Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

tyatutuAvatar border
TS
tyatutu
Air Mata Prajurit di Perbatasan Natuna
Tiada yang lebih menyesakkan daripada tinggal jauh dari keluarga dan hidup serba terbatas di pulau perbatasan. Itulah yang dialami banyak tentara kita di Pulau Sekatung, Natuna yang berbatasan dengan Laut Cina Selatan dan Vietnam.

Pagi-pagi benar kami sudah berangkat menuju Pulau Sekatung dari Pulau Laut. Jarak antar pulau ini tidak jauh dan ombaknya pun cenderung aman. Bahkan kami dimanjakan dengan langit biru dan laut yang berwarna hijau turquoise dan sungguh ramah cuaca hari ini. Pulau Sekatung adalah pulau yang tidak ditinggali oleh penduduk melainkan hanya tentara saja. Sebabnya pulau ini merupakan garda terdepan Indonesia dan menjadi pulau paling luar di Indonesia.



Sesampainya di pulau yang luasnya mungkin sekelurahan di Jakarta ini tak banyak aktivitas yang terlihat. Hanya ada beberapa bangunan kayu dengan luas yang tak seberapa. TNI yang ikut kami langsung menginstruksikan jajarannya untuk apel. Mereka juga mengeluarkan senjata mereka yang rupanya lama disimpan sehingga harus dibersihkan dulu. Selepas apel dan berdoa saya diajak ke beberapa bagunan yang merupakan dapur sampai ke tempat mesin diesel yang merupakan sumber listrik bagi mereka.

Listrik memang ada walau terbatas tergantung ketersediaan BBM pengisi mesin diesel. Saya juga penasaran dengan sinyal HP iya benar saja boro-boro sinyal internet sinyal telepon pun timbul tenggelam. Tapi ada yang unik, ternyata para prajurit menjajarkan HP mereka di tepi pantai sembari merokok dan duduk menanti sinyal. Saya pun geli melihatnya dan merekapun tertawa. Bagi mereka ini adalah tempat nongkrong favorit selama di pulau ini. Katanya, dulu ada provider Telkomsel membantu mereka sehingga mereka bisa tetap terhubung dengan keluarga. Namun sudah beberapa tahun terakhir rusak dan tak ada lagi yang membuat mereka mendapatkan sinyal. Kasihan.



Saya pun memilih dua dari banyak prajurit untuk bercerita kisah mereka selama di sini. Di sini momen haru sekaligus sedih terjadi lebih dari sekadar hilang sinyal ataupun listrik. Saya pun untuk pertama kali membuat prajurit menangis dengan pertanyaan saya. Dia adalah prajurit satu Ferry Hardiansyah yang semula bercerita betapa rindu dirinya dengan sang kekasih di Teluk Buton Kepri. Namun tiba-tiba Ferry menjadi sendu saat bercerita tugas di perbatasan membuatnya tak bisa melihat sang ayah terakhir kali. Ya, lagi-lagi masalah sinyal membuat Ferry terlambat mengetahui ayahnya tiada. Baru di hari ketiga setelah kematian, Ferry tahu kabar duka itu. Sesal masih memenuhi rongga dadanya, beruntung saat itu dia dapat izin kembali ke kampung halamannya.



“Saya berdoa terus agar ayah saya tenang di sana diterima amal ibadahnya dan ditempatkan di sisi Allah. Saya pengen bahagiakan ibu saya, jaga adek saya. Insyaallah pulang dari sini berangkatin umrah ibu saya. Kita sebagai abdi negara nggak boleh cengeng, nggak boleh nyerah dengan keadaan. Harus tetap semangat karena jalan masih panjang dan butuh perjuangan yang lebih lagi buat masa depan. Tetap semangat NKRI harga mati!” tegasnya

Mendengarnya saya bangga sekaligus merasa begitu pahit. Andai saja kabar itu datang lebih cepat setidaknya Ferry bisa menyolati ayahnya. Ada juga cerita cerita prajurit lainnya yang bukan berjuang hanya di perbatasan tapi berjuang menahan rindu berjarak dengan anak dan istri. Di balik tubuh tegap mereka, tak jarang mereka mengaku menangis. Apalagi saat anak yang ditinggalnya mengeluh kenapa sang ayah tak pulang-pulang. Lainnya lagi harus meninggalkan istrinya yang hamil, terbayang seberapa khwatirnya kan.



Saya pun merasa mereka butuh insentif untuk mendukung daya juang sekaligus pengorbanan mereka. Tapi itu memang cuma sekadar keinginan karena saya dihadapkan dengan kenyataan pahit lainnya terkait sarana prasarana di perbatasan. Saat itu kami harus mengambil gambar yang menunjukkan saat-saat prajurit ini berpatroli dan bersiaga mengamankan Indonesia. Hanya sebuah kapal kayu berukuran sedang yang dicat hijau lumut yang jadi andalan mereka. Aduh, perahu ini bahkan bisa bocor kalau ditembaki musuh. Bahkan kecepatannya pun tidak bisa menyamai kecepatan perahu kami milik BUMN.






Kami pun menunjukkan foto dan video ini dan berujung tidak bisa tayang. Walau begitu, di tengah keterbatasan apapun tak ada kata mengeluh yang diungkapkan para prajurit mereka menerima apa adanya tugas yang diberikan sungguh loyalitas tiada tara. Pengalaman ini membuat hati saya meluap-luap bangga sekaligus miris bahkan sampai sekarang saat saya menulis cerita mereka. Semoga ada perubahan pada wajah perbatasan Indonesia bukan cuma PLBN alias Pos Lintas Batas Negara aja yang dibagusin tetapi juga pos-pos keamanan terluar. Biar kita tetap aman dan gak diledek tetangga. Aduh!

Ada juga kisah sedih lainnya yang bakal segera rilis kali ini soal layanan kesehatan di perbatasan. Tungguin terus di [url= [url]https://tyatutu.wordpress.com]sini.[/url][/url]




 








0
361
1
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Travellers
TravellersKASKUS Official
23.1KThread11.5KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.