baru saja ku terima surat mu, kau bercerita tentang pekerjaan mu yang cukup melelah kan hingga hari gelap baru kau tinggalkan buku buku dan kapur itu. di atas kursi dekat kasur ini, ku baca selembar berita yang tertulis rapi, menggambarkan bahawa dirimu seorang cendekiawan. aku baca surat mu terasa
kamu seperti di sini melihat ku sedang serius sedang kau tertawa menggoda berdiri menawarkan secangkir kopi waktu seperti berhenti semua masih sama masih seperti foto di figura kau tertawa aku juga kau tak kemana mana. masih di sini
gramofon itu masih setia, berdansa dengan piringan hitam seraya menyanyikan lagu tahun tujuh puluhan, yang masih tersisa aroma aroma hindia belanda, pada setiap bait lagu, pada setiap reff kata kata yang ada. semua terasa tidak asing, semua membuat ku dejavu, membawa ku dalam suasana saat kita be...
kapan kau di sini, sebentar sebelumnya teras ini masih kosong, hanya untai daun itu yang menyalami rintik yang kian lama kian keras tangisannya, sedang kopi di depan mataku dengan wajah kejam dia hanya diam tanpa berkata apa apa. ku selipkan doa dalam aroma yang melayang menembus hujan, menembus s
ada yang patah terus tumbuh ada yang patah terus membusuk lama lama menjadi pupuk ada yang patah, lalu patah, lalu patah dan terus patah udara di luar kaca rasanya beku, seperti lemari kaca tante elsa, hingga udara bisa membeku menjadi ranjang kapas tanpa rangka, beterbangan begitu cepat seakan di
rumah itu yang ku rindu hanya ada aku dan kamu meski senja sudah renta rasannya kita masih sama / waktu itu yang meninggalkan aku membawa aku pulang pada petang satu sudut rumah itu hanya ada aku dan kamu angin yang sesekali di jendela ikut tertawa melihat aku gila angin yang duduk di teras, sese
rindu ku menari di atas ranting menunggu dalam deru hening sembunyi dalam lelap petang sembunyi di balik kelopak batang di pucuk ranum aku tulis sajak dengan embun yang menjadi tinta dengan pagi yang menjadi saksi duduk lah sejenak dalam benak peluk kepala ku dengan sepasang hasta
jika aku jauh aku takkan jauh aku akan selalu dekat aku akan menjadi daun yang cokelat aku akan menjadi ranting yang rapuh jika aku pergi, aku masih disini aku akan menjadi malam yang menunggu pagi aku akan menjadi pagi, tanpa mentari dan aku takkan pergi, meski kau pergi jika aku tua, aku takkan
tangan tubuh dan mulut ini semua terkunci, seakan malam terasa kejam, ya Tuhan apa ini takdirku melewati hari yang panjang dengan perut yang kering kerontang, yang mengharapkan secuail kebaikan namun aku putus asa hingga ku anggap jalanku ini benar. nafas ku tersengal, menahan hantaman benda padat
biarkan aku mencinta apa adanya tanpa meminta apa apa tanpa berharap apa apa cukup melihat mu saja, aku bahagia biakan aku mencintaimu semauku
otakku sudah tumbuh belukar, gelap sudah bersarang disini, menamam biji biji aneh yang membuatku seperti bukan aku. sekali pun hujan yang turun deras, tidak membersihkan sakitku hanya menyuburkan tangisku yang semakin mengeringkan zat zat di harapannku yang semakin lama kian beraroma bunga kamboja.
sungai itu berlari begitu cepat, membawa pedih mendatangkan sedih, hingga dasarnya hilang buram berwarnaasam. ingin sekali ku sentuh bibir mu, di langit sini semua tak jauh beda, ingin ku rebahkan duka disisi mu menutup minggu tanpa ada minggu lagi. biarkan saja hujan menangis biarkan saja daun d...
sepasang mata masih setia terpaku di bibir jendela, meski jarum sudah mulai lunglai, sedang mentari tak kunjung datang, angin berhembus hanya mengulur ngulur waktu, kokok ayam semakin nyaring menembus jaring kelambu yang setia menari di belai kipas angin sang juragan. selembar layang kau poegang di
akhirnya kita di pertemukan tanpa rencana, aku dan kamu samaa sama tidak tahu, namun yang kutahu kita sama sama rindu. senja berjalan lebih cepat dari biasanya sedang siang terasa sangat panjang. entah angin apa yang membuatmu kesini, tentu saja kita tak punya alasan bisa di sini kecuali alasan k...
dia berjalan di jalan yang hilang, jalan yang gelap tanpa langit tanpa sinar. kakinya meraba raba, kerikil kaca yang menancap berakar di telapak yang berangsur angsur berubah menjadi merah. suara seretan dari ujung lorong masih sama, masih pelan semakin dekat. ku buka sedikit pintu hatiku, barang...
otakku sempit, meskipun kau beri aku bertumpuk tumpuk teori otakku tak bisa menerima. bukankah normalnya seperti ini, bukan karena aku benci tapi karena kau peduli, iya kan. lalu buat apa kau seduh kopi dengan gula sedikit, kau bilang jangan terlalu manis nanti diabetes, kena sakit gula entah basah