Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

Novianti686Avatar border
TS
Novianti686
"Air Tuba"
Air Tuba
Oleh: Ovie




Alarm berdering berulang kali dari jam beker yang berada tepat di meja kecil samping tempat tidur. Mata ini begitu sulit dibuka, ngantuk, rasanya seperti ada benda bergelayut di kelopa mata.

Semburat cahaya putih menusuk mata yang masih sulit aku buka, samar terdengar bunyi klik dari saklar listrik yang dipijit seseorang. "Sayang, sahur yuk," suara berat yang sangat tidak asing di telinga ini mampu membebaskan aku dari rasa kantuk. Lelaki bertubuh tinggi besar itu sudah mengganti baju tidurnya dengan baju koko dan sarung. Wajahnya terlihat segar, dan lembab. Wangi mint, dan sabun mandi favoritnya menguar menyusupi lubang hidungku yang menjadi mood booster untuk diri ini.

"Ish, udah pukul tiga lima belas nih. Telat!" Aku berteriak seketika melihat jarum jam di dinding dan bergegas beranjak dari ranjang.

"Duduk dulu, sunat doa bangun tidur dulu," ucap suamiku. "Tenang aja, udah siap kok makanan sahurnya."

Seketika pipi ini terasa panas, kukira kulit wajah ini pun memerah, sungguh malu dibuatnya. Selalu Akang berlaku seperti itu ketika istrinya bangun terlambat. Entah makan sahur, entah sarapan, pasti sudah disiapkan tanpa membangunkan istrinya yang terlelap.

"Maaf ya," rajukku.

Akang tersenyum dan beranjak dari tempat tidur sambil mengusap kepalaku. Begitu pun aku segera bergegas turun dari ranjang, untuk membersihkan diri, mengambil wudhu, dan berganti pakaian berisiap untuk makan sahur bersama.

~**~

23 Maret 2023, pukul 3.45 pagi akhirnya kami berdua selesai bersantap sahur. Lantunan sholawat sayup -sayup terdengar dari toa mesjid, sangat syahdu mengisi relung kalbu. Tidak berselang lama, Sang Ustad menyampaikan sisa waktu imsyak yang tinggal beberapa menit lagi.

Aku pun membereskan meja makan, menyimpan sisa makanan dalam kotak makanan lalu menaruhnya di kulkas. Mencuci semua peralatan makan dan masak, agar dapur kembali bersih. Sementara suamiku, berpindah duduk ke ruang tengah. Terlihat sedang menelpon seseorang melalui ponselnya.

"Sayang, kenapa Emak enggak angkat telponnya, ya?" ucap suamiku, seperti bertanya yang mungkin dia pun sudah tahu jawabanku pasti tidak tahu. "Duh, suka bikin khawatir aja!" ucapnya lagi.

"Lagi solat kali, Pah." Aku mencoba menenangkan dengan jawaban sekenanya.

~**~

Rumah yang dulu begitu asri kini terlihat sepi dan kumal. Rumput-rumput di halaman rumah meninggi tidak terurus, semakin terlihat kumuh dengan daun-daun kering yang berserakan. Aku membuka pintu utama rumah yang sudah tidak sempurna, sedikit berderit karena engsel-engsel yang termakan usia, berkarat.

Aku melangkah kaki menuju kamar utama, pun terlihat temaram, hanya semburat cahaya matahari yang masuk menelusup jendela kamar yang gordennya sedikit tersikap.

Ibu Mertuaku, ibu dari suamiku. Tubuh tuanya terlentang di ranjang, napasnya tersengal, berat. "Assalamualaikum Mak," bisikku. Khawatir beliau tengah tertidur, namun ternyata tidak. Mata keriputnya terbuka, bibirnya tersenyum lebar, "waalaikumsallam, eh, ada Nonin. Sini nak." Emak menepuk sisi ranjangnya mengisyaratkan agar aku duduk di sana.

Aku duduk di sisi ranjang, Emak membenahi posisi tidurnya. Mak bercerita banyak, setelah si bungsu menikah lagi, ternyata masalah tidak selesai sampai perceraian dengan suami sebelumnya, lalu menikah lagi dengan suami barunya. Air mata berderai basahi pipi tuannya. Aku hanya bisa menjadi pendengar setia, tanpa menyela, tanpa memotong, juga tidak menimpali.

"Kalau Mak di sini sendiri, lebih baik Mak tinggal di rumah aku aja, ya," pintaku, namun seperti yang sudah-sudah sebelum semua ini terjadi jawabannya adalah gelengan kepala. ini sudah menjadi yang kesekian kalinya aku merayu ibu dari suamiku ini agar tinggal bersama kami. Namun jawabannya selalu sama, yaitu tidak mau.

Entahlah apa mungkin Mak terlalu berat hati dengan putri bungsunya yang baru saja bercerai, dan kembali menikah lagi? Padahal sudah jelas si bungsu lebih memilih tinggal bersama suami barunya dari pada Emak. Atau Emak tidak mau merepotkan kami? Entah.

Pernikahan adik dari suamiku dengan suami pertamanya yang kini sudah selesai, telah menyumbang banyak deposito pikiran buat Mak. Pertengkaran demi pertengkaran dari putri bungsu Mak dengan suaminya dulu, menjadi nutrisi yang harus dilahap Mak setiap hari. Sering kali Mak mengadu, namun apa daya aku hanya bisa menjadi pendengar setia yang sedia mendengarkan keluh kesah Mak. Namun ada batasan untuk masuk terlalu jauh ke dalam urusan yang bukan ranahku.

Kini setelah kembali menikah, kedewasaan putri bungsunya Emak pun tidak terlihat. Hanya terus berkeluh kesah bergumul dengan masalah, seolah menjadi orang paling menderita, padahal dia sudah menjerumuskan orang yang melahirkannya dalam masalah yang seharusnya disikapi dewasa.

"Mak, tinggal di rumah kami saja ya? Di sini enggak ada siapapun, khawatir kenapa-kenapa." Lagi- lagi Mak menggelengkan kepala, yang berarti tidak mau.

Akang yang sejak tadi berdiri, mengangkat telapak tangannya sebagai isyarat agar aku tidak kembali mengulang ucapanku. Khawatir Emak tidak nyaman dengan niat baik kami.
Meski tubuhnya sudah rapuh, sifat Emak yang keras sering kali membuat kami berdua sulit menghadapinya. Sering kali kami berusaha mengerti saja, meski sebenarnya sulit memahami.

Ikhtiar kami saat ini hanya menyediakan sebuah ponsel sederhana yang kami ajarkan pada Emak cara menggunakanya untuk memudahkan komunikasi. Juga menitipkan pada tetangga kanan-kiri rumah Emak. Kami kira hanya itu cara satu-satunya agar bisa memantau Emak dari jauh. Karena kami tawarkan untuk ditemani seorang asisten rumah tangga pun, Emak menolaknya.

~**~

Deru motor membelah jalan raya yang masih sepi, basah bekas hujan masih tersisa di semua badan jalan. Beruntung jalanan masih lengang, karena suamiku mengendarai motornya sangat di luar kebiasaan.

Jujur aku takut, dibonceng suamiku dalam keadaan seperti ini. Tetapi tidak mungkin juga aku tidak ikut ketika kabar tidak baik sampai di telinganya.

Tidak sampai satu jam, kami sudah sampai di rumah Emak. Nampak banyak orang berkerumun di depan rumah, yang seketika mereka semua menyambut kedatang kami. Rumah Emak benderang para ibu silih berganti keluar masuk kamar tidur Emak.

"Hanya luka di pelipis, sama dilutut." Ucap seorang perempuan yang mengalunkan stetoskop di lehernya. "Tadi katanya waktu mau ambil air wudhu, ibu Sepuh pusing dan semuanya tiba-tiba gelap. Beruntung segera ketahuan." Kembali menjelaskan.

Suamiku bersalaman, tersenyum, lalu duduk disamping ibu nya. Matanya sembab, tangannya mengusap punggung tangan Emak tanpa banyak kata. Ini lah yang paling dikhawatirkan suamiku, yang akhirnya terjadi juga.

~**~

Dering telepon yang tidak berhenti mengurungkan niat kami untuk melanjutkan rutinan pagi setelah solat subuh. Aku menutup Al-Qur'an, dan bergegas mendekati suamiku yang terlihat panik, setelah berbicara melalui telepon dengan seseorang.

"Emak, jatuh di kamar mandi." Ucapnya singkat, Akang memintaku segera bersiap, pagi ini kami akan berangkat ke rumah Emak. "Pantesan tadi di telpon enggak diangkat-angkat," celotehnya lagi.

Akang bilang, Emak ketahuan jatuh karena Bu Haji tetangga depan rumah Emak hendak ke rumah untuk mengecek keberadaan beliau dan memastikan apakah sudah bangun untuk makan sahur atau belum. Ternyata begitu masuk rumah, Emak sudah di kamar mandi dengan tubuh tengkurap dan darah mengucur dari dahi. Kata Akang pula, tadi Mak pingsan. Namun sekarang sudah siuman, sudah ditangani seorang dokter yang kebetulan rumahnya tidak jauh dari rumah Emak.

Kulihat Emak kini kembali terlelap setelah bicara dengan Akang. Satu persatu tetangga yang tadi berkerumun berpamitan untuk pulang. Tersisa aku dan Akang saja, menunggu Emak memastikan keadaannya kembali pulih.

Hidup, inilah kenyataan sebenarnya hidup. Musuh nyata orang tua adalah anak, karena ketika mereka dewasa dan tidak memiliki bekal ilmu agama juga adab maka tidak akan tahu cara berlaku kepada orang tua.

Sering kali kita mendengar ungkapan seperti ini: seorang Ibu bisa mengurus sebelas anak, namun sebelas anak belum tentu mampu mengurus ibu mereka yang sudah menua pun renta.

~~***~~

"Dan Kami perintahkan kepada manusia (agar berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam usia dua tahun. Bersyukurlah kepadaKu dan kepada kedua orang tuamu. Hanya kepada Aku kembalimu." Surah Luqman ayat 14.

Bandung, 23 Maret 2023
#Day2

#Diary Ramadhan
darmawati040Avatar border
bukhoriganAvatar border
bukhorigan dan darmawati040 memberi reputasi
2
411
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.5KAnggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.