- Beranda
- Stories from the Heart
[CERPEN] Boku Wa Kitto Dekiru
...
TS
aurora..
[CERPEN] Boku Wa Kitto Dekiru
Angin sore berhembus lembut ketika Alisha Cahya Wardhani, siswi kelas 10 SMA berusia 15 tahun itu, melangkah keluar dari sebuah dojo karate di sudut kota. Seragam karatenya menggantung di tangannya, rambutnya yang dikepang satu masih basah oleh keringat karena latihan. Hari itu, gadis itu baru saja menyelesaikan sesi sparring yang cukup berat. Namun, wajahnya tampak sangat puas, karena di dunia karate dan musik, Alisha merasa dirinya lebih hidup.
Sambil berjalan menuju halte angkot, Alisha membuka ponselnya untuk mengecek jadwal latihan musik minggu itu. Alisha sedang menyiapkan performance duet biola untuk acara sekolah. Bukan itu saja, Alisha juga menjadi salah satu atlet karate andalan sekolah. Hidupnya sudah terlalu penuh dan jadwalnya padat, tetapi terasa sangat menyenangkan.
Tiba-tiba, pesan WhatsApp dari guru Kimia, Bu Kirana, muncul di layar ponselnya.
[Besok sehabis jam pelajaran, Ibu ingin ketemu kamu di laboratorium Kimia, ya. Ada hal penting.]
Alis Alisha seketika terangkat. Laboratorium Kimia? Hal penting?
Alisha memang bukan murid yang bodoh, tetapi nilai kimianya sangat biasa-biasa saja dan tidak terlalu tinggi. Bahkan, bisa dibilang ia hanya “lulus aman”.
“Kenapa harus aku?” gumam Alisha, sambil memasukkan ponselnya ke saku
Alisha pulang dengan langkah ringan, tanpa menyadari bahwa pesan itu akan mengubah hidupnya selama bertahun-tahun ke depan.
***
Keesokan harinya, setelah bel pulang berbunyi, Alisha menuju ke laboratorium Kimia. Di sana, Bu Kirana sudah menunggu sambil merapikan beberapa berkas.
“Mbak Alisha, duduk sini,” ucap Bu Kirana lembut
Alisha menaruh tasnya, dan duduk di bangku paling depan.
“Bu Kirana mau membahas tentang apa, ya?” tanya Alisha dengan hati-hati
Bu Kirana tersenyum.
“Mbak, Ibu memilih kamu untuk mengikuti Olimpiade Kimia tingkat kabupaten empat bulan lagi.”
Detik itu juga, dunia seakan berhenti berputar. Alisha menatap Bu Kirana, seolah tidak percaya apa yang ia dengar barusan.
“S—saya, Bu? Olimpiade Kimia?” tanya Kirana dengan terbata-bata
“Iya.”
“Bu, saya sama sekali bukan anak yang jago Kimia.” keluh Alisha
“Ibu tahu itu.”
Alisha semakin bingung.
“Terus, kenapa saya tiba-tiba dipilih?” tanya Alisha
Bu Kirana membuka salah satu berkas.
“Ibu sudah memperhatikan cara belajar kamu selama satu semester ini. Kamu cepat menyerap konsep baru, tekun, dan punya disiplin tinggi dari olahraga karate. Kamu mungkin belum pintar Kimia sekarang, tapi kamu punya potensi.” jawab Bu Kirana
Alisha menelan ludah. Bahkan, mendengar kata “potensi” saja sudah membuatnya gugup.
“Tapi Bu, saya sudah ikut ekskul musik, karate, dan kegiatan OSIS. Jadwal saya sudah terlalu padat…” keluh Alisha
“Ibu tahu kamu super sibuk,” ucap Bu Kirana, suaranya lembut tetapi tegas
“Tapi, lombanya empat bulan lagi. Kita bisa buat jadwal khusus buat kamu. Kamu nggak harus langsung pintar Kimia. Yang Ibu mau cuma kemauan kamu untuk mencoba.” lanjutnya
Alisha menggigit bibirnya. Di satu sisi, ia tidak ingin menyakiti hati guru yang sudah sangat percaya padanya. Di sisi lain, ilmu kimia sama sekali bukan bidang yang bisa ia pahami.
Namun, saat Alisha menatap mata Bu Kirana dengan penuh keyakinan, Alisha merasakan sesuatu yang berbeda. Seolah-olah ada sosok tidak terlihat yang terus memotivasi Alisha untuk tidak takut mencoba.
Setelah beberapa detik sunyi, Alisha akhirnya mengangguk pelan.
“Baik Bu, saya akan mencoba.” ucap Alisha
Wajah Bu Kirana langsung berbinar.
“Baik, Mbak. Mulai besok, kita akan latihan intensif dua kali seminggu. Ibu akan ajari kamu dari nol.” ucap Bu Kirana
***
Minggu pertama latihan terasa seperti berusaha mengarungi lautan yang asing. Alisha diberi modul tebal berisi persamaan reaksi, stoikiometri, dan teori atom.
Pada hari pertama, Alisha menatap halaman yang penuh angka dan simbol dengan dahi yang mengerut.
“Bu, ini kayak bukan bahasa manusia.” keluh Alisha
Bu Kirana tertawa kecil.
“Awalnya memang begitu, Mbak. Pelan-pelan, ya.” ucap Bu Kirana
Mereka mulai dari hal paling sederhana, yaitu tabel periodik dan sifat-sifat unsur. Alisha berusaha keras mengikuti penjelasan. Sesekali, kepala Alisha mulai berat, karena menerima terlalu banyak informasi baru di luar kapasitasnya.
“Kamu boleh tanya apa saja,” ucap Bu Kirana dengan sabar
Alisha mengangkat tangannya.
“Bu, kenapa atom nomor dua, si helium, itu nggak mau bereaksi? Apa karena atomnya sombong?” tanya Alisha polos
Bu Kirana seketika terbahak-bahak.
“Bukan karena sombong, Mbak, tapi karena kulit elektronnya sudah penuh. Itu namanya gas mulia, atom yang stabil.” jelas Bu Kirana
“Berarti, atom helium itu kayak anak pintar yang nggak mau diganggu?” tanya Alisha
“Bisa dibilang begitu.” jawab Bu Kirana
Karena candaan itu, pembelajaran menjadi sedikit lebih menyenangkan. Namun, tetap saja, ilmu kimia sangat jauh dari bidang yang dikuasai Alisha.
Setiap pulang latihan, Alisha selalu kelelahan. Terkadang, Alisha merasa bersalah, karena waktu untuk berlatih karate berkurang. Teman-teman musiknya juga mulai bertanya-tanya, mengapa Alisha jarang hadir latihan.
“Latihan olimpiade Kimia,” jawab Alisha, sambil tersenyum canggung
“Olimpiade Kimia? Kamu serius?”
“Kamu beneran mau ikut olimpiade?”
“Wah, hebat dong!”
Komentar dari teman-teman justru membuat Alisha makin ragu, apakah Alisha benar-benar mampu?
***
Pada minggu keempat, latihan semakin intens. Alisha harus mengerjakan puluhan soal setiap pertemuan, dan sebagian besar jawabannya salah.
Pada suatu hari, setelah berulang kali gagal menghitung titrasi asam-basa, Alisha menjatuhkan pulpennya dengan frustrasi.
“Bu, ini bikin saya capek! Kenapa angkanya bisa beda? Saya sudah hitung tiga kali!” marah Alisha
Bu Kirana mendekat, lalu memeriksa pekerjaannya.
“Tandanya salah, Mbak, yang benar harusnya -2, bukan +2.” ucap Bu Kirana
“Ya Tuhan, cuma gara-gara salah tanda?” keluh Alisha
“Tanda plus minus itu penting kalau di kimia.”
Alisha memijat pelipisnya.
“Bu, saya ini anak karate. Saya sukanya lagu, organisasi, sama olahraga. Ini sama sekali bukan bidang saya.” protes Alisha
Bu Kirana terdiam sejenak sebelum berkata.
“Ibu tahu kamu marah, capek, frustrasi,” ucap Bu Kirana dengan sabar
“Saya… saya bahkan nggak pernah suka kalau harus ikut lomba ini, Bu…” ucap Alisha lirih, suaranya hampir pecah
Bu Kirana menatapnya lembut.
“Ibu nggak ingin memaksa kamu pintar kimia. Ibu cuma ingin kamu mengenal batas kemampuanmu, dan potensimu saja. Kamu mungkin nggak mau memilih ilmu kimia sebagai passion kamu. Tapi, kalau kamu bisa bertahan sampai akhir, kamu bakalan tahu, kalau kamu lebih kuat dari yang kamu kira.” ucap Bu Kirana
Kata-kata itu seperti menembus hati Alisha.
“Tapi, kalau saya gagal?” tanya Alisha dengan ekspresi khawatir
“Kita gagal bersama, tapi kita pasti akan bangkit bersama juga.” jawab Bu Kirana
Air mata Alisha menetes, entah karena lega, atau karena tetap tertekan. Namun, Alisha mengangguk.
“Baik, Bu. Saya akan coba lagi.”
***
Hari berganti hari, latihan terus berjalan.
Alisha mulai menemukan ritmenya, belajar kimia 3 kali seminggu, latihan musik di akhir pekan, dan karate seminggu sekali.
Yang mengejutkan, setelah minggu keenam Alisha akhirnya mulai suka ilmu kimia. Tidak seluruhnya, tetapi sebagian.
Gadis itu mulai bisa mengingat struktur atom, memahami persamaan reaksi, dan menghitung mol dengan cepat. Beberapa soal kimia yang dulu membuatnya ingin menolak, kini bisa ia selesaikan dengan benar.
Suatu hari, setelah berhasil menyelesaikan soal tentang entalpi dengan tepat, Alisha tersenyum puas.
“Bu! Akhirnya saya bisa!” seru Alisha
“Kamu hebat sekali!” seru Bu Kirana, ikut senang
Semangat Alisha tumbuh lagi. Ketika Alisha pulang latihan, ia bergumam pada dirinya sendiri.
“Boku wa kitto dekiru, itu artinya aku pasti bisa.”
***
Gedung olimpiade itu dipenuhi murid-murid dari berbagai SMA. Mereka mengenakan seragam sekolah masing-masing dengan rapi, membawa kalkulator ilmiah, dan tampak siap maju perang.
Alisha menggenggam tangan Bu Kirana sebelum masuk ke ruang lomba.
“Bu, saya takut.” keluh Alisha
“Itu sangat wajar. Tapi, coba ingat, kamu sudah berlatih sangat keras. Kamu sudah melampaui batas yang kamu pikir nggak akan bisa kamu lewati.” ucap Bu Kirana
Alisha menarik napas dalam-dalam.
“Aku pasti bisa…” bisik Alisha pada dirinya sendiri
Ruangan lomba itu sunyi saat sesi perlombaan dimulai. Alisha menatap lembar soal, jantungnya berdebar karena cemas.
Namun, semakin lama Alisha membaca soalnya, ia semakin percaya diri.
“Soal entalpi, oh, yang ini aku kemarin pernah latihan.”
“Titrasi ya, ini mirip latihan minggu lalu.”
“Stoikiometri? Oke, aku bisa.”
Waktu berjalan cepat. Alisha menyelesaikan semua soal itu tepat waktu.
Begitu Alisha keluar ruangan, Alisha hampir roboh karena tegang dan kelelahan. Bu Kirana segera menghampirinya.
“Bagaimana, Mbak?”
“Bu, soalnya lebih sulit. Tapi saya bisa jawab semuanya.”
“Hasil itu nanti, urusannya Tuhan. Yang penting, kamu sudah berusaha.” ucap Bu Kirana
***
Seminggu kemudian, sekolah mengadakan upacara rutin setiap hari Senin. Kepala sekolah, sekaligus sang pembina upacara, tiba-tiba mengumumkan.
“Pemenang Juara 1 Olimpiade Kimia tingkat kabupaten tahun ini adalah, Alisha Cahya Wardhani dari kelas X-7!”
Seluruh lapangan hening selama satu detik, lalu pecah dalam tepuk tangan meriah.
Alisha ternganga.
“A—apa… saya?” bisiknya
Teman-temannya bersorak.
“Alisha! Kamu keren banget!”
Guru-guru menatap Alisha dengan bangga. Bu Kirana berjalan ke arahnya, menepuk bahunya pelan.
“Tuhan nggak salah pilih kamu. Ibu juga nggak salah pilih kamu.”
Alisha, yang biasanya kuat, tiba-tiba menangis, bukan menangis karena sedih, melainkan menangis karena lega dan bahagia.
“Bu… saya… saya benar-benar bisa…”
“Iya Mbak, kamu pasti bisa. Kamu cuma perlu berusaha dan percaya.”
***
Ketika pembagian kelas, Alisha mendapat kabar mengejutkan, bahwa dirinya masuk kelas XI IPA 4.
Tidak ada penjurusan khusus melalui rapor, tetapi ia resmi masuk program IPA tanpa seleksi.
Teman-temannya seketika heboh.
“Kamu masuk IPA? Yang bener?”
“Soalnya kamu bisa juara 1 kimia sih…”
“Anak multitalenta!”
Alisha tertawa.
“Aku cuma berusaha.” ucap Alisha pelan
Di kelas baru itu, Alisha terus belajar kimia, bukan karena ingin maju lomba, melainkan karena ia ingin tahu lebih banyak.
***
Waktu berjalan dengan cepat. Alisha lulus SMA dengan prestasi yang membanggakan. Yang lebih mengejutkan, Alisha diterima di program studi S1 Farmasi dan melanjutkan ke PSPA untuk mengambil profesi apoteker.
Alisha yang dulunya takut kimia, kini mempelajari ilmu kimia itu setiap hari, mulai dari farmakologi, biofarmasetika, biokimia, toksikologi, dan teknologi pembuatan sediaan tablet.
Meski kuliah itu berat dan melelahkan, Alisha tetap bertahan. Alisha selalu mengingat kata-kata Bu Kirana.
“Kamu nggak harus pintar Kimia dari awal. Kamu cuma perlu mencoba dan percaya.”
Setelah lulus profesi, Alisha menjadi apoteker di rumah sakit terbesar di Jogja.
Alisha mengenakan jas apoteker berwarna kekuningan dengan bangga, mengurus obat untuk pasien kanker, operasi, luka serius, dan ratusan penyakit lainnya.
Terkadang, ketika Alisha pulang kerja, ia tersenyum sendiri.
“Kalau aku nyerah waktu kelas 10, mungkin aku nggak akan berada di sini,” gumamnya
Alisha mengambil foto lamanya bersama Bu Kirana, yang masih ia simpan di buku diary kecilnya.
“Bu, terima kasih sudah percaya sama saya, ketika saya nggak percaya sama diri saya sendiri.” gumam Alisha pelan
***
Pada suatu sore yang tenang, Alisha berjalan melewati SMA lamanya. Ia menatap lapangan tempat pengumuman juara dulu dibacakan. Kenangan itu terasa begitu hidup.
Alisha mengucapkan kata-kata yang dulu ia jadikan motivasi dalam bahasa Jepang.
“Boku wa kitto dekiru, itu artinya aku pasti bisa.” ucap Alisha pelan
Dan Alisha tahu, ia telah membuktikannya, bukan pada gurunya, bukan pada dunia juga, melainkan pada dirinya sendiri.
TAMAT
@whiterangers20 @itkgid @riodgarp
Sambil berjalan menuju halte angkot, Alisha membuka ponselnya untuk mengecek jadwal latihan musik minggu itu. Alisha sedang menyiapkan performance duet biola untuk acara sekolah. Bukan itu saja, Alisha juga menjadi salah satu atlet karate andalan sekolah. Hidupnya sudah terlalu penuh dan jadwalnya padat, tetapi terasa sangat menyenangkan.
Tiba-tiba, pesan WhatsApp dari guru Kimia, Bu Kirana, muncul di layar ponselnya.
[Besok sehabis jam pelajaran, Ibu ingin ketemu kamu di laboratorium Kimia, ya. Ada hal penting.]
Alis Alisha seketika terangkat. Laboratorium Kimia? Hal penting?
Alisha memang bukan murid yang bodoh, tetapi nilai kimianya sangat biasa-biasa saja dan tidak terlalu tinggi. Bahkan, bisa dibilang ia hanya “lulus aman”.
“Kenapa harus aku?” gumam Alisha, sambil memasukkan ponselnya ke saku
Alisha pulang dengan langkah ringan, tanpa menyadari bahwa pesan itu akan mengubah hidupnya selama bertahun-tahun ke depan.
***
Keesokan harinya, setelah bel pulang berbunyi, Alisha menuju ke laboratorium Kimia. Di sana, Bu Kirana sudah menunggu sambil merapikan beberapa berkas.
“Mbak Alisha, duduk sini,” ucap Bu Kirana lembut
Alisha menaruh tasnya, dan duduk di bangku paling depan.
“Bu Kirana mau membahas tentang apa, ya?” tanya Alisha dengan hati-hati
Bu Kirana tersenyum.
“Mbak, Ibu memilih kamu untuk mengikuti Olimpiade Kimia tingkat kabupaten empat bulan lagi.”
Detik itu juga, dunia seakan berhenti berputar. Alisha menatap Bu Kirana, seolah tidak percaya apa yang ia dengar barusan.
“S—saya, Bu? Olimpiade Kimia?” tanya Kirana dengan terbata-bata
“Iya.”
“Bu, saya sama sekali bukan anak yang jago Kimia.” keluh Alisha
“Ibu tahu itu.”
Alisha semakin bingung.
“Terus, kenapa saya tiba-tiba dipilih?” tanya Alisha
Bu Kirana membuka salah satu berkas.
“Ibu sudah memperhatikan cara belajar kamu selama satu semester ini. Kamu cepat menyerap konsep baru, tekun, dan punya disiplin tinggi dari olahraga karate. Kamu mungkin belum pintar Kimia sekarang, tapi kamu punya potensi.” jawab Bu Kirana
Alisha menelan ludah. Bahkan, mendengar kata “potensi” saja sudah membuatnya gugup.
“Tapi Bu, saya sudah ikut ekskul musik, karate, dan kegiatan OSIS. Jadwal saya sudah terlalu padat…” keluh Alisha
“Ibu tahu kamu super sibuk,” ucap Bu Kirana, suaranya lembut tetapi tegas
“Tapi, lombanya empat bulan lagi. Kita bisa buat jadwal khusus buat kamu. Kamu nggak harus langsung pintar Kimia. Yang Ibu mau cuma kemauan kamu untuk mencoba.” lanjutnya
Alisha menggigit bibirnya. Di satu sisi, ia tidak ingin menyakiti hati guru yang sudah sangat percaya padanya. Di sisi lain, ilmu kimia sama sekali bukan bidang yang bisa ia pahami.
Namun, saat Alisha menatap mata Bu Kirana dengan penuh keyakinan, Alisha merasakan sesuatu yang berbeda. Seolah-olah ada sosok tidak terlihat yang terus memotivasi Alisha untuk tidak takut mencoba.
Setelah beberapa detik sunyi, Alisha akhirnya mengangguk pelan.
“Baik Bu, saya akan mencoba.” ucap Alisha
Wajah Bu Kirana langsung berbinar.
“Baik, Mbak. Mulai besok, kita akan latihan intensif dua kali seminggu. Ibu akan ajari kamu dari nol.” ucap Bu Kirana
***
Minggu pertama latihan terasa seperti berusaha mengarungi lautan yang asing. Alisha diberi modul tebal berisi persamaan reaksi, stoikiometri, dan teori atom.
Pada hari pertama, Alisha menatap halaman yang penuh angka dan simbol dengan dahi yang mengerut.
“Bu, ini kayak bukan bahasa manusia.” keluh Alisha
Bu Kirana tertawa kecil.
“Awalnya memang begitu, Mbak. Pelan-pelan, ya.” ucap Bu Kirana
Mereka mulai dari hal paling sederhana, yaitu tabel periodik dan sifat-sifat unsur. Alisha berusaha keras mengikuti penjelasan. Sesekali, kepala Alisha mulai berat, karena menerima terlalu banyak informasi baru di luar kapasitasnya.
“Kamu boleh tanya apa saja,” ucap Bu Kirana dengan sabar
Alisha mengangkat tangannya.
“Bu, kenapa atom nomor dua, si helium, itu nggak mau bereaksi? Apa karena atomnya sombong?” tanya Alisha polos
Bu Kirana seketika terbahak-bahak.
“Bukan karena sombong, Mbak, tapi karena kulit elektronnya sudah penuh. Itu namanya gas mulia, atom yang stabil.” jelas Bu Kirana
“Berarti, atom helium itu kayak anak pintar yang nggak mau diganggu?” tanya Alisha
“Bisa dibilang begitu.” jawab Bu Kirana
Karena candaan itu, pembelajaran menjadi sedikit lebih menyenangkan. Namun, tetap saja, ilmu kimia sangat jauh dari bidang yang dikuasai Alisha.
Setiap pulang latihan, Alisha selalu kelelahan. Terkadang, Alisha merasa bersalah, karena waktu untuk berlatih karate berkurang. Teman-teman musiknya juga mulai bertanya-tanya, mengapa Alisha jarang hadir latihan.
“Latihan olimpiade Kimia,” jawab Alisha, sambil tersenyum canggung
“Olimpiade Kimia? Kamu serius?”
“Kamu beneran mau ikut olimpiade?”
“Wah, hebat dong!”
Komentar dari teman-teman justru membuat Alisha makin ragu, apakah Alisha benar-benar mampu?
***
Pada minggu keempat, latihan semakin intens. Alisha harus mengerjakan puluhan soal setiap pertemuan, dan sebagian besar jawabannya salah.
Pada suatu hari, setelah berulang kali gagal menghitung titrasi asam-basa, Alisha menjatuhkan pulpennya dengan frustrasi.
“Bu, ini bikin saya capek! Kenapa angkanya bisa beda? Saya sudah hitung tiga kali!” marah Alisha
Bu Kirana mendekat, lalu memeriksa pekerjaannya.
“Tandanya salah, Mbak, yang benar harusnya -2, bukan +2.” ucap Bu Kirana
“Ya Tuhan, cuma gara-gara salah tanda?” keluh Alisha
“Tanda plus minus itu penting kalau di kimia.”
Alisha memijat pelipisnya.
“Bu, saya ini anak karate. Saya sukanya lagu, organisasi, sama olahraga. Ini sama sekali bukan bidang saya.” protes Alisha
Bu Kirana terdiam sejenak sebelum berkata.
“Ibu tahu kamu marah, capek, frustrasi,” ucap Bu Kirana dengan sabar
“Saya… saya bahkan nggak pernah suka kalau harus ikut lomba ini, Bu…” ucap Alisha lirih, suaranya hampir pecah
Bu Kirana menatapnya lembut.
“Ibu nggak ingin memaksa kamu pintar kimia. Ibu cuma ingin kamu mengenal batas kemampuanmu, dan potensimu saja. Kamu mungkin nggak mau memilih ilmu kimia sebagai passion kamu. Tapi, kalau kamu bisa bertahan sampai akhir, kamu bakalan tahu, kalau kamu lebih kuat dari yang kamu kira.” ucap Bu Kirana
Kata-kata itu seperti menembus hati Alisha.
“Tapi, kalau saya gagal?” tanya Alisha dengan ekspresi khawatir
“Kita gagal bersama, tapi kita pasti akan bangkit bersama juga.” jawab Bu Kirana
Air mata Alisha menetes, entah karena lega, atau karena tetap tertekan. Namun, Alisha mengangguk.
“Baik, Bu. Saya akan coba lagi.”
***
Hari berganti hari, latihan terus berjalan.
Alisha mulai menemukan ritmenya, belajar kimia 3 kali seminggu, latihan musik di akhir pekan, dan karate seminggu sekali.
Yang mengejutkan, setelah minggu keenam Alisha akhirnya mulai suka ilmu kimia. Tidak seluruhnya, tetapi sebagian.
Gadis itu mulai bisa mengingat struktur atom, memahami persamaan reaksi, dan menghitung mol dengan cepat. Beberapa soal kimia yang dulu membuatnya ingin menolak, kini bisa ia selesaikan dengan benar.
Suatu hari, setelah berhasil menyelesaikan soal tentang entalpi dengan tepat, Alisha tersenyum puas.
“Bu! Akhirnya saya bisa!” seru Alisha
“Kamu hebat sekali!” seru Bu Kirana, ikut senang
Semangat Alisha tumbuh lagi. Ketika Alisha pulang latihan, ia bergumam pada dirinya sendiri.
“Boku wa kitto dekiru, itu artinya aku pasti bisa.”
***
Gedung olimpiade itu dipenuhi murid-murid dari berbagai SMA. Mereka mengenakan seragam sekolah masing-masing dengan rapi, membawa kalkulator ilmiah, dan tampak siap maju perang.
Alisha menggenggam tangan Bu Kirana sebelum masuk ke ruang lomba.
“Bu, saya takut.” keluh Alisha
“Itu sangat wajar. Tapi, coba ingat, kamu sudah berlatih sangat keras. Kamu sudah melampaui batas yang kamu pikir nggak akan bisa kamu lewati.” ucap Bu Kirana
Alisha menarik napas dalam-dalam.
“Aku pasti bisa…” bisik Alisha pada dirinya sendiri
Ruangan lomba itu sunyi saat sesi perlombaan dimulai. Alisha menatap lembar soal, jantungnya berdebar karena cemas.
Namun, semakin lama Alisha membaca soalnya, ia semakin percaya diri.
“Soal entalpi, oh, yang ini aku kemarin pernah latihan.”
“Titrasi ya, ini mirip latihan minggu lalu.”
“Stoikiometri? Oke, aku bisa.”
Waktu berjalan cepat. Alisha menyelesaikan semua soal itu tepat waktu.
Begitu Alisha keluar ruangan, Alisha hampir roboh karena tegang dan kelelahan. Bu Kirana segera menghampirinya.
“Bagaimana, Mbak?”
“Bu, soalnya lebih sulit. Tapi saya bisa jawab semuanya.”
“Hasil itu nanti, urusannya Tuhan. Yang penting, kamu sudah berusaha.” ucap Bu Kirana
***
Seminggu kemudian, sekolah mengadakan upacara rutin setiap hari Senin. Kepala sekolah, sekaligus sang pembina upacara, tiba-tiba mengumumkan.
“Pemenang Juara 1 Olimpiade Kimia tingkat kabupaten tahun ini adalah, Alisha Cahya Wardhani dari kelas X-7!”
Seluruh lapangan hening selama satu detik, lalu pecah dalam tepuk tangan meriah.
Alisha ternganga.
“A—apa… saya?” bisiknya
Teman-temannya bersorak.
“Alisha! Kamu keren banget!”
Guru-guru menatap Alisha dengan bangga. Bu Kirana berjalan ke arahnya, menepuk bahunya pelan.
“Tuhan nggak salah pilih kamu. Ibu juga nggak salah pilih kamu.”
Alisha, yang biasanya kuat, tiba-tiba menangis, bukan menangis karena sedih, melainkan menangis karena lega dan bahagia.
“Bu… saya… saya benar-benar bisa…”
“Iya Mbak, kamu pasti bisa. Kamu cuma perlu berusaha dan percaya.”
***
Ketika pembagian kelas, Alisha mendapat kabar mengejutkan, bahwa dirinya masuk kelas XI IPA 4.
Tidak ada penjurusan khusus melalui rapor, tetapi ia resmi masuk program IPA tanpa seleksi.
Teman-temannya seketika heboh.
“Kamu masuk IPA? Yang bener?”
“Soalnya kamu bisa juara 1 kimia sih…”
“Anak multitalenta!”
Alisha tertawa.
“Aku cuma berusaha.” ucap Alisha pelan
Di kelas baru itu, Alisha terus belajar kimia, bukan karena ingin maju lomba, melainkan karena ia ingin tahu lebih banyak.
***
Waktu berjalan dengan cepat. Alisha lulus SMA dengan prestasi yang membanggakan. Yang lebih mengejutkan, Alisha diterima di program studi S1 Farmasi dan melanjutkan ke PSPA untuk mengambil profesi apoteker.
Alisha yang dulunya takut kimia, kini mempelajari ilmu kimia itu setiap hari, mulai dari farmakologi, biofarmasetika, biokimia, toksikologi, dan teknologi pembuatan sediaan tablet.
Meski kuliah itu berat dan melelahkan, Alisha tetap bertahan. Alisha selalu mengingat kata-kata Bu Kirana.
“Kamu nggak harus pintar Kimia dari awal. Kamu cuma perlu mencoba dan percaya.”
Setelah lulus profesi, Alisha menjadi apoteker di rumah sakit terbesar di Jogja.
Alisha mengenakan jas apoteker berwarna kekuningan dengan bangga, mengurus obat untuk pasien kanker, operasi, luka serius, dan ratusan penyakit lainnya.
Terkadang, ketika Alisha pulang kerja, ia tersenyum sendiri.
“Kalau aku nyerah waktu kelas 10, mungkin aku nggak akan berada di sini,” gumamnya
Alisha mengambil foto lamanya bersama Bu Kirana, yang masih ia simpan di buku diary kecilnya.
“Bu, terima kasih sudah percaya sama saya, ketika saya nggak percaya sama diri saya sendiri.” gumam Alisha pelan
***
Pada suatu sore yang tenang, Alisha berjalan melewati SMA lamanya. Ia menatap lapangan tempat pengumuman juara dulu dibacakan. Kenangan itu terasa begitu hidup.
Alisha mengucapkan kata-kata yang dulu ia jadikan motivasi dalam bahasa Jepang.
“Boku wa kitto dekiru, itu artinya aku pasti bisa.” ucap Alisha pelan
Dan Alisha tahu, ia telah membuktikannya, bukan pada gurunya, bukan pada dunia juga, melainkan pada dirinya sendiri.
TAMAT
@whiterangers20 @itkgid @riodgarp
MemoryExpress dan 2 lainnya memberi reputasi
3
378
4
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32.7KThread•51.9KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya