Story
Pencarian Tidak Ditemukan
KOMUNITAS
link has been copied
4959
Lapor Hansip
04-08-2021 12:03

SUMUR PATI [Pageblug Di Desa Kedhung Jati 2]





SUMUR PATI
(Pageblug Di Desa Kedhung Jati 2)

(TAMAT)


SUMUR PATI [Pageblug Di Desa Kedhung Jati 2]
gambar diambil dari berita.yahoo.com dengan sedikit perubahan



Sinopsis





Part 1 : Firasat



Sambil bersiul siul kecil Lintang menyusuri jalanan yang gelap dan sepi itu. Kedua tangannya ia masukkan kedalam saku jaket yang ia kenakan dan kancingkan rapat rapat, untuk menahan hawa dingin khas pedesaan yang terasa menggigit sampai ke tulang.

Belum juga setahun ia tinggal di kota untuk menuntut ilmu, namun saat pulang untuk berlibur ke desa seperti sekarang ini, ia sudah merasa sedikit asing dengan suasana desa tempat ia dilahirkan dan dibesarkan itu.

Ya. Tegal Salahan yang sekarang sudah bukan Tegal Salahan yang dulu lagi. Tak ada lagi kesan angker maupun mistis yang dulu selalu meneror warganya disetiap waktu. Beberapa warga bahkan mulai berani mendirikan rumah di area yang dulu dikenal sebagai sarangnya para dedhemit itu. Jalanan yang dulu berbatu, kini juga sudah dicor beton, meski sekarang permukaan jalan itu mulai terlihat kusam dan berlumut karena jarang dilalui kendaraan. Hanya para petani yang setia melewati jalanan itu untuk pergi ke sawah atau ladang mereka.

Lampu lampu penerangan jalan juga sudah dipasang di beberapa titik, hingga jalanan itu tak segelap dulu. Hanya di area sekitar Buk (jembatan kecil) yang berada diantara tanjakan dan turunan jalan itu saja yang masih terlihat gelap dan suram. Entah mengapa, meski sudah beberapa kali dipasang lampu penerangan, selalu saja tak bisa bertahan lama. Hanya dalam hitungan hari, lampu yang dipasang di sekitaran Buk itu akan rusak dan mati. Mungkin para 'penghuni' Buk itu memang tak suka dengan suasana yang terang, entahlah!

Lintang terus melangkah, sesekali menoleh ke kiri dan ke kanan, sekedar menikmati suasana desa yang sudah sekian lama ia rindukan. Tegal Salahan, memang banyak menorehkan kenangan. Semenjak kecil, ia sering bermain main di tempat ini bersama Wulan, salah satu sahabat yang sampai saat ini masih setia berteman dengannya.

Dan karena Wulan juga, malam itu Lintang memaksakan diri untuk menembus gelapnya malam, menuju pondok kayu yang kini mulai nampak di kejauhan. Ia sudah berjanji untuk mengembalikan buku yang beberapa hari lalu ia pinjam dari gadis itu. Sialnya, ia nyaris lupa dengan janjinya, dan baru ingat saat tadi ia sudah bersiap untuk beranjak ke pembaringan. Janji tetaplah janji, ucapan yang harus ia tepati. Apalagi janji kepada gadis bernama Wulan itu. Jika sampai ia tak menepatinya, bisa fatal akibatnya. Lintang sudah hafal betul dengan sifat sahabatnya yang satu itu.

"Tok...! Tok...! Tok...!"Assalamu alaikum!" Lintang mengetuk pintu dan mengucap salam begitu sampai di pondok kayu yang berada di tengah tengah ladang jagung itu. Pondok yang kondisinya masih sama dengan beberapa puluh yang lalu saat ia masih kanak kanak dan sering bermain kesini. Ah, Pakdhe Joko memang orang yang nyentrik. Ayahnya Wulan itu masih mempertahankan bentuk bangunan kayu peninggalan orang tuanya yang terkesan unik itu.

"Tok...! Tok...! Tok...! Lan, sudah tidur to?" kembali Lintang mengetuk, setelah beberapa saat menunggu namun tak ada jawaban. Sepi! Tak ada tanda tanda kalau ada orang didalam pondok itu.

"Tok...! Tok...! Tok...! Wulaaannnn...!" Lintang kembali mengetuk sambil memanggil nama sang sahabat dengan gaya yang khas seperti saat mereka masih kecil dulu. Sepi! Tak ada sahutan. Juga tak ada tanda tanda kalau ada orang yang bergerak dari arah dalam pondok untuk membuka pintu.

"Apakah mereka sedang pergi?" gumam Lintang sambil memperhatikan suasana di sekelilingnya. Lampu bohlam berkekuatan lima watt yang tergantung di teras pondok itu sudah cukup untuk menerangi suasana di sekitar pondok. Jeep tua berwarna hitam milik Pakdhe Joko yang kini telah diwariskan kepada Wulan nampak terparkir di halaman pondok.

"Ah, mungkin mereka sudah pada tidur, kalau pergi tentu mereka akan membawa mobil ini," gumam Lintang sambil beranjak untuk meninggalkan tempat itu. Sudah tiga kali ia mengucap salam, dan tak ada jawaban. Itu berarti kehadirannya di tempat itu sedang tidak diinginkan, begitu kepercayaan orang orang di desa ini.

"Krrrooaakkkk...!!!"

"Eh, suara apa itu?" langkah Lintang terhenti saat sampai di halaman pondok. Suara serak bernada rendah itu terdengar samar dari arah kanannya. Suara mirip orang tercekik, atau seperti suara sendawa orang yang kekenyangan sehabis makan.

"Krrrooaakkkk...!!!"

Kembali suara itu terdengar. Lintang menoleh dan tanpa sadar melangkah ke arah kanan, arah darimana suara itu berasal. Arah dimana rumah gedhong milik Pak Jarwo berada. Warga baru yang membeli sebagian lahan milik Pakdhe Joko itu belum lama ini membangun rumah gedhong itu. Bahkan bangunannya belum sempurna, masih ada beberapa bagian yang harus diselesaikan.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Kembali suara itu terdengar. Dan kini semakin jelas. Benar! Arahnya dari bangunan rumah Pak Jarwo. Tapi suara apa? Perasaan Lintang mulai tak enak. Tanpa sadar, ia meraba kalung benang lawe dengan bandul bungkusan kain kumal yang melingkar di lehernya. Ada hawa hangat yang menjalar dari kalung warisan Pak Modin itu. Dan hawa hangat itu terasa semakin kuat, seiring dengan langkahnya yang semakin mendekat ke rumah Pak Jarwo.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Lagi lagi suara itu terdengar. Lintang semakin mendekat ke arah rumah gedhong itu.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Arah belakang rumah, desis Lintang sambil melangkah memutar untuk menuju ke arah belakang rumah itu.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Sumur! Lintang yakin, suara itu berasal dari dalam sumur yang berada di kebun belakang rumah Pak Jarwo. Lintang tak sempat berpikir, semenjak kapan ada sumur di tempat itu, karena sorot lampu bohlam berkekuatan lima watt yang menerangi area sumur itu sudah memperlihatkan pemandangan yang membuat bulu kuduknya merinding tiba tiba.

Sepotong tangan berwarna hitam menggapai keluar dari dalam lubang sumur itu, lalu berpegangan erat pada tembok pembatas bibir sumur yang berbentuk bulat melingkat. Tangan kurus hitam dengan jari jemari panjang melebihi ukuran jari manusia normal pada umumnya, dengan kuku kuku yang juga tak kalah panjang dan berujung runcing.

"Astaghfirullah! Apa itu?" desis Lintang yang kini hanya bisa berdiri terpaku beberapa langkah dari sumur itu.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Belum habis rasa keterkejutan Lintang, suara aneh itu kembali terdengar, disusul dengan kemunculan sepotong kaki yang juga keluar dari dalam sumur. Kaki kurus panjang berwarna hitam itu menekuk membentuk huruf V terbalik dengan telapak menapak di atas tembok bibir sumur.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Bayangan bulat hitam menyusul kemudian, pelan pelan naik ke permukaan. Sosok kepala yang juga berwarna hitam dengan rambut panjang acak acakan, sebagian tergerai menutupi wajah sang sosok yang sangat menyeramkan. Wajah tirus kurus dengan tulang rahang yang bertonjolan, sepasang mata bolong menghitam, serta mulut yang menganga memanjang ke bawah hingga menampakkan rongga yang juga gelap menghitam, kini jelas terlihat oleh Lintang.

"Krrrooaakkkkk...!!!"

Makhluk aneh itu bergerak pelan dengan gerakan aneh, keluar dari dalam lubang sumur sambil mengeluarkan suara yang juga aneh. Gerakan yang sangat lambat, terkesan kaku dan patah patah. Sesekali menoleh ke kanan dan ke kiri, juga dengan gerakan yang patah patah.

Lintang bergidik ngeri, saat makhluk itu telah berhasil keluar dari dalam lubang sumur dan merangkak diatas tanah. Sosok yang sama lalu menyusul, merangkak keluar dari dalam lubang sumur. Lalu disusul dengan sosok yang ketiga, keempat, dan entah berapa banyak lagi, Lintang tak sempat menghitung, karena sosok sosok yang telah berhasil keluar dari dalam sumur langsung melesat terbang ke arah utara, menuju ke arah desa Kedhung Jati.

Suara aneh mereka yang kini terdengar melengking tinggi terdengar menusuk gendang telinga Lintang, membuat pemuda itu refleks menutup telinganya dengan kedua telapak tangannya. Meski begitu, suara suara itu masih tetap terdengar, disusul dengan jerit kematian yang terdengar susul menyusul dari arah desa Kedhung Jati.

"Gawat! Ini..." belum sempat Lintang menyelesaikan kalimatnya, pemuda itu kembali dibuat tercekat oleh sosok terakhir yang keluar dari dalam sumur itu, yang menoleh dan menatap ke arahnya dengan tatapan penuh kebencian.

"Jangan...! Jangan...!" perlahan Lintang mundur, saat sosok itu mulai bergerak mendekat ke arahnya, lalu dengan sebuah sentakan yang tiba tiba melompat dan menerjang ke arahnya.

"Whuaaaa...!!!"

"Gubraaakkk...!!!"

Lintang menjerit seiring dengan tubuhnya yang terhempas keatas tanah berumput..., eh, bukan, ini...., bukan tanah berumput, tapi lantai keramik, lalu..., bantal, guling, dan selimut.

"Asem! Ternyata cuma mimpi," gerutu pemuda itu sambil berusaha bangkit dan menyalakan lampu kamar kostnya. Suasana kamar jadi terang benderang kini, memperlihatkan permukaan tempat tidur yang berantakan serta bantal, guling, dan selimut yang berserakan jatuh ke lantai. Lintang meringis. Ia merasa malu sendiri. Sampai sebesar ini, kebiasaan buruk itu belum juga hilang dari dirinya. Selalu terjatuh dari atas tempat tidur saat bermimpi buruk.

Mimpi buruk! Lintang tertegun. Mimpi buruk yang baru saja ia alami, terasa sangat begitu nyata, seolah memberi pertanda bahwa akan terjadi sesuatu hal yang buruk di desanya.

Ah, mudah mudahan ini hanya sekedar mimpi, gumam pemuda itu sambil membereskan kembali tempat tidurnya yang berantakan, lalu kembali meringkuk dibawah selimut.

"Tulalit...! Tulalit...!" dering ponsel mengejutkan Lintang yang hampir kembali terlelap. Dengan malas ia meraih ponselnya yang tergeletak diatas meja. Dan begitu melihat nama Wulan terpampang di layar ponselnya, rasa kantuk pemuda itupun lenyap seketika. Buru buru digesernya tombol hijau ke arah kanan, dan suara cempreng khas milik Wulan segera menyapa telinganya.

"Mbul! Wis turu po?"

****

"Wulaaannn...! Pulang! Sudah mau Maghrib ini!" suara teriakan Mbak Romlah menggema di sore yang cerah itu, meneriaki sang anak yang masih asyik bermain gundhu bersama teman temannya di kebun samping rumahnya.

"Iya Maakkk...!!! Sebentar lagi! Lagi nanggung nih!" sahut sang anak, juga dengan berteriak.

"Sebentar! Sebentar! Kamu nggak denger apa, sudah adzan tuh!" seru Mbak Romlah lagi, sambil terus sibuk dengan sapu lidi di tangannya. Sampah sampah dedauanan kering yang tadi berserakan, kini telah terkumpul di sudut halaman.

"Iya Mak! Sebentar lagi!"

"Wooo...!!! Bocah ndableg!" habis kesabaran, Mbak Romlah lalu melemparkan sapu lidi yang dipegangnya, lalu menyincingkan daster yang dikenakannya, dan dengan langkah lebar menghampiri sang anak.

"Aduh! Sakit Mak!" sontak anak perempuan itu menjerit saat tiba tiba tangan sang emak telah menarik daun telinganya.

"Makanya kalau orang tua ngomong itu didengerin! Kamu nggak denger itu di Mushalla Kang Sholeh udah adzan? Itu tandanya udah Maghrib! Pamali kalau anak kecil masih keluyuran di waktu Maghrib! Digondhol wewe gombel (sejenis hantu yang suka menculik anak anak) baru tau rasa kamu!" Sambil terus mengomel Mbak Romlah menarik tangan sang anak dan mengajaknya pulang. Teman teman Wulan sendiri, yang sejak tadi ikut asyik main bersama, langsung berhamburan pulang begitu melihat kemunculan Mbak Romlah yang memang dikenal galak itu.

"Ah, emak ini, zaman udah maju gini kok masih takut sama wewe gombel. Wewe gombel itu kan makhluk halus Mak, mana bisa menyentuh kita. Paling bisanya cuma nakut nakutin doang!" gerutu sang anak sambil mengusap usap daun telinganya yang memerah akibat jeweran sang emak tadi.

"Eh, kamu ini ya, kalau dibilangin orang tua kok sukanya membantah lho! Siapa yang ngajarin begitu hah?! Siapa?!" nada suara Mbak Romlah semakin meninggi, membuat Mas Joko, sang suami yang baru pulang dari ladang itu geleng geleng kepala.

"Ini ada apa to, maghrib maghrib kok pada ribut?" ujar laki laki itu sambil meletakkan cangkul yang disandangnya di sudut teras pondok.

"Nah, ini nih, akibatnya kalau sampeyan terlalu memanjakan anak Pak. Sampeyan lihat sendiri kan? Sekarang dia sudah berani membantah kalau dinasehati!" sungut Mbak Romlah, masih dengan nada kesal.

"Wulan, mbok jangan suka membantah kalau dibilangin sama emak, ndak baik lho," lembut Mas Joko mengusap kepala sang anak.

"Habisnya, emak itu lho, apa apa kok dikaitkan sama hantu. Main sore sore takut dighondhol wewe gombel, main ke kali juga katanya takut digondhol ilu ilu (ilu ilu=sejenis hantu air penghuni sungai) , padahal kan hantu itu makhluk halus ya Pak, mana bisa mereka menyentuh dan menyakiti kita, paling bisanya cuma nakut nakutin doang," ujar sang anak membela diri.

Mas Joko tersenyum mendengar penuturan sang anak itu. Ia memang sosok laki laki yang sangat penyabar dan bijaksana. Tak heran kalau semua warga Kedhung Jati sangat menghormatinya.

"Wulan, memang benar, makhkuk halus itu mungkin ndak bisa menyentuh dan menyakiti manusia. Dan kita memang ndak harus takut sama makhluk halus. Tapi, kita mesti waspada Ndhuk, karena meskipun mereka tak bisa menyentuh dan menyakiti kita, tapi mereka bisa mempengaruhi jalan pikiran kita. Ingat, segala macam makhluk halus, jin, setan, iblis, siluman, atau semacamnya, mereka paling suka menyesatkan manusia. Dan jika hati dan pikiran manusia sudah dipengaruhi dan dirasuki oleh mereka, maka manusia bisa melakukan apa saja, termasuk menyakiti atau bahkan membunuh sekalipun. Jadi ingat, meski kamu ndak takut sama setan, tapi kamu harus selalu waspada, paham to?" dengan sabar laki laki itu menasehati sang anak.

Wulan kecil mengangguk. Kata kata yang diucapkan oleh sang ayah itu, begitu membekas di dalam benaknya, bahkan sampai sekarang saat ia sudah dewasa. Tanpa sadar Wulan tersenyum. Rasa kangennya kepada sang ayah, juga sang emak, semakin menjadi jadi. Tapi apa daya, ujian tengah semester yang tengah ia hadapi saat ini, membuatnya harus menunda rencananya untuk pulang ke desa.

"Tak!" suara berdetak dari ujung runcing pensil yang digunakan oleh Wulan, menggema di seluruh penjuru kamar kost yang sepi itu, membuyarkan lamunan si gadis berwajah manis itu. Wulan melengak, lalu pelan pelan mendekatkan ujung pensil yang telah patah itu ke depan wajahnya dan mengamatinya dengan mata nanar.

"Aneh! Perasaan aku menggunakannya biasa biasa saja, kok bisa patah gini sih?" gumam gadis itu pelan, sepelan tangannya yang kembali bergerak turun dan meletakkan pensil itu diatas meja.

"Ah, kenapa perasaanku jadi tak enak begini ya? Bapak, emak, dan Ndaru, kenapa aku terus terusan teringat dengan mereka? Sekedar kangen, atau....?" gadis itu lalu membuka laci meja belajarnya, mengeluarkan smartpohne kesayangannya, lalu menscroll layar dari benda pipih itu, mencari sebuah nama dari kontak seseorang yang selama ini selalu setia menjadi sahabat setianya. Lintang 'Gembul'. Begitu nama itu terpampang di layar ponselnya, Wulan segera menekan tombol call.

"Yaaaa..., kenapa Lan?" terdengar suara bernada malas dari seberang sana. Sejenak Wulan melirik jam yang tergantung di dinding. Sudah lewat tengah malam. Wulan sedikit menyesal karena telah mengganggu istirahat sahabatnya itu.

"Wis turu po Mbul?" (sudah tidur ya Mbul?)

"Hu-um! Ngopo sih tilpun yahmene?" (Hu-um! Ngapain sih telpon jam segini?)

"Sesok balik yuk Mbul." (Besok pulang yuk Mbul.)

"Balik? Balik nang ngendi?" (Pulang? Pulang kemana?)

"Kedhung Jati lah! Aku kangen sama emak!" (Kedhung Jati lah! Aku kangen sama emak.)

"Ngawur! Sesok kan lagi lekas ujian semester! Edan po malah ngajak balik!" (Ngawur! Besok kan baru mulai ujian semester! Gila apa malah ngajak pulang!)

"Perasaanku nggak enak Mbul," nada bicara Wulan mulai serius. "Aku merasa akan terjadi sesuatu hal yang buruk di desa."

"Halah! Mungkin perasaanmu saja itu Lan, karena kamu sudah kangen sama emakmu. Lagipula kalau ada apa apa pasti Budhe Romlah juga sudah ngabarin to?"

"Tapi Mbul...!"

"Sudahlah Lan, kita fokus sama ujian kita aja dulu. Cuma seminggu ini. Habis itu nanti kita pulang, oke?"


"Ummm..., iya deh!" akhirnya Wulan menyerah. "Tapi, bener kamu nggak ada firasat apa apa kan Mbul?"

Lintang terdiam sejenak. Mimpi buruk yang baru saja ia alami, sepertinya memang tak bisa dikesampingkan begitu saja.

"Mbul?!" suara Wulan mengejutkan Lintang.

"Eh, iya..., emmm, kenapa kamu nanya seperti itu?"

"Ya kan selama ini instingmu lebih tajam daripada aku Mbul. Kalau ada apa apa pasti kamu sudah merasakannya kan?"

"Ah, enggak kok, aku nggak dapat firasat apa apa."

"Beneran?"

"Iya."

"Ya sudah kalau begitu. Tapi nanti kalau ada apa apa cepat kabari aku ya Mbul."

"Iya bawel! Lagian kan besok juga kita ketemu di kampus. Sudah ah, aku mau tidur lagi. Masih ngantuk nih."

"Iya deh. Tidur lagi gih. Tapi ingat, kalau sampai kamu bohong kepadaku, dan ternyata terjadi sesuatu hal yang buruk di desa, itu berarti kamu jahat Mbul! Dan orang jahat pantas untuk dihukum! Ingat itu!"

Wulan mengakhiri panggilan, sementara Lintang mendesah panjang setelah meletakkan ponselnya. Wulan, maafkan aku kalau kali ini harus membohongimu!

bersambung
Diubah oleh indrag057
profile-picture
profile-picture
profile-picture
azhuramasda dan 177 lainnya memberi reputasi
168
Masuk untuk memberikan balasan
stories-from-the-heart
Stories from the Heart
41.7K Anggota • 31.5K Threads
SUMUR PATI [Pageblug Di Desa Kedhung Jati 2]
10-10-2021 07:25

Part 29 : Petulangan Di Lereng Lawu 1

Quote:"Buka matamu Mbul! Kita sudah sampai!" Wulan berkata sambil melepaskan genggaman tangannya dari tangan Lintang.

Lintangpun pelan pelan membuka matanya. Dan ia terperangah sesaat, ketika mendapati bahwa dirinya kini ia telah berdiri di tengah tengah padang ilalang yang sangat luas, dengan deretan pepohonan yang berbaris rapi di kejauhan sana, seolah memagari padang itu dari dunia luar.

Suasana temaram waktu itu, dan sangat sunyi. Seperti suasana di senja hari, atau justru pagi buta? Lintang tak begitu bisa memastikan. Udara terasa begitu dingin, meski sama sekali ia tak merasakan adanya hembusan angin. Beruntung sebelum berangkat tadi Bu Ratih sempat mengingatkannya untuk berganti pakaian. Tak bisa ia bayangkan seperti apa jadinya jika ia berada di tempat sedingin ini hanya dengan mengenakan celana kolor dan kaos oblong seperti yang ia kenakan saat berangkat dari kota tadi pagi.

"Kita dimana Lan?" Lintang menoleh kearah Wulan yang berdiri disampingnya. Gadis itu nampak terpejam dengan wajah sedikit terangkat. Dadanya turun naik dengan teratur, seiring dengan helaan nafas yang ia tarik panjang panjang dan ia hembuskan pelan pelan.

"Gunung Lawu," jawab Wulan singkat, tanpa membuka matanya.

"Iya. Aku tau! Maksudku gunung Lawu sebelah mananya?" tanya Lintang lagi.

"Entahlah!" lagi lagi Wulan menjawab singkat, masih dengan mata tertutup rapat.

"Entahlah?! Kau yang membawaku kemari, dan kau tak tau di gunung Lawu bagian mana kita mendarat?!" nada suara Lintang meninggi.

"Bu Ratih hanya bilang bahwa kita harus ke lereng Lawu," Wulan membuka matanya, lalu menoleh sekilas kearah Lintang. "Tanpa memberitahu kita harus ke lereng Lawu yang sebelah mana! Jadi ya, aku asal saja tadi mendaratnya."

"Haduh! Kamu ya, disaat mengadapi suasana yang genting begini, masih juga berlaku sembrono! Kenapa tadi tak...."

"Kau sendiri, memangnya tak tau ini lereng Lawu bagian mana?" tanya Wulan.

"Aku?!"

"Iya! Kau anak mapala kan? Dan sudah beberapa kali muncak ke gunung ini! Harusnya kau sudah hafal dengan seluk beluk gunung ini!"

"Entahlah!" kembali Lintang mengedarkan pandangannya. "Memang aku sudah beberapa kali kemari, dan bisa dibilang aku sudah hafal dengan semua jalur pendakian disini. Tapi tempat ini...., sepertinya masih asing buatku Lan! Kau tak salah memilih gunung kan?"

"Salah gimana maksudmu?"

"Jangan jangan kita mendarat di gunung yang salah!"

"Ngawur kamu! Sudah jelas jelas gunung Lawu itu terlihat dari desa kita! Mana mungkin aku salah!"

"Tapi ini..., jangan jangan kita..."

"Kita apa?"

"Ah, enggak. Nggak papa kok!"

"Tersesat maksudmu?!"

"Hush! Jangan asal kalau bicara di gunung ini Lan!"

"Kenapa memangnya?"

"Pamali! Ini gunung terkenal kental dengan mistisnya. Apa yang kita ucapkan, bisa saja menjadi kenyataan."

"Hmmm, bagus dong kalau begitu. Kita bilang saja agar kita bisa cepat menemukan apa yang kita cari. Siapa tau benar ucapan kita itu jadi kenyataan."

"Ish, bukan begitu maksudku, tapi..., ah, sudahlah! Kita bahkan tak tau kita kesini mau mencari apa. Lebih baik sekarang kita segera pergi dari tempat ini. Jujur Lan, aku merasa tak nyaman berada disini. Tempat ini, sedikit misterius. Bahkan aku tak tau sekarang ini sore atau pagi hari."

"Aneh kamu Mbul. Kita berangkat tadi kan habis Ashar, ya sudah jelas sekarang sore harilah! Gitu aja kok..."

"Justru itu! Kita tadi berangkat habis Ashar, dan perjalanan yang kita tempuh tadi, aku merasa kau membawaku terbang hanya dalam waktu beberapa detik saja. Tapi kenapa sampai disini suasananya sudah seperti senja hari begini?"

"Mungkin karena kita berada di lereng Gunung Mbul! Dan letak matahari berada di sisi gunung yang lain, mangkanya suasananya jadi seperti senja hari begini, padahal hari belum terlalu sore."

"Tidak Lan! Aku anak gunung, jadi aku..., ah, sudahlah, tak penting juga kita bahas masalah itu. Yang terpenting sekarang adalah, kita harus segera keluar dari padang ilalang ini, sebelum hari menjadi gelap."

"Kemana?"

"Kita kesini mencari petunjuk untuk bisa mengatasi pageblug yang terjadi di desa kita. Kurasa aku tau tempat yang tepat untuk menemukan petunjuk itu."

"Iya. Tapi dimana?"

"Ikut aku!"

Lintang lalu berjalan pelan menyusuri jalan setapak diantara lebatnya ilalang setinggi paha itu. Sesekali ia menyibakkan rumpun rumpun rumput liar itu yang menjuntai menghalangi jalan. Wulan mengikuti langkah pemuda itu dari belakang. Cukup lama mereka mengarungi padang ilalang yang luas itu, sebelum akhirnya sampai di mulut hutan dengan pepohonan pepohonan yang tumbuh rapat menjulang tinggi. Lintang menghentikan langkahnya sejenak. Perasaannya mengatakan bahwa ada sesuatu yang salah. Beberapa kali ia naik ke gunung ini, namun baru kali ini ia menemukan hutan dengan pepohonan yang seperti ini. Entah pohon jenis apa yang ditemuinya itu.

"Kenapa berhenti Mbul?" tanya Wulan.

"Sebentar Lan," Lintang mengeluarkan ponselnya, membuka aplikasi kompas yang ternyata tak bisa banyak membantu. Jarum kompas di ponsel itu berputar putar tak tentu arah, membuat perasaan Lintang semakin resah. Lintang lalu kembali mengedarkan pandangannya. Kabut tipis mulai turun, membuat jarak pandangnya semakin terbatas. Bukan pilihan yang tepat kalau harus menjelajah hutan yang lebat di suasana yang berkabut seperti ini. Apalagi saat Lintang melihat keatas, langit berwarna jingga tanpa ada bias sinar mentari ataupun bintang gemintang yang menghiasi.

"Lebih baik kita mencari jalan lain Lan! Jangan masuk ke hutan ini. Hari mulai gelap, dan kabut mulai turun. Berbahaya kalau kita masuk ke hutan selebat ini." ujar Lintang pelan.

"Tapi sepertinya tak ada jalan lain Mbul! Hanya jalan setapak yang mengarah ke hutan ini satu satunya jalan yang bisa kita lalui."

"Kita balik arah saja. Siapa tau..."

"Setelah sejauh ini? Tidak Mbul! Sudah terlalu jauh kita menyusuri jalan setapak ini. Lagipula, kalau ada jalan, berarti ada tempat yang dituju di ujung jalan setapak ini. Tinggal mengikutinya, beres kan?"

"Bukan begitu Lan, tapi perasaanku mengatakan..."

"Halah! Kamu ini terlalu banyak pertimbangan Mbul! Ayo, kita ikuti saja jalan ini."

"Wulan!" Lintang menyentak keras, sambil menyambar lengan Wulan dan sedikit menariknya, hingga tubuh Wulan sedikit berbalik dan wajah mereka berhadapan. Sejenak keduanya saling tatap, sebelum akhirnya Lintang melepaskan genggaman tangannya pada lengan Wulan.

"Maaf!" ujar Lintang pelan. "Tapi sekali ini saja, tolong dengarkan aku! Kita sedang mnghadapi masalah yang sulit Lan! Dan semua warga di desa sana, menggantungkan keselamatan mereka kepada kita. Jadi..."

"Yah, aku mengerti," suara Wulan sedikit melunak. Gadis itu lalu duduk dibawah pokok pohon besar yang ada di dekatnya. Lintangpun ikut duduk disebelah gadis itu. Sejenak keduanya terdiam. Wulan menyandarkan punggungnya pada batang pohon sambil memejamkan matanya, mencoba menenangkan gejolak di hatinya. Sementara Lintang diam diam mengamati wajah gadis yang telah sekian lama menjadi sahabatnya itu. Cukup cantik sebenarnya, meski terkesan judes dan keras kepala. Rambutnya yang panjang tergerai sedikit berantakan. Lintang lalu mengeluarkan sehelai sapu tangan dari saku celananya, lalau melipatnya menjadi sebentuk pita sederhana.

"Nih, ikat rambutmu yang berantakan itu!" Lintang mencolek lengan Wulan dan menyodorkan sapu tangan terlipat di tangannya ke arah Wulan.

"Kenapa memangnya dengan rambutku?" Wulan menatap heran ke arah Lintang.

"Rambutmu berantakan. Ndak enak buat dilihat." jawab Lintang sekenanya.

"Eh, kenapa tiba tiba kau sampai memperhatikan rambutku segala?" tanya Wulan lagi.

"Cih! Kamu saja yang selama ini tak menyadari! Memangnya siapa lagi yang selama ini memperhatikanmu selain aku? Kalau nggak ada aku..."

"Hahaha...!" Wulan tertawa keras sambil memukul pelan lengan Lintang. Gadis itu lalu menyambar sapu tangan yang dipegan Lintang dan menggunakannya untuk mengikat rambutnya. "Jangan ngambek Mbul! Aku cuma bercanda kok. Aku sadar, semenjak dahulu memang cuma kamu yang bisa ngertiin aku! Bahkan aku masih ingat, saat kecil dulu, cuma kamu satu satunya anak yang mau berteman denganku. Jujur Mbul, kadang aku merasa tak enak sendiri, karena selalu saja merepotkan dan menyusahkanmu. Bahkan aku sering membuatmu marah dan kesal, meski aku tau kau tak pernah benar benar marah kepadaku. Aku terlalu kekanak kanakan ya Mbul?"

"Huh! Baru nyadar ya!" sungut Lintang pura pura kesal, padahal dalam hati ia merasa senang. Tak disangka, Wulan punya perasaan yang seperti itu. Kata kata yang ia ucapkan barusan, sepertinya tulus, bukan gurauan. Tak biasanya Wulan berkata seperti itu. Dan entah mengapa, mendengar kata kata itu hati Lintang terasa sedikit berdesir.

"Sialan kamu!" kembali Wulan meninju pelan bahu Lintang. "Aku serius Mbul. Aku merasa banyak berhutang budi, juga banyak berhutang maaf kepadamu. Kau mau memaafkan semua kekonyolanku selama ini kan Mbul?"

"Sudah! Jangan berisik!" Lagi lagi Lintang mendengus, berusaha menutupi debar debar di hatinya. "Kapan aku bisa berpikir kalau kamu ngomong melulu!"

"Iya iya, ya sudah, cepat pikirkan, apa yang sebaiknya kita lakukan sekarang!"

Lintang terdiam. Pemuda itu nampak berpikir keras. Sementara Wulan kembali berdiri dan melangkah beberapa tindak kedepan. Gadis itu berkecak pinggang sambil mengamati lebatnya hutan yang berada dihadapannya. Terlalu serius mengamati hutan, membuat Wulan tak sadar bahwa sesuatu tiba tiba melesat terbang ke arahnya.

"Whuuusss....!!! Klepaakkk...!!! Klepaaaakkk...!!! Klepaakkkk...!!!" seekor burung berukuran cukup besar dengan bulu berwarna cerah kekuningan terbang rendah dan menyambar sapu tangan yang digunakan untuk mengikat rambut gadis itu, lalu membawanya terbang menjauh.

"Hei! Burung sialan! Kembalikan sapu tanganku!" seruan Wulan mengejutkan Lintang. Matanya yang tajam masih sempat melihat sosok burung berwarna unik yang terbang menjauh itu.

"Jangan dikejar Lan!" sontak Lintang melompat bangkit dan berusaha mencegah Wulan. Namun terlambat. Gadis itu telah berlari memasuki hutan, mengejar burung yang membawa lari sapu tangan pemberian Lintang tadi.

"Sial!" Lintang mendengus kesal, manakala melihat Wulan telah berlari mengejar burung yang terbang rendah itu. Dan lagi lagi juga Lintang mau tak mau harus mengikuti langkah gadis itu.

"Brengsek!" samar Lintang mendengar umpatan yang dilontarkan oleh Wulan. Gadis itu sepertinya kesal karena merasa dipermainkan oleh burung yang terbang berputar putar tak tentu arah itu.

"Cukup Lan! Berhenti! Tak sadarkah kau kalau semenjak tadi kita hanya diputar putarkan oleh burung itu di tempat ini?!" Lintang berseru keras.

"Tidak Mbul! Burung ini, brengsek banget sih, beraninya mempermainkanku!" Wulan masih terus berusaha merebut sapu tangan pengikat rambutnya dari burung aneh itu.

"Itu hanya sapu tangan Lan! Aku sanggup membelikannya lagi yang baru untukmu! Biarkan saja burung itu membawanya!"

"Tidak Mbul! Ini sapu tangan istimewa! Tak akan kubiarkan burung sialan ini merebutnya dariku!"

"Arrggghhh...!!! Terserahlah!" akhirnya Lintang menyerah. Pemuda itu lalu duduk bersandar pada batang pohon sambil memperhatikan Wulan yang terus berlarian mengejar burung yang terbang berputar putar itu.

"Wedhus!" Wulan kembali mengumpat, saat burung itu meninggalkan sapu tangan miliknya di sebuah ranting pohon yang lumayan tinggi, lalu terbang jauh meninggalkan Wulan.

"Mbul! Tolong dong ambilin sapu tanganku!" seru Wulan.

"Ambil saja sendiri! Aku mau istirahat dulu!" jawab Lintang, juga dengan berseru, karena jarak antara mereka lumayan jauh kini.

"Ah, tega kamu ya. Masa iya sih aku harus manjat pohon begini?" seru Wulan lagi.

"Lompat saja! Masa lompat dari Kedhung Jati kesini aja bisa, cuma ngambil sapu tangan diatas pohon saja ndak bisa!"

"Sial kamu Mbul! Awas saja nanti!" Wulan mengacunglan tinjunya, lalu menengadah, memperhatikan sapu tangan yang tersangkut diujung ranting itu. Benar kata Lintang. Ia bisa saja melompat dan meraih sapu tangan itu, meski letaknya lumayan tinggi. Tapi itu tak seru. Akhirnya gadis itu memutuskan untuk memanjat pohon dimana aapu tangan itu tersangkut.

Lintang yang memperhatikan tingkah sahabatnya itu hanya tersenyum simpul. Gadis yang satu itu, memang berbeda. Sifat keras kepala dan kenekatannya dalam meraih apapun yang diinginkannya, membuatnya menjadi gadis yang istimewa di mata Lintang. Dan keistimewaannya itulah yang membuat Lintang sampai saat ini masih setia menjalin persahabatan dengannya.

"Woy! Mbul! Coba kesini sebentar!" teriakan Wulan dari atas pohon membuyarkan lamunan Lintang.

"Ndak ah! Kamu saja yang kesini kalau urusanmu dengan sapu tanganmu itu sudah selesai!"

"Sebentar saja Mbul! Kau harus melihat ini!" teriak Wulan lagi.

"Apaan sih?"

"Makanya buruan kesini!"

Mau tak mau Lintang beranjak juga kearah pohon yang sedang dipanjat oleh Wulan itu. Gadis itu kini telah merosot turun dengan sapu tangan yang sudah berhasil ia dapatkan kembali.

"Lihat ini!" Wulan menunjukkan sapu tangan yang dipegangnya itu. Dan Lintang terperangah. Bukan sapu tangan itu yang membuatnya terkejut. Melainkan sesuatu yang menempel di sapu tangan itu. Ah, bukan menempel, tapi hinggap. Karena yang ia lihat itu adalah seekor kupu kupu hitam dengan corak aneh di kedua sayapnya. Dan lebih anehnya lagi, kupu kupu itu seolah tak merasa terganggu meski Wulan mengayun ayunkan dan mengibas ngibaskan sapu tangan tempat binatang itu hinggap.

"Cantik kan Mbul! Dan sangat jinak! Lihat! Sapu tangan ini aku goyang goyangkanpun kupu kupu ini tak mau terbang!" ujar Wulan sambil menunjukkan binatang itu kepada Lintang.

"Bukan cantik! Tapi aneh," gumam Lintang sambil terus memperhatikan kupu kupu itu. Tanpa sadar tangan Lintang terangkat, mencoba menyentuh binatang itu. Dan...

"Brrrrrrrr....!!!" seolah menyadari adanya ancaman, kupu kupu itu terbang, lalu hinggap di ranting semak yang berada disamping Wulan.

"Yach, kamu sih Mbul! Jadi terbang kan!" Wulan berbalik dan mendekat ke arah kupu kupu itu. Namun lagi lagi kupu kupu itu terbang dan hinggap di ranting semak yang lain. Lagi lagi Wulan mengendap mendekati binatang itu, dan lagi lagi kupu kupu itu terbang dan hinggap di ranting semak yang lain. Begitu seterusnya, hingga tanpa sadar binatang itu telah menuntun Wulan menuruni tebing landai yang mengarah kesebuah lembah nan menghijau oleh suburnya rerumputan. Lintang yang semakin merasakan adanya kejanggalan, diam diam mengikuti gadis itu sambil terus mengawasi segala tingkahnya.

Hingga saat sampai di dasar lembah, langkah Wulan terhenti. Kupu kupu yang dikejarnya itu, kini hinggap diatas caping seorang laki laki tua yang tengah sibuk mencari rumput.

Wulan kembali mengendap, bermaksud untuk mendekat ke arah laki laki itu. Namun Lintang yang semakin menyadari adanya kejanggalan, segera menahan lengan Wulan. Bukan hal aneh sebenarnya bertemu dengan seseorang di gunung ini. Tapi seorang pencari rumput?


bersambung
Diubah oleh indrag057
profile-picture
profile-picture
profile-picture
bebyzha dan 64 lainnya memberi reputasi
65 0
65
profile picture
KASKUS Freak
10-10-2021 21:57
@simounlebon siap gan, lanjut lagi nanti kalau sempet
1
Memuat data ...
1 - 1 dari 1 balasan
icon-hot-thread
Hot Threads
Stories from the Heart
short-story-56--istriku-robot
Stories from the Heart
short-story-55--murid-ke-37
Stories from the Heart
cakar-garuda
Copyright © 2024, Kaskus Networks, PT Darta Media Indonesia