Kaskus

Story

Pengaturan

Mode Malambeta
Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #82 : Tuhan Tidak Mengabulkan Doa
Short Story #82 : Tuhan Tidak Mengabulkan Doa

Sebagai seorang guru BK di Sma, aku kadang merasa seperti perawat di rumah sakit jiwa. Di jamanku dulu murid-murid pasti paling takut dengan yang namanya guru BK, tapi kenapa sekarang mereka datang setiap hari dengan masalah khas abg yang makin lama makin menjadi?

Ada Bimo yang kebelet ingin punya pacarnya, Siska yang ketahuan mencuri dari dompet orangtuanya, Albi yang diam-diam ikut balap motor, sampai Mutia yang dihantui rasa bersalah karena menggugurkan kandungannya. Rasanya gajiku sama sekali tak cukup untuk mengurus semua ini, tapi terkadang ada momen di mana aku bersyukur murid-murid ini datang padaku.

Namanya Aria, murid kelas 3 yang tak lama lagi akan lulus. Awalnya dia cuma menemani Mutia yang ingin curhat, tapi setelah beberapa minggu dia datang menemuiku sendirian. Awalnya aku curiga dia punya masalah yang sama dengan Mutia, tapi ternyata masalahnya jauh lebih tebal dan berlapis-lapis.

“Pak, Bapak punya agama nggak?” tanyanya begitu saja. Aku cukup sering dapat pertanyaan punya pacar atau tidak, tapi kalau subjeknya diganti agama ini pertama kali.

“Itu nggak penting,” jawabku. Agama itu urusan privat, bukan urusan orang lain.

“Ini penting,” desaknya. “Aku tak tanya agama apa, cuma tanya punya atau tidak.”

“Okay … iya, Bapak punya.”

“Bapak sering berdoa?"

“Ya, cukup sering.”

“Berdoa apa?”

“Apa saja. Kesehatan, rezeki, jodoh, yang semacam itu.”

“Jadi bapak berdoa meminta lebih banyak uang, tapi Tuhan tidak mendengar sampai akhirnya Bapak berakhir sebagai guru honorer bergaji rendah di pedesaan.”

Rasanya ada yang sakit di hatiku mendengar ucapannya. Apa jangan-jangan dia ini Medusa? Mengapa ucapannya sangat berbisa?

“Hei, bukan gitu caranya ngomong ke gurumu!”

“Tapi itu kenyataan. Tuhan tidak mengabulkan doa Bapak. Tuhan juga tidak mengabulkan doa Mutia yang berharap nggak hamil. Tuhan … tidak mengabulkan doa.”

Mungkin dia memang lebih muda dariku, tapi entah mengapa aku merasa seperti anak kecil di hadapan tatapan gelap dan kosong dari kedua bola matanya. Tatapannya membuatku takut.

“J-jadi?”

“Aku mau mati.”

Mungkin pekerjaan ini sudah membuatku gila. Butuh waktu sampai aku yakin aku tidak salah dengar. Bahkan setelah yakin pun aku tak tahu harus menjawab apa.

“M-mati? Kenapa gitu? Kamu kan masih muda?”

“Karena kurasa hidup nggak ada artinya. Habis sekolah harus apa? Habis kerja harus apa? Habis punya anak terus gimana? Kita cuma ikut arus, nggak ada harapan di sana. Bumi semakin panas, perang di mana-mana, manusia makin jahat. Apa lagi yang perlu diperjuangkan? Kalau Tuhan bahkan tak mendengar, apa lagi yang bisa kita harapkan?”

Hilang sudah nafsu makan dan semangat hidupku. Rasanya seperti membaca kilas balik karakter penjahat, di situ aku ikut merasa hidup sudah tak ada artinya lagi.

“T-tapi kadang-kadang doaku terkabul kok. Misalnya … aku terus berdoa orangtuaku sehat, sampai sekarang mereka masih sehat.”

“Aku nggak pernah berdoa begitu tapi orangtuaku juga sehat kok,” balas Aria pedas. “Kalau masih bisa kita raih sendiri, buat apa berdoa?”

“Terus memangnya doamu apa? Kenapa kau berani bilang doamu nggak dikabulkan?”
Dan di situlah dia terdiam. Dia sama sekali tak memberitahuku sampai bel masuk kelas berbunyi.

***


Keesokan harinya Aria datang lagi. Aku sedang menghibur Bimo yang berhasil dapat pacar lalu dicampakkan dalam dua jam jadi dia duduk menunggu giliran. Saat akhirnya Bimo pergi dan Aria duduk di depanku, aku tahu sisa semangat yang sudah kudapat sejak bangun tidur akan segera padam.

“Kenapa orang-orang yang tidak berdoa malah lebih sukses dibanding mereka yang berdoa?”

“…. Kenapa?”

“Karena mereka menggunakan semua waktu mereka untuk bekerja, bukan untuk berdoa.”

“Aria, kalau kau cuma mau membicarakan konspirasi kenapa nggak cari musuh di facebook aja?”

Tugas guru BK adalah memastikan tak ada murid yang membuat masalah. kalau murid ini benar-benar mencoba bunuh diri maka itu akan jadi masalah besar dan bukan tak mungkin aku dipecat. Terlebih lagi apa yang sudah dirasakan remaja 17 tahun ini sampai-sampai sudah tak ingin menjalani hidup?

“Orangtuaku akan bercerai,” ucapnya tiba-tiba seolah tahu apa yang hendak kutanya. “Mereka saling berebut tak mau mengasuhku. Karena sebentar lagi aku punya ktp mereka memaksaku hidup sendiri. Sebenarnya aku tak terlalu sayang pada mereka, tapi hidup mandiri itu terlalu berat.”

Aku merasa baru saja melihat setitik api di tengah sikapnya yang sedingin es. Ini bukan pertama kalinya aku menghadapi muris broken home. Aria … mungkin hanya ingin bicara.

“Kenapa mereka mau cerai?” tanya pelan-pelan.

“Entahlah. Mereka sejak dulu memang tak akur. Aku bahkan heran kenapa mereka bisa menikah. Yang mereka perdebatkan cuma uang dan kebutuhan duniawi mereka masing-masing.”

“Dan dari situ kau menyimpulkan hidup ini tak ada artinya?"

“Apa gunanya hidup kalau aku cuma akan berakhir seperti mereka?”

Aku paham sekarang. Aria tetaplah remaja yang otaknya belum tumbuh sempurna. Dia bukan filsuf tersohor yang kata-katanya layak diabadikan di buku sejarah. Aria cuma anak Sma yang masih bingung dengan dirinya sendiri.

“Jadi … apa doamu untuk mereka? Doa yang tidak terkabul itu?”

Aria terdiam. Bel tanda istirahat selesai telah berbunyi, tapi Aria tak menunjukkan tanda ingin pergi. Aku juga sebenarnya punya kelas untuk diajar, tapi anak-anak itu pasti senang punya jam kosong.

“Aku cuma mau mereka akur,” bisik Aria kemudian. “Nggak harus saling cinta, aku cuma mau mereka berhenti berteriak dan menjelekkan satu sama lain. Kenapa Tuhan tidak mau mengabulkan doa sekecil itu?”

Itu memang keinginan yang kecil. Dia tak minta untuk awet muda atau perdamaian dunia, dia cuma berharap bisa bahagia bersama kedua orangtuanya.

“Aria … kau bisa masak?”

***


Dari data-data yang kubaca, Aria bukanlah murid yang menonjol. Dia tak pernah juara kelas, tak pintar di bidang apa pun, dia juga tak terlalu cantik. Tidak bodoh, tidak jelek, benar-benar medioker seperti kebanyakan anak lainnya. Tak ada yang salah dengan itu, tapi …

Tak ada juga yang bisa dibanggakan.

“Tadi pagi … aku masak,” lapornya padaku di jam istirahat. “Ayahku tak bilang apa-apa, tapi dia makan sebelum pergi kerja. Setelah itu kucuci piring sebelum ke sekolah. Ibuku juga tak bilang apa-apa.”

“Bagus. Nanti pulang sekolah kau harus menyapu dan membuang semua sampah di rumahmu. Lakukan itu setiap hari.”

Aria menatapku curiga. Memang dari sudut pandang orang luar aku cuma seperti mengerjainya.

“Apa ini ada gunanya?”

“Entahlah. Tapi setidaknya kau mencoba.”

Wajahnya penuh dengan keraguan, tapi dia melakukan apa yang kukatakan. Hari demi hari dia datang untuk melapor dan semakin kemari bisa kulihat wajahnya semakin cerah.

“Ibuku bilang aku harus buka restoran, masakanku enak,” ucapnya dengan mata berbinar-binar. “Belum pernah rasanya dia memujiku.”

“Aku coba buat kue. Tetangga kami sampai pesan buat pesta. Ini kukasih buat Bapak.”

“Semalam aku mendengar suara aneh dari kemar orangtuaku. Kurasa … yah, kurasa mereka sudah akur.”

Kurasa hal-hal kecil yang dia lakukan perlahan menunjukkan hasilnya. Banyak orang menyerah sebelum mencoba atau bahkan meremehkan usaha kecil yang dilakukan orang lain, tetapi menurutku apa yang kita kerjakan tak akan pernah sia-sia. Selama kita tekun, tapi hasilnya terlihat.

Anak adalah buah hati orangtua, jika anaknya mudah dicintai maka mereka pasti akan merasa cinta. Sebaliknya, jika sang anak adalah sumber masalah maka mereka akan terus bertengkar. Masalah Aria sebenarnya sederhana, dia hanya perlu memberi orangtuanya alasan untuk menunjukkan kasih sayang mereka.

“Tuhan tidak mengabulkan doa,” ucapku sembari mengingat lagi apa yang dia katakan di konsultasi pertama kami, “tapi Tuhan memberi kesempatan agar apa yang kita inginkan bisa terwujud. Sisanya cuma apa kita mau berusaha atau tidak. Kalau kita sendiri tak mau berusaha, untuk apa Tuhan membantu kita?”

Mendengar itu Aria pun mengeluarkan senyuman yang begitu indah.

Dari apa yang kudengar, Aria menjalankan usaha kuliner kecil-kecilan setelah lulus Sma. Orangtuanya tak jadi bercerai dan mereka hidup berbahagia. Setiap kali mengingat itu aku merasa bangga pada diriku sendiri karena bisa menyelamatkan satu keluarga dan juga masa depan seorang siswa.

Dan karena itulah aku selalu menerima siapa pun yang membutuhkan bimbinganku. Tak peduli seaneh apa pun itu aku akan selalu mendengar mereka. Karena itulah tugas seorang guru, menyelamatkan masa depan murid-muridnya.

***TAMAT***
jembloengjavaAvatar border
riodgarpAvatar border
itkgidAvatar border
itkgid dan 23 lainnya memberi reputasi
24
848
16
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the Heart
KASKUS Official
31.9KThread44.5KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.