penajuteksAvatar border
TS
penajuteks
MEMBALAS SUAMU SELINGKUH.
#kbmcerbung
#promonovel

MEMBALAS SUAMI SELINGKUH.

BAB. 2. KONTRAKSI.

Lima menit berlalu, sakit di perut bagian bawahnya kembali berangsur pulih. Wanita yang baru berusia tiga puluh tahun itu balik lagi ke ranjang untuk rebahan. Kedua kakinya tak kuat lagi untuk menopang bobot tubuhnya jika terlalu lama berdiri. Dadanya naik turun karena menahan beban dua janin dalam perut. Kehamilan yang kedua kali ini memang sangat dijaga sekali oleh Nana.

Menjelang kelahiran si kembar, emosinya terlalu sering naik. Penyebab utamanya karena ulah suaminya sendiri. Setiap kali berbicara dengan Lanang pasti darah tingginya akan selalu naik. Makanya untuk menghindari bahaya yang cukup serius bagi janinnya, Nana jarang menelpon suami. Walapun dia sendiri menahan rindu akibat keputusannya itu.

Belajar dari kehamilan pertamanya yang gagal saat usia pernikahannya baru tiga tahun, Nana sangat menjaga pola makan dan hidup sehatnya selama kehamilan keduanya itu terdeteksi.

Semua pantangan yang tak boleh selalu dia hindari. Walaupun untuk kehamilan kedua ini, dia harus berjuang sendiri tanpa pengawasan dari suaminya. Dia sangat bersyukur karena janin yang ada dalam kandungannya tidak begitu rewel.

Nana hanya mabuk saat memasuki bulan pertama kehamilan. Itu pun hanya bertahan satu minggu. Selebihnya aman dan tak rewel lagi. Beruntungnya lagi, semua jenis makanan selalu dia terima dan tak ada drama mabuk kembali. Kalau istilah jawanya itu hamil kebo, semua makanan masuk dalam lambungnya.

"Aduh, duh, perutku mules lagi. Aww, sakit. Aduh, Mak'e. Perutku sakit."

Nana mengerang kesakitan. Gelombang cinta dalam perutnya datang lagi. Sepertinya kontraksi di perutnya mulai sering datang, tak seperti sebelumnya.

Nana berusaha bangkit lagi dari ranjang hangatnya. Dia duduk pada tepian ranjang dengan kaki yang menggantung ke bawah. Perut buncit itu dia usap dengan sayang. Sedang tangannya yang lain mengambil ponsel yang ada di atas bantal. Dia harus menelpon Mamak Mertua untuk segera mengantarkannya ke rumah sakit.

Kedua tangannya mulai gemetar dan tak kuat memegang ponsel terlalu lama, hingga benda pipih persegi itu dia letakkan di ranjang. Tangannya masih menggulir layar sentuh itu ke bawah untuk mencari nomor baru milik Mamak Mertua.

Satu nomor tanpa nama ada di urutan paling bawah di daftar nomor teleponnya. Tanpa menunggu lama, dia langsung menghubungi nomor tersebut. Akan tetapi, satu sambungan telepon itu terputus karena tak ada jawaban di ujung sana. Kedua kalinya telepon itu tersambung lagi dan langsung dijawab oleh suara cadel khas anak-anak.

"Halo, ini ciapa?" Suara khas anak kecil itu mulai menyapa pendengaran Nana di telepon.

"Hallo, ini Abang Ali, ya? Mamak dimana, Bang? Bunda mau ngomong, nih, sama Mamak. Kasihkan Mamak, ya, teleponnya!"

Satu kalimat perintah itu keluar untuk bocah laki-laki yang berusia enam tahun, yang menerima teleponnya. Untuk kesekian kalinya, Nana meringis lagi saat rasa sakit itu datang kembali.

"Ini Unda, ya. Tunggu cebental, ya, Nda!"

Seketika Nana menurunkan volume telepon itu karena terdengar suara berisik di ujung sana. Sepertinya bocah itu berlari untuk mencari ibu kandung dari pamannya.

"Dasar laki-laki nggak tanggung jawab. Mau buntingin tapi nggak mau nemenin aku lahiran, ya. Awas kau, Bang! Setelah lahiran ini tunggu pembalasanku, ya!" Nana mulai menggerutu ketika mengingat suaminya lagi. Sesekali bibirnya meringis menahan sakit.

Dia sudah bertekad untuk menyusul suaminya di Kalimantan Utara setelah melahirkan si kembar. Kalau suaminya terbukti ada main di belakangnya, maka Nana akan membalasnya dengan kejam. Takkan ada ampun pokoknya.

Sejak subuh tadi perutnya mulai mengeluarkan tanda-tanda ingin melahirkan. Dari setengah jam sekali kadang mules itu datang, lalu sekarang jadi sepuluh menit sekali mulesnya lebih sering datang.

Bahkan, lima menit yang lalu mules itu sudah tiga kali datang secara beruntun tanpa bisa dicegah. Karena sakit itu sudah sering datang, makanya dia harus cepat ke rumah sakit. Agar dia dan kedua anaknya bisa selamat.

"Halo, Na. Ada apa, Nak? Kau mau lahirannya." Tanpa salam, suara di ujung sana langsung menginterupsinya dengan nada khawatir.

"Iya, Mak. Cucu Mamak mau lahir, nih. Ayo ke rumah sakit sekarang! Anterin Nana, Mak."

"Iya, iya. Kau jangan kemana-mana, ya. Mamak langsung ke rumahmu. Mamak kabarin Bapaknya Ali dulu biar dia yang bawa mobil."

"Ah, Iya, cepet, Mak! Dah, nggak tahan sakitnya ini."

"Iya. Iya. Mamak cepat ini."

"Gak pakai lama, Mak."

Sambungan telepon itu langsung terputus tanpa ada jawaban dari seberang. Nana meletakkan kembali ponselnya di atas bantal yang memakai sarung bantal berwarna putih. Warna putih itu kesukaan Lanang. Sejak Subuh tadi, dia sudah sibuk mengganti seprai dan sarung bantal untuk menyambut kepulangan suaminya hari ini.

Sayangnya perjuangan itu tak dihargai oleh lelaki yang disebut suami. Hingga siang menjelang hatinya masih sangat murka saat lelaki itu menolak untuk pulang ke rumahnya di Medan.

Perlahan Nana bangkit dari ranjang yang ada di kamar pribadinya di lantai satu. Dengan pelan, Nana mulai berjalan keluar kamar saat mendengar suara panggilan dari pintu depan. Dia mengambil khimar panjang yang menggantung di belakang pintu kamar. Itu pasti Mamak Mertuanya yang datang. Jarak rumahnya yang berdampingan dengan rumah mertuanya sangat memudahkannya untuk memanggil ibu kandung dari suaminya itu

Setelah memakai jilbab besar itu di kepala, Nana melangkah lagi dengan tertatih-tatih sambil berpegangan pada dinding di sebelah kirinya. Andaikan pintu rumahnya tak dikunci pasti dia tak perlu susah payah membuka pintu itu. Jarak yang dekat antara ruang tv dan pintu depan itu jadi terasa jauh karena langkahnya yang sangat pelan.

Setiap langkah yang di hela, dia akan merasakan nyeri hebat yang sangat luar biasa. Seluruh tubuh dan wajahnya basah karena peluh yang terus keluar. Rasanya tulang belulangnya seperti akan copot dari tempatnya. Sungguh sakitnya melahirkan sangat luar biasa. Rasanya semua tulangnya seperti dipatahkan secara bersamaan.

Dengan tangan yang gemetar luar biasa, Nana masih berusaha membuka anak kunci dan handle pintunya bersamaan. Tapi, usahanya itu terus gagal karena rasa gemetar itu. Entah usaha yang keberapa kali, akhirnya pintu berwarna coklat tua itu berhasil dibuka. Seseorang yang menunggu di depan pintu rumahnya langsung menerobos masuk ke dalam rumah.

Wajah tua itu sangat cemas luar biasa. Kedua bola matanya terbelalak kaget saat menantu kesayangannya itu mulai kehabisan tenaga.

"Astaga, Nana. Wajahmu pucat sekali, Nak. Ayo cepat kita ke rumah sakit!"

Mamak dari suaminya itu Cumiik dengan suara tuanya yang bergetar. Wanita tua yang memiliki nama panggilan Mak Suri itu dengan sigap memapah menantunya yang mulai kehilangan tenaga.

Nana masih sekuat tenaga menahan sakit yang terus menyerang perut bawahnya. Salah satu tangannya dengan kuat mencengkram pinggiran pintu rumahnya.

"Ahh!" Nana kembali menjerit kesakitan, sepertinya pembukaan pada rahimnya sudah kembali terbuka.

"Ayo, duduk dulu! Mamak ambilkan dulu perlengkapan melahirkanmu. Dimana kau letakkan tasnya?" Mak Suri berlari ke dalam untuk mengambil tas itu.

"Di kamar bawah, Mak." Nana menunjuk ke arah kamar yang dekat dengan ruang tamunya.

Dengan langkah seribu, Mak Suri masuk ke kamar dengan luas 5x5 m. Matanya berkeliling ke dalam ruangan bernuansa putih itu. Senyumnya terbit kembali setelah menemukan tas besar yang ada di dekat lemari pakaian. Tangannya juga mengambil ponsel yang ada di atas bantal.

Setelah keluar dari kamar, Mak Suri mengunci kembali kamar pribadi milik menantunya itu. Karena dalam kamar itu banyak barang berharga yang harus dijaga. Mak Suri tak mau rumah menantunya kemalingan lagi saat mereka ada di rumah sakit.

Dengan langkah tergesa, Mak Suri mendekati menantunya yang terbaring lemah di sofa. "Ayo, kita langsung ke rumah sakit, ya!" Nana mengangguk lemah tanpa bersuara.

Mak Suri kembali memapah menantunya untuk keluar rumah dengan membawa satu tas besar di tangan kanannya. Dengan langkah pelan, Mak Suri membantu Nana untuk masuk ke mobil yang sudah siap di halaman rumah. Setelah Nana duduk dengan nyaman di mobil, Mak Suri keluar lagi dari mobil untuk mengunci pintu rumah menantunya.

"Ayo, cepat jalan, San! Ke rumah sakit Awal Bros, ya! Udah sakit kali si Nana ini. Jangan lambat kau nyupirnya." Mak Suri menutup pintu dengan keras, lalu dia duduk di sebelah menantunya.

Tangan keriputnya dengan cepat mengambil tisu yang menggantung di atap mobil. Tisu itu dipakai untuk mengusap keringat yang mengalir deras di pelipis Nana. Tak henti-hentinya dia menggerutu karena Lanang tak ada disini. Anaknya yang nomor dua itu memang keterlaluan sekali. Hanya karena kerjaan tak mau pulang ke Pekanbaru.

"San, ayo jalan! kok malah bengong kau? Nana udah hampir pingsan ini." Lelaki yang ada di balik kemudi itu tergagap dan mengangguk. Dia malu sekali karena kepergok Mamaknya sedang menatap istri dari adiknya itu.

"Iya, Mak! Berangkat nih kita."

Dengan cepat, lelaki bernama Sandi mulai memutar kunci mobil. Perlahan, dia melajukan kendaraan roda empat itu keluar dari halaman rumah adik iparnya.

Kedua mata teduh itu sesekali menatap iba pada adik iparnya melalui kaca spion depan. Sandi merasa iba karena wanita yang masih menyita perhatiannya itu harus berjuang sendirian untuk melahirkan tanpa suami.

"Mamak sudah nelepon Mang Udin untuk jaga rumah sekalian jaga Ali di rumah. Kalau Nana beneran lahiran, kau telepon Wak Ani untuk tidur dirumah, ya! Ali besok ujian. Kasihan dia kalau harus ke rumah sakit."

"Iya, Mak. Nanti Sandi urus semuanya."

Mobil itu terus melaju dengan cepat. Sesekali suara klakson mobil itu dia tekan, agar kendaraan lain tak mengganggu jalannya. Sandi mulai terbawa emosi. Lanang benar-benar tak bisa bertanggung jawab dengan istrinya.



Bersambung....
0
268
0
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
KOMPAK (Komunitas Penulis Aktif Kreatif)
KOMPAK (Komunitas Penulis Aktif Kreatif)
421Thread647Anggota
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.