Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

dzaki999925Avatar border
TS
dzaki999925
Lahirnya Sang Hamba Iblis Part 2





Part 2.
Nilai dari sebuah kehormatan.

Sontak ucapan pria itu membuat kami semua terkejut. Kami saling pandang kebingungan dan ketakutan.

Pasalnya, apakah ada orang bodoh yang dengan rela memberikan kepalanya sebagai tumbal?

Bulu-bulu halus ku sampai meremang saat mendengar itu.

Si dukun juga tampak kebingungan.
Sesaat semua orang disitu hening tanpa suara.

Tiba-tiba tampak seorang pria lain dari arah kerumunan warga berjalan mendekati si pria yang kesurupan, pria itu adalah mas Joko, seorang buruh tani juga seperti ibuku.

“Demit sing njaluk aneh-aneh koyok ngene, ojo dituruti.” (Setan yang punya permintaan aneh-aneh kayak gini, jangan sampai di turuti permintaan nya) Ucap mas Joko sembari matanya setengah melirik ke dukun itu.

Lalu mas Joko melompat, tubuhnya seperti seringan kapas, dan kini dia sudah tepat berdiri di depan si pria kesurupan tersebut.

Mereka berdua berhadap-hadapan, dengan pandangan yang sama-sama tajam.

Si pria yang kesurupan masih dengan posisi merangkak layaknya harimau yang siap menerkam. Kemudian dia berkata.


“Wah, ada juga orang yang siap memberi kepala nya kepadaku” pria itu terkekeh.

“Nyai, sudah pasti seneng dapet hadiah kepala, dan otakmu itu,… otakmu itu daripada gak kamu pake berfikir, mending aku sedot habis” ucap nya lagi dengan diiringi tawa yang mengerikan dan air liur nya yang makin banyak bercucuran.

Kami semua yang menyaksikan pemandangan tersebut, ingin rasanya lari dari tempat itu, namun kami juga penasaran dengan apa yang akan terjadi.

Si pria kesurupan itu kini makin tampak mengerikan, dia merangkak mengelilingi mas Joko seolah seperti harimau yang mengamati mangsanya dan ingin mencengkram nya, dengan kedua matanya masih menyorot dengan tajam.

Mas Joko masih sangat tenang, tampaknya kata-kata mengerikan dari si pria kesurupan sama sekali tak mempengaruhinya.

Sedangkan si dukun hanya diam terpaku, dia mengamati dengan seksama. Seolah dia tau bahwa mas Joko bukan pria sembarangan.

Kemudian tanpa aba-aba mas Joko langsung memulai serangan dan secepat kilat menerjang si pria yang kesurupan, namun pria itu bisa menghindarinya dengan tetap dengan posisi merangkak layaknya macan.

Pria itu melayangkan cakaran nya ke mas Joko, namun mas Joko menghindarinya.
Berkali-kali si pria kesurupan menyerang dengan cakaran-cakaran ke arah mas Joko.

Mas Joko masih sangat tenang menghindarinya.

Tampak raut muka si pria yang kesurupan makin marah karena serangan nya tak ada yang mampu mengenai mas Joko.

Si pria itu meraung dan mengerang dengan sangat mengerikan serta tatapan matanya tajam memandang ke arah mas Joko.

“Semprul, sak Jane kowe sopo? Gak mungkin orang kampung duwe kekuatan koyok ngono” (siaalan , sebenarnya kamu siapa? Tak mungkin orang kampung punya kekuatan sebesar itu) ucap si pria kesurupan dengan terengah-engah.

Mas Joko hanya diam tak menjawab.

Hal itu malah membuat si pria kesurupan makin marah,
Lalu dengan secepat kilat dia melayang dan menyerang dengan kekuatan penuh kearah mas Joko.

Mas Joko kini tak nampak menghindar, dia terlihat bersiap melawan serangan itu.

Dan ketika benturan keduanya tak terhindarkan lagi, ternyata mas Joko lebih cekatan, dia melayangkan sikutan tepat di rahang pria itu.

Seketika pria itu jatuh terjerembab di tanah.

Mas Joko langsung mengusap wajah pria yang kesurupan itu, dengan telapak tangan kanan nya, sembari mengucap sesuatu yang dia ucapkan sangat lirih,

Yang mampu sedikit aku dengar, mas Joko berbisik

“Katakan kepada nyai mu, suatu saat aku akan datang untuk menghabisi nya” bisik mas Joko.

sejurus kemudian pria yang kesurupan itu berteriak, dan mengerang, lalu dia lemas, kemudian dia terlentang di tanah.

setelah itu mas Joko memandang sejenak pria yang kesurupan tersebut, yang kini telah terbaring lemas. lalu, dia berjalan kembali kearah kerumunan warga.

Namun dia tak berjalan ke arah tempat dia berdiri sebelum nya. Mas Joko berjalan kearahku, dan menghampiriku. Kini dia Menatapku dalam-dalam.

Dia tak tampak seperti biasanya, dia tampak serius kali ini, padahal biasanya dia suka bercanda.

Aku merasa dia bukanlah mas Joko yang aku kenal, apakah mungkin dia juga kesurupan?

Dan aku juga baru tahu kalau dia punya keahlian dan kekuatan untuk menyembuhkan orang kesurupan

Dia makin mendekatiku dan kami masih saling berpandangan. Sekilas aku berfikir, apakah ada yang salah dengan ku?

“Sri, ojo mbok terusne, kowe bakalan nyesel” (Sri jangan kau teruskan, kamu bakalan menyesal) ucap mas Joko dengan datar dan masih tetap memandangku.

Aku tak paham maksud perkataan nya, aku hanya terdiam kebingungan.

Lalu akupun membalas ucapan nya.

“Te… terusne opo mas?aku ra ngerti.”(melanjutkan apa mas, aku tak paham maksud mu”) balas ku kebingungan.

Mas Joko pun diam tanpa menjawab,dia masih terus memandangi mataku. Lalu kepala nya tertunduk dan kemudian dia seperti terhenyak, raut wajahnya nampak kebingungan, seperti layaknya seseorang yang baru sadar dari pinsan. dia bingung dengan dirinya sendiri.

“Mas terusne opo?” (Mas melanjutkan apa maksudmu) tanyaku lagi penasaran. Sambil menggoncang-goncang kan badan nya.

“Kamu ngomong apa Sri? Aku gak paham, barusan aku ngapain Sri? Kok badan ku pegal-pegal, terus orang-orang kenapa memandangiku? “ ujar mas Joko kebingungan.

Aku juga ikut kebingungan dengan sikap mas Joko. Aku melepaskan peganganku dari badan mas Joko, kemudian dia menggaruk-garuk rambutnya, meskipun tampaknya dia tak merasa gatal. Kemudian dia pun berlalu dari hadapan ku dengan masih menunjukkan raut muka kebingungan.

Acara ritual pun dimulai kembali. Mas Joko masih terlihat bingung ketika si dukun mengajak nya bicara.

Aku segera dengan lahap nya memakan makanan yang ada disitu. Dan tak lupa aku membungkus sebagian makanan itu dengan daun pisang dan segera aku bergegas pulang untuk kuberikan makanan itu kepada ibu dan adik-adik ku.

Sepanjang perjalanan pulang aku begitu riang. Aku sangat tak sabar melihat bagaimana bahagianya ibuku dan adik adikku ketika aku pulang dengan membawa makanan.

Meskipun sebagian hati ku masih ada yang mengganjal dan masih bertanya-tanya, apa maksud ucapan mas Joko.
Tapi ya sudahlah, aku malas memikirkan nya.
Mungkin mas Joko salah orang, gumamku dalam hati.

Setiba nya di pekarangan rumah, aku terkejut bukan kepalang. Aku melihat ibuku menangis sambil memeluk kedua adikku.

Mereka bertiga duduk bersimpuh di tanah, badan mereka penuh debu, dan kulihat wajah ibuku membiru seperti habis dipukul.

Tampak tiga pria berbadan besar berdiri dihadapan nya, sesekali pria itu mendorong badan ibuku dengan kakinya.

Aku langsung menghambur lari kearah ibuku, tak ku pedulikan lagi makanan yang ku bungkus daun pisang itu.

Segera kupeluk ibuku, kemudian dia langsung membalas pelukan ku.

Kupandangi pria-pria itu dengan tajam, aku mencoba untuk memberikan sinyal perlawanan kepada mereka lewat tatapan mataku, meskipun aku merasakan air mataku meleleh, dan membasahi pipiku.

Ibuku masih terisak, nafasnya tersengal-sengal, sarmito menangis keras ,si adikku Sarmun tak menangis, namun matanya sembab, dia tampak geram menahan tangis dan amarah.
Beberapa kali ibuku mengusap-usap rambut sarmito agar dia tenang.

“Oh kamu Sri ya, bilangin ke ibumu, kalau bapakmu dulu banyak utang ke aku. rumah dan tanah ini di gadaikan sertifikatnya buat jaminan, sakarang, rumah dan tanah ini mau tak ambil buat ternak sapi.” Ucapnya berapi-api.

Orang itu namanya pak Harsono. Badan nya tak terlalu tinggi, perutnya besar, seperti perempuan yang sedang hamil, jari-jemarinya gemuk-gemuk, diantara jarinya terselip pipa rokok yang mirip gading gajah ukuran kecil.
Wajahnya sangat menyebalkan, dengan bibir tebal yang beberapa kali mengeluarkan asap yang mengepul menutupi sebagian wajahnya.
Pak Harsono adalah seorang juragan sapi dan petani sukses yang kaya raya.

Dia juga terkenal sebagai seorang rentenir, dia gampang miminjamkan uang ke orang orang dikampung ku tapi kalau tak bisa bayar maka orang yang meminjam itu bakalan dibuat ketakutan dan babak belur oleh para centeng atau pengawalnya.

“Sing utang bapakku yo njaluko neng bapak ku kono. Ibuku ra duwe opo-opo, ibuku ojo mbok ganggu!! (Yang punya hutang kan bapak ku, jadi mintalah ke bapakku saja, karena ibuku tak punya apa-apa, jangan kau ganggu ibuku!!!) balasku dengan ketus sambil masih terisak.

“Bocah Ayu-ayu kok lambene pedes?? Wes kowe dadi bojoku wae, engko utang e bapakmu tak anggep lunas, penak to, urip karo aku dijamin Mulyo” (anak secantik kamu kok kata-katanya kasar? Ya udah, kamu jadi istriku saja, nanti hutang bapakmu aku anggap lunas, enak kan? Hidup bersama dengan ku dijamin sejahtera) rayunya dengan wajah yang sangat menjengkelkan.

“Ra doyan aku karo dapuran mu, aku mending urip mlarat timbang rabi karo uwong sing kelakuane bejat”(Gak sudi aku menikah dengan mu, mending aku hidup miskin daripada menikah dengan manusia yang kelakuan nya buruk) umpatku kepadanya.

Centeng nya langsung bereaksi dan ingin memukulku. Namun langsung di cegah oleh pak Harsono.

“Yo wes, ya sudah, aku cuma nawari, kalau gak mau ya tak usah marah-marah. Nyatanya ibumu itu gak bakalan bisa bayar utang, jadi…
Yo terpaksa besok gubuk reyot mu itu aku bongkar. Makane jadi orang miskin itu jangan sombong, ditawari enak-enak kok gak mau” ucapnya dengan licik yang disambut gelak tawa para centeng nya.


“Uwis Nduk ra usah ngomong maneh, engko kowe malah di gebuki Nduk, uwis nduk” (udah nak, gak usah balas omongan mereka, ntar kamu malah dipukuli, udah nak”) cegah ibuku kepadaku sambil masih terisak-isak.
Sehingga aku pun tak meneruskan ucapanku ke pak Harsono.

Pak Harsono mendekatiku, wajahnya sangat dekat sekali ke wajahku, hingga aku bisa melihat hidung nya yang besar, dengan banyak bulu-bulu hidung yang berhamburan keluar dari lubang hidungnya.

“Pikiren neh tawaranku Nduk, nek ra gelem dadi bojoku yo…….(pikirkan lagi tawaranku nak, kalau gak mau jadi istriku ya…)

Dia berhenti bicara sejenak, kemudian mata nya berkeliling melihat bagian tubuhku, sambil lidahnya sedikit menjulur, menyapu bibirnya yang tebal.

Aku sangat risih diperlakukan seperti itu, apalagi oleh pria tua yang menjijikkan ini.

“Hehe, kowe paham kan, kali aja kamu berubah pikiran, aku tunggu kamu nanti malam dirumah ku. Semalam saja, setelah itu utang bapak mu tak anggep lunas. Gimana? Enak kan urusan sama aku, wes lah nurut aja enak kok, aku juga lembut kalau sama wanita cantik, daripada ibumu yang udah tua itu menderita Nduk gara gara utang bapakmu. “ucapnya berbisik dengan senyum licik penuh kemenangan. Dan kemudian dia meniupkan asap rokok ke wajahku, dengan bau asap yang sangat menyengat, dan membuat aku terbatuk.

Lalu pak Harsono pergi, diikuti oleh centeng nya sambil masih tertawa tawa.
Dari kejauhan masih tampak asap rokoknya mengepul, seolah dia sangat bahagia dengan apa yang dia lakukan barusan kepada kami.

Seperti nya ibuku tak mendengar percakapan ku yang terakhir dengan pak Harsono. Karena dia masih sibuk menenangkan sarmito sedangkan Sarmun kulihat masih kesal, dia seperti kesal dengan dirinya sendiri, dia merasa lemah dan tak mampu membantu ibu nya.

Kami berempat berpelukan bersama sambil menangis. Kulihat Sarmun juga mengeluarkan air mata. Aku paham dia anak laki-laki yang selalu merasa kuat, namun dengan kejadian kali ini, air matanya meleleh juga.

Seketika aku langsung teringat dengan makanan yang aku bawa dari punden, aku segera bergegas berlari untuk mengambil makanan itu. Dan aku sangat kecewa karena makanan ku telah menjadi ajang pesta bagi ayam-ayam. Makanan itu telah dikerubungi ayam dan sudah hampir habis.

Aku melenguh dan menghembuskan nafas dengan kasar, Ketika aku Melihat makanan yang tadinya ingin kuberikan ke ibu dan adik-adikku kini telah dipatok ayam.

Aku jatuh terduduk di depan makanan itu, aku melihat ayam-ayam dengan asyik mengacak-acak makanan itu. Sesekali kulihat cakar-cakar ayam itu mengacak-acak seperti mencari sesuatu dalam makanan itu.

Akupun melamun dan tertegun memandang ayam-ayam itu. Aku membayangkan, apakah aku harus menyerahkan kehormatan ku kepada si brengsek Harsono itu?

Aku kasihan melihat penderitaan ibuku. Apakah pengorbananku sepadan.

Bukan kah kami juga sudah tak punya kehormatan dengan diinjak-injak seperti ini?
Jadi apa salahnya jika kuberikan kehormatan ku padanya?

Aku hanya melamun dan terdiam. Aku masih tak mengerti langkah apa yang harus ku ambil.
Besok gubuk kami akan dihancurkan.

Aku diantara dua pilihan. Kehormatan ku yang hancur atau gubuk tempat tinggal satu-satunya kami yang hancur.

Aku memandangi kedua telapak tangan ku yang kotor dengan noda tanah. Ku lihat tetes air mata ku jatuh ditelapak tangan ku yang kotor itu,
Lalu ku tutup wajahku dengan tangan ini, dan akupun menangis. Tangis yang dalam, hingga tangis itu sampai tak mengeluarkan suara.


Bersambung…
pulaukapokAvatar border
MFriza85Avatar border
motherparker699Avatar border
motherparker699 dan 7 lainnya memberi reputasi
8
635
8
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.4KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.