- Beranda
- Stories from the Heart
Kayla (Hitam Putih Cinta)
...
TS
Leny.Khan
Kayla (Hitam Putih Cinta)
❤️Bab 1❤️
Waktu shalat Zuhur baru saja berlalu. Seharusnya akhir pekan ini ada Zein bersamaku. Akan tetapi pekerjaannya jauh lebih penting dari istrinya ini, terpaksa aku menghabiskan akhir pekan seorang diri.
Bosan rasanya di rumah, aku meminta tolong pada Pak Khairul untuk mengantarku mencari makan siang, seorang supir yang telah ditugaskan oleh Zein untuk mengantar ke mana pun aku pergi. Entah kenapa, aku ingin sekali memakan makanan yang sedikit kebarat-baratan. Ngidam? Nggak juga, aku kan baru dua minggu menikah, lagian intensitas hubungan kami pun belum habis dihitung dengan lima jari. Sangat jauh berbeda dengan kondisi pengantin baru layaknya, di mana mereka lebih sering berdua ke mana-mana. Sedangkan aku? Dua hari setelah menikah saja Zein sudah kembali sibuk dengan urusan kantornya.
“Kita ke mana, Bu?” tanya Pak Khairul karena aku belum memberitahu ke mana tujuan pastiku.
“Emmm, saya bingung juga sih, Pak. Saya pengen banget nyobain Beef Steak , tapi saya nggak tahu di mana yang enak. Lidah saya lagi pengen makan makanan bule nih, Pak.” sahutku sembari tertawa kecil. Gadis kampung ini lagi banyak gaya sepertinya.
“Oooh, itu. Saya tahu Bu di mana yang enak, soalnya pernah di ajak Bapak makan di sana waktu itu. Ibu mau?”
“Oh ya? Boleh, boleh tuh Pak. Antar saya ke sana ya, Pak!” ucapku sumringah dan bersemangat.
“Siap, Bu!” Dengan sigap Pak Khairul mengemudikan mobil ke arah yang dimaksud. Hingga dalam hitungan beberapa menit kami pun sampai di depan sebuah restoran yang berdampingan dengan hotel bintang lima.
“Serius ini tempatnya, Pak?” tanyaku tak percaya. Sebab ini pertama kalinya aku datang ke restoran semewah ini.
“Iya, Bu.”
“Pasti mahal ya, Pak?” ucapku polos.
Pak Khairul terbahak. “Tidak mahal untuk seorang istri dari Pak Zein Arifin, Bu.”
“Ah, Bapak bisa saja. Ya sudah, ayo sekalian ikut saya makan, Pak!” ajakku.
“Oh, tidak usah, Bu. Saya sudah maka."
“Beneran?”
“Iya, Bu. Masa saya bohong?”
“Ya sudah, kalau gitu Bapak boleh menunggu atau mau keliling-keliling dulu, takut kelamaan nungguin saya. Nanti kalau saya sudah selesai saya telepon ya?” ujarku seraya turun dari mobil.
“Baik, Bu.”
Dengan penuh percaya diri, walau sebenarnya aku begitu gugup melangkahkan kaki di restoran mewah ini, aku pun memasuki tempat asing itu. Di depan pintu aku disambut dua orang pelayan yang begitu ramah, dan langsung mengantarku ke tempat duduk. Ah, seperti ratu rasanya di sini. Maklumlah, aku orang kampung yang tak pernah merasakan hidup mewah. Namun aku juga tak mau menunjukkan kalau aku berasal dari keluarga yang sederhana, aku harus bisa menyesuaikan diri di mana pun aku berada. Apalagi mengingat posisi Zein. Tentu segala sesuatunya harus kucoba dan pelajari agar tak membuatnya malu.
“Mohon menunggu sebentar ya Bu, segera datang yang akan melayani ibu,” ujar salah seorang pelayan wanita yang mengantarku dengan lembut.
“Baiklah, terima kasih,” sahutku tak kalah lembut.
Dia pun berlalu. Menaruh tas di kursi satunya. Sambil menunggu pelayan yang akan menghampiri, kusapukan pandangan ke seluruh ruangan. Ruangan yang kental dengan nuansa Minangkabau. Ternyata, meski pun ini restoran yang menyediakan makanan internasional, mereka tak melupakan adat dan daerah mereka sendiri. Tak sadar senyum tipis terukir di bibirku.
“Assalaamu’alaykum, selamat siang Nona!” Sapaan ramah itu membuatku segera menoleh ke arah sumber suara.
Wajahnya membuatku sedikit terpana. Sebentar. Hanya beberapa detik saja. Seorang lelaki berwajah indo, dengan rambut coklat karamelnya tengah tersenyum ramah ke arahku. Mata abu-abunya seolah menghipnotis wanita kampung ini. Sekilas kulirik name tag yang tersemat di bajunya. Sameer.
‘Sameer? Kenapa namanya seperti nama India muslim begitu? Sedangkan wajahnya kental banget sama wajah orang kulit putih alias kulit orang Amerika.’ batinku heran.
“Maaf, anda muslim?” tanyaku mewanti-wanti sebelum menjawab salamnya. Sebab aku tahu, menjawab salam yang diuucapkan orang non muslim itu tidak boleh, dan ada jawaban tersendiri yang diajarkan Rasulullaah.
Pria itu tersenyum. “Alhamdulillaah saya muslim. Kalau saya non muslim tidak mungkin saya bisa bekerja di sini.” sahutnya tanpa merasa tersinggung.
Aku mengangguk. “Wa’alaykumussalaam. Maaf jika saya terlalu lancang!” sesalku.
“Tidak apa-apa, Nona. Saya paham sekali,” ujarnya dengan bahasa Indonesia yang begitu kental. Hanya sedikit terdengar aksen bulenya.
“Oh ya, maaf, saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu, saya Sameer, biasa dipanggil chef Sam. Saya yang bertanggung jawab atas penyajian makanan di sini. Kira-kira Nona ....“ Sam menggantung kalimatnya.
“Kayla!” Sambungku.
“Nona Kayla mau makan apa? Biar segera saya sajikan. Semua menu di sini disajikan fresh, dimasak langsung begitu diminta oleh customer,” tuturnya.
“Ooh, begitu ya?” Aku manggut-manggut. “Saya ingin beef steak special, bisakah?”
“Everything for you miss Kayla.”
“What?” Alisku bertaut mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari bibirnya.
“Sorry, maksud saya, akan segera saya sajikan.” Pria itu terlihat gugup. “ Nona mau minum apa? Atau mau hidangan pembuka terlebih dahulu, kami punya ....“
“Tidak, saya tidak biasa dengan itu. Saya ingin makan makanan utama saja. Bawakan juga saya orange jus!” potongku cepat. Terlalu lama menunggunya, sementara perutku sudah sangat lapar.
“Baiklah, mohon menunggu sebentar!”
Sam pun berlalu. Aku masih sempat melihat pria itu menoleh ke belakang, dan tersenyum padaku.
‘Dasar bule ganjen!’ umpatku dalam hati.
Pesananku pun datang tanpa menunggu lama.
“Silahkan dinikmati Nona Kayla, semoga suka dengan masakan saya.” Satu piring berisi beef steak ia letakkan tepat di depanku, berikut orange jus favoritku.
“Oke, terima kasih!”
Aku menyesap sedikit orange jus sebelum menyantap makanan yang tersaji.
“Kamu ... bisakah tidak berdiri di sana? Saya tidak suka kalau sedang makan dilihat seperti itu!” pintaku merasa risih karena Sam masih berdiri di dekat mejaku.
“Saya harus tahu komentar customer tentang hidangan yang saya sajikan sebelum saya kembali ke belakang, Nona.”
Kuhela napas, memasukkan spotong daging kecil ke mulutku.
“Hm, rasanya enak sekali. Terima kasih. Saya suka sekali.”
Wajah Sam tampak sumringah. “Benarkah, Nona?”
“Saya bukan tipe orang yang suka memuji tanpa fakta,” sahutku datar.
“Maaf, maaf Nona.” Sam menundukkan kepala.
‘Ah, kenapa dia terlihat konyol sekali?’
“Sekarang kamu boleh pergi Sam!”
“Baiklah Nona. Saya harap, ini bukan pertama dan terakhir kali anda datang ke sini. Saya ingin Nona mencoba aneka masakan western yang lain, tentunya hasil racikan tangan saya sendiri. Saya akan menunggu kunjungan Nona selanjutnya.”
Sedikit tersentak dengan kalimat-kalimat yang ia ucapkan. Tapi aku tak perlu ge-er, toh itu hanya sebagai penarik untuk pengunjung saja.
Pria itu sudah pergi, dan aku segera menyantap beef steak-ku dengan lahap. Ternyata makanan bule ini enak juga. Walaupun tetap rendang adalah makanan terenak di dunia.
***
Aku hendak membayar makananku pada sang pelayan saat Sam datang tergopoh dan menepis uang yang akan kuberikan pada wanita itu.
“Tidak, kali ini biar aku yang bayar!” cegahnya. Dahiku berkerut. Sam memberi kode agar pelayan itu meninggalkan kami.
“Apa maksud anda Sam?” tanyaku heran.
“Maaf jika saya lancang, tapi izinkan untuk kali ini, saya yang mentraktir makanan Nona.” Ia berbicara sambil menunduk, tak berani menatapku.
“Boleh tahu alasannya?” Selidikku.
“Saya tidak punya alasan yang masuk akal, hanya saja ... saya tidak tahu, saya ... ingin menjadi sahabat Nona, bolehkah?”
Aku membesarkan mataku.
“Nona jangan salah paham dulu, saya di sini tidak punya teman orang asli Minang, saya rasa ... ah, maafkan saya atas kelancangan ini.”
‘Ngomong apa sih nih bule?’
Memasukkan kembali uangku ke dalam dompet. “Apa pun alasannya, terima kasih banyak sudah mentraktir saya.” Aku menangkup kedua tangan di dada.
“Sama-sama.” Ia membalas dengan perlakuan yang sama.
“Kalau begitu, saya permisi dulu, assalaamu’alaykum!”
“Baiklah, wa’alaykumussalaam.”
Aku melangkah meninggalkan meja nomor dua itu.
“Nona Kayla!” panggilnya.
Kuhentikan langkah dan menoleh.
“Jika punya waktu, datanglah besok, aku akan membuatkanmu spageti spesial.” Harapnya.
Aku tak menjawab, hanya memberinya seulas senyum sembari kembali melangkah diiringi tatapannya. Bahkan sempat kulihat dari dalam mobil yang akan membawaku pulang, Sam berdiri di balik jendela kaca besar, menatap mobil yang dikendarai Pak Khairulbergerak perlahan meninggalkan pelataran parkir.
‘Kenapa bule itu?’ batinku sambil memperbaiki hijab yang menempel di kepala. Tak sadar aku tersenyum sendiri mengingat tingkanya. Sikapnya aneh, tapi dia seolah begitu ingin akrab denganku. Ia tak segan mengatakan ingin menjadi sahabatku, meskipun itu adalah pertemuan pertama kami.
Bersahabat katanya? Bukankah tidak ada yang namanya persahabatan dengan lawan jenis? Bukankah itu dilarang agama? Ah, masa bodoh! Kami kan tidak melakukan apa-apa. Just a friend. Begitu pikiran singkatku. Bahkan aku cenderung mengikis ilmu agama yang telah diajarkan kedua orang tuaku sejak kecil.
Oh, ya, besok hari Minggu. Zein pasti di rumah. Mungkin aku takkan bisa datang memenuhi undangan Sam. Tapi tak apalah, bukankah Zein lebih utama? Dia suamiku.
***
“Abang mau ke mana? Bukankah ini hari Minggu?” tanyaku saat melihat Zein mengenakan pakaian kerjanya. Waktu baru saja menunjukkan pukul enam pagi.
Zein tak menoleh, ia bergegas memasang jas coklat mudanya.
“Ya kerjalah Kay, aku ada meeting pagi ini di Padang, dan aku tidak mau terlambat,” jawabnya datar.
“Tapi ini kan hari Minggu!” bantahku.
“Untuk seorang pekerja keras tak ada kata hari Minggu atau hari libur.”
Aku menghela napas yang terasa sesak.
“Kapan punya waktu untukku?”
Zein terdiam sejenak, lalu ia mendekat. “Aku bekerja untukmu, untuk masa depan kita. Jadi, kamu harus bersabar.” Pria itu mengecup keningku sebelum melangkah ke luar dari kamar.
‘Tapi bukan itu yang kumau, Zein!’ teriakku dalam hati.
Kuikuti Zein yang bergegas menuju pintu ke luar. Ia tak lagi menoleh ke belakang, bahkan hingga mobil yang membawanya bergerak perlahan meninggalkan halaman yang terbilang cukup luas ini. Hanya bisa terpaku di ambang pintu, menyeka butiran bening yang mulai jatuh satu persatu.
Entahlah, rasanya aku terjebak di sebuah sangkar emas. Zein memberiku segalanya, tapi tidak memberiku waktu dan cinta yang cukup. Dia hanya peduli pada pekerjaannya. Dia tak peduli dengan perasaanku.
Aku menutup pintu. Kembali masuk ke dalam rumah, menghempaskan tubuhku di sofa ruang tamu. Berusaha meyakinkan diri, bahwa inilah kenyataan yang harus kuhadapi.
“Non Kayla, Non baik-baik saja?” Suara Mbak Rina, sang asisten rumah tangga membuatku buru-buru menghapus pipi yang masih basah.
“Eh, iya, saya baik-baik saja!” sahutku seraya bangkit.
“Sarapan sudah saya siapkan, Non,” ujarnya lagi.
“Terima kasih, Mbak, tapi saya belum lapar. Nanti saja.” sahutku seraya berlalu menuju kamar. Mbak Rina hanya bisa menatapku. Mungkin lebih tepatnya menatap penuh kasihan.
Kulepaskan tangisku dikamar, agar rasa sesak yang menyiksa di rongga dada sedikit berkurang. Menatap foto pengantin aku dan Zein yang terpampang di atas nakas.
“Pernikahan seperti apa yang kau berikan padaku, ha?” tanyaku seolah bicara pada Zein. “Aku tak butuh hartamu, aku butuh kamu, aku butuh waktumu, aku butuh perhatianmu. Bukan uangmu!” lirihku sambil terus menangis. Hingga tak sadar, aku pun tertidur.
***
🧡Bab selanjutnya scroll ke bawah aja, ya🧡
Waktu shalat Zuhur baru saja berlalu. Seharusnya akhir pekan ini ada Zein bersamaku. Akan tetapi pekerjaannya jauh lebih penting dari istrinya ini, terpaksa aku menghabiskan akhir pekan seorang diri.
Bosan rasanya di rumah, aku meminta tolong pada Pak Khairul untuk mengantarku mencari makan siang, seorang supir yang telah ditugaskan oleh Zein untuk mengantar ke mana pun aku pergi. Entah kenapa, aku ingin sekali memakan makanan yang sedikit kebarat-baratan. Ngidam? Nggak juga, aku kan baru dua minggu menikah, lagian intensitas hubungan kami pun belum habis dihitung dengan lima jari. Sangat jauh berbeda dengan kondisi pengantin baru layaknya, di mana mereka lebih sering berdua ke mana-mana. Sedangkan aku? Dua hari setelah menikah saja Zein sudah kembali sibuk dengan urusan kantornya.
“Kita ke mana, Bu?” tanya Pak Khairul karena aku belum memberitahu ke mana tujuan pastiku.
“Emmm, saya bingung juga sih, Pak. Saya pengen banget nyobain Beef Steak , tapi saya nggak tahu di mana yang enak. Lidah saya lagi pengen makan makanan bule nih, Pak.” sahutku sembari tertawa kecil. Gadis kampung ini lagi banyak gaya sepertinya.
“Oooh, itu. Saya tahu Bu di mana yang enak, soalnya pernah di ajak Bapak makan di sana waktu itu. Ibu mau?”
“Oh ya? Boleh, boleh tuh Pak. Antar saya ke sana ya, Pak!” ucapku sumringah dan bersemangat.
“Siap, Bu!” Dengan sigap Pak Khairul mengemudikan mobil ke arah yang dimaksud. Hingga dalam hitungan beberapa menit kami pun sampai di depan sebuah restoran yang berdampingan dengan hotel bintang lima.
“Serius ini tempatnya, Pak?” tanyaku tak percaya. Sebab ini pertama kalinya aku datang ke restoran semewah ini.
“Iya, Bu.”
“Pasti mahal ya, Pak?” ucapku polos.
Pak Khairul terbahak. “Tidak mahal untuk seorang istri dari Pak Zein Arifin, Bu.”
“Ah, Bapak bisa saja. Ya sudah, ayo sekalian ikut saya makan, Pak!” ajakku.
“Oh, tidak usah, Bu. Saya sudah maka."
“Beneran?”
“Iya, Bu. Masa saya bohong?”
“Ya sudah, kalau gitu Bapak boleh menunggu atau mau keliling-keliling dulu, takut kelamaan nungguin saya. Nanti kalau saya sudah selesai saya telepon ya?” ujarku seraya turun dari mobil.
“Baik, Bu.”
Dengan penuh percaya diri, walau sebenarnya aku begitu gugup melangkahkan kaki di restoran mewah ini, aku pun memasuki tempat asing itu. Di depan pintu aku disambut dua orang pelayan yang begitu ramah, dan langsung mengantarku ke tempat duduk. Ah, seperti ratu rasanya di sini. Maklumlah, aku orang kampung yang tak pernah merasakan hidup mewah. Namun aku juga tak mau menunjukkan kalau aku berasal dari keluarga yang sederhana, aku harus bisa menyesuaikan diri di mana pun aku berada. Apalagi mengingat posisi Zein. Tentu segala sesuatunya harus kucoba dan pelajari agar tak membuatnya malu.
“Mohon menunggu sebentar ya Bu, segera datang yang akan melayani ibu,” ujar salah seorang pelayan wanita yang mengantarku dengan lembut.
“Baiklah, terima kasih,” sahutku tak kalah lembut.
Dia pun berlalu. Menaruh tas di kursi satunya. Sambil menunggu pelayan yang akan menghampiri, kusapukan pandangan ke seluruh ruangan. Ruangan yang kental dengan nuansa Minangkabau. Ternyata, meski pun ini restoran yang menyediakan makanan internasional, mereka tak melupakan adat dan daerah mereka sendiri. Tak sadar senyum tipis terukir di bibirku.
“Assalaamu’alaykum, selamat siang Nona!” Sapaan ramah itu membuatku segera menoleh ke arah sumber suara.
Wajahnya membuatku sedikit terpana. Sebentar. Hanya beberapa detik saja. Seorang lelaki berwajah indo, dengan rambut coklat karamelnya tengah tersenyum ramah ke arahku. Mata abu-abunya seolah menghipnotis wanita kampung ini. Sekilas kulirik name tag yang tersemat di bajunya. Sameer.
‘Sameer? Kenapa namanya seperti nama India muslim begitu? Sedangkan wajahnya kental banget sama wajah orang kulit putih alias kulit orang Amerika.’ batinku heran.
“Maaf, anda muslim?” tanyaku mewanti-wanti sebelum menjawab salamnya. Sebab aku tahu, menjawab salam yang diuucapkan orang non muslim itu tidak boleh, dan ada jawaban tersendiri yang diajarkan Rasulullaah.
Pria itu tersenyum. “Alhamdulillaah saya muslim. Kalau saya non muslim tidak mungkin saya bisa bekerja di sini.” sahutnya tanpa merasa tersinggung.
Aku mengangguk. “Wa’alaykumussalaam. Maaf jika saya terlalu lancang!” sesalku.
“Tidak apa-apa, Nona. Saya paham sekali,” ujarnya dengan bahasa Indonesia yang begitu kental. Hanya sedikit terdengar aksen bulenya.
“Oh ya, maaf, saya ingin memperkenalkan diri terlebih dahulu, saya Sameer, biasa dipanggil chef Sam. Saya yang bertanggung jawab atas penyajian makanan di sini. Kira-kira Nona ....“ Sam menggantung kalimatnya.
“Kayla!” Sambungku.
“Nona Kayla mau makan apa? Biar segera saya sajikan. Semua menu di sini disajikan fresh, dimasak langsung begitu diminta oleh customer,” tuturnya.
“Ooh, begitu ya?” Aku manggut-manggut. “Saya ingin beef steak special, bisakah?”
“Everything for you miss Kayla.”
“What?” Alisku bertaut mendengar kalimat yang baru saja terlontar dari bibirnya.
“Sorry, maksud saya, akan segera saya sajikan.” Pria itu terlihat gugup. “ Nona mau minum apa? Atau mau hidangan pembuka terlebih dahulu, kami punya ....“
“Tidak, saya tidak biasa dengan itu. Saya ingin makan makanan utama saja. Bawakan juga saya orange jus!” potongku cepat. Terlalu lama menunggunya, sementara perutku sudah sangat lapar.
“Baiklah, mohon menunggu sebentar!”
Sam pun berlalu. Aku masih sempat melihat pria itu menoleh ke belakang, dan tersenyum padaku.
‘Dasar bule ganjen!’ umpatku dalam hati.
Pesananku pun datang tanpa menunggu lama.
“Silahkan dinikmati Nona Kayla, semoga suka dengan masakan saya.” Satu piring berisi beef steak ia letakkan tepat di depanku, berikut orange jus favoritku.
“Oke, terima kasih!”
Aku menyesap sedikit orange jus sebelum menyantap makanan yang tersaji.
“Kamu ... bisakah tidak berdiri di sana? Saya tidak suka kalau sedang makan dilihat seperti itu!” pintaku merasa risih karena Sam masih berdiri di dekat mejaku.
“Saya harus tahu komentar customer tentang hidangan yang saya sajikan sebelum saya kembali ke belakang, Nona.”
Kuhela napas, memasukkan spotong daging kecil ke mulutku.
“Hm, rasanya enak sekali. Terima kasih. Saya suka sekali.”
Wajah Sam tampak sumringah. “Benarkah, Nona?”
“Saya bukan tipe orang yang suka memuji tanpa fakta,” sahutku datar.
“Maaf, maaf Nona.” Sam menundukkan kepala.
‘Ah, kenapa dia terlihat konyol sekali?’
“Sekarang kamu boleh pergi Sam!”
“Baiklah Nona. Saya harap, ini bukan pertama dan terakhir kali anda datang ke sini. Saya ingin Nona mencoba aneka masakan western yang lain, tentunya hasil racikan tangan saya sendiri. Saya akan menunggu kunjungan Nona selanjutnya.”
Sedikit tersentak dengan kalimat-kalimat yang ia ucapkan. Tapi aku tak perlu ge-er, toh itu hanya sebagai penarik untuk pengunjung saja.
Pria itu sudah pergi, dan aku segera menyantap beef steak-ku dengan lahap. Ternyata makanan bule ini enak juga. Walaupun tetap rendang adalah makanan terenak di dunia.
***
Aku hendak membayar makananku pada sang pelayan saat Sam datang tergopoh dan menepis uang yang akan kuberikan pada wanita itu.
“Tidak, kali ini biar aku yang bayar!” cegahnya. Dahiku berkerut. Sam memberi kode agar pelayan itu meninggalkan kami.
“Apa maksud anda Sam?” tanyaku heran.
“Maaf jika saya lancang, tapi izinkan untuk kali ini, saya yang mentraktir makanan Nona.” Ia berbicara sambil menunduk, tak berani menatapku.
“Boleh tahu alasannya?” Selidikku.
“Saya tidak punya alasan yang masuk akal, hanya saja ... saya tidak tahu, saya ... ingin menjadi sahabat Nona, bolehkah?”
Aku membesarkan mataku.
“Nona jangan salah paham dulu, saya di sini tidak punya teman orang asli Minang, saya rasa ... ah, maafkan saya atas kelancangan ini.”
‘Ngomong apa sih nih bule?’
Memasukkan kembali uangku ke dalam dompet. “Apa pun alasannya, terima kasih banyak sudah mentraktir saya.” Aku menangkup kedua tangan di dada.
“Sama-sama.” Ia membalas dengan perlakuan yang sama.
“Kalau begitu, saya permisi dulu, assalaamu’alaykum!”
“Baiklah, wa’alaykumussalaam.”
Aku melangkah meninggalkan meja nomor dua itu.
“Nona Kayla!” panggilnya.
Kuhentikan langkah dan menoleh.
“Jika punya waktu, datanglah besok, aku akan membuatkanmu spageti spesial.” Harapnya.
Aku tak menjawab, hanya memberinya seulas senyum sembari kembali melangkah diiringi tatapannya. Bahkan sempat kulihat dari dalam mobil yang akan membawaku pulang, Sam berdiri di balik jendela kaca besar, menatap mobil yang dikendarai Pak Khairulbergerak perlahan meninggalkan pelataran parkir.
‘Kenapa bule itu?’ batinku sambil memperbaiki hijab yang menempel di kepala. Tak sadar aku tersenyum sendiri mengingat tingkanya. Sikapnya aneh, tapi dia seolah begitu ingin akrab denganku. Ia tak segan mengatakan ingin menjadi sahabatku, meskipun itu adalah pertemuan pertama kami.
Bersahabat katanya? Bukankah tidak ada yang namanya persahabatan dengan lawan jenis? Bukankah itu dilarang agama? Ah, masa bodoh! Kami kan tidak melakukan apa-apa. Just a friend. Begitu pikiran singkatku. Bahkan aku cenderung mengikis ilmu agama yang telah diajarkan kedua orang tuaku sejak kecil.
Oh, ya, besok hari Minggu. Zein pasti di rumah. Mungkin aku takkan bisa datang memenuhi undangan Sam. Tapi tak apalah, bukankah Zein lebih utama? Dia suamiku.
***
“Abang mau ke mana? Bukankah ini hari Minggu?” tanyaku saat melihat Zein mengenakan pakaian kerjanya. Waktu baru saja menunjukkan pukul enam pagi.
Zein tak menoleh, ia bergegas memasang jas coklat mudanya.
“Ya kerjalah Kay, aku ada meeting pagi ini di Padang, dan aku tidak mau terlambat,” jawabnya datar.
“Tapi ini kan hari Minggu!” bantahku.
“Untuk seorang pekerja keras tak ada kata hari Minggu atau hari libur.”
Aku menghela napas yang terasa sesak.
“Kapan punya waktu untukku?”
Zein terdiam sejenak, lalu ia mendekat. “Aku bekerja untukmu, untuk masa depan kita. Jadi, kamu harus bersabar.” Pria itu mengecup keningku sebelum melangkah ke luar dari kamar.
‘Tapi bukan itu yang kumau, Zein!’ teriakku dalam hati.
Kuikuti Zein yang bergegas menuju pintu ke luar. Ia tak lagi menoleh ke belakang, bahkan hingga mobil yang membawanya bergerak perlahan meninggalkan halaman yang terbilang cukup luas ini. Hanya bisa terpaku di ambang pintu, menyeka butiran bening yang mulai jatuh satu persatu.
Entahlah, rasanya aku terjebak di sebuah sangkar emas. Zein memberiku segalanya, tapi tidak memberiku waktu dan cinta yang cukup. Dia hanya peduli pada pekerjaannya. Dia tak peduli dengan perasaanku.
Aku menutup pintu. Kembali masuk ke dalam rumah, menghempaskan tubuhku di sofa ruang tamu. Berusaha meyakinkan diri, bahwa inilah kenyataan yang harus kuhadapi.
“Non Kayla, Non baik-baik saja?” Suara Mbak Rina, sang asisten rumah tangga membuatku buru-buru menghapus pipi yang masih basah.
“Eh, iya, saya baik-baik saja!” sahutku seraya bangkit.
“Sarapan sudah saya siapkan, Non,” ujarnya lagi.
“Terima kasih, Mbak, tapi saya belum lapar. Nanti saja.” sahutku seraya berlalu menuju kamar. Mbak Rina hanya bisa menatapku. Mungkin lebih tepatnya menatap penuh kasihan.
Kulepaskan tangisku dikamar, agar rasa sesak yang menyiksa di rongga dada sedikit berkurang. Menatap foto pengantin aku dan Zein yang terpampang di atas nakas.
“Pernikahan seperti apa yang kau berikan padaku, ha?” tanyaku seolah bicara pada Zein. “Aku tak butuh hartamu, aku butuh kamu, aku butuh waktumu, aku butuh perhatianmu. Bukan uangmu!” lirihku sambil terus menangis. Hingga tak sadar, aku pun tertidur.
***
🧡Bab selanjutnya scroll ke bawah aja, ya🧡
Diubah oleh Leny.Khan 31-07-2023 11:20
mollygirl dan bukhorigan memberi reputasi
2
595
18
Komentar yang asik ya
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
32KThread•45.3KAnggota
Urutkan
Terlama
Komentar yang asik ya