Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

shabira.elnaflaAvatar border
TS
shabira.elnafla
JERAT SETAN GUNUNG KEMUS
(Pesugihan Tanpa Tumbal)
Bab 1


"Istrimu harus operasi kista, biayanya jutaan. Punya uang gak?" Seorang laki-laki paruh baya dengan perut buncit berkacak pinggang di depan Pardi.

Pardi menggelengkan kepala. "Saya ... gak punya uang sebanyak itu, Pak." Dia menunduk, meratapi nasibnya yang sangat kurang beruntung. Satu-satunya keberuntungannya hanyalah punya istri cantik dan sabar seperti Seruni.

"Kalau gitu kamu harus menceraikan anakku. Aku bisa mengurusnya dan memberinya uang banyak. Hidup sama kamu bukan tambah bahagia malah menderita, bahkan bertahun-tahun rumah masih ngontrak, tidak punya tabungan."

"Tapi, Pak ... saya sangat mencintai Seruni."

"Cuih, kamu kira cinta bisa bikin anakku sembuh?"

Pardi meratap, menangis di lorong rumah sakit lebih dari enam jam. Sementara di dalam bangsal, Seruni tengah dijenguk oleh kelurganya. Mungkin juga dirayu agar mau meninggalkan Pardi.

Sangat malang nasibnya, satu-satunya yang membuat hidupnya bahagia sebentar lagi akan pergi.

"Aku ritual di Gunung Kemus, gak sampai sebulan udah punya uang banyak. Jadi bisa membeli mulut-mulut orang yang menghinaku dulu."

Kalimat dari seorang kenalan kembali berputar di kepala Pardi. Apa dia harus ikut jejak kenalannya itu?

Dan dia memilih iya. Untungnya Seruni tidak mau kembali ke keluarganya, dia memilih tetap berada di samping Pardi. Setelah Seruni diperbolehkan keluar dengan catatan harus segera kembali ke rumah sakit untuk operasi, Pardi mengutarakan keinginannya. Sebagai seorang istri yang berbakti, Seruni ikut apa kata suaminya.

"Perjalanan kita ke Gunung Kemus sekitar lima jam. Kamu kuat? Tapi aku janji, setelah ini kamu akan dioperasi dan sembuh total." Pardi menggenggam tangan Seruni.

Wanita itu mengangguk patuh. Mereka meninggalkan rumah kontrakan yang mirip kandang ayam untuk pergi ke Gunung Kemus. Dua ratus ribu tabungan terakhir mereka akan dihabiskan untuk naik bis.

Pardi merasa ragu-ragu untuk melanjutkan mencari pesugihan, dia tidak yakin apakah harus melanjutkan perjalanan ini. Rasa bimbang, takut, dan ragu-ragu bercampur menjadi satu. Ketika bis berhenti di terminal, Dia hampir menyerah dan berbalik arah, tapi ketika ingat dengan ancaman dari mertuanya, Pardi membulatkan tekad dan harus membuktikan kepada semuanya kalau dia bisa membahagiakan Seruni.

Dari terminal mereka melanjutkan naik angkot. Karena waktu yang bergulir cepat, mereka hampir saja ketinggalan kendaraan yang akan membawa ke Gunung Kemus.

Angin dan kabut menyambut kedatangan Pardi dan Seruni. Adzan magrib terdengar dari masjid yang tak jauh dari tempat mereka turun angkot. Mereka berjalan mengikuti jalanan aspal rusak dan dan menanjak itu. Semakin lama semakin jauh dari permukiman warga.

"Mas, ini yakin?" Seruni melihat suaminya, memastikan kalau mereka akan melakukan ini.

"Di sini gak pakai tumbal, Dek. Mas sudah tanya-tanya, jadi kita aman."

Seruni mengangguk. Mereka duduk di salah satu kursi dan menunggu. Entah siapa yang mereka tunggu. Temannya mengatakan, kalau mereka duduk di sana, nanti akan ada orang yang mendekati dan mereka akan dibimbing.

Hari semakin gelap, pencahaan semakin berkurang. Satu-satunya sumber cahaya yang ada di sana hanyalah lampu yang ada di ujung jalan belokan.

Suara jangkrik, kodok dan hewan liar bersahutan menambah suasana yang sudah mencekam. Hawa dingin semakin menusuk tulang. Seruni merapatkan jaketnya yang sudah usang.

Benar saja, setelah beberapa saat, mereka didatangi seorang laki-laki berpakaian hitam-hitam dan memakai ikat kepala. Ada lampu minyak di tangannya.

"Kalian mau melakukan ritual?" tanyanya tanpa basa-basi.

Dengan cepat Pardi mengangguk kuat-kuat.

"Bagus, ikuti saya! Sudah ditunggu orang yang akan menjadi partner kalian." Lelaki tua itu bernama Ki Songo, juru kunci di Gunung Kemus.

Sepasang suami istri itu mengikuti langkah Ki Songo hingga mereka tiba di pinggir danau. Tampak pantulan cahaya bulan di air yang tenang.

Di puncak Gunung Kemus ada sebuah danau, di tengahnya ada pulau kecil yang biasa dipakai orang untuk ritual.

"Siapa yang mau menjalani ritual ini? Salah satu dari kalian harus ke sana!" Ki Songo menunjuk tengah danau. "Diskusikan dulu, kalau sudah baru kasih tahu saya. Saya akan ke sana, menemui pasangan suami istri yang ingin melakukan ritual juga."

Sepeninggalan Ki Songo, Pardi menatap istrinya lembut. Meski hanya cahaya bulan yang memantul di wajah Seruni, tapi dia bisa melihat kalau wanita itu seperti rela dan tak rela.

"Kenapa?" tanya Pardi memastikan.

"Aku takut, Mas.

"Biar aku yang melakukan semua, Dek. Kamu hanya tinggal menunggu hasilnya. Oke!"

"Tapi benar ini gak pakai tumbal?"

Pardi mengangguk.

"Baiklah, aku izinkan kamu melakukan ritual, Mas. Semoga apa yang kita inginkan akan tercapai."

Suara tawa dan geraman samar terdengar setelah Pardi Seruni mengatakan itu. Tengkuk Seruni seperti ditiup oleh orang, tapi tidak ada siapa-siapa di sana.

Tak lama Ki Songo kembali lagi. Dia membawa sebuah kain hitam dan satu penampi (tampah) kecil yang berisi dupa dan bunga-bunga.

"Kalian sudah siap?" tanya Ki Songo.

Pardi mengangguk.

"Pakai ini, lepaskan semua baju yang kamu pakai dari rumah. Berikan ke istrimu."

Setelah melakukan apa yang Ki Songo suruh, Pardi kini berdiri di atas perahu kecil.

"Nah itu patner kamu!" Sepasang suami istri datang dan mendekati Ki Songo. "Kalian berdua akan ke tengah sana berdua. Ada gubug yang akan kalian gunakan untuk ritual. Tapi sebelumnya saya akan jelaskan dulu beberapa hal yang harus kalian ingat."

Seruni menoleh menatap suaminya, dan sepasang suami istri di samping Ki Songo. Yang memakai pakaian hitam adalah si wanita, apa itu berarti suaminya dan wanita itu yang akan melakukan ritual?

Ki Songo melanjutkan kalimatnya. "Kalian berdua harus melakukan hubungan suami istri di sana. Setiap malam Selasa Kliwon kalian harus melakukan ritual lagi. Yang akan mendapatkan kekayaan hanyalah salah satu dari kalian, jadi barang siapa yang mendapatkan kekayaan harus menanggung hidup yang tidak mendapatkan. Paham?"

Pardi mengangguk.

"Ta ... pi ini gak ada tumbal kan, Ki?" tanya Seruni dengan suara gemetar.

"Tidak ada. Hanya saja kalau kalian telat atau tidak melakukan ritual, akan ada konsekuensinya."

"Jadi gak pakai uang mahar dan tumbal?" tanya Pardi memastikan.

"Ya. Hanya kalian harus tetap ritual setiap malam Selasa Kliwon."

Ritualnya pun tidak sulit, jadi Pardi langsung setuju dan dia bertekad tidak akan melupakan saat ritual nanti.

Tanpa mereka sadari, sesuatu di balik pohon gayam di pinggir danau tersenyum menyeringai. Matanya merah, dan giginya runcing.

"Manusia bodoh!"
0
27
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Komunitas Cerpen Cerbung Kaskus
Komunitas Cerpen Cerbung Kaskus
216Thread414Anggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.