Story
Pencarian Tidak Ditemukan
KOMUNITAS
link has been copied
220
Lapor Hansip
27-09-2021 19:43

Ingin Membayar Gaji Mama

Ingin Membayar Gaji Mama


Quote:Kisah ini menceritakan seorang gadis kecil yang kesepian, ingin memiliki adik tapi mamanya belum siap karena sibuk dengan pekerjaannya, sampai-sampai ia mengumpulkan uang sakunya demi bisa membayar gaji mamanya, agar sang mama bisa menemaninya bermain di rumah, mengantarkannya ke sekolah, dan liburan bersama seperti teman-temannya. Akankah hati sang mama tergugah melihat kegigihan putri kecilnya?


Bab 1. Rara yang kesepian

Rara memasukan uang sakunya ke dalam celengan plastik berbentuk panda, untuk ke sekian kalinya. Mata bening itu memancarkan binar harapan, bibirnya mengulum senyum, sepuluh jemari lentik mengangkat celengan dengan mata sedikit menyipit, mengintip sudah berapa banyak isinya.

"Belum penuh," desisnya sambil meletakkan kembali di meja belajarnya.

"Rara, buruan 'ntar Mama terlambat!" seru mamanya dari meja makan sambil membereskan piring-piring kotor dan mengelap meja makan.

"Iya, Ma ... Sebentar Rara ambil tas dulu." Rara mengambil tas sejurus kemudian, memakai sepatu, tidak membutuhkan waktu lama Rara siap untuk berangkat.

Perjalanan ke sekolah memakan waktu kurang lebih lima belas menit, selalu dan selalu terburu-buru setiap harinya. Sang mama pun tak hentinya mengomel pada putrinya itu.
Gadis kecil dengan mata lentik, hidung bangir, kulit putih, fotocopy dirinya waktu kecil.

"Ra, berapa kali Mama sudah bilang, pagi-pagi jangan malas-malasan." Nasehat sang Mama yang tidak lebih seperti omelan di telinga gadis kecil itu.

"Mandi jangan buat mainan, sarapan jangan buat mainan, jadi anak itu harus smart, nurut apa kata orang tua."

Rara hanya menunduk, menggigit bibirnya, sesekali melirik dengan ekor matanya pada wanita yang bibirnya sudah mirip ikan koki itu.
Padahal di sekolah Bu Anita tidak pernah mengatakan kata jangan, setiap kali dia melarang Rara dan teman-temannya. Ketika Rara mencoret tembok sekolah, Bu Anita dengan lembut berkata,

"Rara, sebaiknya menggambar di papan tulis saja, atau Rara menggambar di buku gambar ini."

Kalau Rara membuang sampah sembarangan, Bu Anita juga tidak pernah marah, dia akan berkata,

"Sebaiknya membuang bungkus coklat di tempat sampah, anak cantik, kasihan dong tempat sampahnya dianggurin."

Mama, mengapa mama berbeda? Sukanya marah-marah nggak jelas, papa juga kenapa nggak pernah negur mama batin Rara kesal. Padahal papa bisa saja menegur mama.

"Kalau Mama lagi ngomong itu didengerin, Ra!"

"Iya, Ma. Ini juga Rara dengerin," sahut Rara pelan.

"Janji besok mau nurut sama Mama?" tanya Mamanya menegaskan.

"Iya, Ma."

"Jangan iya, iya aja! Tapi dilaksanakan," titah Mama sedikit emosi.

"Papa juga, kalau pagi itu nggak usah lama-lama jogingnya, kalau terlambat gini, Mama juga yang repot."

Papa yang tengah serius menyetir, menarik sudut bibirnya, menggelengkan kepala, keningnya berkerut pandangan mata tetap lurus kedepan tak bersuara. Sekarang yang kena omelan gantian papa, Rara nyengir. Dapat giliran juga akhirnya batin Rara selanjutnya.

"Papa ini denger nggak sih, Mama ngomong?" tanya mama dengan gigi gemeretak menahan dongkol, melirik maut ke arah suaminya.

"Iya denger."

"Papa tahu nggak, Mama tuh nggak bisa diginiin, Mama capek kalau tiap hari ngomel begini."

"Ya makanya, kurangi dong frekuensi ngomelnya, ups!"

"Jadi Papa nyalahin, Mama?"

"Ya nggak dong, mana berani Papa nyalahin Mama, dalam pasal 1 Mama nggak pernah salah, kalau pasal dua salah, kembali ke pasal satu, begitu seterusnya sampai kiamat ...."

"Papa!" teriak mama dengan tatapan mata suram, napasnya naik turun menahan emosi yang meledak-ledak.

"Ma, nggak usah teriak-teriak dong, konsentrasi Papa jadi buyar nih, kalau ntar nabrak gimana dong."

"Gimana nggak teriak, Papa nggak dengerin Mama!"

"Ma, boleh nggak Rara minta Adek?" tanya Rara dengan wajah memelas, seketika itu.

Sudah dari minggu-minggu yang lalu gadis kecil itu menginginkan seorang adik bayi, tapi tidak berani mengatakan pada mamanya. Baru kali ini Rara berusaha mengatakan isi hatinya, walaupun tentu saja ini bukanlah saat yang tepat.

"What?"

"Ma, Rara kesepian di rumah. Mama pulangnya malam, Papa juga, Rara di rumah cuma sama Bibik, boleh ya Ma, Rara minta Adek?" rengek Rara manja.

"No! Belum saatnya!" tegas wanita itu.

"Ma ...," rengek Rara lagi.

"Kabulin permintaan Rara kenapa, Ma. Bukankah dia sudah berumur enam tahun, sudah saatnya punya Adek," usul laki-laki yang sedang menyetir, siapa tahu di ACC.

"Papa, cicilan mobil ini belum lunas, cicilan kursi, cicilan kulkas bahkan cicilan panci juga belum lunas, mikir dong, Pa!" ucap wanita itu sedikit berteriak.

"Ya, Papa mikir makanya kerja tiap hari, agar kebutuhan kita bisa terpenuhi."

"Nah itu tahu," gerutu Mama.

"Ma, teman-teman Rara punya Adek, kok Rara nggak?" tanya Rara kemudian.

"Gini aja Ma, bulan depan Papa naik gaji, Papa bakalan dapat warisan dari Ibu di kampung, Mama di rumah aja nemenin Rara biar nggak kesepian."

"Mama bisa bosen di rumah aja, lagian 'ntar siapa yang gaji Mama, kalau di rumah?"

"Tenang Ma, Rara yang akan membayar gaji Mama, selama ini Rara nggak pernah jajan di sekolah, semua uang saku sudah Rara masukan ke dalam celengan, semuanya untuk Mama, asalkan Mama mau nemenin Rara di rumah."

Tanpa terasa pipi wanita itu memanas, matanya mulai berembun, perasaan campur aduk tak karuan, menengok keegoisannya selama ini. Bekerja siang malam demi menenuhi gengsi, sebenarnya kalau mau hidup bersyukur, tidak sebentar-sebentar ganti mobil, perabot rumah tangga, pastilah tidak akan banyak tagihan.

"Untuk saat ini Mama belum bisa, sayang." Mama Memejamkan matanya kemudian membuka dengan pelan.

"Kenapa, Ma?" tanya Rara polos.

"Karena, Mama harus bayar hutang."

"Bayar hutang?"

"Iya, hutang Mama banyak, sayang."

"Hutang apalagi sih, Ma?" tanya papa tiba-tiba menghentikan mobilnya mendadak.

"Ini sudah siang, Papa."

"Yang bilang masih pagi juga siapa?"

"Papa!"

"Kamu hutang apalagi?"

"Hutang traktir teman-teman, Mama," Suaranya dengan nada memelas.

"What?"

Laki-laki itu seketika menoleh kebelakang, teman-teman sosialita lebih penting dari anak sendiri rupanya.

"Ma, Rara tuh pengen sebelum bobok didongengin sama Mama, dielus-elus rambutnya, kapan Rara bisa merasakan belaian Mama."

"Bibik setiap malam juga dongengin Rara, 'kan?" tanya Mamanya kemudian.

"Rara bosen didongengin Bibik, masa tiap malam dongengnya Kancil mencuri ketimun, gak kreatif. Coba dong nyuri yang lain." Gerutu Rara.

Papa seketika tertawa sampai punggungnya berguncang, dalam hati memuji kecerdasan putrinya dalam melakukan demo pada mamanya biar tidak kesepian. Mulut mama membulat sempurna, memutar cepat kepalanya setengah lingkaran, menatap takjub pada putri kecilnya.

"Tuh Ma, yang kreatif dikit napa?"

"Papa ini."

"Ma, Rara mau nanya, sebenarnya Rara ini anak siapa sih?"

"Ya jelas anaknya Mama dan Papa dong."

Mama memeluk Rara gemas, menciumi pipi tembemnya berkali-kali, sampai gadis cilik itu kegelian. Sesaat kemudian menatap wajah sang mana dan bertanya.

"Bukan anaknya Bibik?"

"Ya bukan dong, sayang."

"Kenapa Rara di rumah seringnya sama Bibik, makan, mandi bahkan bobok juga ditemenin Bibik," protes Rara.

"Rara sayang, Mama itu kerja semuanya buat Rara, apa-apa itu serba mahal, belanjaan mahal, bahkan katanya sembako juga bakalan kena pajak."

"Ma, kamu ngomongin pajak sama anak TK, ya mana dia ngerti."

"Rara sudah sampai, belajar yang rajin, jangan nakal ya."

Kembali melanjutkan perjalanan, wanita itu pindah duduk ke depan. Matanya menatap kosong ke depan, memikirkan ucapan Rara barusan, benarkah dia kesepian selama ini? Boneka, aneka mainan yang dibelikannya apakah tidak mampu mengusir kesepiannya? Dongeng kancil mencuri timun tiap malam, memamangnya bibik nggak punya dongeng lain apa? Batinya gerimis.

Setitik air menggenang di sudut mata Mama Azalea. Narendra yang tahu perubahan mimik muka istrinya, mengelus pundaknya, kemudian menggenggam jemari lentiknya.

"Ma, belum terlambat," ucapnya pelan.

"Maksud Papa?"

"Memberi Adek pada, Rara. Biar dia tidak kesepian."

"Hutang kita belum lunas," jawab wanita itu cepat.

"Apa kamu mau memberikan Adek pada Rara, menunggu cicilan rumah kita lunas? Dua puluh tahun lagi lho, Ma "

Laki-laki itu tak kuasa menahan ketawanya, lha masa iya menunggu dua puluh tahun lagi, Rara sudah punya suami baru punya adek?

"Papa ngeledek ya?"

Jemari lentik itupun dengan cepat mencubit pinggang laki-laki di sebelahnya yang langsung teriak kesakitan.

"Ampun Ma ..., makanya di ACC dong proposalnya."

"Proposal yang mana?" tanya wanita itu bingung.

"Proposal bibit unggul, yang siap menyebar benih tapi sawahnya belum siap."

Bersambung


Sumber gambar pinterest
Diubah oleh trifatoyah
profile-picture
profile-picture
profile-picture
jenggalasunyi dan 16 lainnya memberi reputasi
15
Masuk untuk memberikan balasan
stories-from-the-heart
Stories from the Heart
41.6K Anggota • 31.5K Threads
Ingin Membayar Gaji Mama
01-10-2021 20:57
Bab 4. Rara Kasihan Pada Sinta

Ingin Membayar Gaji Mama


Ngapain ini anak nanya-nanya umur segala, emang mau jadi petugas sensus apa? Sinta membatin dengan dongkol juga, karena sebelum pertanyaannya dijawab gadis kecil itu akan terus bertanya.

"Tiga puluh tahun."

"Wow tiga puluh banyak amat!" Jendela mata kecil itu membelalak sempurna, mendengar jawaban Sinta.

"Banyak amat gimana?"

"Ya, banyak. Aku aja cuma enam, kok Tante tiga puluh. Eh Tante hapal surat Al-Lahab nggak?"

"Nggak!" jawab Sinta kesal.

"Tiga puluh tahun nggak hapal surat Al-Lahab, jadi Tante selama ini ngapain aja?"

Ini bocah nyebelin banget, mana dari tadi ngoceh aja seperti burung kutilang habis dikasih pisang kapas saja, batin Sinta kesal. Tapi Sinta tetap berusaha tersenyum agar gadis kecil yang duduk di sampingnya ini tidak curiga.

"Tante mau dengar Surat Al-Lahab?" tanya Rara sambil tersenyum, menampakan dua lesung pipit, seperti halnya Arman kalau sedang tersenyum, maka akan menampakkan lesung pipitnya.

"Ya, coba."

"Bismillahirrahmanirrahim, Tabat yada abi ...."

"Kalau itu sih Tante tahu, surat Tabat 'kan?"

"Dih Tante, mana ada surat Tabat, ya nggak ada, ini namanya surat Al-Lahab, bukan surat Tabat, mau dicari sampai rambut Tante Sinta ubanan juga gak bakalan ketemu Surat Tabat, hahahaha."

Rara tertawa sampai terpingkal-pingkal. Sebenarnya Sinta masih lupa-lupa ingat surat Al-Lahab, tapi memang Sinta tidak tahu kalau Surat itu namanya Surat Al-Lahab, yang Sinta tahu itu surat Tabat.
Pak Ardi supir pribadi Sinta sampai ikutan tersenyum, sebenarnya ingin tertawa tapi takut dosa, takut dipotong gajinya.

"Buruan Pak, aku kebelet pipis." Berkata Rara sambil nyengir menahan keinginannya untuk buang air kecil.

"Mampir Masjid itu," titah Sinta pada Pak Ardi.

Pak Ardi langsung memasuki area Masjid, tampat tertulis Nama Masjid yang cukup Megah, Masjid Khuzaemah. Rara langsung keluar mobil setelah sebelumnya Pak Ardi membukakan pintu untuknya.

Langkah kakinya lebar-lebar, bergegas mencari toilet, gadis kecil itu meninggalkan Sintia yang tetap mengikuti di belakangnya. Rara memasuki toilet di ujung sana, terpaksa Sinta menunggunya di depan pintu. Selesai dari toilet, Rara Langsung mencari tempat wudu, gadis kecil itu membuka jilbabnya, meketakkan di tempat menaruh jilbab.

Tangan kecilnya perlahan mengambil air wudhu, mencuci kedua tangan, kumur-kumur, membasuh hidung, membasuh muka, membasuh tangan sampai siku, mengusap rambut dan telinga, terakhir membasuh telapak kaki sampai mata kaki. Sinta dibuat takjub melihatnya, gadis kecil itu hapal tata cara dan urutan berwudhu.

"Tante nggak wudhu?" tanya Rara setelah memakai jilbabnya.

"Tante lagi dapet," jawab Sinta singkat.

"Dapet apaan?" tanta Rara bingung.

"Ya dapet tamu bulanan."

"Dih, Tante aneh deh, masak ada tamu bulanan, berarti ada tamu mingguan, juga tamu harian gitu?" tanya Rara sambil geleng-geleng mengibaskan jilbabnya.

Haduuuuh, aku harus jawab apalagi? Benar-benar nih anak kritisnya minta ampun, anak umur enam tahu mana ngerti tamu bulanan? Hati Sinta kembali menjerit-jerit tidak tahu harus mulai menjelaskan dari mana tentang tamu bulanan, mana bertanya terus tidak ada hentinya, rasanya ingin Sinta melakban mulut mungil itu sesaat.

"Sudah katanya mau Sholat, kok ngomong aja dari tadi."

"Tapj nanti Tante kudu jelasin, apa itu tamu bulanan."

"Okey deh, tapi sholat dulu sana, oh iya kamu mau sholat emangnya baea mukena, bukankah di masjid biasanya nggak ada mukena anak-anak."

"Tenang aja Tante, Rara bawa mukena kok, ini mukenanya."

Rara mengeluarkan mukena parasit dari dalam tas punggungnya. Apa gadis kecil itu ternyata membawa mukena, bagaimana bisa, gadis yang sekecil itu ke mana-mana membawa mukena? Sinta benar-benar dibuat takjub, Rara memakai mukena parasit berwarna biru muda, yang di belakang mukena tepat di punggung ada tulisan Rara.

"Tante heran ya, kok aku bawa mukena?'
tanya Rara sambil memperhatikan raut wajah Sinta yang teihat keheranan.

Benar-benar seperti cenayang gadis kecil ini, batin Sinta. Sepertinya dia tahu apa jalan pikiran Sinta.

"Gini Tante, sekolah Aku 'kan TK IT. eh Tante tahu nggak apa itu TK IT?" tanya Rara kemudian, menyangsikan kalau Sinta tahu singkatan dari TK IT.

"Ya tahu, Taman Kanak-kanak Islam Terpadu."

"Horeeeee! Kali ini Tante pinter."


Bersambung
Diubah oleh trifatoyah
profile-picture
profile-picture
profile-picture
jiyanq dan 3 lainnya memberi reputasi
4 0
4
profile picture
KASKUS Plus
01-10-2021 21:03
Wkwkwk sinta kalah pinter dr raraemoticon-Ngakak
0
Memuat data ...
1 - 1 dari 1 balasan
icon-hot-thread
Hot Threads
Inspirasi Harian
pentingnya-deep-work
Copyright © 2024, Kaskus Networks, PT Darta Media Indonesia