Motor Tua

"Makin lama kamu makin mirip Motor Tua Fik," celoteh teman saya, Bisma.

Motor Tua itu termometernya memang sudah tidak aktif. Larinya sudah tidak kencang, tampilannya sudah tidak menarik dan seperti anak kecil puasa, bolong sana-sini. Dipikir-pikir memang mirip ya!

Saya bahkan sudah tidak menghitung lagi, dari uang yang saya tabung untuk 'kebutuhan dan jaminan di masa depan'.

Entah sudah berapa ia kuras, entah seberapa banyak telah saya habiskan rupiah untuk menambal bolongnya.

Sebetulnya tidak banyak, namun kamu tahu kan, bagi beberapa orang (termasuk saya) yang tidak banyak itu lah yang kami miliki.

Tapi baru-baru ini, saya sadar. Barang tua ini pun sebetulnya juga sebuah kebutuhan, sebuah jaminan.

Apa yang saya keluarkan tak lain ya harga yang harus dibayar untuk mengamankan barang yang saya perlukan ini.

Maka bukan tentang 'seberapa lagi' agar ia tetap dibutuhkan di masa depan, bermanfaat seterusnya atau berguna semampunya. Melainkan 'sudah seharusnya' begitu.

Sudah seharusnya, agar si Fikri bisa menikmati ritme roda kehidupannya, sudah seharusnya begitu agar ia masih bisa terus upgrade diri walau pelan dan terbatas.

Ya, Motor Tua dalam diri saya saat ini masih tetap sama bututnya, masihlah lamban, ruwet, lelet, suka lupaan tapi tetap ngeyel.

Namun, hidup ini bukan tentang seberapa warna-warni yang kita punya, bukan tentang seberapa banyak kilometer yang telah dilewati.

Hidup adalah tentang satu warna yang kita genggam saat nanti sampai di tujuan.

"Gak tau nih, gua lagi ngerasa capek aja"

"Hahaha, lagi abis aja itu tangkinya, yuk ikut gua isi bensin," katanya lagi.