Kaskus

Story

aurora..Avatar border
TS
aurora..
[CERPEN SEDIH] Luka Seorang Pria Tampan
[CERPEN SEDIH] Luka Seorang Pria Tampan
Sumber Gambar:Artificial Intelligence


Umur Luthfi baru 20 tahun ketika ia mulai memahami bahwa tidak semua luka tampak di permukaan. Beberapa luka justru tertanam jauh di dalam, menghancurkan sesuatu yang dulu ia sebut harapan. Luthfi lahir dari keluarga sederhana, ayahnya adalah seorang petani jamur tiram, ibunya adalah freelancer penulis novel online yang terkenal ramah. Mereka melepas Luthfi ke perantauan dengan doa dan keyakinan, bahwa hidup anak laki-lakinya akan berubah menjadi lebih baik ketika masuk perguruan tinggi.

Namun, dunia tidak seramah itu.

***

Sejak semester pertama, nama Luthfi tidak pernah absen dari ruang dosen. Bukan karena prestasi, melainkan karena tuduhan-tuduhan aneh atas kesalahan yang tidak pernah ia lakukan. Kedua orang tua Luthfi sering dipanggil ke kampus, bahkan petugas kampus sampai hafal wajah mereka.

Pada awalnya, Luthfi hanya terdiam setiap kali mendapat panggilan. Namun, ketika ayah dan ibunya datang dengan napas terburu-buru, wajah mereka khawatir, dan keringat mereka menetes dari dahi karena perjalanan jauh, saat itu juga tenaga Luthfi seperti diperas secara paksa.

“Maaf, ada apa, Bu?” tanya ibunya Luthfi, dengan nada yang selalu lembut

Bu Dosen itu menghela napas, merapikan kerudungnya.

“Anak Ibu terbukti menyontek. Saudara Luthfi Indrayana tertangkap menyontek saat ujian. Bukti kertas sontekan ada di mejanya.” jelas Bu Dosen dengan nada tegas

Luthfi langsung menggeleng cepat.

“Nggak, Bu! Saya nggak mungkin menyontek! Saya nggak—” bantah Luthfi tegas

Bu Dosen itu mengangkat tangannya, menyuruh Luthfi berhenti bicara.

“Kami tidak akan membahas ulang. Aturan kampus sudah sangat jelas.” ucap Bu Dosen itu

Ayah Luthfi hanya menunduk. Tatapan kecewa yang sulit disembunyikan itu menyayat hati Luthfi lebih brutal daripada apa pun. Luthfi ingin marah dan mengamuk, ingin membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, tetapi tidak ada yang mendengarkan.

Besoknya, kejadian serupa terulang. Kali ini, Luthfi dituduh menggambar gambar wanita tel4nj4ng di buku tugas kelompok. Padahal, Luthfi bahkan tidak ikut kerja kelompok tersebut karena sedang bekerja sambilan sebagai penjaga gudang.

Seminggu kemudian, orang tua Luthfi kembali dipanggil. Seorang dosen muda dengan wajah serius berkata bahwa Luthfi dituduh mendorong temannya dari tangga kampus hingga terjatuh dari tangga dan kepalanya terluka serius.

“Korban dirawat di ruang ICU, dan ini sudah masuk laporan resmi,” ucap dosen muda itu dengan nada dingin

Luthfi seketika membantah.

“Saya bahkan nggak berada di gedung itu! Saya—”

“Cukup, Mas Luthfi. Jangan banyak alasan.” ucap dosen muda itu sambil menggeleng

“Kamu itu laki-laki. Kamu harus berani bertanggung jawab.” lanjutnya

Ibunya menangis. Ayahnya tampak murung. Dan Luthfi hanya bisa terdiam, terluka karena pemerasan tenaga yang dilakukan oleh semua orang terhadapnya.

***

Kalau di bidang akademik tenaga Luthfi diperas paksa kini kantin kampus menjadi tempat kedua di mana tenaga Luthfi juga diperas paksa, bahkan lebih kejam.

Bu Resti, sang pemilik kantin, punya kekuasaan tidak tertulis di kampus itu. Suaranya lantang, tubuhnya gempal, dan semua mahasiswa takut padanya. Sayangnya, ada satu mahasiswa yang selalu menjadi sasaran utamanya, yaitu Luthfi.

“Luthfi! Cepat ke sini!” teriak Bu Resti pada suatu sore

Luthfi, yang sedang meminum air putih untuk mengusir rasa lelahnya, seketika terperanjat.

“Iya, Bu.” jawab Luthfi sopan

Dua galon besar berisi air penuh itu sudah disiapkan di depan pintu. Beratnya luar biasa, dan Luthfi tidak kuat mengangkatnya.

“Bawa ke lantai dua, ke ruang dosen. Gendong dua-duanya sekaligus!” titah Bu Resti

“Tolong Bu, bisa satu-satu saja? Saya capek.” bantah Luthfi

PLAAKKK!!!!

Tamparan mendarat tepat di pipi kiri Luthfi. Suaranya keras, membuat mahasiswa sekitar menoleh.

“Kamu pikir saya punya waktu buat menunggu kamu bawa satu-satu?! Angkat dua-duanya! Jangan pura-pura lemah!” bentak Bu Resti

Pipi Luthfi memerah dan bengkak. Orang-orang melihat Luthfi seolah ia pantas diperlakukan seperti itu. Luthfi menggigit bibirnya, menahan rasa marah dan frustrasi yang terus ia kubur demi bisa tetap bertahan. Luthfi berjongkok, mengangkat dua galon itu secara bersamaan, beratnya seperti menggeser tulang bahunya. Napasnya mulai terengah-engah, lututnya gemetar, tetapi Luthfi berusaha paksakan. Setiap kali ia berhenti, Bu Resti berteriak dari bawah.

“IDIIIH, LEMAH SEKALI KAMU! KAMU ITU ANAK COWOK KULIAHAN ATAU ANAK CEWEK KELAS 5 SD?!” ejek Bu Resti

Setelah mengantarkan galon, Luthfi belum sempat duduk ketika Bu Resti memanggil Luthfi lagi.

“Cepat ke belakang! Ambil cangkul!” titah Bu Resti

“Cangkul? Untuk apa, Bu?” tanya Luthfi

“Menggemburkan tanah di depan kantin. Kamu pikir tanaman ini bisa hidup sendiri?! Cepat cangkul! Sekarang!” titah Bu Resti

Luthfi menelan ludah. Sudah 4 jam Luthfi dipaksa bekerja tanpa dibayar dan tanpa istirahat. Namun, kata-kata ancaman untuk dilaporkan ke dosen setiap kali tidak patuh selalu menjadi ancaman paling efektif dari Bu Resti.

Luthfi mencangkul tanah kering yang keras, di bawah matahari panas, keringat bercucuran seperti air keran bocor. Setiap kali Luthfi berhenti untuk mengelap keringat, Bu Resti menghampirinya.

PLAAKKK!!!!

Tamparan kedua.

“Kamu itu cowok, jangan sok manja! Kayak cewek saja!” bentak Bu Resti

Luthfi kembali mencangkul.

Suatu hari yang paling aneh terjadi. Bu Resti membawa sebatang baja tebal, entah dari mana asalnya.

“Patahkan baja ini,” titah Bu Resti dengan nada dingin

Luthfi mengangkat alisnya, tidak percaya.

“Bu, ini baja kuat, bukan besi tipis. Ini nggak bisa dipatahkan pakai tangan.” protes Luthfi

“Kamu pasti bisa! Saya lihat di TV orang lain juga bisa! Cepat! Patahkan sekarang!” titah Bu Resti

“Bu, beneran Bu, saya nggak kuat…” ucap Luthfi

PLAKK!!!!

Tamparan pertama.

PLAAKKKK!!!!

Tamparan kedua.

PLAAKKKKKK!!!!

Tamparan ketiga, tamparan yang paling keras.

“CEPAT! JANGAN PURA-PURA MANJA! CEPAT PATAHKAN!” titah Bu Resti

Mahasiswa lain hanya bisa menatap ngeri, tidak berani ikut campur. Luthfi menggenggam baja itu. Luthfi berusaha menekuknya sampai kelelahan, tetapi tidak bergeser sedikit pun. Urat tangan menonjol, wajahnya memerah, napas terengah.

“Idiiih… dasar anak lemah,” gumam Bu Resti, sambil berjalan pergi

***

Sejak hari itu, semakin banyak kabar miring tentang Luthfi di kampus. Semuanya buruk. Semuanya tidak benar. Namun, semakin Luthfi membantah dan marah, semakin ia dianggap pembohong.

Akhirnya, pada semester 3, keputusan itu datang.

Luthfi resmi dikeluarkan dari kampus.

“Dengan ini, saya memutuskan bahwa saudara Luthfi Indrayana resmi dikembalikan ke orang tua,” ucap salah satu dosen

“Anda sudah terlalu banyak membuat kekacauan di kampus ini.” lanjut dosen itu

Luthfi hanya menunduk. Luthfi tidak menangis atau marah, bahkan tidak berbicara. Namun, ibunya pingsan di ruang administrasi saat mendengar keputusan itu.

***

Setelah dikeluarkan, Luthfi bekerja apa saja yang bisa ia kerjakan. Luthfi berjualan martabak telur di depan kampus lain, menumpang di tempat jualan seorang anak dari sahabat dekat ayahnya. Sebagai pria tampan dengan hidung mancung dan senyuman manis, Luthfi sebenarnya cukup mudah untuk menarik pelanggan. Namun, senyuman itu semakin jarang muncul. Luthfi bekerja keras dari sore hingga dini hari, memegang wajan panas, mengaduk adonan, dan menghadapi pelanggan yang kadang galak.

Namun, hidup sepertinya tidak pernah berhenti membuat Luthfi sangat kelelahan.

Suatu malam, saat membuat martabak telur ayam, tiba-tiba tubuhnya terasa sangat lemas dan lesu. Telapak tangannya yang memegang sendok adonan pucat pasi, dan lebam biru keunguan muncul begitu saja di lengan kirinya. Ketika Luthfi mencoba duduk, darah segar sebanyak 20 cc mengalir dari hidungnya.

Luthfi panik. Teman SMP Luthfi, yang ikut membantu Luthfi berjualan, langsung menyumpalkan tisu ke hidung Luthfi.

“Luthfi! Darahnya banyak sekali!”

“A—aku… aku capek,” ucap Luthfi dengan suara melemah

Dengan darah masih mengalir dari hidungnya, Luthfi dibawa ke rumah sakit. Pemeriksaan darah yang sederhana menunjukkan hasil yang mengkhawatirkan. Dokter menyarankan pemeriksaan lanjutan di rumah sakit besar.

Beberapa hari kemudian, setelah rangkaian tes yang panjang, dokter menyampaikan vonis yang membuat dunia Luthfi runtuh seketika.

“Berdasarkan hasil pemeriksaan medis, Luthfi Indrayana terdiagnosis leukemia akut jenis ALL L2.” ucap dokter itu

Luthfi terdiam. Ayahnya memeluk kepalanya, sementara ibunya menangis histeris. Dokter melanjutkan, bahwa kemungkinan besar pemasangan jarum infus untuk kemoterapi akan berpindah-pindah untuk mencegah pembentukan jaringan parut di pembuluh vena. Salah satu tempat jarum infus yang digunakan nanti adalah vena temporalis, sehingga rambut di bagian kanan kepala Luthfi perlu dicukur.

Luthfi hanya mengangguk pasrah.

“Golongan darah kamu A+, kan?” tanya dokter itu

“Iya, Dok.” jawab Luthfi

“Baik. Kita akan cari pendonor darah yang cocok untuk transfusi.” ucap dokter itu

Pengobatan itu panjang, melelahkan, dan memakan biaya besar. Rambut di sisi kanan kepalanya dicukur. Wajah tampannya memucat. Pipi kanannya biru keunguan dan membengkak, tangan dan kakinya sering penuh lebam meski tidak terbentur apa pun.

Namun, Luthfi tidak pernah mengeluh, menangis, atau marah. Luthfi hanya ingin sembuh, supaya tidak merepotkan kedua orang tuanya.

Akhirnya, setelah perjuangan panjang, dokter menyarankan Luthfi untuk menjalani terapi yang lebih canggih di luar negeri. Dengan bantuan donasi dari saudara, teman-teman ayahnya, dan donasi dari beberapa donatur yayasan kanker, Luthfi diberangkatkan ke Singapura untuk cangkok sumsum tulang.

Berbulan-bulan Luthfi berjuang mati-matian melawan demam tinggi, rambut rontok, rasa sakit yang tidak terjelaskan, hingga saat-saat menyedihkan di mana Luthfi berpikir hidupnya akan berakhir di ranjang rumah sakit asing itu.

Namun, pada suatu pagi, seorang dokter di rumah sakit Singapura tersenyum.

“Cangkok sumsum tulang kamu berhasil. Kamu sudah mulai sembuh.” ucap dokter itu

Luthfi seperti diberi kesempatan kedua untuk hidup.

***

Saat Luthfi pulang ke Indonesia, tubuhnya lebih sehat dan segar, meski masih pucat dan rambutnya masih tipis. Namun, kepulangan Luthfi membawa badai lain, yaitu kebenaran yang selama ini tersembunyi.

Salah satu teman kampus tempat Luthfi dulu berkuliah menghubunginya.

“Luthfi, aku punya cerita yang harus kamu dengar,” ucap temannya itu

Luthfi dan temannya itu bertemu di sebuah kafe kecil. Di sana, temannya itu memutar rekaman suara dari seseorang yang menangis dan berbicara terbata-bata. Dan suara itu adalah suara Bu Resti.

“S—saya… saya punya dendam sama ibunya Luthfi…” ucap Bu Resti

“Waktu SMP, saya selalu dibully teman karena warna kulit saya yang hitam. Ibunya Luthfi selalu menolong saya dari bullying. Tapi, saya pikir, ibunya Luthfi ikut mengejek saya. Saya salah paham, dan waktu itu saya nonjok ibunya Luthfi sampai dia mimisan, terus saya dikeluarkan dari sekolah.” ucap Bu Resti

Luthfi terpaku.

“Saya pikir, anaknya harus merasakan luka seperti yang saya rasakan, makanya saya fitnah Luthfi, saya jebak Luthfi dengan tuduhan-tuduhan palsu, saya paksa Luthfi bekerja di kantin sampai capek banget, semuanya itu karena saya pikir Luthfi itu anak dari orang yang dulu tega menghancurkan saya…” lanjutnya

Luthfi menutup mulutnya, tubuhnya bergetar. Luthfi tidak tahu harus menangis atau marah.

“Bu Resti Wijayanti akhirnya dipecat dari kantin kampus, dan kasus ini sudah diproses di kepolisian,” ucap temannya itu

“Sekarang, kebenaran akhirnya terungkap.” lanjutnya

Kebenaran itu tidak membuat luka Luthfi hilang. Namun, setidaknya, Luthfi akhirnya tahu bahwa dirinya tidak salah. Bahwa Luthfi bukanlah anak nakal seperti yang dicap orang-orang di kampusnya.

***

Malam itu, Luthfi duduk di depan orang tuanya. Rambutnya yang tumbuh kembali belum menutupi bagian kanan kulit kepalanya dengan sempurna. Angin malam menyentuh pipi Luthfi dengan lembut.

Ibunya duduk di sampingnya, lalu menggenggam tangan Luthfi.

“Sayang, maafkan Mama, ya. Gara-gara Mama, kamu jadi begini.” ucap ibunya Luthfi

Luthfi menggeleng pelan.

“Mama nggak salah. Orang-orang jahat kadang membuat kita jadi salah paham.” ucap Luthfi

Ayahnya mendekat.

“Yang penting, kamu sekarang sudah sembuh, sayang. Kamu harus bisa memulai hidup lagi.” tambah ayah Luthfi

Luthfi tersenyum tipis.

“Iya, Papa. Aku cuma mau hidup tenang. Bekerja keras, bantuin Papa, itu saja sudah cukup.” ucap Luthfi

Luthfi memandang lurus ke langit malam. Ada bintang yang redup, tetapi tetap bersinar. Sama seperti Luthfi, rapuh, penuh luka, tapi masih berdiri tegak.

Di dada Luthfi, luka-luka itu tidak akan hilang dalam waktu yang dekat. Namun, untuk pertama kalinya, Luthfi merasa lebih ringan, karena kebenaran akhirnya datang, dan karena hidup memberinya kesempatan kedua. Dan karena Luthfi akhirnya menyadari satu hal, bahwa tidak ada penderitaan yang sia-sia. Setiap luka dan kelelahan sudah membentuk Luthfi menjadi sosok yang lebih tangguh.

TAMAT

@riodgarp @sapiontel @itkgid
itkgidAvatar border
silohAvatar border
organza20Avatar border
organza20 dan 2 lainnya memberi reputasi
3
29
4
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
32.7KThread51.6KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2025 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.