Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dwindrawatiAvatar border
TS
dwindrawati
CANTIKNYA IBU MERTUAKU
Istriku mungkin tak tahu, selama ini aku seringkali terpaku melihat kecantikan ibu mertuaku. Pipinya yang putih mulus, hidungnya yang mancung, dan senyumnya yang menawan selalu berhasil membuatku terpesona. Setiap kali kami berkunjung ke rumahnya, hatiku berdegup kencang dan mataku tak bisa berpaling darinya.
 
Namanya Rina, seorang wanita paruh baya yang masih terlihat begitu mempesona di usianya yang sudah menginjak kepala lima. Dia memiliki aura yang mampu menarik perhatian siapa pun di sekitarnya. Sering kali aku berpikir, bagaimana mungkin wanita secantik ini bisa menjadi ibu dari istriku, yang juga cantik tetapi dengan pesona yang berbeda.
 
Hubungan kami, aku dan Rina, sebenarnya cukup baik. Sebagai menantu, aku selalu berusaha untuk menghormatinya dan bersikap sopan. Namun, ada perasaan yang selalu kutahan dalam-dalam. Perasaan kagum yang bercampur dengan sesuatu yang lebih dari sekadar kekaguman.
 
Suatu hari, ketika istriku sedang pergi ke luar kota untuk urusan pekerjaan, aku diminta Rina untuk menemaninya ke pasar. Istriku mempercayakanku sepenuhnya pada ibunya, karena dia tahu betapa baiknya hubungan kami. Saat itu, aku merasa sangat gugup dan antusias di saat yang bersamaan.
 
Di pasar, Rina terlihat begitu lincah dan cekatan memilih sayur dan buah. Aku hanya mengikutinya dari belakang, sambil sesekali melirik ke arahnya. Ketika dia tersenyum padaku, hatiku berdebar-debar. Setelah selesai berbelanja, Rina mengajakku mampir ke sebuah kafe untuk sekadar minum kopi dan mengobrol.
 
Di kafe itu, kami berbincang tentang banyak hal. Rina bercerita tentang masa mudanya, tentang bagaimana dia bertemu dengan suaminya, yang kini sudah tiada. Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, tak ingin melewatkan satu pun kata yang dia ucapkan. Di tengah obrolan, tanpa sadar, aku menatapnya dengan pandangan yang lebih dari sekadar kekaguman.
 
"Kenapa kamu melihatku seperti itu?" tanyanya tiba-tiba, membuatku terkejut.
 
"Oh, tidak... tidak apa-apa, Bu. Saya hanya terpesona dengan cerita-cerita Ibu," jawabku gugup.
 
Rina tersenyum lembut. "Kamu mengingatkanku pada suamiku. Dia juga sering melihatku dengan tatapan seperti itu."
 
Aku hanya bisa tersenyum kikuk, mencoba menyembunyikan rasa malu dan gugup yang semakin memuncak. Sejak saat itu, aku berusaha lebih keras untuk menahan perasaanku. Bagaimanapun juga, dia adalah ibu dari istriku, dan aku harus menjaga hubungan kami tetap dalam batas yang seharusnya.
 
Namun, setiap kali bertemu dengannya, perasaan itu selalu kembali muncul. Kecantikannya, kelembutannya, dan kehangatannya membuatku sulit untuk berpaling. Aku hanya berharap, seiring berjalannya waktu, perasaan ini akan mereda dan aku bisa melihat Rina seperti seorang ibu mertua yang sebenarnya, tanpa ada perasaan lain yang mengganggu.
 
Hari-hari pun berlalu, dan aku terus berusaha menjaga jarak emosional darinya. Aku fokus pada istriku, mencoba mencintainya lebih dalam lagi, dan berusaha menjadi suami yang setia dan penuh perhatian. Karena, pada akhirnya, cinta sejati adalah tentang kesetiaan dan pengorbanan, bukan sekadar tentang pesona dan kecantikan semata.
 
***
 
Tengah malam aku terbangun. Diam-diam pergi ke tengah rumah mencari buku tulis dan bolpoin, menuliskan cerita tentang perasaanku pada ibu mertua. Suasana sunyi, hanya suara detak jam dinding yang menemani kegelisahanku. Dengan hati-hati, aku membuka lemari di ruang kerja dan mengambil sebuah buku tulis yang masih kosong, lalu meraih bolpoin dari laci meja.
 
Aku kembali ke kamar dan duduk di meja kecil di pojok ruangan. Cahaya lampu tidur yang redup cukup menerangi lembaran kertas di hadapanku. Dengan perasaan campur aduk, aku mulai menulis.
 
"Dear Diary,"
 
Hari ini, perasaanku semakin tak menentu. Ibu mertuaku, Rina, selalu berhasil membuat hatiku bergetar. Aku tahu ini salah. Dia adalah ibu dari istriku, wanita yang seharusnya kuanggap sebagai sosok ibu sendiri. Tapi pesonanya, kecantikannya, kelembutannya, semuanya membuatku terperangkap dalam perasaan yang tak seharusnya ada.
 
Aku teringat hari di pasar, saat dia tersenyum dan mengajakku minum kopi. Tatapan matanya, ceritanya, semuanya terasa begitu nyata dan menggetarkan hatiku. Rasanya sulit sekali untuk tidak memikirkannya, meskipun aku tahu aku harus. Perasaan ini seperti api yang menyala dalam hati, sulit untuk dipadamkan.
 
Aku sangat mencintai istriku. Dia adalah segalanya bagiku, dan aku berjanji untuk selalu setia padanya. Namun, perasaan ini membuatku merasa bersalah. Aku tak ingin mengkhianati kepercayaan istriku, tak ingin menghancurkan hubungan yang telah kami bangun dengan susah payah.
 
Malam ini, aku hanya ingin menuliskan semuanya, berharap dengan menulis, aku bisa melepaskan sebagian beban di hatiku. Aku harus mengingatkan diriku sendiri bahwa cinta sejati adalah tentang kesetiaan dan pengorbanan. Aku harus kuat, harus bisa mengendalikan perasaan ini.
 
Mungkin dengan waktu, perasaan ini akan mereda. Mungkin suatu saat, aku bisa melihat Rina seperti seorang ibu mertua yang sebenarnya, tanpa ada perasaan lain yang mengganggu. Aku hanya bisa berharap dan berdoa, semoga hari itu segera datang.
 
Dengan tangan yang sedikit gemetar, aku menutup buku tulis itu. Meletakkannya kembali di laci meja, memastikan tak ada yang tahu tentang perasaan ini. Aku kembali ke tempat tidur, berusaha untuk tidur lagi. Tapi pikiranku masih dipenuhi oleh bayangan Rina. Aku tahu, aku harus terus berjuang melawan perasaan ini, demi cintaku pada istriku, dan demi keharmonisan keluargaku.
 
***
 
Pagi harinya, istriku memintaku mengantarkan rendang ke rumah ibu. Antara gembira dan khawatir, aku pergi ke sana. Hati ini berdebar-debar tak karuan, di satu sisi aku senang bisa bertemu Rina lagi, di sisi lain aku khawatir perasaan yang tak semestinya ini semakin sulit dikendalikan.
 
Setelah berpamitan dengan istriku, aku membawa rendang yang sudah dikemas rapi dan bergegas menuju rumah Rina. Sepanjang perjalanan, pikiranku berkecamuk, mencoba menenangkan diri dan meyakinkan hati bahwa ini hanyalah kunjungan biasa.
 
Sesampainya di rumah Rina, aku mengetuk pintu dan menunggu. Beberapa detik kemudian, pintu terbuka dan Rina berdiri di sana dengan senyum yang sama menawannya seperti biasa.
 
"Ah, kamu datang! Terima kasih sudah mengantarkan rendang ini," ucapnya sambil menerima kotak rendang dari tanganku.
 
"Sama-sama, Bu. Ini dari istri saya," jawabku dengan suara yang agak bergetar.
 
"Masuklah dulu, jangan langsung pulang," ajaknya.
 
Aku pun mengikuti Rina masuk ke dalam rumah. Kami duduk di ruang tamu, dan dia menawarkan segelas teh hangat. Suasana di rumahnya terasa hangat dan nyaman, namun hatiku masih bergulat dengan perasaan yang tak menentu.
 
"Bagaimana kabar istrimu?" tanya Rina, membuka percakapan.
 
"Dia baik-baik saja, Bu. Hari ini dia sibuk bekerja, jadi saya yang mengantarkan rendang ini," jawabku sambil mencoba untuk tersenyum.
 
Obrolan kami berlangsung santai, membicarakan berbagai hal seputar keluarga dan pekerjaan. Namun, setiap kali Rina tersenyum atau tertawa, perasaan itu kembali muncul, membuatku merasa semakin tak nyaman. Aku berusaha keras untuk menahan diri, untuk tidak menunjukkan apa pun yang bisa membuat situasi menjadi canggung.
 
Ketika obrolan mulai mengarah pada hal-hal yang lebih pribadi, aku merasa perlu untuk segera pamit.
 
"Bu, saya harus segera pulang. Ada beberapa pekerjaan yang perlu diselesaikan," kataku dengan lembut.
 
"Oh, baiklah. Terima kasih sudah datang dan mengantarkan rendang ini. Sampaikan terima kasih juga kepada istrimu," jawab Rina dengan senyum tulus.
 
Aku mengangguk dan berpamitan. Sepanjang perjalanan pulang, pikiranku kembali berkecamuk. Aku sadar, perasaan ini tidak boleh terus berlanjut. Aku harus menjaga jarak dan fokus pada istriku, wanita yang telah menjadi bagian dari hidupku.
 
Sesampainya di rumah, istriku menyambutku dengan senyum hangat. Aku memeluknya erat, berusaha untuk menenangkan diri dan menguatkan tekadku.
 
Hari ini menjadi pelajaran berharga bagiku. Perasaan yang salah ini harus segera diatasi. Demi cinta dan kesetiaan pada istriku, aku harus bisa mengendalikan hati dan pikiran. Sebuah perjalanan panjang yang mungkin tak mudah, tapi aku yakin bisa melaluinya.
 
***
 
Berharap gelisahku reda, aku membuka buku harian. Kali ini tidak menulis, melainkan melukis ibu mertuaku yang cantik itu. Dengan pensil di tangan, aku mulai menggoreskan garis-garis tipis di atas kertas, mencoba menangkap keindahan dan pesona Rina yang selalu menghantui pikiranku.
 
Setiap detail wajahnya terukir perlahan: pipi yang halus, mata yang bersinar lembut, dan senyum yang menawan. Tanganku bergerak otomatis, seolah-olah setiap lekukan wajahnya sudah terpatri di ingatanku. Seiring gambar itu semakin terbentuk, perasaanku pun bercampur aduk. Ada kekaguman, ada kesedihan, dan ada rasa bersalah yang semakin dalam.
 
Aku melukis bukan hanya untuk menangkap kecantikannya, tetapi juga untuk melepaskan sebagian beban di hatiku. Setiap goresan pensil seakan mengalirkan sebagian dari kegelisahanku ke atas kertas. Namun, pada saat yang sama, lukisan ini juga menjadi pengingat betapa kuatnya perasaan yang tidak seharusnya ada ini.
 
Ketika akhirnya selesai, aku menatap hasil karyaku dengan perasaan campur aduk. Lukisan itu begitu mirip dengan Rina, seolah-olah dia benar-benar hadir di hadapanku. Aku menghela napas panjang, merasa lega namun juga semakin bingung.
 
Aku menyimpan buku harian itu kembali ke tempatnya, berharap tidak ada yang menemukannya. Lukisan ini adalah rahasiaku, pengingat betapa berbahayanya perasaan yang tak terucapkan. Aku harus menemukan cara untuk mengatasi ini, demi kebahagiaan istriku dan keharmonisan keluargaku.
 
Malam itu, sebelum tidur, aku merenungkan semuanya. Aku sadar bahwa ini adalah ujian bagi kesetiaan dan cintaku. Esok hari aku harus lebih kuat, lebih tegar, dan lebih mencintai istriku dengan sepenuh hati. Karena pada akhirnya, cinta sejati adalah tentang komitmen dan pengorbanan, bukan sekadar ketertarikan sesaat.
 
***
 
Hari Senin tiba, istriku pergi kerja seperti biasa. Bersamaan dengan kepergiannya, datang Hadianto, sahabat lamaku yang sudah lama tidak bertemu. Senyum lebar terukir di wajahnya ketika melihatku, membawa kenangan lama kembali mengalir.
 
"Hei, lama tidak bertemu! Apa kabar?" serunya sambil menepuk pundakku.
 
"Kabar baik, Hadi. Ayo masuk," jawabku dengan semangat.
 
Kami duduk di ruang tamu, berbincang tentang masa-masa sekolah dan pengalaman hidup yang telah kami lalui. Hadianto adalah sahabat yang selalu bisa membuatku merasa nyaman dan melupakan sejenak segala kegelisahan.
 
Setelah beberapa saat, Hadianto menatapku dengan serius. "Ada apa? Kamu terlihat sedikit berbeda. Ada yang mengganggu pikiranmu?"
 
Aku terdiam sejenak, berpikir apakah aku harus berbagi tentang perasaanku yang selama ini kurahasiakan. Hadianto selalu bisa memberikan nasihat yang bijak, dan mungkin inilah saatnya aku membutuhkan pandangannya.
 
"Aku... ada sesuatu yang ingin kuceritakan padamu," kataku akhirnya. "Tapi janji, jangan bilang siapa-siapa."
 
Hadianto mengangguk, menatapku dengan penuh perhatian.
 
"Ini tentang ibu mertuaku," lanjutku. "Aku merasa kagum padanya, lebih dari seharusnya. Dan perasaan itu membuatku gelisah. Aku tahu ini salah, tapi sulit untuk diabaikan."
 
Hadianto menghela napas panjang. "Aku mengerti. Kadang perasaan memang sulit dikendalikan. Tapi yang terpenting adalah bagaimana kita menghadapinya."
 
"Benar, aku terus berusaha untuk menjaga jarak dan fokus pada istriku. Tapi perasaan itu selalu kembali," jawabku, merasa lega bisa berbagi.
 
"Kamu sudah melakukan hal yang benar dengan mencoba menjaga jarak. Mungkin kamu juga perlu mencari kegiatan lain untuk mengalihkan perhatianmu. Jangan biarkan perasaan ini menguasai pikiranmu," saran Hadianto.
 
Obrolan kami berlanjut dengan berbagai topik, dari kenangan masa lalu hingga rencana masa depan. Kehadiran Hadianto memberikan sedikit kedamaian dalam hatiku, membuatku merasa bahwa aku tidak sendirian menghadapi masalah ini.
 
Ketika Hadianto pamit, aku merasa lebih ringan. Nasihatnya memberiku semangat baru untuk terus berjuang melawan perasaan yang salah ini. Aku harus lebih tegar, lebih kuat, dan lebih mencintai istriku dengan sepenuh hati.
 
Hari itu berlalu dengan lebih tenang. Meskipun perasaan itu belum sepenuhnya hilang, setidaknya aku memiliki sahabat yang siap mendukungku. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk terus berusaha, demi kebahagiaan istriku dan keharmonisan keluargaku.
 
***
bukhoriganAvatar border
bam78bamAvatar border
kelomangdaratAvatar border
kelomangdarat dan 11 lainnya memberi reputasi
10
3.6K
33
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.7KThread43.1KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Komentar yang asik ya
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.