ih.sulAvatar border
TS
ih.sul
Short Story #40 : Kafe Kenangan


Ada di sebuah kafe di pusat kota yang selalu ramai dikunjungi pembeli. Kafe itu mahal, tidak indah, minumannya juga tidak enak, tapi selalu ramai dikunjungi orang-orang. Hanya satu alasannya, kopi yang bisa membangkitkan kembali kenangan.

Kopi itu sangat populer sampai-sampai pihak kafe membuat aturan untuk para pengunjungnya. Pertama, satu orang hanya bisa memesan satu cangkir kopi per hari. Kedua, pengunjung harus meninggalkan kafe 30 menit sejak kopi disajikan.

Julia adalah salah satu orang yang tertarik akan kafe tersebut. Banyak teman-temannya yang sudah mencoba dan dia merasa dirinya perlu mengunjungi kafe itu meski hanya satu kali. Setelah menabung uang jajan selama sebulan penuh dia akhirnya memberanikan diri mengunjungi kafe itu sendirian.

Julia memilih mengunjungi kafe itu sepulang sekolah dan saat dia sampai di sana sudah ada antrian yang mengular meskipun saat itu sedang jam kerja. Kebanyakan pengunjung adalah murid dan mahasiswa serta ibu-ibu rumah tangga. Dengan sabar Julia ikut mengantri.

Di luar dugaan antrian maju dengan cepat. Julia sudah hampir mencapai pintu saat seorang wanita berlari keluar dari kafe sembari berteriak histeris. Dengan penuh keheranan Julia menatap wanita itu yang terus berlari tanpa menoleh.

“Selamat datang.”

Seorang pemuda tinggi dengan rambut poni yang dicat putih mengijinkan Julia masuk. Masih shock akibat wanita tadi, Julia tidak mendengar ucapannya sehingga pemuda itu harus menjentikkan jari di depan mukanya.

“Silahkan masuk,” ucap pemuda itu lagi. Julia meminta maaf lalu memasuki kafe dengan canggung.

Kafe itu penuh sesak dengan orang-orang yang tampak seperti berhalusinasi. Untuk sejenak Julia mengira kopi di sini dicampur dengan narkoba.

“Anda sendiri? Apa Anda tak keberatan berbagi meja dengan pengunjung lain?” tanya pemuda itu lagi.

“Tidak masalah."

Pemuda itu mengantarnya pada kursi yang masih kosong. Dia meminta Julia membayar lebih dulu sebelum menuangkan kopi untuknya. Dia bahkan tak menanyakan pesanan Julia. Tampaknya semua orang yang datang ke kafe ini memang hanya datang demi kopi itu.

“Ingatlah satu hal, kenangan yang akan Anda lihat tak selalu kenangan yang indah. Perempuan yang berteriak tadi pasti melihat sesuatu yang tak ingin dia lihat. Apa pun yang Anda lihat, tolong tinggalkan kursi dalam 30 menit. Selamat menikmati kopi Anda.”

Hanya dengan mengendus sekali Julia tahu itu tak akan menjadi kopi ternikmat yang pernah dia minum. Pelan-pelan Julia mengaduk kopinya dan mengambil sesendok kopi untuk dibawa ke mulut.

Rasanya nyaris hambar, tapi entah kenapa Julia merasakan sesuatu yang tidak berasal dari lidahnya. Dia pun mengambil satu sendok lagi, lalu satu sendok lagi, dan satu sendok lagi. Tanpa sadar Julia sudah mengangkat cangkir dan meminum seluruh kopinya.

Panas membakar tenggorokannya. Sensasi itu mengingatkannya saat dia tak sengaja menjatuhkan termos. Air panas melepuhkan kulit kakinya hingga berbekas sampai sekarang. Julia dimarahi karena tidak berhati-hati dan sepanjang malam Julia harus menahan perih dari kakinya.

Itu adalah salah satu pengalaman buruk yang ingin Julia lupakan. Meski demikian kejadian itu membawa kenangan indah yang mana dia bisa mendengarkan ayahnya menyanyikan lagu tidur sepanjang malam untuk membantunya meringankan perih. Rasa perih membuat Julia terjaga semalaman, tapi dia tak bisa mengingat apa saja yang terjadi.

Meski demikian kali ini dia bisa mengingat dengan jelas. Dia ingat lagu apa yang ayahnya nyanyikan, dia ingat betapa berkeringatnya dia, dia juga ingat ayahnya berulang kali mengusap tubuhnya. Ini adalah ingatan yang nyaris dia lupakan, tapi mengingat kembali kejadian itu memberikan ketakutan besar dalam diri Julia. Ketakutan yang selama ini coba dia sembunyikan.

“Waktu habis!”

Tepukan di pundaknya membuyarkan semua kenangan itu. Julia berkedip beberapa kali hingga wajah pelayan itu terlihat jelas.

“Tampaknya Anda melihat sesuatu yang tidak menyenangkan. Maaf untuk itu, tapi Anda dipersilahkan pergi sekarang.”

Julia terlalu bingung untuk menanggapi pelayanan yang tidak ramah tersebut. Buru-buru dia bangkit dan berjalan meninggalkan kafe dengan langkah cepat. Kenangan itu kembali memenuhi pikirannya. Semakin kenangan itu membuatnya takut semakin cepat Julia berjalan seolah berharap bisa kabur dari ingatan yang harusnya dia lupakan.

Tidak mungkin ayahnya melakukan itu. Itu hanya imajinasi Julia semata. Betul! Julia sebenarnya tidak ingat apa yang terjadi hari itu. Kopi yang dia minum pasti dicampur dengan sesuatu yang membuatnya membayangkan hal yang tidak-tidak. Ya. Pasti begitu. Pasti begitu!

***


Satu bulan kemudian kafe itu masih menjadi perbincangan banyak orang. Banyak yang curiga kafe itu benar-benar memasukkan narkoba ke dalam minuman mereka, tetapi BNN secara khusus datang untuk memeriksa kopi itu dan menyatakan tak ada kandungan narkoba apa pun di dalam kopi yang mereka jual.

Meski demikian pengunjung kafe perlahan-lahan menurun. Saat Julia kembali ke kafe itu sebulan kemudian hanya sedikit orang yang mengantri di luar kafe.

“Selamat datang kembali,” sapa pelayan dengan rambut poni berwarna putih.

“Kau ingat aku?” tanya Julia tak percaya.

“Aku punya ingatan fotografer jadi aku ingat semua yang pernah kulihat. Tidak menyenangkan, tapi tak bisa disangkal terkadang ini berguna,” jawabnya kemudian. “Namaku Kazu. Peraturannya masih sama. Apa kau tak keberatan berbagi meja dengan pengunjung lain?”

Julia mengangguk.

Julia tak pernah menyangka dia akan kembali setelah apa yang dia lihat satu bulan yang lalu. Sebagian besar dari dirinya masih menolak apa yang dia lihat, tetapi sebagian kecil (bagian yang paling jujur) menginginkan kebenaran.

Julia hanya punya 30 menit sejak kopi disajikan, tetapi dia masih ragu untuk meminumnya. Apakah dia benar-benar ingin tahu? Apakah pengetahuan yang ingin dia dapatkan sepadan dengan apa yang tengah dia pertaruhkan?

Akhirnya Julia pun menyesap kopinya perlahan-lahan. Ingatan masa lalu kembali memenuhi kepalanya.

Julia berumur 5 tahun. Ayah dan ibunya bertengkar sehingga ayahnya tidur di kamarnya.

Julia berumur 8 tahun. Mereka sekeluarga bermain ke pantai. Ayahnya memintanya duduk di pangkuannya.

Julia berumur 10 tahun. Ayahnya menemaninya membeli baju. Julia tak menyukai baju pilihan ayahnya.

Julia berumur 12 tahun. Dia melihat ayahnya keluar dari kamarnya ….

Kenangan demi kenangan kecil terus bermunculan sampai-sampai Julia tak ingin melihat lebih banyak. Dengan kesadaran yang tersisa Julia menampar pipinya sendiri, berharap rasa sakit membawanya kembali pada kenyataan.

“Hei, kau tak apa-apa?”

Saat kedua matanya bisa melihat Kazu dengan jelas, Julia mulai menangis.

***


Ada banyak alasan mengapa pengunjung yang datang ke kafe mulai berkurang. Beberapa orang memang melihat kenangan indah, tapi tak sedikit yang melihat kembali hal-hal yang sudah mereka lupakan. Beberapa orang seperti Julia malah menyadari sesuatu setelah mengenang kembali apa yang terjadi di masa lampau.

Kenangan memang sebuah pisau bermata dua. Baik dan buruk itulah yang akhirnya membentuk seorang manusia. Meski demikian bagaimana jika seseorang melihat sebuah kenangan baru? Anak kecil melihat dari sudut pandang anak kecil sedangkan orang dewasa melihat dari sudut pandang orang dewasa. Ada banyak hal yang memang sebaiknya tak diketahui oleh anak kecil.

Tangisan Julia tak menunjukkan tanda akan berhenti. Pemilik kafe memerintahkan Kazu untuk membawa Julia ke belakang. Di sana dia diberi segelas air untuk menenangkan diri, tetapi Julia tak sanggup untuk meminumnya.

“Kenangan memang bisa menyakitkan,” ucap Kazu perlahan-lahan, “tapi kenangan indah ada untuk menutupi kenangan pahit. Tutup matamu dan bayangkan hal paling membahagiakan yang pernah kau alami.”

Julia menutup matanya. Kira-kira apa kenangan yang paling membuatnya bahagia? Jika harus memilih maka itu adalah kenangan di kelas satu Smp saat dia dinyatakan sebagai juara kelas. Dia mendapat hadiah dari guru, semua orang menyelamatinya, orangtuanya membawanya makan di restoran mewah. Julia masih ingat betul rasa lobster yang dia makan di hari itu.

“Nah, begitu lebih baik.”

Kazu tersenyum dan kembali menawarkan air putih. Julia merasa lebih tenang setelah meminumnya, tapi ketakutannya sama sekali tidak menghilang.

Sekarang setelah dia mengkonfirmasi ketakutannya, apa yang harus dia lakukan? Ini bukan sekedar berdamai dengan masa lalu, sumber dari ketakutannya masih ada dan nyata bahkan hingga saat ini. Hidupnya tak akan pernah sama lagi. itulah harga yang harus Julia bayar untuk keingintahuannya.

“Kau tak bisa lari dari kenangan, itu hal yang harus kau pahami,” ucap Kazu seolah tahu apa yang sedang bergejolak dalam diri Julia. “Banyak yang bilang melupakan adalah anugrah, tapi semakin banyak kenangan yang kau ingat semakin kau tahu siapa dirimu. Jika kau tahu siapa dirimu kau akan tahu apa yang harus kau lakukan.”

“A-aku … aku nggak tahu harus gimana. Ayah … gimana caranya aku bisa pulang sekarang? Aku nggak mau pulang!”

Dan dia menangis seperti anak kecil. Kazu tak tahu harus mengatakan apa. Dia tak bisa menangani masalah jika tak tahu apa masalahnya. Julia bukan orang pertama yang mengalami hal seperti ini dan jelas dia tidak akan jadi yang terakhir.

“Apa kau mau melupakan yang sudah kau lihat?” Kazu bertanya. Untuk pertama kalinya Julia memberinya perhatian penuh. “Ada kopi yang bisa membuatmu lupa. Kalau kau mau aku bisa membuatnya.”

“Aku mau. Aku mau!”

“Kau yakin?”

Nada suaranya memberi kebimbangan pada Julia. Jika dia melupakan apa yang telah dia sadari maka apa yang akan terjadi padanya di masa depan? Bagaimana jika dirinya di masa depan kembali menyadari kenyataan? Bukankah melupakan hanya akan memperlambat penderitaan?

“Kenangan bukan cuma sumber kesenangan maupun kesedihan, kenangan adalah bekal untuk menghadapi masa depan. Kalau kau tak ingin mengingat segala hal yang membuatmu takut, kau tak akan tahu jika petaka sudah di depan mata. Melupakan hanya menunda penderitaan, tapi menghadapi penderitaan membuatmu lebih kuat. Itulah pelajaran yang harus kau ambil dari sebuah kenangan.”

Julia kembali terisak. Pilihannyalah yang sudah membawanya ke titik ini. Keingintahuan dan ketakutannyalah yang membuatnya menderita. Namun, sekarang dia mengetahui sesuatu yang penting. dia mengetahuinya sebelum terlambat. Dia punya kesempatan untuk mencegah hal lebih buruk terjadi.

“Terima kasih … untuk kopinya.”

Mendengar itu Kazu tersenyum. Bertambah lagi kenangan indah dalam memorinya.

“Kau tahu kenapa pengunjung kafe ini jadi semakin sedikit? Itu karena orang-orang pada akhirnya belajar untuk tidak hidup dalam kenangan. Kenangan memberikan kekuatan dan kekuatan akan memberimu lebih banyak kenangan indah. Sekarang pergilah, waktu 30 menitmu sudah habis sejak lama.”

Dan Julia pun tertawa.

Satu bulan kemudian, kafe itu berhenti beroprasi. Meski banyak orang masih membayar untuk melihat kenangan, kafe itu tak lagi menyediakan kopi. Sesekali Julia melewati jalan tempat kafe itu dulu berada, tapi sekarang kafe itu sudah menjadi studio foto yang mengabadikan kenangan-kenangan bahagia. Kenangan-kenangan bahagia memang menyenangkan, tapi kenangan buruk memberi lebih banyak pelajaran.

Itulah yang telah Julia pelajari dari kopi hambar yang harganya mahal itu.

***TAMAT***
pulaukapokAvatar border
kubelti3Avatar border
kelomangdaratAvatar border
kelomangdarat dan 11 lainnya memberi reputasi
12
758
10
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.