cattleyaonlyAvatar border
TS
cattleyaonly
[Kumcer Hisfic] Suatu Malam di Lembah Para Raja


Jika saja Profesor Parikesit mau sedikit lebih lama menatap mata Shaby, dia akan melihat gejolak Sungai Nil di pagi ini, atau lorong-lorong sunyi menuju makam firaun yang membuat wanita itu menjadi begitu pemberani. Namun, sayang sekali, ada banyak wajah di depannya yang harus dilihat sang profesor, sebagai arkeolog senior yang memberikan pengarahan pagi itu.

Penggalian makam bersejarah di barat Sungai Nil sejauh ini telah menemukan tiga puluh sarkofagus, peti mati dari batu atau kayu yang dihiasi ukiran wajah dan huruf hieroglif. Di dalamnya ada mumi-mumi yang diperkirakan sudah berusia 3500 tahun. Shaby, gadis dengan mata hazel itu mestinya turut berbangga hati karena Profesor Parikesit mengajaknya serta, tetapi nyatanya perasaan seperti itu tak pernah hadir di benaknya. Bahkan, dia merasa tidak tenang dengan adanya Yayat, yang juga merupakan asisten profesor, selain dirinya.

Jam di pergelangan tangan Shaby menunjukkan pukul sembilan pagi, ketika sebuah sarkofagus dibuka di hadapan media. Kilauan lampu kamera para wartawan terlihat menyilaukan. Shaby duduk kira-kira sepuluh meter dari kerumunan awak media itu untuk membersihkan sarkofagus-sarkofagus dengan sangat hati-hati. Kuas kecilnya bagai menari Serimpi di atas kayu-kayu yang berusia ribuan tahun itu.

Beberapa meter dari tempat Shaby duduk, Yayat dan beberapa orang tengah membuka sebuah sarkogafus. Shaby hanya melihat sekilas, tetapi dia bisa mengartikan makna dari balik mata lelaki itu. Tatapannya seperti seekor rubah yang siap menerkam. Namun, Shaby bukanlah anak ayam yang takut dengan rubah.

Seperti aliran Sungai Nil yang tak pernah mengeluh untuk sampai ke muara, Shaby begitu tekun menggapai impiannya. Dia laksana perahu layar dan angin yang mendorong layarnya adalah air mata ibunya yang teramat asin. Air mata asin dari kesedihan itu kini mengkristal dalam hati Shaby dan mendorongnya merencanakan balas dendam dengan teratur, sabar, elegan, tetapi mematikan. Dia terpaksa mengambil jalan gelap itu meskipun sepanjang hidupnya, sang eyang selalu mengajarkan tentang belas kasih.

“Siapa wanita di kamar belakang itu, Eyang?” tanya Shaby bertahun-tahun yang lalu. Biasanya sang eyang mengalihkan pembicaraannya, atau tidak menjawab apa-apa. Namun, hari itu lain, Eyang menatapnya dengan mata berkaca-kaca.

“Dengarkan Eyang, Shaby. Namanya Retno. Dia ibumu. Wanita yang dikurung itulah yang telah melahirkanmu.”

“Jika dia ibuku, kenapa dikurung di dalam kamar, Eyang?” Mata hazel Shaby menatap ragu. Mata itu warisan dari ayah biologisnya yang berdarah campuran Jawa-Belanda.

Eyang hanya menggeleng-gelengkan kepala kemudian bahunya berguncang-guncang karena isak tangisnya. Bertahun-tahun kemudian, Shaby baru mengerti bahwa ibunya menderita depresi berat karena lelaki yang telah menanam benih di rahimnya tidak mau bertanggung jawab.

“Ibumu arkeolog tercerdas yang pernah Eyang tahu.” Begitu wanita tua itu selalu membanggakan anaknya di depan Shaby. Di mata tuanya yang telah lamur, kebanggaan itu tak pernah padam meski ditimpa berlembar-lembar kesedihan.

Menjadi piatu di usia remaja tanpa tahu siapa ayahnya membuat Shaby tumbuh menjadi gadis yang berbeda. Dan kini dia telah membuktikan bahwa dirinya memang benar-benar berbeda, setidaknya, itulah yang dikatakan bayangan dalam cermin setiap kali Shaby menatapnya.



Sore itu di tepi Sungai Nil yang permukaan airnya berkilau ditimpa cahaya keemasan, Shaby berdiri sambil menggenggam kopi kalengnya. Sorot matanya seolah berusaha menembus kedalaman air yang beriak karena angin.

“Kau tampak tidak baik-baik saja,” tegur Laila, salah satu arkeolog dari Mesir yang melakukan penggalian bersama Shaby. Wanita itu bercadar, sehingga Shaby hanya bisa melihat kedua matanya saja.

Shaby hanya tersenyum tipis.

“Maaf, aku mencampuri urusanmu,” kata Laila lagi dengan bahasa Indonesia tetapi beraksen Mesir yang masih kental.

“Sejak kapan kau belajar bahasa Indonesia?”

“Sejak aku memiliki ketertarikan pada orang Indonesia,” jawab Laila.

Shaby tertawa. “Jangan sampai kau menyukai Yayat!”

Kini ganti Laila yang tertawa. “Tentu saja tidak. Kau juga pasti tidak mau dengannya, bukan?”

“Apa menurutmu dia mirip buaya Sungai Nil?”

Laila terbahak.

Senja semakin tua. Jingga sinar mentari memantul dari permukaan Sungai Nil. Laila berpamitan kembali ke tendanya karena sebentar lagi masuk waktu salat Magrib

Malam itu, beberapa orang memutuskan untuk tidur di tenda tak jauh dari lokasi penggalian, termasuk Shaby, Laila, Profesor Parikesit, dan Yayat. Mereka mengobrol sebentar setelah makan malam kemudian masuk ke tenda masing-masing, meski malam itu purnama bersinar sangat elok.

Di dalam tendanya, Profesor Parikesit tidak langsung tidur. Dia merapikan catatan-catatannya dan meneliti satu per satu. Ketika pekerjaannya selesai, dia melirik jam tangannya kemudian bergegas membongkar tasnya untuk mencari sesuatu. Namun, sesuatu yang dicarinya lenyap.

“Yayat, kau lihat peta di tasku?” tanya Profesor Parikesit kepada Yayat yang satu tenda dengannya.

“Tidak tahu, Prof.”

“Keparat! Pasti ada yang sudah mencurinya!” Napas Profesor Parikesit terengah-engah karena amarah.

“Kau selidiki Laila dan Shaby. Aku curiga mereka yang mencurinya. Terutama Shaby. Mungkin dia diam-diam tahu aku memiliki peta itu. Aku akan ke lokasi.” Setelah berkata seperti itu, Profesor Parikesit segera keluar tenda dan berjalan menuju lokasi penggalian. Cahaya bulan memudahkannya mencari jalan. Tak masalah baginya jika peta itu telah hilang. Dia telah hafal di luar kepala. Namun, dia tidak ingin orang lain tahu keberadaan harta bersejarah yang tersimpan tak jauh dari makam-makam tua itu.

Angin yang berembus dari lembah Sungai Nil terasa begitu dingin sehingga Profesor Parikesit merapatkan jaket kulitnya. Beberapa menit kemudian lelaki tua itu sudah menelusuri lorong penggalian. Dia memakai lampu kepala untuk menerangi jalan. Di balik dinding yang tertutup batu granit di ujung lorong ke sembilan ada sebuah peti harta yang lelaki itu yakini berasal dari masa 1500 tahun sebelum Masehi. Sebuah legenda mengisahkan tentang sebuah tongkat Firaun yang terbuat dari emas dan memiliki kekuatan mistis.

Profesor Parikesit telah merebut peta harta bersejarah itu dari seorang arkeolog Mesir yang bernama Mirza pada saat penggalian makam lima tahun yang lalu. Bahkan dia terpaksa membunuh Mirza, karena pria itu tidak mau menyerahkan peta itu. Profesor Parikesit telah menyelidiki kebenaran legenda dan peta itu. Dan kini dia merasa waktu untuk membuktikannya sudah tiba.

Saat Profesor Parikesit membuka pintu baru granit, terlihat sekelebat bayangan. Namun, dia tidak terlalu yakin ada orang yang tahu tempat di balik pintu batu granit itu. Mungkinkah itu bayangan mumi-mumi tua yang telah dibongkar sarkofagusnya? Profesor Parikesit mencebik. Dia tidak percaya dan tidak akan peduli sekalipun mumi-mumi itu bangkit dan mendatanginya. Dia meneruskan penggaliannya malam kemarin dengan tenang. Setelah menggali sejauh setengah meter, matanya tertumbuk pada kilauan peti yang terbuat dari tembaga. Dia segera menarik peti yang hanya dikunci dengan sebuah pengait. Sekali geser, tutup peti itu terbuka. Betapa terkejut sang profesor ketika melihat isinya. Garam! Darahnya terasa mendidih seketika. Bertahun-tahun menyelidiki dan mencari peti itu ternyata isinya hanya barang yang tak berharga.



“Anda terkejut, Profesor?” Suara itu membuat Profesor Parikesit tersentak. Bergegas dia berbalik. Dia melihat sosok yang begitu dikenalnya.

“Aku tahu, kau pasti yang mencuri peta itu, Shaby.”

“Anda salah, Profesor, saya tidak pernah menyentuhnya. Saya tahu tempat ini karena saya mengamati gerak gerik Anda.”

“Di mana kau sembunyikan tongkat itu?”

“Tongkat? Anda membicarakan apa? Itulah harta bersejarah bagi warga Mesir zaman dulu. Garam! Anda tahu, bukan, proses pembuatan dinding-dinding piramida? Mereka menggunakan garam untuk menguapi batu lumpur dan lumpur kapur di atas tungku.”

“Omong kosong! Kembalikan tongkat itu!” Profesor Parikesit melesat dan melayangkan tinjunya. Namun, Shaby yang hampir seumur hidupnya belajar karate berhasil mengelak, hingga pukulan itu mengambang di udara. Sebaliknya Shaby membalas pukulan Profesor Parikesit dengan kepalan tangannya yang mengarah ke dada. Sang profesor berusaha mengelak tetapi pukulan Shaby telah terlebih dulu mengenai dadanya. Lelaki itu menyeringai.

“Itu salam dari Retno, ibu saya.”

“Jadi kau anak Retno? Persetan dengan ibumu yang gila itu!” Profesor Parikesit mencoba memukul Shaby, tetapi wanita itu berhasil menangkis dengan lengannya, lalu memukul dada sang profesor dua kali secara beruntun dan menendang perut. Profesor Parikesit terdorong mundur. Dia memuntahkan darah yang terasa asin.

“Itu untuk air mata Ibu selama bertahun-tahun.” Shaby berkata dengan sinis.

Profesor Parikesit tertawa.

“Kau tahu, ibumu menyerahkan tubuhnya seperti seorang pramuria!” Profesor Parikesit terbahak.

Panas hati Shaby saat mendengar kata-kata kotor dari lelaki yang seharusnya menjadi ayahnya itu. Kini, keputusannya sudah bulat, dia akan membunuh lelaki itu di sini, di kedalaman dua belas meter dari permukaan tanah, dan mengubur lelaki itu bersama para mumi.

Saat Shaby hendak menyarang Profesor Parikesit, punggungnya terkena tendangan Yayat yang tiba-tiba muncul di tempat itu. Kini, pertempuran menjadi sulit bagi Shaby. Dengan tangan kosong, Shaby menghadapi dua lelaki sekaligus. Sayang sekali, Yayat memiliki ilmu bela diri yang sebanding dengannya. Bersama Profesor Parikesit, dia berhasil membuat Shaby tersudut. Yayat berhasil memukul dada Shaby sehingga wanita itu memuntahkan darah segar dari mulutnya. Dia ambruk ke tanah.

Shaby pingsan. Ketika siuman, dia hanya bisa menatap kegelapan. Dia teringat apa yang telah terjadi beberapa waktu yang lalu. Dia sungguh jijik dengan dirinya sendiri. Lelaki yang memiliki topeng wajah tersohor itu ternyata hanyalah iblis. Shaby terbatuk-batuk dan berusaha meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Namun, tempat itu begitu pengap.

Seberkas cahaya masuk ke mata Shaby. Ketukan langkah terdengar semakin dekat. Shaby berpura-pura pingsan sampai terlihat siapa yang datang.

“Bangunkan dia!” Terdengar oleh Shaby suara profesor Parikesit.

Sebuah tangan mengguncang-guncang Shaby, tetapi wanita itu berpura-pura masih pingsan. Beberapa saat kemudian tercium aroma menyengat di dekat hidungnya sehingga mau tidak mau Shaby menghindar.

“Tunjukkan di mana kau sembunyikan tongkat emas itu!” perintah Profesor Parikesit.

“Sudah kubilang aku tidak tahu.”

“Sebaiknya kulenyapkan saja dia! Wanita ini benar-benar tidak berharga!” seru Profesor Parikesit dengan geram.

“Bunuh saja dia, Prof. Buang mayatnya ke Sungai Nil.”

“Usul yang bagus. Wanita ini memang tidak berguna.”

Saat peluru dari mulut pistol Profesor dimuntahkan, refleks Shaby menghindar. Pertarungan tak bisa dihindari, karena itu Shaby melawan sekuat tenaga. Tendangan-tendangannya yang kurang akurat berhasil diantisipasi Yayat. Sebaliknya lelaki itu mendaratkan tendangannya berkali-kali ke dada dan perut Shaby. Wanita itu menyemburkan darah dari bibirnya. Dia tampak kelelahan dan lemah. Tubuhnya nyaris limbung jika saja dia tidak berpegangan pada pintu.


“Kuberi kau kesempatan sekali lagi, di mana kau sembunyikan tongkat emas itu?” teriak Profesor Parikesit yang begitu terobsesi dengan benda itu dan ingin memilikinya seorang diri.

“Persetan denganmu, Tua Bangka! Pergilah ke neraka!”

Profesor Parikesit mengarahkan pistolnya kepada Shaby. Terdengar suara klik yang artinya begitu pelatuknya di tekan peluru itu akan segera meluncur. Namun sesaat sebelum peluru sang profesor melayang ke arah Shaby, terdengar letusan senjata api yang lain, berikut suara teriakan kesakitan Profesor Parikesit.

Ketiga orang yang sedang terlibat pertarungan itu terkejut. Mereka melihat seorang wanita bercadar dengan pistol yang mengacung.

“Laila?” Shaby segera beringsut mendekati Laila.

“Katakan padaku, kau ingin lelaki itu dibunuh dengan cara apa?”

“Jangan gila kau, Laila! Kenapa kau ingin membunuh Profesor?” seru Yayat.

“Dia mencuri sesuatu dari Negeriku, dari ayahku, dan kebahagiaan dalam hidupku.”

“Jangan banyak mulut, Laila, aku tidak tahu apa yang kau katakan!” seru Profesor Parikesit sambil menahan sakit di lengannya yang mengucurkan darah karena terkena tembakan Laila.

“Kau masih ingat Mirza? Bagaimana caramu menghianati kepercayaannya? Bagaimana caramu membunuhnya? Kau tahu, Mirza adalah ayahku!”

Profesor Parikesit terbahak. Yayat segera mengambil tindakan. Dia mengarahkan pistolnya kepada Laila. Namun Shaby terlebih dulu menendang tangannya, hingga saat Yayat menarik pelatuk pistolnya, peluru mengarah ke langit-langit. Hal itu dimanfaatkan Laila untuk menyerang Profesor Parikesit. Pertarungan tangan kosong itu berjalan sengit. Profesor Parikesit dan Yayat berusaha meraih pistolnya yang terjatuh, tetapi Yayat justru terpeleset pada galian sedalam dua belas meter, yang di dalamnya terdapat sarkofagus dari batu granit. Tubuhya terbanting mengenai batu itu dan dia tidak lagi bersuara.

Profesor Parikesit sendiri melawan dua wanita yang sama-sama memiliki dendam padanya. Pukulan-pukulannya tidak terarah, sehingga Shaby dengan mudah mendaratkan tendangannya ke dada profesor itu hingga terpental ke belakang dan menabrak dinding terowongan.

“Katakan padaku Shaby, aku harus langsung menembak kepalanya atau menyiksanya lebih dulu?” Laila menggeram.

Shaby teringat eyangnya dan segala nasihat kasih sayang yang diberikannya. Dia mulai bimbang. Harusakah membunuh lelaki yang telah menjadi sebab lahirnya ke dunia? Matanya berkaca-kaca.

“Biarkan saja dia! Dia sudah sekarat!” kata Shaby lalu berbalik dan melangkah pergi. Namun, Profesor Parikesit berhasil meraih pistolnya dan segera menembakkannya kepada Shaby. Bersamaan dengan itu, satu peluru yang dimuntahkan dari moncong pistol Laila mengenai tangan Profesor Parikesit yang memegang pistol dan satu peluru lainnya menembus jantung lelaki itu.

Saat Profesor Parikesit sekarat, Shaby roboh ke tanah. Punggungnya telah ditembus timah panas. Laila bergegas membawa Shaby keluar dari terowongan dan meminta pertolongan. Sambil menunggui Shaby di dalam ambulans dia mengingat tongkat emas peninggalan raja-raja Mesir jaman dulu. Dia masih bertanya-tanya, siapa yang telah mengambil benda itu meski dialah yang mencuri peta dari Profesor Parikesit. Saat dia menemukan peti itu sebelum Profesor, dia hanya melihat garam di dalamnya.

Terima kasih sudah membaca thread ane. Semua kisah ini adalah kisah fiksi yang mengambil latar sejarah.

Sumber foto:
Pixabay free pict

wahody13Avatar border
bukhoriganAvatar border
riodgarpAvatar border
riodgarp dan 7 lainnya memberi reputasi
8
749
13
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.8KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.