Story
Pencarian Tidak Ditemukan
KOMUNITAS
link has been copied
3756
Lapor Hansip
11-02-2021 17:22

Tumbal Manten Kali Gandhu





TUMBAL MANTEN KALI GANDHU
(TAMAT)




Part 1 :
Lelaki Patah Hati

Sebatang sigaret dan secangkir kopi, mungkin hanya itu obat yang mujarab untuk orang yang sedang patah hati sepertiku. Dan demi secangkir kopi, pagi itu aku rela mengantri di kedai Mbak Romlah, berjubel dengan beberapa orang mahasiswa dan mahasiswi yang memenuhi kedai sederhana itu.

Bukan. Aku bukan seorang mahasiswa seperti mereka. Aku hanyalah seorang laki laki yang sedang patah hati, yang kebetulan terdampar di kota pelajar ini, dan ngekost di dekat kampus yang megah itu.

"Kopi Mas Bay?" seperti biasa, Mbak Romlah selalu tersenyum manis kepada setiap pelanggan di kedainya. Bahkan kepada para mahasiswa yang catatan hutangnya di kedai itu sudah menumpukpun, ia tetap melayaninya dengan senyuman manis.

"Nggih Mbak, seperti biasa ya, pahit, nggak pakai gula," ujarku sambil memaksa ikut duduk berdesak desakan di bangku kayu yang sudah penuh dengan pantat pantat para mahasiswa dan mahasiswi itu.

"Mas Bay, tumben pagi pagi udah nongkrong dimari? Biasa jam segini masih molor di kost'an," celetuk salah seorang dari mereka. Aku tak begitu mengenal anak itu. Mungkin salah satu penghuni kost dimana tempat aku tinggal.

"Memangnya kenapa? Nggak boleh ya?" sungutku sambil membakar ujung sigaret yang terselip di sela sela jariku.

"Ya boleh sih, cuma nggak biasa aja," anak itu tanpa permisi menyomot bungkus sigaretku, lalu mengambil isinya sebatang dan menyulutnya.

Aku berdiri sambil menepuk bahu anak itu. "Nak, sebagai seorang mahasiswa, sebaiknya kamu belajar saja yang rajin ya, nggak usah terlalu usil dengan urusan orang," dengusku sambil melangkah keluar dari kedai itu.

"Mbak Romlah! Kopinya anterin ke kost-an saja ya, sama sekalian mie rebusnya!" seruku dari luar kedai.

"Duh, ngambek nih yeee! Jangan suka ngambek Mas Bay, nanti cepet tua lho!" masih kudengar celetukan salah seorang mahasiswi dari dalam kedai itu.

"Wedhus!!!" umpatku kasar. Kutendang kaleng minuman soda yang tergeletak di tengah jalan, untuk melampiaskan rasa kesalku.

"Woy!" seorang pedagang bubur keliling mengepalkan tangannya ke arahku, saat kaleng soda itu melayang nyaris menghantam kepalanya. Aku hanya nyengir, sambil terus melangkah menuju ke kost-anku.

"Cah edan!" masih kudengar tukang bubur itu menggerutu.

"Opo?! Ngajak gelut po?! Ayo mrene!!!! (Apa?! Ngajak berantem ya?! Ayo, sini!!!), sontak aku berbalik dan memasang wajah sangar, membuat tukang bubur itu lari terbirit birit sambil mendorong gerobaknya.

"As*!" lagi lagi aku mengumpat, kali ini sambil membuka pintu pagar kost-an dengan kasar.

"Ngapa ta Mas? pagi pagi kok udah ngomel ngomel ndak jelas gitu?" suara lembut Wulan, anak pemilik kost, menyambutku.

"Ra popo!" (nggak papa!) sahutku sengak, sambil terus ngeloyor masuk ke kamar. Sekilas masih kulihat Wulan yang menggeleng gelengkan kepalanya melihat tingkahku yang absurd di pagi itu.

Aku menghenyakkan pantat di atas kursi. Mereka, orang orang itu, boleh saja menilaiku seperti apa, karena mereka memang tak merasakan apa yang aku rasakan. Sakit yang aku rasakan, hanya aku seorang yang tahu. Dikhianati oleh orang yang telah sekian lama kita cintai, sakit apalagi yang rasanya lebih sakit daripada dikhianati?

"Mas Bayu," terdengar suara dari balik pintu, disusul dengan ketukan pelan.

"Siapa?" tanyaku basa basi, karena aku sudah sangat hafal dengan suara itu.

"Lilis Mas. Disuruh emak buat nganterin kopi pesenan Mas Bayu," sahut suara itu lagi.

"Masuk, aja!" seruku lagi sambil cepat cepat menyalakan laptopku.

"Taruh dimana Mas kopinya?" kata gadis itu setelah masuk ke kamarku.

"Letakkan saja di meja situ," sahutku tanpa menoleh. Bisa tambah puyeng aku kalau sampai terlalu lama melihat gadis tomboy yang selalu berpenampilan sexy itu. Lihat saja, pagi pagi begini ia sudah kelayapan cuma dengan mengenakan celana pendek sebatas paha dan kaos oblong yang super ketat.

"Lagi ngerjain apa sih Mas? Kok kayaknya serius banget?" sambil masih memegang nampan gadis itu mendekat ke arahku.

"Halah! Sudah, pulang sana! Ngganggu saja! Aku lagi sibuk nih!" sentakku sedikit kesal.

"Dih! Galak amat sih! Awas lho, galak galak nanti gantengnya ilang," anak itu tergelak sambil melangkah meninggalkan kamarku.

Bodo amat, batinku sambil menyambar cangkir kopi dan menyeruput sedikit isinya. Aroma wangi uap kopi bisa sedikit menyegarkan pikiranku.

"Mas Bayu," lagi lagi pintu diketuk. Kali ini suara Wulan yang terdengar. "Ada Mbak Rena tuh di depan, mau ketemu Mas Bayu katanya."

Sial! Mau apa lagi gadis itu mencariku? Mau minta maaf padaku? Mau menjelaskan kejadian yang sebenarnya? Membuat segudang alibi dan alasan? Cih! Tak akan semudah itu, setelah jelas jelas tertangkap basah berduaan dengan laki laki lain!

"Bilang saja aku nggak ada!" seruku.

"Tapi Mas ...!"

"Udah! Bilang aja aku nggak ada, atau sekalian bilang sama dia, aku udah pindah, nggak ngekos di sini lagi!" sentakku kesal.

"Tapi aku sudah terlanjur bilang kalau Mas Bayu ada di kamar," seru Wulan dari balik pintu.

"Aish! Gimana sih?! Ya sudah, bilang aja sama dia, aku sudah nggak mau lagi ketemu sama dia!" seruku tak mau kalah.

"Tapi Mas ...."

"Halah! Tinggal bilang begitu apa susahnya sih? Dari tadi topa tapi melulu. Sudah, jangan ganggu! Aku lagi sibuk nih!" sentakku lagi.

"Bodoh!" dengusku kesal saat kudengar langkah kaki Wulan menjauh. Rasa kesal kembali membuncah dalam dadaku, teringat peristiwa beberapa hari yang lalu. Peristiwa yang membuatku mengucapkan kata putus kepada gadis yang telah sekian lama menemaniku menjalani kerasnya hidup di kota pelajar ini.

"Mas ...!" baru saja aku meraih sendok untuk mengaduk mie rebus yang tadi diantarkan oleh Lilis, kembali terdengar suara Wulan mengetuk pintu.

"Apa lagi sih?!" kali ini aku beranjak bangkit dan membuka pintu.

"Ada tamu yang nyari Mas Bayu," jawab Wulan.

"Hai Bay, apa kabar?" seorang gadis cantik berambut panjang yang berdiri di belakang Wulan menyapaku, membuatku terbengong sampai sepersekian detik lamanya.

"Woy! Malah bengong lho!" gadis itu menampar pelan pipiku.

"Ya Tuhan, mimpi buruk apa aku semalam, sampai sampai hari ini kaudatangkan tamu yang seperti ini untukku," seruku dengan nada memelas.

"Asem!" gadis itu memukul lenganku pelan. Aku hanya tertawa tergelak. Namun tawaku terhenti seketika, saat menyadari bahwa dibelakang gadis itu telah berdiri seorang pria tampan nan rupawan.

"Eh, siapa?" ujarku setengah berbisik, sambil melirik laki laki itu.

"Oh ya, kenalkan, ini calon suamiku," jawab gadis itu.

"Bayu," aku menyambut uluran tangan laki laki itu.

"Bejo," ujar laki laki itu.

What?!!" nyaris saja tawaku meledak mendengar laki laki itu menyebutkan namanya. Laki laki segagah dan setampan itu namanya Bejo?

"Kenapa?" Seruni, gadis itu mendelik ke arahku.

"Hahaha ...! Ndak papa. Ayo, kita ngobrol di ruang tamu. Bisa digerebek sama ibu kost nanti kalau kita lama lama disini," ujarku mengalihkan pembicaraan.

"Jadi, angin apa yang tiba tiba membawamu kemari? Sudah sekian purnama lho, kamu tak pernah mengunjungi sahabat seperjuanganmu ini," ujarku setelah kami duduk di sofa ruang tamu. Tanganku sibuk mengirim chat kepada Lilis, memesan minuman dan sekedar makanan ringan untuk tamu tamu spesialku ini.

"Dasar pengarang amatiran. Mentang mentang sudah jadi penulis terkenal, bahasanya jadi sok formal begitu," kini Seruni yang tergelak.

"Nih, aku kesini cuma mau nganterin ini kok, datang ya nanti," sambung gadis itu lagi, sambil menyodorkan sebuak kartu undangan bersampul keemasan.

"Hmmm, tega kamu ya, mengirim undangan disaat aku sedang patah hati seperti ini," gumamku sambil menerima kartu undangan itu.

"Hah? Patah hati? Apa aku nggak salah dengar? Orang sepertimu bisa patah hati?" lagi lagi Seruni tergelak.

"Jangan tertawa diatas penderitaan orang," dengusku sambil membolak balik kartu undangan itu. "Jadi, kamu mau nikahnya di kampungmu? Jauh amat Nek."

"Halah, Jogja - Wonogiri seberapa jauh sih? Dan, karena seperti yang kamu bilang tadi, karena kita adalah sahabat seperjuangan sejak lama, maka kamu akan menjadi tamu spesialku. Lusa, kita berangkat sama sama ke kampungku. Harus! Nggak boleh nolak!" tegas Seruni.

"Lusa? Jangan gila dong. Disini disebutkan kalau resepsinya masih sebulan lagi. Mau ngapain aku ikut kesana lusa?"

"Eits, sudah kubilang tadi, kamu nggak boleh nolak. Dan kalau apa yang kamu bilang tadi itu benar, kalau kamu sedang patah hati, itu kebetulan. Aku bisa mencarikan obat untukmu di kampungku."

"Halah, kau pikir gampang apa mencari obat patah hati?"

"Jangan meremehkan Seruni binti Martono Bay. Percayalah, banyak yang bisa kau dapatkan disana. Gadis gadis desa yang cantik? Banyak di desaku. Penggemar berat dari tulisan tulisanmu? Ada maniak yang tergila gila dengan hasil karyamu di desaku. Bahkan kau bisa memecahkan sebuah misteri yang selama beratus ratus tahun tak pernah bisa di pecahkan di desaku. Bagaimana? Masih belum tertarik juga?"

"Hmmm, baiklah, baiklah, demi sahabat seperjuanganku ini, lusa aku akan ikut," kataku akhirnya.

"Nah, gitu dong, itu baru namanya sahabatku," kembali Seruni memukul pelan lenganku.

Obrolan kami terhenti sejenak, saat Lilis datang mengantarkan minuman dan makanan kecil yang tadi kupesan. Ada sedikit rasa bahagia menelusup di relung hatiku, melihat sahabat lamaku ini telah menemukan jodohnya. Rasa sakit hati akibat ulah Rena beberapa hari yang lalupun bisa sedikit aku lupakan.

bersambung
Diubah oleh indrag057
profile-picture
profile-picture
profile-picture
aripinastiko612 dan 182 lainnya memberi reputasi
183
Masuk untuk memberikan balasan
stories-from-the-heart
Stories from the Heart
41.6K Anggota • 31.5K Threads
Tumbal Manten Kali Gandhu
03-03-2021 04:56

Part 18 : Serat Kidung Talijiwa

Quote:"Jadi, itu yang menjadi alasanmu, sampai kau mengasingkan diri di tempat ini?" tanyaku setelah terdiam sejenak. Sungguh tak kusangka, Retno ternyata memiliki masa lalu yang sekelam itu. Dan dia menceritakan semua itu dengan sangat jelasnya, seolah tak ada beban sama sekali dalam hatinya. Apakah hati gadis ini terbuat dari batu? Ataukah perasaannya memang telah mati karena menjalani peristiwa yang sangat memilukan itu?

"Ya, bisa dibilang begitu, meski itu hanya salah satunya. Yang jelas, aku suka tempat ini Bay. Hanya disini aku bisa mendapatkan kedamaian," gadis itu menyecap kopinya yang telah mulai dingin.

"Seharusnya kau tak harus sampai seperti ini Retno Palupi. Kau masih muda, masa depanmu masih panjang. Sungguh naif kalau sampai kau sia siakan masa mudamu hanya untuk menyesali nasib."

"Hey, sejauh itukah cara berpikirmu?!" gadis itu mendelik ke arahku. "Aku masih waras Bay. Tempat ini hanya menjadi persinggahanku. Sesekali aku juga masih sering kok datang ke desa, karena aku juga punya kewajiban untuk meneruskan usaha peninggalan bapakku. Jangan pernah menganggap kalau aku ini gadis yang aneh ya! Aku masih normal Bay!"

"Haha, iya, maaf. Kalau begitu, boleh dong aku mengajukan beberapa pertanyaan lagi?" buru buru aku meralat ucapanku, sebelum gadis itu naik pitam dan menghajarku.

"Soal apa lagi sekarang yang masih membuatmu penasaran?" tanya gadis itu.

"Aku mau mendengar kisah Nyai Selasih itu darimu, yang merupakan keturunan langsung dari Nyai Selasih itu."

"Kenapa tadi tak kau tanyakan saja kepada kakek? Jelas dia tau lebih banyak daripada aku. Lagipula aku bukan keturunan langsung dari Nyai Selasih. Aku hanya keturunan dari keponakan Demang Kajang yang mendapat mandat untuk menjaga makam ini."

"Kau sengaja ya mau bikin aku jadi stress? Kau tau sendiri kan bagaimana susahnya bicara dengan kakekmu itu?"

"Haha, becanda Bay. Tunggu sebentar ya, kupinjami kau sesuatu, biar rasa penasaranmu itu bisa sepenuhnya mendapat jawaban," gadis bangkit, lalu meraih sebuah kotak kayu kecil dari atas rak dan meletakkannya di hadapanku.

"Apa ini?" tanyaku heran. Kotak kecil berhiaskan ukiran ukiran rumit itu terlihat sudah sangat tua dan usang. Di beberapa bagian sisinya terlihat telah lapuk dimakan usia.

"Bukalah. Nanti kau akan tau apa isinya," kata gadis itu sambil kembali duduk. Dengan penuh rasa penasaran akupun membuka kotak itu.

"Sebuah buku?" lagi lagi aku bertanya heran.

"Itu serat kidung talijiwa, ditulis langsung oleh Ki Demang Kajang untuk mengenang Putri Retno Selasih. Bacalah! Semua yang ingin kau tau mungkin ada di dalam serat itu."

Dengan tangan gemetar kubuka buku usang setebal bantal itu. Halaman halamannya yang tebal dan telah menguning itu terasa sangat kasar saat kuraba. Entah kertas jenis apa yang dipakai untuk membuat buku ini. Lembar demi lembar kuamati. Semua ditulis dengan huruf jawa. Meski sedikit kesulitan untuk membacanya, tapi aku yakin isi dari buku ini adalah kumpulan tembang tembang macapat yang dulu sering aku pelajari saat masih belajar di sekolah dasar.

"Aku harus membaca semua ini? Kenapa tak kau ceritakan saja secara langsung?" kutatap gadis yang duduk di hadapanku itu.

"Ayolah Bay, kau harus mau berusaha kalau ingin mendapatkan apa yang kau inginkan. Dengan membaca buku itu, aku yakin kau akan bisa lebih memahami kisah dari Nyai Selasih itu. Kecuali kau memang tak bisa membaca aksara aksara jawa itu."

"Bukan begitu Retno, tapi setebal ini, mungkin butuh waktu berhari hari untuk aku bisa menyelesaikannya. Belum lagi cerita ini berbentuk tembang, pasti banyak teka teki yang harus kupecahkan."

"Helloooo!!! Katanya kau seorang penulis misteri, harusnya kau senang dong mendapat tantangan seperti ini."

Skak mat. Kata kata Retno berhasil memojokkanku, membuatku hanya bisa nyengir sambil garuk garuk kepala.

"Jadi, buku ini boleh kubawa dulu?"

"Ya, tapi dengan syarat."

"Apa syaratnya?"

"Berhubung buku itu adalah harta pusaka keluargaku, kau harus bisa menjaganya dengan baik. Jangan sampai rusak, apalagi hilang. Juga, jangan sampai ada warga Ngantiyan yang mengetahui kalau kau membawa dan menyimpan buku itu. Bisa heboh nanti. Dan satu lagi, jangan sekali kali berani menyalin atau memfotonya. Apalagi sampai menyebarkannya di media, kau bisa celaka kalau berani melakukannya."

"Celaka? Apa buku ini ada 'penghuninya?' "

"Haha, ternyata kau masih percaya hal hal yang begituan ya. Tapi bukan itu maksudmu. Kalau kau berani melanggar syaratnya, kujamin, kau akan benar benar celaka, karena aku tak akan segan segan untuk menghajarmu!"

"Cih! Kukira buku ini dijaga sama jin?" sungutku sambil memasukkan buku itu kedalam tas selempangku.

"Jadi kau lebih takut sama jin ya daripada kepadaku?"

"Ya jelas lah, jin kan nggak kelihatan. Kalau sama kamu mah, aku bukan takut, tapi gemas."

"Apa katamu?!" kembali gadis itu melotot ke arahku.

"Hehe, enggak kok," kembali aku meralat ucapanku. "Oh ya, tadi kau bilang kalau kau hanya keturunan dari keponakan Demang Kajang yang mendapat mandat untuk menjaga makam ini, berarti kamu juga bukan keturunan langsung dari Demang Kajang dong?"

"Ya bisa dibilang begitu. Meski masih ada hubungan keluarga, tapi derajat kakek moyangku jauh berada dibawah Ki Demang Kajang. Sedikit tidak adil sebenarnya, seorang keponakan demang hanya dijadikan sebagai penjaga makam. Tapi itu dianggap sebagai sebuah kehormatan oleh kakek moyangku, karena yang beliau jaga adalah makam seorang putri."

"Seperti itu ya," satu lagi point cerita yang aku dapat, menambah lengkap data yang bisa kugunakan untuk bahan tulisanku nanti. "Ya sudah, kalau begitu aku pamit dulu ya. Sudah sore nih, dan sepertinya mau hujan juga. Bisa repot kalau aku sampai kehujanan di jalan."

"Cemen kamu! Sama hujan saja kok takut. Ya sudah, pulang sana. Dan ingat, jangan sekali kali kau berniat untuk membawa kabur buku itu, kalau tidak ingin menyesal seumur hidup."

"Sialan! Kau pikir tampangku ini seperti maling apa. Ya sudah, aku pulang dulu. Dan makasih ya buat semuanya. Besok kalau sempat aku kesini lagi."

Gadis itu tersenyum melepas kepergianku. Tak ada lagi kesan galak yang kudapat darinya. Ah, akhirnya, berhasil juga aku berkenalan dengan gadis itu.

Gerimis mulai turun rintik rintik saat aku memasuki rumah joglo itu. Beruntung aku tak sampai kehujanan di jalan. Tapi keberuntunganku sirna seketika saat di teras paviliun Seruni menyambutku dengan wajah masam dan bibir cemberut mengerucut.

"Darimana saja kamu? Pergi seharian nggak pamit nggak apa! Ditelepon nggak diangkat, di chat juga nggak dibalas! Kau pikir aku nggak khawatir?! Dan bla bla bla," ceramah panjang lebar khas mulut perempuan ia berondongkan kepadaku, membuatku tak punya kesempatan untuk menjawabnya.

bersambung
Diubah oleh indrag057
profile-picture
profile-picture
profile-picture
aripinastiko612 dan 78 lainnya memberi reputasi
79 0
79
profile picture
KASKUS Holic
05-03-2021 22:28
Apa mungkin nanti bayu punya istri dua ya, kinanti dan retno emoticon-Leh Uga
1
Memuat data ...
1 - 1 dari 1 balasan
icon-hot-thread
Hot Threads
Inspirasi Harian
pentingnya-deep-work
Copyright © 2024, Kaskus Networks, PT Darta Media Indonesia