“Al jabar, kenapa kamu menyusahkan sekali,” rutuk Raya dengan wajah kusutnya, setiap kali pelajaran matematika gurunya tak pernah absen untuk memberi tugas. Bukan pilihan ganda yang bisa di cap cip cup, namun sepuluh soal essay dengan jawaban yang sangat panjang.


Tok! Tok! Tok!

Raya segera menghampiri pintu kamarnya, wajahnya kian lesu. Ia sudah tahu siapa yang akan datang. Meski engga, ia tetap harus membukakan pintu. Ibunya datang, tidak sendiri melainkan dengan Shana, teman satu kelasnya. 

Hanya ada dua alasan Shana selalu datang ke rumahnya.

Yang pertama, ia ikut karena ibunya datang untuk perkumpulan ibu-ibu dan tak berani di rumah sendirian. 

Yang kedua, ada tugas yang tak bisa di pecahkannya dan kali ini, ia datang untuk ke dua alasan tersebut. 

“PR-mu udah?”
“Belumlah, hebat banget kalau ada yang bisa ngerjain.”

“Aku udah dong, di internet ada semua lengkap sama pembahasannya, tinggal copy paste deh. Guru kita ternyata ga sekreatif itu bikin soal, cuma copy paste dari soal yang ada di internet.”

Dugaan Raya meleset, kedatangan Shana kali ini menguntungkannya. Ia datang karena tak berani di rumah sendirian. 

“Kalau gitu ibu tinggal ya, jangan keluar kamar kalau kalian ga mau disuruh-suruh,” titah Kinar─Ibu Raya. Keduanya mengangguk setuju.

Kinar meninggalkan Raya dan Shana. Meninggalkan dua gadis itu yang mulai hening dengan kesibukan masing-masing. Shana yang asyik dengan ponselnya dan Raya yang mulai fokus menyalin jawaban Raya.

Jika mengerjakan soal, Raya bisa menghabiskan waktu sampai tengah malam, berbeda dengan hari ini. Tak sampai setengah jam, ia sudah selesai menyalin jawaban sebanyak lima halaman. 

“Kelar juga, makas─Shan ... tidur?” Raya mengibaskan tangannya di depan wajah temannya yang tak bergeming.
“Suka sembarangan banget kalau tidur.”

Raya memilih untuk keluar kamarnya, bukan untuk menghampiri ibunya. Ia tak mau jadi suruhan mereka, ia keluar untuk mengambil air minum karena dahaga yang tak tertahankan. Saat kembali dengan botol minum dingin dipelukannya, langkah Raya terhenti mendengar percakapan yang begitu membuatnya penasaran.

“Pinter banget kamu kalau ngedit foto, Aku kalau jadi Wulan juga ngamuk parah lihat hasilnya bisa semeyakinkan ini.”

Raya jelas mengenali suara itu. Suara ibunya, Kinara. Ia kian memfokuskan pendengarannya, merasa perbincangan yang di dengarnya begitu ganjil.

“Lho ... jangan salah, ini bukan editan. Aku yang nyuruh itu perempuan buat asal peluk dan cium Yuda dan jepret! Dapet tangkepan sebagus ini.”

‘Ini suara Bu Laras,’ batin Raya.

“Orang asli ini? Tapi sampai jalan bareng gini juga bukan editan? Pas banget depan hotel lho fotonya.” Raya kian terdiam, mendengar suara ibu Shana yang begitu antusias. 

Raya bukan gadis bodoh, dari setengah percakapan saja ia paham maksud dan arah pembicaraan mereka. Kejadian Bu Wulan dan Pak Yuda di rencanakan oleh mereka.

“Ya bukanlah, asli ini. Cewek tongkrongan bar udah handal banget naklukin cowok jadi beres dan kalau yang hotel editan emang, aslinya mereka jalan biasa cuma backgroundnya diganti jadi depan hotel. Biar kaya mau check in.”

“Wah mantap! Padahal baru kemarin lihat di sosmednya mesra banget, sekarang berantem hebat,  ga nyangka bisa seseru ini. Jadi ga sabar lihat besok.”

Ketiga wanita itu tertawa begitu puas, ada satu kesamaan yang mereka miliki, mereka semua berstatus janda.

Baca bab sebelumnya di Kampung Janda - Chapter 1


Disclaimer:

Cerita ini adalah karya pribadi saya. Saya tidak mengizinkan penyebaran ulang cerita ini ke media manapun tanpa izin tertulis dari saya. Mohon menghormati karya ini dan jangan menyebarkan cerita ini ke media sosial, situs web, atau platform lainnya tanpa persetujuan saya yang sah. Terima kasih atas pengertian dan kerjasamanya.