Suara hentakan kuda di malam hari terdengar nyaring melewati jalan beraspal di tengah-tengah desa yang senyap. Denis memberhentikan delmannya dan turun disana.
Ia melihat ke sekitar, cukup aneh bahwa penyerangan besar yang diarahkan pada Cantaka bisa terjadi dengan cukup sunyi.
Sejauh yang diingat, keluarga Cantaka membangun sebuah desa yang cukup jauh di pinggiran kota. Lokasinya harus ditempuh memasuki hutan, jalanan menanjak dan menurun. Kendati beraspal namun akan sangat berbahaya jika terjadi kecelakaan disini.
Toh, orang gila mana yang akan bersusah payah datang kemari?
Hingga langkah Denis terhenti, ia melihat ke sebuah bangunan yang cukup lebar dari rumah-rumah lainnya. Sebuah bangunan yang berada paling ujung desa itu. Ada yang aneh, pandangannya melihat bahwa bangunan itu baik-baik saja. Tak ada tanda-tanda kehidupan apapun, sama seperti rumah lainnya.
Namun cahaya rembulan seperti terdistorsi saat menempa bangunan itu. Cahayanya seperti berbelok-belok tepat ketika menyentuh gentingnya.
Denis berjalan memutarinya sambil memperhatikan distorsi cahaya tersebut.
"Ah! Kok
aing bego ya?!"
Denis berteriak, ia segera melompat ke depan bangunan itu.
Benar apa yang Denis pikirkan, seluruh bangunan itu diselimuti halimunan. Saat ia masuk kedalamnya, barulah suara teriakan terdengar bersahutan dengan suara-suara benda tajam dan tumpul beradu.
"Nik, Asih, Acil, Kalong, Gen-gen, Gan-gan, Sanca. Kemari kalian."
Denis memanggil mereka semua sambil berjalan mendekati bangunan itu.
Semua muncul dari berbagai tempat, kecuali Acil yang masih belum tiba.
"Kulan, Nun."
Mereka semua serempak berlutut di belakang Denis.
"Kalian maju, cabik, bunuh, lahap, jangan sisakan satupun para antek yang dibawa Ira. Selamatkan anggota Cantaka. Jika kalian melihat Ira, hadang dia, jangan biarkan dia menyentuh Cahya atau sang Tetua. Paham?!"
Denis memberi perintah tanpa menoleh ke belakang, ke tempat dimana mereka masih berlutut.
"Pangertos, Nun."
Mereka semua menjawab, lalu berdiri dan berjalan memasuki kediaman utama keluarga Cantaka.
Suara desisan, tawa yang berat, tawa yang melengking, semua menghiasi setiap langkahnya. Seolah seperti bunyi bel kematian mengerikan telah naik ke permukaan dari kedalaman neraka.
"Cantaka yeuh?"
Acil yang datang terlambat menyapa Denis.
Ia berjalan santai sambil melipat tangannya ke belakang kepala.
"Hooh, parah
siah, cil."
Denis menjawab.
"Terus aing kudu gimana?"
Acil bertanya dengan nada mengesalkan.
"Kemaren enak gak?"
Denis jelas bertanya tentang sebagian tubuh Maludra yang Acil makan.
"Enak sih, tapi lebih enak cokolatos. Jadi tuh apa ya? Aromanya tuh bau, tapi pas digigit malah ketagihan. Hehehe~"
Acil menjelaskan cukup jelas.
"Ketagihan kan? Nah kayaknya yang ini bakal lebih bau, tapi lebih nagih."
Denis menggoda Acil.
"Terus kenapa gak bilang dari tadi?!"
Acil memukul kaki Denis dan berlari masuk.
"Buruan Cil! Jangan sampe keabisan sama yang lain!"
Denis berteriak seperti menyemangati Acil.
"WOEE SETAN! JANGAN GANGGU MANGSA PUNYA AING!!"
Terdengar suara melengking Acil saat ia melompat masuk ke tengah-tengah pertempuran mencari Ira.
Denis menghela nafas panjang, ia tengah bersiap tentang apa yang akan dia hadapi nanti.
Terakhir ketika mereka bertemu, Ira tidaklah mampu melakukan semua ini. Jelas yang dia miliki hanya motivasi yang luar biasa besar, ditambah dukungan kecil dari pengetahuan miliknya. Tidak lebih dari itu, apalagi mampu membuat dinding halimunan kuat seperti ini. Siapapun yang melihat desa ini, hanya akan melihat desa mati. Denis berfikir keras tentang perubahan apa yang terjadi pada Ira.
Di lain sisi, Acil menerjang ke arah Ira yang tengah melawan tetua dan Cahya. Tubuhnya yang telah menghitam dan gigi-giginya yang tajam mampu menyingkirkan Ira dari tengah-tengah pertarungannya.
"Apa ini?!"
Ira kaget sembari menghindari gigitan Acil.
Ia tak membawa senjata, berbeda dengan tetua dan Cahya yang masing-masing memegang golok yang berukuran satu meter.
Namun gerakannya teliti, tak ada gerakan sia-sia saat ia melawan Acil. Setiap terjangan Acil, ia hindari dan membalasnya dengan tepat. Acil berkali-kali tumbang dan bangkit lagi seperti kesetanan. Semakin lama mereka bertarung, semakin buas Acil bergerak.
Hingga akhirnya Denis mendapatkan jawabannya.
Aliran energi Ira lebih teratur dibanding Maludra, namun sifatnya masih sama. Ira mengambil energi seberang untuk memperkuat tubuhnya, membantunya bergerak, dan memulihkan kondisi tubuhnya hingga batas tertentu.
Menariknya, jika Maludra menyebarkan energinya ke seluruh tubuh secara merata, Ira justru hanya menempatkan titik-titik kecil di bagian-bagian tubuhnya.
Denis segera menghampiri tetua dan Cahya.
"
Sia telat ned!"
Cahya protes.
"Maap maap, macet dijalan."
Denis beralasan.
"Sudah sudah, kita harus mengalahkan orang itu dulu bersama."
Tetua berujar.
"Oh tidak tidak, kau duduk disini, atau mengungsi ke tempat aman. Tidak ada jaminan keselamatan untuk orangtua seperti anda."
Denis mencegah.
"Kau tahu bahwa aku lebih kuat?"
Tetua bertanya sombong.
"Tidak, tapi kita bisa cari tahu nanti."
Denis berkata sambil menunjuk ke belakang dengan jempolnya.
Ke tempat dimana para demitnya sedang bertarung.
"Sulit dipercaya, tapi kata-katanya benar, Kek."
Cahya mau tak mau menyetujui.
"Lihat kan?"
Denis bertanya sombong.
"Baiklah, kuserahkan pada yang lebih muda."
Tetua akhirnya menyerah.
"Oke, ayo kita mulai."
Cahya segera bersiap.
"Mau kemana?"
Denis mencegah lagi.
"Lah? Ya hajar cewe itu lah!"
Jawab Cahya.
"
Sia jaga tetua disini, bantu dikit. Tembakin panah atau lemparin tombak, apapun itu tapi jangan maju."
Denis memberi perintah.
"Tapi kalo 2 lawan 1 bisa cepet beres, Ned."
Cahya bersikukuh.
"Ngga ah,
sia cuma bikin
aing kagok, beban doang. Udah sono!"
Denis mengusir mereka.
Cahya sedikit kesal, namun saat melihat bagaimana Acil bertarung. Ia terpaksa mundur.
"Oke
aing mundur. Tapi bawa ini!"
Cahya memberikan golok panjangnya pada Denis.
"Woah! Cukup berguna juga."
Denis melihat bilah goloknya bercahaya hitam dan merah secara samar.
"Jangan mati ya!"
Cahya mundur bersama kakeknya.
"Taruhan, kalo
aing gak mati,
sia kudu ngasih tongkat Rajamandala."
Denis berkata sombong.
"Hmm
deal! Rajamandala doang ya?"
Cahya memastikan.
"Tenang aja,
aing gak bakal serakah."
Denis meyakinkan.
Denis memutar-mutar goloknya, menimbang berat dan gerakan yang cocok untuk ia lakukan. Dirasa sudah siap. Denis memasang kuda-kuda.
"Cil!"
Lalu memanggil Acil.
Acil mengerti, ia memeluk tubuh Ira dari belakang. Terlihat seperti seseorang sedang menggendong anak kecil.
Ira berusaha melukai Acil, membuka kunciannya, namun serangannya seperti meleset tepat ketika menyentuh Acil.
Ira melihat Denis bersiap, goloknya terhunus ke depan, lurus mengarah Ira.
"Cih! Merepotkan!"
Ira berdecak saat matanya menangkap maksud Denis.
"Apa kabar tante?"
Denis menggoda sambil meluncur dengan cepat.
Goloknya tepat mengarah ulu hati, dalam sepersekian detik, Ira mengeluarkan asap hitam dari seluruh badannya. Alih-alih menyelimuti tubuhnya dengan itu, justru Ira menahan serangan Denis dengan mengumpulkan asap hitam itu membentuk satu titik yang padat tepat beberapa senti sebelum goloknya menembus tubuh Ira.
"Panggil aku 'tante' sekali lagi, kucabut lidahmu!"
Ira berkata kesal.
"Ohya? Sini cabut dasar tante nakal!"
Denis menjulurkan lidahnya sengaja.
Ira melompat lalu menendang Denis dengan kedua kakinya sambil terjatuh ke belakang bersama Acil yang masih bergelantungan di punggungnya.
Acil yang seharusnya tidak berdampak pada hal-hal bersifat fisikal, namun kali ini entah bagaimana ia dapat terluka. Acil meringis sembari melepaskan Ira.
"Kok bisa sih?"
Acil protes sambil berjalan menjauh, namun Ira terlihat tak ingin melepaskannya.
Dengan cepat kaki Acil diraih, tubuhnya dibanting lalu dilempar jauh.
"Wuiihhhh~ hebat juga."
Denis menyindir sambil bertepuk tangan.
"Sekarang giliranmu."
Ira menatap tajam ke arah Denis.
"Oh? Ayo sini~"
Denis mengacungkan goloknya ke arah Ira sambil melambaikan tangannya.
"Kau akan menyesali ini."
Ira mengepalkan tangannya, memasang kuda-kuda.
Mereka terdiam dalam sepersekian detik.
Lalu Cahya melemparkan golok kedua berwarna putih pada Denis. Alih-alih Denis berbalik untuk mengambilnya, ia malah maju ke arah Ira.
Ira menyambut Denis, ia juga maju dengan terburu.
Denis berusaha menyayat tubuh Ira, namun ia menghindar dan sebelum pukulan mengenai wajah Denis, Denis merentangkan tangan ke belakang mengambil lemparan golok kedua yang kemudian menghindari pukulan Ira.
Saat tubuh Denis setengah merunduk, ia bangkit dengan cepat, menghunuskan kedua senjatanya secara bergantian mengarah wajah dan dada Ira.
Ira terpaksa berjalan mundur untuk menghindari Denis, saat tubuhnya hampir terpojok menyentuh tembok. Ia berjongkok, melepaskan tendangan menyapu pada Denis.
Denis melompat, namun tendangan lain mengarah pada dagunya. Denis segera menyimpangkan kedua senjatanya. Namun hal itu sia-sia.
Tendangan Ira terlalu kuat untuk ditahan, Denis terlempar cukup jauh.
Saat dirinya terlempar, Denis menyadari satu hal yang paling penting. Ira tidak hanya ahli mengatur energi seberang, ia mengetahui kelemahan fatal Denis. Tendangan tadi sama sekali tidak mengandung energi seberang, tapi tenaga untuk melakukan gerakan itu yang dibantu oleh dorongan energinya.
Denis segera mendarat, Ira dengan cekatan melompat ke arah Denis. Sepanjang lemparannya ternyata ia mengikuti Denis tanpa pernah melepaskan lanjutan serangan selanjutnya.
Ira melompat rendah, menendang dengan kedua kakinya bergantian tepat sebelum Denis jatuh. Tendangan pertama, Denis dapat menghindar, tendangan kedua, Denis membuat ujung kaki Ira sebagai tumpuan agar dapat bergerak dan menjauh darinya.
Denis yang masih di udara, melemparkan kedua goloknya berurutan. Mengarah leher Ira dengan cepat. Ira menangkis dengan lengannya, dan menendang bilah golok itu untuk menghindar.
Saat dirinya berlari menuju Denis, siapa yang tahu jika kedua golok itu terbang dan menyerang.
Ira hampir terluka, lehernya hampir putus jika ia tak segera menyadari datangnya golok terbang itu.
"Cih!"
Ira berdecak, ia menghindar dan mencoba melemparkan kedua golok itu sebelum dirinya terkena sayatan.
Namun tiap kali dilempar, golok itu akan terbang kembali menyerang.
"Hooaamm~ perlu ditungguin gak?"
Denis menguap bosan sambil melihat Ira kewalahan menghadapi kedua golok itu.
Wajah Ira merah padam karena kesal dipermainkan, ia segera meraih golok hitam dan dengan dorongan tubuhnya, ia membuat keduanya beradu hingga golok putih yang masih melayang terlempar ke arah Denis.
Denis kaget, ia melompat saat golok itu terbang melintasinya. Lalu saat golok itu melewati perutnya, Denis meraihnya kembali dan melemparkannya ke arah Ira.
Ira yang tak disangka dapat memegang golok hitam segera berlari maju, ia menangkis golok putih yang Denis lemparkan.
Denis tak tinggal diam, ia meraih golok putihnya dan menghadapi Ira.
Kini masing-masing dari mereka memegang senjata yang sama.
Ira menebas Denis, Denis menyamping untuk menghindar sambil membalas serangannya dengan tebasan yang sama. Ira menangkis dan berusaha menusuk leher Denis, Denis menangkis dengan lengannya dan berusaha menyayat perut Ira.
Ira mundur satu langkah, saat serangan Denis meleset, ia tak menyia-nyiakan momentum itu, Ira segera kembali melangkah maju mengarahkan goloknya pada leher Denis.
Sementara Denis yang kehilangan setengah keseimbangannya, menangkis serangan itu dengan ceroboh. Meskipun lehernya selamat, tapi jarinya terluka hampir putus.
Denis segera memindahkan goloknya ke tangan kiri lalu membalas serangan Ira saat ia kembali mendapatkan keseimbangannya.
Sebuah tebasan segera melayang, Ira menangkis dan bermaksud menusuk leher Denis.
Denis yang kini terbiasa dengan pola serangan Ira, bergerak menghindari menyamping. Hingga lehernya dapat merasakan dingin dari bilah tumpul golok hitam yang Ira pegang.
Denis dengan cepat menyayat tepat di sendi siku Ira yang lengannya sedang lurus. Ira yang tak sempat menghindar harus bergerak ceroboh dan mendapatkan sayatan dangkal di sendi sikunya.
Denis tak ingin melepaskan Ira, ia melanjutkan serangan tadi. Sebuah tusukan ke perut Ira, ia arahkan. Ira kemudian menggunakan lututnya untuk menangkis bilah golok Denis agar lintasan tusukannya terganggu. Lalu dengan ujung kakinya, Ira menendang perut Denis.
Denis harus melompat agar serangan Ira tak mengenainya, ia juga berusaha menebas kaki Ira. Ira segera menurunkan kakinya, mencondongkan tubuhnya, maju selangkah dan kemudian kembali menusuk Denis.
Saat Denis mendarat, saat tusukan Ira hampir menyentuh dadanya, tiba-tiba lengan Ira terjatuh terpotong tepat di bagian sendi siku. Tangannya terpotong hanya karena goresan kecil dari golok putih.
Acil yang ternyata mengawasi pertarungan mereka berdua segera berlari cepat merangkak, menyambar potongan lengan Ira dengan menggigitnya dan menjauh.
Ira yang kaget, segera mundur. Namun Denis menahannya dengan tebasan menyamping.
Ira terus mundur, meraih salahsatu antek dan melemparkan tubuhnya pada Denis.
Denis menusuk tubuh itu, ira dengan cekatan mematahkan lengan anteknya dan menariknya putus.
"Kita akan bertemu lagi!"
Ia segera berlari menjauh.
Denis tak menghiraukan kata-kata Ira, ia melepaskan dirinya dan bersiap berlari.
Namun sayang, tubuh antek yang Ira lemparkan menahan gerakan Denis. Serat-serat ototnya berpencar satu persatu, itu seperti hidup merayapi Denis dan melilit kedua kakinya. Denis terlihat seperti sedang dililit daging merah hidup. Hanya tulang belulang yang masih tergeletak tak bergerak, daging-otot itu terus mencengkeram Denis.
"Kalong!"
Denis berteriak memanggil.
Yang dipanggil segera meluncur ke arah Denis, ia kemudian mencakar, mengigit, dan memakan otot-daging hidup yang mencengkeram kaki Denis dengan cepat hingga tak bersisa.
Saat selesai, kelelawar berukuran sebesar manusia dewasa itu oleng, ia kehilangan keseimbangannya dan meronta-ronta seperti kesakitan.
Lalu secara aneh, tubuhnya perlahan tumbuh dan menyusut membentuk tubuh manusia sempurna secara perlahan, hanya saja kepala dan sayapnya tak berubah.
'KAAAAAAAKKK!!!!!
Setelah prosesi itu selesai, kalong berteriak sambil menengadahkan kepalanya keatas. Ia mengepalkan kedua tangan barunya dan berdiri tegak.
Denis yang masih merasa aneh kebingungan.
"Bisa-bisanya lagi begini, demitmu mencapai tingkatan itu."
Tetua Cantaka berkomentar.
"Hah? Apa? Gimana?"
Denis bertanya masih dengan wajah bungung.
"Simpelnya, demit
sia berevolusi, ned."
Cahya ikut berujar.
Denis hanya menepuk dahinya tak percaya.
"Kita urus nanti soal si kalong."
Denis membalas sambil melihat beberapa orang dari Cantaka yang terluka dan tewas.
Pun dengan para antek yang telah menghilang bersama Ira, hanya satu yang tertinggal. Meskipun hanya tersisa tulang dan pakaian pangsi hitam.
"Ya kacau emang,
aing akui itu. Terlalu banyak korban jiwa dari pihak Cantaka. Kalo gak dibantu, gak tau deh kita masih bisa hidup atau ngga."
Cahya menatap dan menunduk.
"Mereka memang sulit ditangani, suka atau tidak, kita akui bahwa kita masih sangat lemah. Penjaga segel apanya jika ajian saja kita masih terlalu banyak toleransi."
Tetua juga angkat bicara.
"Yah saya kurang tahu bagaimana cara kalian, tapi setidaknya masih banyak yang bertahan dan melanjutkan hidup. Balas dendam atau tidak, kita akan melihat hal itu dengan hati-hati."
Denis berujar.
"Baiklah, Yoo siapa yang masih bisa berdiri?! bantu yang terluka untuk segera diobati!"
Cahya segera berteriak memberi perintah.
Meski dengan lelah dan susah payah, mereka semua berdiri dan mengobati yang terluka.
"Beres juga akhirnya."
Denis menghela nafas lega sambil duduk di sebuah sofa yang setengahnya hancur.
"Jangan ngomong begitu, ntar malah ada kejadian lagi, tau rasa
sia!"
Cahya berujar sambil membawa perlengkapan pengobatan.
Denis tak langsung menjawab, ia menyuruh para demitnya kembali kecuali Acil yang masih menyantap lengan Ira.
"Ya jangan dong, cape
aing."
Baru saja Denis berkata lega, ponselnya berdering.
Ia mengambilnya dengan malas, tertera nama Digya disana.
Denis heran, namun masih tetap ia mengangkatnya.
"Halo?"
Ia menjawabnya.
"[BZZZTTT]"
Hanya suara statis yang terdengar.
Denis semakin bingung,
"Halo Dig?!"
Ia berkata setengah berteriak.
"Ka ...... La ....[ZZZZZZTTTTTT]"
Lalu panggilan berakhir.
Denis memerah, ia kesal.
Dengan terburu ia berdiri dan berlari ke arah depan.
"Kenapa Ned?"
Cahya bertanya.
Denis berhenti, meski ia tak mampu menyembunyikan wajah kesalnya.
"
Sia kasih tau yang lain, Kala nyerang keluarga Rengga.
Aing baru nyadar kalo penyerangan Cantaka sama Astacala cuma pengalihan.
Aing gak ada waktu lagi."
Denis segera berlari disambut suara lonceng kereta kuda dan menghilang.
"Astacala juga? Rengga juga? Sebenarnya apa yang sedang terjadi?"
Cahya menatap ke tempat dimana Denis menghilang.
"Intinya Jagaloka lagi diincar sama Kala, gitu aja masa gak ngerti."
Acil menjawab Cahya sambil membersihkan sisa-sisa daging di mulutnya.
"Heh? gawat! Eh eh eh kok gak ikut si Denis?"
Cahya malah salah fokus.
Acil hanya menyipitkan matanya acuh, lalu berjalan ke depan, ia melompat ke arah pohon mangga dan tidur disana.
Meninggalkan malam membiarkannya larut, tebak saja Acil sedang menjaga Cantaka.