Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

putzputzAvatar border
TS
putzputz
Nirwata - Tania
“Aaaargh…”
Rasanya belum lama tubuhku terlelap, namun ternyata sinar matahari sudah menyeruak masuk ke dalam kamarku melalui jendela besar yang terletak di samping tempat tidur. Sinarnya membuat aku tidak bisa lagi melanjutkan tidur tenangku. Badan ini rasanya tak sanggup untuk langsung bergerak. Aku hanya mampu terdiam sambil menggerutu dalam hati.

Namaku Adit. Lahir sekitar 21 tahun yang lalu. Tepatnya di pertengahan era 90an. Kata teman-temanku, aku termasuk cowok yang lumayan ganteng di kampusku. Iya, hanya lumayan, tidak lebih. Kadang aku tidak percaya dengan predikat itu. Bukan apa-apa, sampai sekarang aku belum pernah sekalipun berhasil menggaet cewek-cewek cantik di kampusku. Mungkin karena aku juga terlalu aktif di komunitas musik kampus, sehingga hampir tidak ada waktu untuk mencari pacar.

“Haduh, hari ini kan UTS!!”

Aku baru tersadar bahwa hari ini adalah hari Senin. Hari pertama UTS di kampusku. Aku langsung memaksa tubuh langsingku untuk beranjak ke kamar mandi. Teori Sosiologi II adalah salah satu mata kuliah yang aku tidak ingin mengulang semester berikutnya. Mata kuliah ini wajib untuk semua mahasiswa di jurusanku. Aku adalah mahasiswa semester lima, jurusan Sosiologi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia. Kelahiran Jakarta, namun sekarang tinggal bersama Ibuku di Depok. Ibu adalah seorang single parent semenjak Ayahku wafat pada tahun 1995. Sejak saat itu, Ibu membesarkan ketiga anaknya sendirian.

“Adiiiiiiit!!! Kamu bukannya UTS hari ini?!” teriakan Ibu memecah lamunanku di kamar mandi.

Sudah menjadi kebiasaanku untuk berlama-lama di kamar mandi. Kadang aku habiskan waktu dengan merokok, kadang sambil membaca. Bahkan aku pernah membawa gitar dan memainkannya sambil bernyanyi. Akustik kamar mandi itu selalu membuat suara kita lebih bagus lho.

“Iya buuuu. Sebentar lagiiiii”.

Aku langsung membuang puntung rokokku dan buru-buru menyelesaikan mandiku.

“Kamu tuh ya, ngapain sih lama-lama di kamar mandi? Semedi?!
“Yah bu, namanya juga cowok. Pasti lama lah,” jawabku sekenanya seraya menyantap nasi goreng lezat buatan Ibu.

***

Aku bergegas berlari menuju kelas. Rupanya aku terlambat sekitar 5 menit. Ini gara-gara angkot yang ngetem lumayan lama tadi di dekat rumahku. Mau kesal kepada supirnya juga tak akan ada gunanya. 
Sesampainya di kelas, ternyata ruangan sudah cukup penuh. Hanya tersisa kursi di deretan terdepan. 

“Ah, tempatnya ngga enak banget nih. Ngga bisa lihat-lihat pemandangan,” gumamku sembari berjalan menuju kursi kosong di barisan depan tersebut.

“Hari ini kita take home test saja ya,” ujar dosenku memecah kesunyian.
“Sial, tau begitu ngga usah lari-lari dari depan,” gerutuku yang masih ngos-ngosan.

Selesai mengambil lembar pertanyaan, aku langsung menuju kantin fakultasku. Tempat favoritku untuk menghabiskan waktu selama berada di kampus. Sesampainya di kantin, aku langsung mengambil tempat duduk di sudut favoritku. Di sudut ini aku bisa memandangi keadaan sekitar. Sebenarnya lebih ke memandangi mahasiswi-mahasiswi jurusan Komunikasi yang manis-manis sih. Jurusan yang menjadi primadona di fakultasku karena banyak dihuni mahluk manis penghias suasana kampus.

“Ah, masih pada ujian kayaknya,” gumamku melihat suasana kantin yang masih terbilang sepi dari mahasiswa. Hanya tampak beberapa orang yang disibukkan dengan aktivitasnya masing-masing. Semua bagai tenggelam dalam dunianya sendiri. Aku mengeluarkan sebatang rokok kretek dari saku celana dan mulai menyalakannya. Tak lama, secangkir kopi hitam pesananku datang.

“Kopi item dit,” ujar Mang Ari, pedagang kantin tempat aku sering memesan makanan dan minuman.

“Makasih Mang. Anak-anak belum ada yang dateng ya?”
“Belum dit. Kayaknya masih pada ujian deh. Kamu ngga ujian?”
“Take home mang. Makanya udah bisa ngopi”

Mang Ari berlalu dari hadapanku. Aku menyeruput kopi hitam manis itu sambil menghisap dalam-dalam sigaret kretekku.

“Boleh gabung?”. 

Tiba-tiba terdengar suara lembut di depanku.
Mimpi apa aku semalam? Duduk sendirian di kantin lalu mendadak didatangi sosok manis berkacamata dengan rambut sebahu dan mau duduk denganku. 

“Eh..eh..boleh,” ujarku tergagap.

Dengan senyum manis tersungging di bibirnya, perempuan manis di depanku ini langsung mengambil tempat duduk di depanku. Lalu membuka bungkus rokok yang dibawanya. Dengan sigap aku langsung menawarkan korek kepadanya. 

“Makasih,” jawabnya lembut, diiringi senyum manis di sudut bibirnya.
“Tania,” dia menjulurkan tangannya yang langsung ku sambut dengan semangat juang.
“Adit”.
“Kamu anak sini ya?”
“Iya. Kamu bukan ya kayaknya?”
“Bukan, aku anak Psikologi”
“Pantesan, aku ngga pernah liat kamu”
“Iya, biasanya aku emang nongkrong di kantin Psikologi. Tapi tadi lagi rame dan ku lihat di sini sepi. Jadilah aku ke sini”.
“Eh, aku ngga apa-apa kan duduk di sini? Soalnya aku ngga ada teman ngobrol. Dan aku lihat kamu lagi sendirian”.
“Nggg…santai kok. Aku juga masih sendiri. Eh maksudku, aku lagi duduk sendirian juga”.

Tania tersenyum lagi mendengar kegugupanku. Senyum yang ku yakin akan mampu merobohkan Tembok Cina dalam sekejap. Lembut, namun tajam menusuk.

Sejenak kemudian, obrolan di antara kami berdua ternyata berkembang kemana-mana. Tania ternyata memiliki kepribadian yang sangat menarik. Tidak banyak berbicara, namun sekalinya dia bersuara, pemikirannya tersampaikan dengan lugas. Wawasannya luas dan sangat berpikiran terbuka. Untuk sebuah pertemuan pertama, obrolan kami ini terbilang sangat seru. Bagaikan ngobrol dengan seorang sahabat lama, kami berbagi cerita tanpa putus. Semakin lama kami ngobrol, semakin aku menyadari bahwa inilah perempuan yang cocok dengan seleraku.

“Duh, aku harus balik ke Psikologi nih. Sebentar lagi ada UTS”.
“Oke, mmmm…Tania….”
“Ya?”
“Aku boleh minta nomor kamu?”

Senyum lembut itu terlukis lagi dengan sempurna di bibirnya.

“Ku kira kamu ngga bakal nanya. Sini handphone-mu. Biar ku tuliskan”
Ku perhatikan gerak-geriknya saat dia menuliskan nomornya di handphoneku. Gerak-gerik yang lembut namun mantap. Menghipnotis.

“Call me,” ujarnya sembari mengembalikan handphone ke tanganku. 
Aku terperangah mendengar kalimat itu. Perempuan manis yang baru ku kenal 1 jam ini memintaku untuk meneleponnya. Sepertinya aku jatuh cinta.

Aku memperhatikan langkahnya yang menjauh. Lalu ku terduduk kembali di kursiku dan terdiam. Aku masih belum bisa menghilangkan kekagetanku atas apa yang baru saja terjadi.

***

Sudah sebulan sejak pertemuan itu, aku dan Tania menjadi semakin dekat. Kami sering bertemu di kampus. Kadang di kantin FISIP, kadang di kantin Psikologi. Beberapa kali pertemuan juga terjadi di kedai kopi dekat kampus kami. Setiap obrolan berlangsung sangat seru. Kami memiliki ketertarikan yang sama pada pantai dan musik Jazz. Hampir separuh dari obrolan kami selalu seputar dua hal itu. Selebihnya, kami membicarakan tentang keseharian kami, atau sekadar saling mendengarkan masalah yang sedang dihadapi.

“Tania, aku sayang kamu,” tiba-tiba aku mengeluarkan pernyataan itu. 

Pernyataan yang cukup dalam artinya bagiku. Kalimat yang membuatnya terdiam sejenak ketika hendak meletakkan cangkir Americano favoritnya. Dia lalu menatapku tajam. Membuatku merasa bersalah telah mengungkapkan perasaanku padanya. Aku pun terdiam kaku. Cukup lama kami saling menatap. Lalu dia menunduk dan membereskan barang-barangnya.

“Oke, aku salah ngomong nih,” gumamku dalam hati.
“Tania, aku minta maaf kalau kata-kataku tadi menyinggung kamu”

Tania masih terdiam sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tas. Lalu dia berdiri dari tempat duduknya dan mengulurkan tangannya.

“Aku pulang yah”
“Iya,” jawabku sambil menyambut genggaman tangannya.

Tanpa disangka, Tania menjulurkan kepalanya ke arahku dan menempelkan pipinya ke pipiku. Sesuatu yang belum pernah terjadi selama kami saling kenal.

“Aku juga sayang kamu dit,” bisiknya sambil mengecup pipiku lembut.
Tersentak aku mendengar kalimat itu di telingaku. Tania lalu tersenyum kepadaku.

“Besok dateng ke rumahku ya. Aku mau kenalin kamu ke orang tuaku”
“Mmmm…iya Tan. Besok siang aku ke rumah kamu”.
“Nanti ku send loc”
“Siap”

Tania berlalu dari hadapanku. Aku masih terkaget dengan apa yang terjadi. Tania menyambut perasaanku. Tanpa sadar, senyum lebar mengembang di bibirku.

***

“Ini lokasi rumahku ya,” Tania mengirimkan lokasi rumahnya lewat Whatsapp.
“Siap. Besok aku datang ya”
“Oke, ku tunggu ya dit. Sekarang aku mau tidur dulu. Capek banget seharian ini”
“Oke Tania. Tidur yang nyenyak ya”
“Iya sayang. Kamu juga ya, jangan begadang mulu”


Aku terdiam membaca balasannya. “Sayang”. Dia benar-benar menulis itu. Tanpa sadar aku tersenyum cukup lama. Status Whatsappnya sudah menjadi last seen. Sepertinya dia sudah tertidur. Aku memutuskan untuk tidur sambil tersenyum malam ini. Aku bahagia.

***

Ku kendarai motorku menuju ke daerah Bintaro. Daerah yang sebenarnya sudah cukup akrab bagiku. Aku sering menginap di rumah Satrio, sahabat baikku yang rumahnya berada di daerah ini. Namun sepertinya perjalananku kali ini terasa agak lebih lama. Selain karena aku mengendarai motor dengan lebih hati-hati, rumah Tania juga berada di Bintaro sektor 9. Jadi lebih jauh dibandingkan dengan rumah Satrio.
Akhirnya aku mencapai daerah rumahnya. Sebuah cluster perumahan elit, dengan rumah-rumah mewah yang berdiri kokoh di kiri-kanan jalan.

“Tinggal dua belokan lagi”, gumamku sembari melirik ke Google Maps di telepon genggamku.

Seiring semakin dekatnya aku dengan rumah Tania, dadaku terasa makin berdegup kencang. Bagaimana tidak, baru saja resmi dijadikan pacar, aku sudah dikenalkan dengan kedua orangtuanya. Hal yang cukup menegangkan bagiku yang jarang berpacaran ini. Apakah yang akan aku lakukan nanti? Apakah Bapaknya galak? Aku cukup rapi atau tidak ya? Sejuta pertanyaan menyibukkan pikiranku. Hingga akhirnya aku tiba di ujung jalan rumahnya. Aku melihat ada bendera kuning di tiang nama jalan. Dari tempatku berhenti, aku bisa melihat ada tenda terpasang di depan sebuah rumah.

“Wah, ngga bisa lewat kayaknya nih”

Aku memarkir skuter matic-ku di ujung jalan tersebut. Lalu mulai menyusuri jalanan menuju rumah Tania. Aku makin dekat dengan rumah yang dipasangi tenda di depannya itu. Sudah banyak orang yang sedang duduk di bawah tenda tersebut. Bendera kuning dan rangkaian bunga ucapan “turut beruka cita” tampak berderet di pinggir jalan. Aku melihat sebuah papan tulis hitam di samping tiang tenda. Tiba-tiba jantungku berdegup kencang. Sekujur tubuhku seakan kaku tak bergerak.

“Telah meninggal dunia, Tania Asterini”

***
Diubah oleh putzputz 13-07-2023 10:06
bukhoriganAvatar border
bukhorigan memberi reputasi
1
120
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.3KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.