahatan perang yang telah mereka lakukan selama PD II, khususnya kepada Tiongkok dan Korea.

Klaim atas Kepulauan Senkaku

Walaupun perang telah berakhir, hubungan kedua negara masih terganjal, terutama karena klaim atas Kepulauan Senkaku. Masing-masing dari kedua negara memiliki alasan sejarah untuk mengklaim kepulauan tersebut, khususnya TIongkok yang memiliki catatan sejarah mulai abad ke-15. Tetapi, Tiongkok tidak bisa menunjukkan bukti bahwa mereka pernah mendiaminya, kecuali sebatas klaim di atas kertas atau peta kuno yang lebih menempatkan kepulauan tersebut sebagai alat navigasi berlayar. Demikian juga dengan Perjanjian Shimonoseki yang tidak menyebutkan sama sekali mengenai pulau-pulau di timur laut Taiwan itu.


Jepang: Menghadapi Perang Psikologi Dan Ambisi Hegemoni Tiongkok Di Asia Timur
Kepulauan Senkaku (bagian yang diberi lingkar merah) diperebutkan oleh Tiongkok dan Taiwan dari tangan Jepang. Sumber


Bersamaan dengan kalahnya Kerajaan Qing pada 1895, Jepang melakukan survai di Kepulauan Senkaku. Mereka tidak menemukan bekas-bekas kehidupan manusia di sana dan mulai menempatinya. Sebelum 1971, Tiongkok maupun Taiwan tidak pernah mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Senkaku. Selama 76 tahun, Jepang berdaulat atas pulau-pulau karang tersebut tanpa ada keberatan dari negara manapun.

Perubahan sikap kedua negara dipicu oleh laporan hasil survai pada 1969 oleh satu lembaga PBB, Economic Commission for Asia and the Far East (ECAFE). Laporan itu menyebutkan potensi kandungan minyak dan gas yang besar di perairan sekitar Senkaku.

Pada 1971, Taiwan untuk pertama kalinya mengklaim kedaulatan atas pulau-pulau tsb setelah ECAFE mengumumkan temuannya tadi. Beberapa bulan kemudian, menyusul Tiongkok melakukan hal yang sama. Dari sinilah dimulai babak baru pertikaian antara Tiongkok dengan Jepang.

Pertikaian semakin memanas dengan naiknya Xi Jinping ke tampuk kekuasaan pada 2012 yang mengubah aura politik Tiongkok, dari asertif menjadi ofensif/agresif terhadap tetangga-tetangganya - khususnya Jepang dan Taiwan.


"Abad Penghinaan (Century of Humiliation)"

Xi Jinping - Pemimpin Tiongkok karismatik - kembali menggelorakan slogan "Abad Penghinaan (Century of Humiliation)" dalam beberapa pidatonya, setidaknya mulai 2017.

Slogan tsb berkembang pada 1915 atau beberapa tahun sebelumnya yang menandai kebangkitan nasionalime Tiongkok dan menentang skema politik negara-negara Barat dan Jepang di masa itu yang mempecundangi Kerajaan Qing dan selanjutnya Republik Tiongkok (RoC).

Para pemimpin Partai Komunis Tiongkok (PKT) saat ini mendefinisikan Abad Penghinaan tsb dimulai dari Perang Opium I (1939) hingga Mao Tse-tung -  pemimpin PKT - berhasil meraih kekuasaan pada 1949 setelah menggulingkan Chiang Kai-shek, Presiden Tiongkok dari partai nasionalis, Kuomintang.

Slogan tersebut menjadi legitimasi sosialisme-komunisme ala PKT sebagai ideologi terbaik menggantikan ideologi sebelumnya dan mengingatkan rakyatnya bahwa kebangkitan besar Tiongkok terjadi setelah PKT memerintah dari sejak 1949.

Quote:"Tiongkok terus berjuang untuk mimpinya mewujudkan pembaruan nasional yang besar selama lebih dari 170 tahun"

(kutipan dari pidato Xi Jinping pada Kongres Rakyat Nasional 2018)

“Setelah Perang Opium, Tiongkok berulang kali dikalahkan oleh negara-negara kecil dan berpopulasi lebih sedikit,”

“Kowloon dan New Territories (Hong-Kong) dipaksa untuk dilepas dari Tiongkok pada masa itu (dan) sejarah Tiongkok penuh dengan penghinaan dan penderitaan rakyat”


(kutipan dari pidato Xi Jinping pada Peringatan 20 Tahun Hong-Kong Kembali kepada Tiongkok)


Xi, lewat slogan "Abad Penghinaan" itu, menyiratkan tuduhan kepada negara-negara Barat dan Jepang sebagai penyebab Tiongkok terlambat maju selama 170 tahun. Suatu hal yang sangat memalukan karena dipecundangi oleh negara-negara 'kecil'.

Pidato-pidato kontroversial semacam itu adalah propaganda yang menyuburkan nasionalisme berlebihan pada orang-orang Tiongkok saat ini dan memperkeruh persoalan negara tersebut dengan tetangga-tetangganya, khususnya Jepang.

Sengketa atas Kepulauan Senkaku-pun yang semula dimotivasi kuat oleh kekayaan alam di sana diperkuat atau diperkeruh dengan rasa nasionalisme berlebihan atau atas dasar 'balas dendam'. Tidak heran jika Pasukan Milisi Laut Tiongkok (People’s Armed Forces Maritime Militia / PAFMM) dengan kedoknya sebagai nelayan kerap kali melakukan insiden di perairan laut negara-negara tetangganya di kawasan Laut Tiongkok Selatan.

Tiongkok di bawah pimpinan Xi berubah, dari semula menjalankan "Politik Panda" menjelma menjadi politik ofensif/agresif untuk menyelesaikan persoalan-persoalan bilateral atau multilateralnya.


Pasang-surut hubungan Tiongkok - Jepang terkait klaim Kepulauan Senkaku

Sedikitnya dari 2010 hingga sekarang, terutama pada 2012 - 2013, Tiongkok melakukan puluhan atau mungkin ratusan kali iinsiden yang menimbulkan ketegangan politik, - bahkan militer - antara Tiongkok dan Jepang terkait dengan klaim masing-masing negara atas Kepulauan Senkaku.

Quote:Pada 2010, satu ketegangan politik serius terjadi ketika Jepang menahan seorang kapten kapal ikan Tiongkok karena kapalnya bertabrakan dengan satu kapal penjaga pantai Jepang. Si kapten kapal ikan itu akhirnya dilepas kembali ke negaranya setelah Beijing menunda sejumlah pembicaraan dan perdagangan antarkedua negara.

Pada Agustus 2012, Jepang menahan 14 aktivis Tiongkok yang menancapkan satu Bendera Tiongkok di kepulauan itu, lalu membebaskan mereka dua hari kemudian. Di bulan yang sama, sedikitnya dua orang Tiongkok mencabut Bendera Jepang dari satu mobil yang sedang melintas di jalan membawa Dubes Jepang untuk Tiongkok, Uichiro Niwa, menuju kantor kedutaan Jepang di Beijing.

Pada awal September 2012, dilaporkan bahwa Pemerintah Jepang telah membeli tiga pulau di Kepulauan Senkaku dari Keluarga Kurihara senilai 2.05 Milyar Yen. Itu dilakukan secara dugaan untuk kepentingan penambangan sumber daya alam di kawasan itu. Tindakan tersebut memicu kemarahan besar di Tiongkok. Menteri Luar Negeri Tiongkok bersumpah akan menempuh langkah-langkah untuk melindungi kedaulatannya, termasuk membawa persoalan Kepulauan Senkaku ke pengadilan internasional. Tindakan Jepang tersebut juga ditentang oleh Taiwan, kedua Korea dan Russia.

Pada bulan itu juga, Tiongkok mengerahkan kapal-kapal militernya ke perairan Kepulauan Senkaku. Taiwan juga melakukan hal yang sama.

Protespun merebak di seantero Tiongkok atas tindakan Jepang itu dan Pemerintah Tiongkok pun menunjukkan foto-foto kemarahan rakyatnya kepada dunia. Sedikitnya selama lima hari berturut-turut, protes anti-Jepang di jalanan secara besar-besaran berlangsung. Kemarahan warga memuncak dengan menghancurkan mobil-mobil buatan Jepang hingga merusak dan merampas restoran-restoran dan pusat-pusat perbelanjaan milik Jepang, seperti Jusco dan Heiwado. Mereka meneriakkan slogan-slogan, “Tamparkan sanksi ekonomi kepada Jepang".

Itu adalah protes terbesar dari sejak hubungan kedua negara dipulihkan pada 1972.


Pada November 2013, Tiongkok menerapkan Air Defense Identification Zone (ADIZ) pada sebagian besar ruang udara di Laut Tiongkok Timur, termasuk di Kepulauan Senkaku. Penerapan ADIZ Tiongkok tersebut tentu saja beririsan dengan ADIZ Jepang dan semakin meningkatkan ketegangan antarkedua negara.

Buku Putih Pertahanan Jepang per Juli 2021 kembali menegaskan kekhawatiran Negara Samurai Biru itu atas kegiatan penjaga pantai (coastal guards) Tiongkok di sekitar Kepulauan Senkaku.


Semakin keras dan kasar Tiongkok melancarkan perang psikologinya, semakin keras Jepang menanggapinya

Untuk pertama kalinya Buku Putih Pertahanan Jepang, yang dikeluarkan pada 13 Juli 2021, merujuk pada keamanan Taiwan sebagai pertimbangan penting bagi keamanan dan pertahanan negara tersebut. Itu hampir berarti bahwa Jepang telah menempatkan ancaman agresi Tiongkok pada Taiwan sebagai ancaman agresi pada Jepang sendiri.

Quote:Berikut kutipanpenting di dalam dokumen tersebut.

"Penstabilan keadaan yang mengelilingi Taiwan sangat penting bagi keamanan Jepang dan stabilitas dunia"

“Oleh karena itu, penting bagi kita untuk sungguh-sunguh memperhatikan perkembangan keadaan dengan tingkat kewaspadaan akan krisis (sense of crisis) yang jauh lebih besar daripada sebelumnya.


Buku Putih Pertahanan tersebut dikeluarkan bersamaan dengan semakin gencarnya latihan-latihan militer Tiongkok, khususnya dalam dua tahun terakhir, hingga tidak canggung menyebut sedikitnya satu dari sejumlah latihan militernya sebagai "skenario Taiwan".

Shinzo Abe, mantan Perdana Menteri Jepang, adalah orang penting di balik buku putih tersebut bersama partainya, Liberal Democratic Party (LDP). Untuk menegaskan kebijakan agresif melindungi Taiwan tersebut, Abe mengatakan, "Apa yang terjadi di Hong Kong, tidak akan terjadi di Taiwan". Untuk menegaskan kebijakan agresif melindungi Taiwan tersebut, Abe mengatakan, "Apa yang terjadi di Hong Kong, seharusnya tidak terjadi di Taiwan". Kebijakan pertahanan Jepang tsb dan pernyataan Abe ini menjadi dukungan moral bagi orang-orang Taiwan agar tidak mudah jatuh menghadapi perang psikologi yang dilancarkan oleh RRT.

Tiongkok-pun bereaksi terhadap perubahan sikap Jepang yang terbuka mencampuri urusan negara lain tersebut (RRT menganggap Taiwan sebagai provinsi yang nakal)..Tiongkok mengancam akan menyerang Jepang dengan gaya bahasa yang sangat keras, literal dan vulgar. Untuk pertama kalinya ada satu negara yang menyatakan secara terbuka akan membom nuklir negara lain. Tiongkok mengancam akan membom nuklir Jepang.

Ancaman itu disampaikan lewat satu video oleh satu akun di situs Xigua - yang dikelola oleh orang-orang PKT -, selanjutnya dihapus. Video tsb ditampilkan kembali di situs Baoji, milik Partai Komunis Tiongkok di Provinsi Shaanxii. Itu terjadi pada minggu ke-3 Bulan Juli.


Dari militer pasif menjadi ofensif/agresif

Sikap politik agresif bercorak militer tersebut sudah diberi payung hukumnya oleh Parlemen Jepang sejak enam tahun yang lalu. Pada September 2015, setelah melewati 'drama' yang panjang dan melelahkan, Parlemen Jepang meloloskan satu Undang-undangyang memperbolehkan kekuatan militernya untuk ambil bagian dalam kegiatan pertahanan bersama negara lain, membantu sekutu, bahkan sekalipun Jepang tidak terancam secara langsung. Shinzo Abe adalah Perdana Menteri Jepang pada masa itu.

Artikel 9 pada Konstitusi Jepang hampir secara lugas melarang kekuatan militer Jepang digunakan untuk tindakan agresif, namum upaya jungkir-balik memaknai ulang artikel tersebut akhirnya berhasil dan meloloskan Undang-undang 'agresif' tadi.

Perlu diketahui bahwa sebagian besar orang Jepang masih trauma dengan penderitaan yang mereka alami akibat kekalahan Jepang pada PD II, khususnya akibat pengeboman nuklir di Horishima dan Nagasaki. Mereka takut jika Undang-undang 'agresif' tersebut akan menjerumuskan mereka sekali lagi ke dalam kekelaman. Mreka masih percaya bahwa menyerahkan urusan pertahanan kepada AS sudah cukup dan semua akan baik-baik saja.

Undang-undang tsb menandai perubahan kebijakan politik luar negeri Jepang, khususnya terhadap konflik militer di negara lain, yang sebelumnya bersikap pasif menjadi ofensif/agresif dari sejak Jepang kalah dalam Perang Dunia II. Ancaman militer oleh Tiongkok pada Taiwan adalah sasaran yang paling jelas bagi Undang-undang tsb.

Seperti ketika menyikapi Buku Putih Pertahanan Jepang tadi, Tiongkok-pun menyikapi Undang-undang 'agresif' ini dengan bahasa yang keras dan vulgar. Tiongkok menuduh Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, sebagai "raja perang (warlord)" yang mengancam kedamaian di kawasan Asia Timur dengan mengabaikan Konstitusi Jepang yang menganut azas pertahanan murni. Seakan-akan Tiongkok membicarakan dirinya sendiri.


Bersambung ke bawah ....

emoticon-Cool
Diubah oleh gagal.jadi.nabi
profile-picture
profile-picture
profile-picture
provocator3301 dan 69 lainnya memberi reputasi
58
Masuk untuk memberikan balasan
the-lounge
The Lounge
82.2K Anggota • 922.7K Threads
Jepang: Menghadapi Perang Psikologi Dan Ambisi Hegemoni Tiongkok Di Asia Timur
11-10-2021 12:29

Jepang: Menghadapi Perang Psikologi Dan Ambisi Hegemoni Tiongkok Di Asia Timur #2

.
Jepang sangat tertinggal dibandingkan dengan Tiongkok secara kemampuan militer

Secara semua aspek, Jepang sangat lemah menghadapi kemungkinan serangan militer Tiongkok. Negara kepulauan tsb sangat bergantung pada 60% impor bahan pangan dan 85% impor energi untuk memenuhi kebutuhan dasar hidupnya sehari-hari. Secara jumlah alutsista secara semua jenis dan anggaran militer, Jepang jauh tertinggal dibandingkan Tiongkok.

‎Jepang menambah anggaran militernya menjadi [url=https://www.visiontimes.com/2020/12/25/japan-sets-record-52-billion-military-budget-to-counterS E N S O Rmunist-china.html]$52 Milyar[/url] untuk 2021. Itu adalah rekor terbaru untuk pengembangan rudal jarak jauh, pengembangan pesawat tempur siluman dan memperkuat pulau-pulau terluar yang berdekatan dengan Taiwan dan mengarah langsung ke Tiongkok dengan menambah serdadu, pertahanan rudal dan unit perang elektronik.

Quote:Pada akhir tahun ini, Pemerintah Jepang akan menempatkan tambahan 500 - 600 serdadu yang menangani sistem pertahanan rudal di Pulau Ishigaki, Prefektur Okinawa, yang terletak menjelang akhir hamparan Kepulauan Nansei. Pulau Ishigaki berjarak hanya 185 mil dari Taiwan, bahkan lebih dekat ke Kepulauan Senkaku.

‎Selain itu, Pemerintah Jepang juga akan menempatkan unit perang elektronik tambahan di Yonaguni, pulau berpenghuni paling barat Jepang dan dari situ pantai Taiwan dapat dilihat. Penempatan tersebut dalam tahun anggaran pertahanan 2023.

Uji-coba pendaratan jet tempur siluman F35B di atas kapal pengangkut JS Izumo untuk pertama kalinya pada 3 Oktober 2021. JS Izumo, yang semula digunakan untuk mengangkut helikopter hingga pesawat udara ringan dan menyerang kapal selam dan pesawat udara ringan, telah dimodifikasi dari sejak 2019 untuk pendaratan hingga pengangkutan jet tempur varian F35 yang bisa terbang dan mendarat secara vertikal.


Nilai anggaran pertahanan Jepang tsb sangat kecil jika dibandingkan dengan nilai anggaran pertahanan Tiongkok saat ini yang sebesar $209 Milyar.

Sejauh ini, Tiongkok belum melakukan persiapan khusus untuk menyerang Jepang, tetapi rudal-rudal konvensional atau nuklir jarak jauhnya - tipe balistik maupun jelajah - dapat dengan mudah menjangkau kapal-kapal laut maupun daratan Jepang. Kapal-kapal selam Tiongkok dapat dengan mudah memotong jaringan kabel serat optik bawah laut sehingga kehidupan Jepang terputus dari dunia luar dan perangpun lebih mudah dilancarkan.

Namun, mengenai kapan RRT akan menyerang Jepang tidak begitu penting lagi bagi kebijakan Jepang. Mengancam menyerang Taiwan berarti otomatis mengancam menyerang Jepang dengan sejumlah pertimbangan yang disebut di atas tadi.

Dalam sepuluh tahun terakhir, kemajuan militer Tiongkok, sebagai hasil kerjasamanya dengan Rusia, tampaknya telah melampaui kemampuan militer AS, terutama di bidang: persenjataan nuklir, pertahanan rudal, senjata hipersonik, senjata super-EMP dan perang siber.

Undang-undang September 2016 tersebut telah memberi jalan mulus bagi Jepang menggalang kerjasama militer dengan negara-negara lain untuk meningkatkan daya tawarnya terhadap Tiongkok dan menanggulangi kelemahan militernya. Aliansi informal, Quadrilateral Security Dialogue (QUAD), yang beranggotakan AS, India, Jepang dan Australia dihidupkan kembali atas prakarsa  Shinzo Abe pada 2012. Dalam beberapa tahun terakhir, kerjasama tersebut berkembang menjadi kerjasama latihan militer hingga pertukaran data intelijen untuk meredam hegomoni Tiongkok di kawasan Laut Tiongkok Timur dan Selatan.

Sejumlah kerjasama militer lain dilakukan, termasuk mendirikan pangkalan militernya di Djibouti, Afrika, yang semula ditujukan untuk menangkal perompak laut di Teluk Aden dan sekitarnya, selanjutnya dikembangkan untuk mengantisipasi kemungkinan perang dengan Tiongkok.

Namun, .....


Aliansi dan Pakta Militer tidak cukup

Analis percaya bahwa Tiongkok akan atau sedang mengembangkan sistem pertahanan yang disebut sebagai Anti-Akses dan Penangkalan Udara (A2 / AD) di rantai pulau - mulai dari Kepulauan Ryukyu atau Kepulauan Miyako hingga Pulau Yonaguni - dan Taiwan untuk mencegah campur-tangan pasukan AS dkk ketika Tiongkok berhasil menguasai Taiwan.


Jepang: Menghadapi Perang Psikologi Dan Ambisi Hegemoni Tiongkok Di Asia TimurBasis militer Jepang pada rantai pulau, mulai dari Kepulauan Ryukyu (Okinawa) hingga Pulau Yonaguni, akan dan sedang diperkuat oleh Jepang. Rantai pulau itu diduga kuat akan direbut oleh Tiongkok di saat menyerang Taiwan dan selanjutnya Tiongkok akan menerapkan sistem pertahanan A2 / AD di rantai pulau itu dan Taiwan sendiri untuk menahan laju dan serangan Amerika Serikat dkk dari semua arah. Sumber


Perhitungannya adalah seandainya RRT berhasil melancarkan blitzkrieg pada Taiwan dan segera menerapkan sistem pertahanan A2 / AD sepanjang rantai pulau milik Jepang yang dekat dengan Taiwan, maka diharapkan AS dkk mempertimbangkan ongkosnya yang mahal untuk menyelenggarakan perang mengusir RRT yang telah bercokol di Taiwan dan pulau-pulau kecil milik Jepang tersebut.

Iya, ujung-ujungnya perhitungan ekonomi akan dikedepankan jika situasi yang dikhawatirkan telah terjadi, apalagi situasi politik dalam negeri AS dalam beberapa tahun terakhir tidak sestabil di masa PD II. Aliansi atau pakta militer apapun bisa sirna tak berbekas.

Latihan-latihan militer RRT sejak sedikitnya 2019, baik di laut dalam maupun udara, telah dilakukan di selat Miyako dan ruang udara di atasnya. Selat Miyako adalah laut yang memisahkan antara Kepulauan Ryukyu (Okinawa) dengan Kepulauan Miyako. (lihat Gambar di atas).

Tidak heran, selain Kepulauan Senkaku, Jepang juga khawatir dengan nasib pulau-pulau kecilnya yang terletak dekat dengan Taiwan, termasuk Kepulauan Ryukyu. Apalagi setelah seorang jenderal bintang dua tentara RRT, pada Mei 2013, menebar propaganda yang mengklaim Kep. Ryukyu sebagai bagian dari kedaulatan Tiongkok.

Sekalipun Jepang dan Amerika Serikat memiliki perjanjian untuk melindungi Jepang jika negara itu terancam atau diserang negara lain (Perjanjian Keamanan AS - Jepang 1960) dan keberadaan basis militer AS di Jepang, khususnya Okinawa, sejauh ini tampaknya masih 'biasa-biasa saja' atau mungkin tidak siap untuk hadapi agresi dari negeri seberang. Pada kampanye Trump di 2016, Trump mengingatkan Jepang tanggung jawabnya untuk memikul lebih banyak lagi biaya militer AS di Jepang. Persoalan utamanya tidak sekedar 'biaya tambahan' itu. Satu laporan oleh Center for a New American Security pada 2017 mengatakan bahwa basis militer AS di Jepang akan lumpuh menghadapi serangan-serangan roket tentara TIongkok.


****



Sejak 2014/2015, Tiongkok leluasa membangun pangkalan militernya di Kepulauan Spratly dan Paracel - bahkan dilaporkan pada 2020 Tiongkok akan segera membangun pangkalan militernya di Dangkalan Scarborough. Bukannya menghormati keputusan Pengadilan Internasional pada 2016 yang menolak klaim Tiongkok atas Laut Tiongkok Selatan dengan politik "9 garis putus-putus"-nya, malah negara itu telah dan sedang bergerak lebih leluasa. Sikap 'diam' dunia, khususnya AS dan sekutunya, atas tindakan merajalela RRT tsb menjadi tanda-tanda bahwa AS dan sekutunya 'tidak begitu serius' untuk: menanggapi pelanggaran kedaulatan negara-negara Asia Tenggara dan Asia Timur oleh Tiongkok, memperjuangkan 'pelayaran bebas' di Laut Tiongkok Selatan dan mencegah kemungkinan RRT secara sepihak mengeksplorasi sumber daya alam di perairan tersebut.

Perkembangan agresivitas Tiongkok tsb dapat menjadi cerminan sikap AS dan negara-negara Barat atas konflik di kawasan Laut Tiongkok Timur. Jepang sangat memahami itu.

Tidak ada pilihan terbaik bagi Jepang selain mentransformasi dirinya menjadi negara adidaya secara militer untuk mengimbangi Tiongkok. Jepang seyogyanya tidak lagi menjadi 'pelayan' kepentingan AS di kawasan, tetapi pelayan bagi kepentingan dirinya sendiri.

Kepemilikan sistem persenjataan nuklir menjadi pilihan wajib jika ingin memiliki daya tawar atau gertak pada tingkat tertinggi. Penulis memperkirakan Jepang akan memiliki sedikitnya kapal selam yang dilengkapi dengan rudal nuklir di Tahun 2022 mengikuti jejak Australia. Ini merupakan jalan singkat termudah menunggu kepemilikan sistem persenjataan nuklir penuh.

Memiliki sistem persenjataan nuklir sepenuhnya tidaklah mudah, meskipun konon kabarnya Jepang menyimpan kemampuan membuat bom atom, sisa-sisa kemampuan PD II atau pengembangan secara diam-diam. Dibutuhkan pengembangan sekian dekade dan uang trilyunan yen untuk itu ditambah dengan kemungkinan penolakan oleh rakyatnya. Atau cukup membayar AS membangun instalasi peluncuran rudal nuklir di satu pulau kecil Jepang....

Meskipun demikian, tidak ada orang yang tahu kemampuan Tiongkok sesungguhnya untuk menjalankan agresi frontal pada Taiwan dan Jepang. Ditambah dengan perkembangan dalam setahun terakhir di Tiongkok yang menunjukkan para pemimpin komunis di sana seolah-olah kebingungan dengan dirinya sendiri. Pembatasan, pengekangan atau pelarangan (cracking down) dilakukan pada: kehidupan sosial dan politik rakyatnya (kebebasan berpendapat dan menyampaikan keluhan, bersosialisasi dengan dunia luar dll), sektor bisnis jasa (pendiikan, hiburan dan keuangan), sektor manufaktur dll hingga salah-urus pada sektor properti dan energi yang menyebabkan terjadinya krisis.

Jika keadaan dalam negeri Tiongkok terus memburuk - khususnya secara ekonomi -, dugaan penulis malah begitu, maka sia-sialah semua perang psikologi yang dilancarkan oleh Tiongkok kepada Taiwan dan Jepang selama ini. Perang psikologi untuk meruntuhkan patriotisme rakyat negara lawan adalah cara yang murah-meriah untuk menjajah atau merebut negara itu. Seperti yang dilakukan oleh Rusia pada penduduk Crimea atau Nazi Jerman pada rakyat Eropa. Namun, itu membutuhkan ekonomi negara yang kuat dan kehidupan politik yang stabil untuk menjamin sejumlah kecil rakyat di baris terdepan penjaga ideologi bisa tetap hidup makmur dan sebagian besar lainnya bisa dibuai dengan propaganda-propaganda kemakmuran bersama dan kehebatan negara.

Menutup trit ini, penulis meletakkan slogan "Abad Penghinaan (Century of Humiliation)", yang sudah disinggung di atas, sebagai konteks terbesar hubungan Tiongkok - Jepang yang direkayasa oleh Partai Komunis di sana untuk mengkaburkan ambisi materi (kekuasaan) mereka. Terlebih lagi Xi Jinping menekankannya pada konteks "negara kecil dan berpenduduk lebih sedikit telah mempermalukan Tiongkok (negara besar dengan penduduk lebih banyak)".

Tidak hanya menimbulkan gelombang anti-Barat dan anti-Jepang dengan digelorakannya slogan tersebut, tetapi juga menjadi anti-Manchu. Itu karena selama 270 tahun sebelum berdirinya Tiongkok modern yang kita kenal sekarang, Tiongkok kuno ditaklukkan dan diperintah oleh orang-orang Manchu dan Dinasti Qing (1644 - 1911), yang masih termasuk keturunan Mongol. Slogan tsb menjadi legitimisasi untuk balas dendam dan membantai orang-orang Manchu dan merampas tanah-tanah mereka oleh orang-orang Han dan suku2 Tiongkok lainnya. Sehingga pada suatu masa, orang-orang Manchu harus menyembunyikan identitas dirinya demi keselamatannya dan kejaran 'ras unggul' baru. Orang-orang Han dan sebangsanya melihat dirinya telah dipermalukan atau dihina oleh suku Manchu selama ratusan tahun, belum lagi oleh Mongol. Suku kecil menghina suku besar. Jadi, komunisme di Tiongkok pada dasarnya di satu aspek adalah nasionalisme orang-orang Han dan sebangsanya, bukan nasionalisme Tiongkok secara Manchuria, Mongolia Selatan, Tibet dan Xinjiang sebagai bagian dari Tiongkok?!

Mirip dengan slogan "Aryan sebagai ras unggul" ala Nazi Jerman - dan semua kerusakan moral dan kemanusiaan yang diakibatkannya - sebagai pelampiasan ribuan tahun 'dipermalukan atau dihina' oleh orang-orang Romawi Kuno yang menganggap orang-orang Jerman sebagai bangsa barbar dan bodoh.

Kebencian dan balas dendam antarras sebagai sumber legitimasi kekuasaan. Jepang menyadari bahaya dari satu ambisi hegemoni dibalut ideologi rasial tersebut pada dirinya .... sekalipun mungkin Jepang kurang-lebih demikian juga.
emoticon-Matabelo

Dunia akan jauh lebih indah jika orang-orang tidak mempersoalkan identitas suku dan agama untuk berbaur dan tidak membawa kebencian rasial atau agama ketika harus berselisih dengan orang lain. Tapi, itulah dunia .... di mana kekuatan massa fanatis dapat digalang dengan mudah jika dibalut dengan kebencian atas nama suku atau agama.
emoticon-Ultah

Terima kasih atas waktu yang Agan luangkan membaca trit ini yang penulis akui tentu banyak kekurangannya atau membutuhkan pendalaman materi selanjutnya. Mari diskusi. emoticon-Jempol


Tulisan berupa opini dengan sejumlah sumber yang ditautkan pada bagian-bagian tulisan.


Jepang: Menghadapi Perang Psikologi Dan Ambisi Hegemoni Tiongkok Di Asia Timur
Diubah oleh gagal.jadi.nabi
profile-picture
profile-picture
profile-picture
Nikita41 dan 16 lainnya memberi reputasi
17 0
17
profile picture
KASKUS Freak
13-10-2021 16:25


Ember, gan..... Kehancuran dinasti qing pd abad ke 19 adlh kebusukan sikon sospol dan korupsi itu sendiri yg trus mmburuk..... Tiadanya reformasi politik dan iptek pd abad ke 19..... Kekaisaran manchu terlena pd perdamaian dan kemakmuran yg panjang hingg mmbuat jmlh populasi warga di daratan tiongkok jd mningkat tajam drpd akhir masa dinasti ming pd abad ke 17.....

Namun, tingkat kesenjangan sosial dan pemerataan kesejahteraan jg ikut jauh melebar serta merosot jauh di daratan tiongkok....

Hal tsb lalu berujung pd abad 19 di daratan tiongkok penuh dgn kemunculan pemberontakan bersenjata scara internal...... Di perparah dgn sikap abai kaisar manchu dkk yg anggap remeh iptek dan sospol nya negara2 eropa timur dan barat......

Gan..... emoticon-Takut

Akibatnya fatal, perang opium jilid 1-2, lalu pemberontakan taiping, di susul dgn boxer rebellion...... Merusak semua pondasi dasar nya kekuasaan dinasti manchu di daratan tiongkok.....
1
Memuat data ...
1 - 1 dari 1 balasan
icon-hot-thread
Hot Threads
Copyright © 2024, Kaskus Networks, PT Darta Media Indonesia