ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #58 : Diary Kematian


Quote:


Ada anak Sma menulis diary. Diary nya juga tidak berisi hal-hal menarik, cuma kutukan untuk seseorang yang hidup mewah dari duit pajak rakyat. Mungkin di seluruh alam semesta cuma aku yang melakukan hal semacam ini. Aku tidak sedang mencoba mencari ciri khas. Tujuanku jauh lebih mulia dari hal semacam itu.

Sudah seminggu lebih aku muak melihat berita tentang menteri itu. Setiap hari semakin gila saja hal yang terungkap darinya. Seolah itu belum cukup dia ternyata sudah kabur ke luar negeri dengan harta berlimpah yang sudah lama dia persiapkan. Jika neraka punya lapisan maka orang ini bahkan tak diterima di lapisan terbawah.

Katanya mereka sedang berusaha keras menelusuri jejaknya, tapi aku memilih menyelesaikannya dengan caraku sendiri. Tak peduli berapa banyak uang maupun kuasa yang dia punya, tak pernah ada satu orang pun yang bisa lepas dari buku diary ku.

Aku menutup diaryku dan memilih tidur lebih cepat. Saat aku terbangun seluruh TV nasional dan media sosial sudah dihebohkan dengan berita yang sama. Kematian seorang koruptor buron yang dicabik-cabik anjing liar.

***


Aku sudah menulis diary sejak kelas 1 Sd dan baru mengetahui kehebatan diary ini satu tahun setelahnya. Aku bukan orang yang suka menulis. Menulis diary juga terpaksa karena tugas sekolah. Meski demikian jika ada hal yang benar-benar membuatku kesal aku akan menuliskannya di diary untuk mengurangi kekesalanku.

Buku diary ini kubeli dari seorang pedagang di pasar. Aku beli hanya karena aku suka covernya yang berwarna hitam pekat. Diary ini tipis, cuma 30 lembar. Kukira diary ini akan berakhir di tempat sampah dengan separuh halaman tetap kosong, tapi ternyata aku justru menginginkan lebih banyak halaman.

Kejadian itu terjadi saat aku kelas 2 Sd. Ada seorang anak yang sangat kubenci karena dia suka sekali menggangguku. Orang dewasa mungkin akan bilang itu cuma keisengan anak Sd, tapi sebagai anak Sd aku tidak menganggap itu iseng belaka. Aku membencinya dan tak ingin melihatnya lagi.

Namun aku cuma bisa menuangkan semua kemarahan itu ke dalam diary. Aku mengutuk dan berharap agar dia mati. Coba tebak betapa terkejutnya aku saat esok harinya seluruh kelas melayat ke rumahnya.

Aku tak percaya hal gaib dan karenanya aku menganggap apa yang terjadi sebagai sebuah kebetulan semata. Namun kejadian itu tetap membuatku takut dan berhenti menulis diary. Meski demikian aku tetap menyimpan diary itu.

Lima tahun kemudian aku menyadari ayahku terjebak hutang dan itu membuat banyak orang datang ke rumah setiap hari untuk menagih hutang-hutang itu. meski mencoba sebaik mungkin untuk menutup hutang-hutangnya, tetap saja ada yang dengan galak terus datang. Orang itu bahkan membanting meja dan kursi dan mengancam membunuh kami jika hutang tidak dibayar.

Aku hanyalah anak kecil bermental lemah saat itu. Aku mencintai orangtuaku dan menganggap penagih hutang itu sebagai penjahat. Setelah konflik batin yang panjang aku pun membuka kembali diary itu. Aku berharap dia meninggal akibat kecelakaan motor.

Dan orang itu tak pernah datang lagi.
Apa yang awalnya sekedar ketakutan kini berubah menjadi nyata. Aku sudah membunuh dua orang. Meski tak langsung tapi akulah yang sudah membunuh mereka. Dua orang itu tidak bersalah, tapi aku mencabut nyawa mereka begitu saja. Aku adalah seorang pembunuh.

Akhirnya aku mengubur kembali diary itu. Aku terpikir untuk membuang atau membakarnya, tapi entah kenapa itu terasa seperti menghapus barang bukti, seolah-olah aku kabur dari dosa yang kuperbuat. Namun menanggung semua beban itu benar-benar membuatku takut. Tak ada hari di mana aku tidak membayangkan wajah dua orang yang kubunuh dan nyaris setiap hari aku akan melihat ke bawah lemari dan memastikan diary itu masih ada di sana.

Aku terbelenggu dalam kutukan yang tak bisa lepas. Diary itu, diary yang kubeli hanya karena ketertarikan sesaat, membelinya adalah hal yang paling kusesali di dunia ini.
Namun pemikiranku berubah saat aku masuk Sma. Tanpa sengaja aku bertemu lagi dengan nenek tua yang dulu menjual buku diary terkutuk itu.

“Kau menulis nama mereka dan mereka mati? Aku tak pernah dengar yang seperti itu.”

Sayangnya dia cuma pedagang biasa. Dia tak tahu apa pun tentang diary yang dulu kubeli darinya. Dia menjual banyak buku seperti itu, tapi cuma aku yang mendapat kutukan.

Mengapa harus aku?

“Mungkin ini takdir,” ucap nenek itu kemudian. “Buku diary itu tempat untuk mencatat kisah hidupmu. Kisahnya baik atau buruk, kau yang harus menentukan. Kalau kau merasa sudah melakukan hal buruk maka imbangi dengan melakukan hal-hal baik. Ingat, Anak Muda, tak ada yang terjadi tanpa alasan.”

Butuh berbulan-bulan sampai akhirnya aku paham mengapa aku mendapatkan kutukan ini. Saat melihat berita tentang seorang penjahat yang lolos dengan hukuman amat ringan aku secara tak sadar tahu bahwa banyak orang tak pantas dibiarkan hidup.

Akhirnya aku pun mencurahkan keresahanku pada diary dan dalam waktu beberapa jam orang itu pasti akan mati persis bagaimana aku menginginkannya. Mati sembari mengungkap seluruh kejahatannya, mati setelah membagikan seluruh hartanya ke orang miskin, bahkan mati meledakkan diri bersama seluruh rekan penjahatnya, diary ini bisa melakukan semuanya.

Aku merasa memiliki kemampuan untuk mengendalikan dunia. Namun, kemampuan ini sangat-sangat terbatas. Selayaknya buku diary, aku hanya bisa menulis satu kejadian per hari. Jika aku mencoba menulis di halaman yang sudah terisi maka kejadian itu tidak akan terjadi.

Satu halaman untuk satu hari dan buku diary ini hanya punya 60 halaman. Meski mencoba membatasi diri, tapi diary ini hampir penuh hanya dalam satu tahun. Tanpa sadar hanya ada satu halaman yang tersisa. Hanya satu tulisan lagi. Bagaimana aku harus menggunakannya?

Aku menuruti perkataan si nenek tua dan menggunakan halaman-halaman diary untuk kebaikan lebih banyak orang, tapi apakah kejahatan berkurang? Orang-orang semacam itu muncul setiap hari. Bahkan meski aku memiliki seratus diary yang serupa, aku ragu aku bisa mengubah dunia ini menjadi lebih baik. Seperti serangga, tak peduli sebanyak apa dibasmi mereka akan terus bermunculan.

Jadi apakah sebenarnya tindakanku ada maknanya?

***


Di kelas tiga aku mulai memikirkan masa depanku setelah lulus. Rencanaku adalah melanjut kuliah tapi tak tahu melanjut apa dan ke mana. Mungkin karena terlalu terobsesi membasmi kejahatan aku jadi kurang memikirkan hidupku sendiri.

Teman-teman sekelasku tak banyak yang sudah menentukan jalur hidupnya. Sebagian besar, sama sepertiku, tak tahu ingin melakukan apa di sisa hidup. Saat kecil dulu aku ingin jadi Power Ranger, tapi memangnya ada cita-cita semacam itu di dunia ini?

“Kalau mau jadi pembela kebenaran ya jadi polisi,” saran guru BK saat giliranku untuk melakukan konseling karir.

“Pembela kebenaran apanya? Polisi jaman sekarang cuma tukang peras.”

“Kalau pola pikirmu begitu enggak bakalan ada kerjaan buatmu. Kalau merasa paling suci kau harusnya usaha biar negara ini lebih bersih.”

“Jadi pejabat? Ahh jijik! Koruptor semua.”

“Jadi kau yakin kau bakal korupsi kalau jadi pejabat? Kalau gitu apa bedanya kau sama mereka?”

Pertanyaannya menusukku dengan cara yang tidak terduga. Kalau ada kesempatan mendapat uang milliaran aku pun tak yakin bisa tidak tergoda.

“Dengar, Anak Muda, hidup itu nggak selamanya hitam dan putih. Yang penting kau harus yakin kau melakukan hal yang baik. Nggak ada orang suci di dunia ini, tapi kita masih bisa mencoba. Pasti ada hitam di hidup kita, tapi pastikan ada lebih banyak putih dibanding hitam.”

Ucapannya, meski berbeda, mengingatkanku dengan nenek penjual diary. Pasti akan selalu ada hitam dalam perjalanan, tapi tetap mencoba menjadi putih adalah kuncinya. Meski aku sudah menghukum orang-orang itu, tapi semua itu cuma tindakan sesaat yang tak berlangsung lama. Mungkin, ada cara lain yang bisa bertahan lebih lama.

Akhirnya aku pun mulai menulis di halaman terakhir diaryku.

Quote:


Pada akhirnya aku menggunakan halaman terakhir untuk menulis kematianku sendiri. Aku tak tahu apakah diary ini benar-benar bisa mewujudkan apa yang kutulis, tapi aku akan terus hidup dan berjuang untuk membuktikannya.

Mungkin, sejak aku membeli diary ini, semua sudah ditakdirkan. Meski seluruh halaman sudah penuh terisi, aku akan terus hidup dan menciptakan kisah yang luar biasa. Itulah takdir yang ingin kuraih.

***TAMAT ***
sukhhoiAvatar border
maxx69Avatar border
YoayoayoAvatar border
Yoayoayo dan 8 lainnya memberi reputasi
9
866
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread42.2KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.