Saat aku berdiri di depan tongkat pembalik waktu, pikiranku melayang kembali ke ajaran Sartre: "Manusia dikutuk untuk bebas." Kebebasan itu bukanlah anugerah , tetapi kutukan --- tanggung jawab atas setiap pilihan, setiap tindakan, setiap konsekuensi yang mengikuti. Aku harus mengakui bahwa setiap langkah yang membawaku ke titik ini adalah hasil dari kebebasanku. Tapi, bagaimana aku bisa menjawab pertanyaan-pertanyaan yang membelengguku? Apakah setiap keputusan ini benar-benar milikku, ataukah sekedar hasil dari kekuatan yang lebih besar, dari ilusi yang mengendalikan nasibku?

Aku melangkah lebih dekat ke tongkat itu, dan suara-suara didalam kepalaku semakin membingungkan, seolah-olah, alam semesta ini mengolok-olokku, menyoroti absurditas perjalanan yang kutempuh, apakah semua ini hanya lelucon kosmik? Bagaimana bisa satu tongkat, sekecil ini, menjadi pusat dari semua penyesalan dan keinginan untuk mengubah masa lalu?

Didalam gua tempay tongkat itu berada, suasana semakin suram. Temboknya seolah menampung desah angin yang berbisik dengan suara Kafkaesque, mengingatkan akan situasi manusia yang terjebak dalam ketidakpastian dan absurditas.
"Apakah ini semua hanya ilusi? Apakah aku hanya bagian dari kisah yang ditulis oleh kekuatan lebih besar?" Dalam pandangan yang menakutkan, aku merasa seolah tiada artinya, berjalan dijalur yang tidak ada tujuannya. Jika hidup ini tidak lebih dari sekedar lelucon, apakah aku harus mencarinya?

Mendekati tongkat, aku teringat pada semua penderitaan yang kutanggung, semua pilihan yang menuntunku pada kehampaan. Di balik semua penyesalan itu, ada satu pikiran yang menakutkan: Apakah mengubah masa lalu akan memberi makna pada keberadaanku? Aku merasa terjebak dalam keraguan, sementara jiwa dan pikiranku berseteru.