cattleyaonlyAvatar border
TS
cattleyaonly
Gadis Bermata Abu-Abu


Gadis bermata abu-abu itu bernama Anetta. Aku mengetahuinya saat Suster Anna memperkenalkan pada seluruh penghuni panti. Aku menyukainya sejak pandangan pertama. Gadis itu sangat berbeda dengan penghuni lain. Dia terlihat sering menyendiri dan tidak banyak bicara, seperti aku. Dia hanya bicara pada boneka beruang cokelat miliknya, atau meraba-raba dinding untuk sampai di tempat tidurnya.


Ranjang Anetta terbuat dari besi-besi yang sudah tua dan berderit ketika Anetta menaikinya. Terkadang besi-besi itu menguarkan bau yang tidak sedap. Mungkin bau itu yang menyebabkan Anetta selalu terbangun beberapa kali tiap malam. Biasanya dia duduk, lalu mulutnya komat-kamit. Entah dia sedang bicara apa, atau bicara kepada siapa. Aku hanya bisa mengamatinya dari sudut ruangan, di atas tumpukan koran lama.


Saat ini, Anetta sedang duduk di ayunan sambil menggendong bonekanya. Aku memanggil, tetapi Anetta seperti tak mendengar. Dia terus saja bercerita pada boneka beruangnya dan mengabaikan aku. Namun, aku tak menyerah. Kukibas-kibaskan ekor sambil menggesekkan badanku ke kakinya. Kali ini dia bereaksi. Tangannya menggapai-gapai ke bawah. Aku mendekatkan badan. Dia tersenyum ketika berhasil meraih dan mengelus kepalaku.


Suster Anna mendekati Anetta dan menuntunnya ke kamar. Aku mengikuti sambil mengibas-ngibaskan ekor. Entah kenapa, gadis kecil itu begitu menarik perhatianku. Apakah mungkin karena warna matanya sama denganku, sedangkan anak-anak lain di panti bermata hijau atau biru?


Seorang tamu datang ke panti. Wanita gemuk berambut keriting, yang matanya terkadang berkedip sangat cepat. Kurasa ada yang salah dengan mata itu, atau syarafnya. Dia sama sekali tak menarik perhatianku dan sama sekali tak menyukaiku. Terbukti, kakinya yang memakai sepatu hak tinggi mendorongku menjauh, ketika aku mendekatinya. Wanita itu kemudian bersin-bersin yang membuat Suster Anna berkata “Hush! Hush!” menyuruhku menjauh.


Aku bersembunyi di belakang pintu untuk bisa mengintip wanita itu. Kedatangannya tak biasa. Dia berkata pada Suster Anna bahwa ada seorang donor mata untuk Anetta. Aku tak mengerti apa artinya.


“Kau dengar Anetta, sebentar lagi kau bisa melihat,” kata Suster Anna kepada Anetta. Kulihat gadis kecil itu tersenyum. Baru kali itu aku melihat senyumnya. Dia sangat manis. Jika ada orang yang bisa memilikiku, pastilah Anetta orangnya. Aku ingin selalu bersamanya. Apakah ini hanya karena kesamaan warna mata?

Beberapa hari menjelang Anetta dibawa pergi, kulihat dia sering menangis. Entah itu ungkapan rasa sedih atau bahagia. Aku tak tahu arti air mata manusia. Bangsaku tidak pernah menangis, hampir tidak pernah. Kulihat ibu menangis saat menghembuskan napas terakhir. Aku berdiri di dekatnya, setelah ban sebuah mobil dengan kasar melindas.


Malam ini Anetta terlihat resah. Dia mondar-mandir di kamar dan mengabaikanku yang sejak tadi memanggil. Entah kenapa kali ini aku merasa kesal. Padahal biasanya gadis itu juga mengabaikanku. Dia bahkan tak pernah menatapku.


Keesokan paginya, Anetta dibawa pergi suster Anna. Mungkin dia akan mengantuk, karena semalaman kulihat gadis kecil itu tidak tidur. Aku menunggu kepulangannya di teras panti. Namun berhari-hari kemudian, Anetta tak pulang. Ada kesunyian yang mencekam.


Penantianku berakhir di suatu senja yang muram, ketika angin mengabarkan akan datangnya hujan pada rumput-rumput di halaman. Anetta pulang. Kali ini Suster Anna menggendong dengan berurai air mata. Aku mengikutinya sambil memanggil-manggil Anetta. Kukibas-kibaskan ekor sambil mengeong sekerasnya.


Suster Anna meletakkan Anetta ke dalam sebuah peti. Mata Anetta terpejam dengan wajah sepucat kapas dan tak bergerak. Apakah dia mati? Benarkah dia mati? Aku bertanya kepada semua orang, tapi tak ada yang memedulikan. Rasa putus asa membuatku berhenti berteriak. Aku teringat cerita leluhurku. Ada satu cara untuk menghidupkan orang mati. Aku harus melangkahinya!


Tanpa menunggu lagi aku membuat ancang-ancang kemudian melangkahi mayat Anetta. Semua orang berteriak dan mengusirku, tapi aku tak peduli. Aku tersenyum puas dan menunggu keajaiban datang.


Malam itu, aku pergi ke kamar Anetta. Dia duduk di ranjang dan melihatku. “Hai pussi, sini!” panggilnya. Betapa bahagianya aku, akhirnya Anetta bisa melihatku. Dia menggendong dan menatap mataku. “Warna mata kita sama,” katanya.

Tamat

Terima kasih sudah membaca thread ini.

Sumber gambar: Pinterest
Diubah oleh cattleyaonly 15-02-2023 04:24
bukhoriganAvatar border
darmawati040Avatar border
darmawati040 dan bukhorigan memberi reputasi
2
419
2
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.8KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.