penajuteksAvatar border
TS
penajuteks
MEMBALAS SUAMI SELINGKUH
JUDUL NOVEL : MEMBALAS SUAMI SELINGKUH.

"Halo, Bang, hallo, alhamdulillah, akhirnya tersambung juga. Abang susah banget, sih, dihubungi. Macam nunggu aku lahiran aja, loh, lama banget nyambungnya. Abang sehat-sehat, kan, disana?" Nana tersenyum lebar ketika sambungan video call-nya dijawab oleh suaminya di ujung telepon.

"Berisik, Na. Jangan teriak-teriak gitulah! Malu sama temen Abang disini. Malu-maluin aja kau ini, ah!"

Nana mencebik kesal. Suaminya yang bernama Lanang Pardede itu menjawab video call-nya dengan rasa malas yang kentara. Jawaban tak enak di dengar itu membuyarkan semangatnya yang awalnya menggebu ketika telepon itu tersambung.

"Apanya Abang ini? Ditelepon binik bukannya senang malah malas gitu suaranya. Tak sukanya kau aku telepon?"

Wanita yang memiliki nama lengkap Nana Sudrina itu tak kalah ketus untuk membalas ucapan suaminya. Dia langsung kesal. Lanang tak menghargai usahanya yang susah payah menelponnya di ujung sana yang katanya susah sinyal.

Lanang mengusap kasar wajahnya karena kelepasan. Hampir saja dia emosi saat istrinya yang di kampung menelpon. "Bukan begitu, Na, Abang lagi sibuk ini malah diteleponin terus. Nanti nggak siap-siap, nih, kerjaan Abang," kilah Lanang untuk membela dirinya. Dia berusaha bersikap biasa saja agar tak dicurigai istrinya disana.

"Apaan nelponin terus. Baru ini aku telpon, ya. Udah dua minggu lebih Abang tak juga nelpon aku. Gak kangen rupanya sama aku, Bang!" Nana memprotes lagi. Lanang sudah jarang memberi kabar padanya selama enam bulan terakhir hidup di perantauan.

"Bukannya tak kangen, kau, kan, tau Abang sibuk kerja. Jadi jangan tanya terus kau, ya!" Lelaki yang bekerja di perusahaan tambang itu terus saja membela diri.

Sesekali kamera video call itu dia tutup dengan jari tangan, agar Nana tak bisa mengamati wajahnya yang gugup luar biasa. Pasalnya ini ketiga kali dalam sebulan istrinya melakukan video call dengannya. Biasanya hanya menelpon biasa.

"Katanya sibuk, kok, masih di rumah jam segini. Nggak kerja apa, Bang?" Nana melihat jam yang menggantung di atas pintu kamarnya yang menunjukkan pukul dua siang.

"Tuh, lihat masih jam dua siang, kok, cepet pulangnya." Nana membalikkan kamera ponsel ke arah jam dinding yang ada di kamar.

Lanang melebarkan kedua bola matanya saat melihat jam di dinding yang ada di kamar wanita yang tengah hamil tua itu.

"Ya… Abang ini, kan, mau makan siang, jadi, sekarang di rumah. Cemananya kau ini!" Suara bas itu mulai terbata-terbata. Pikirannya mendadak kacau karena istrinya mulai mengintrogasinya.

"Di rumah. Tapi, kok, kayak asing aku sama warna dinding rumahnya itu. Rumah siapa itu, Bang?" Nana mendekatkan kedua matanya pada kamera ponsel.

Dia mengamati cat dinding yang berwarna abu tua itu. Benar catnya tampak berbeda setelah hampir dua minggu terakhir dia tak menelpon dan tak melihat suasana rumah suaminya di sana.

"Ee, anu, itu … baru ganti itu catnya." Lanang semakin kelabakan. Wanita yang telah sepuluh tahun menjadi istrinya itu mulai mengamati kamar yang tengah dipakai untuk beristirahat.

"Yang benar, lah? Bentuk kamarnya pun beda itu." Nana memicingkan mata. Dia mulai curiga. Suaminya bersikap tak biasa yang cenderung mencurigakan.

"Ah, sudah lah! Segala macam cat pun kau ributin. Ada apa kau nelpon Abang siang bolong gini? Abang mau kerja lagi. Tak usah lama-lama menelponnya!" Seketika, Lanang mengalihkan pembicaraan itu agar istrinya tak semakin curiga padanya.

Nana memejamkan mata. Dia menepuk keningnya karena lupa dengan tujuanya menelpon. "Oh, ya, sampai lupa aku, kan, gimana? Abang bisa pulang hari ini, kan? Utun mau lahiran, nih. Aku juga udah booking rumah sakit yang ada di kota. Katanya Abang pingin aku lahiran di rumah sakit besar. Jadi sudah aku siapkan semua, Bang."

Nana menjelaskan tujuannya menelpon. Namun, mendadak kedua matanya menyipit saat suaminya tampak ragu menjawab.

Lanang meringis pelan. Ia menatap entah pada siapa yang ada di belakang kameranya itu. Dia pun mengusap keningnya dengan kasar karena hampir saja dia lupa kalau istrinya akan melahirkan. Tapi, urusan disini penting juga, jadi tak mungkin untuk ....

"Abang! Kenapa malah diam! Cepat kemas-kemas! Biar nanti malam tinggal berangkat! Apa perlu aku pesankan tiket pesawat dari sini, hah?" Nana Cumiik karena Lanang lama meresponnya.

"Duh, gimana, ya, Na? Sepertinya Abang belum bisa pulang ke Medan. Mendadak kerjaan disini tak bisa ditinggal. Lagi padat-padatnya."

Lanang meringis kembali. Terpaksa dia memakai alasan itu lagi saat tak bisa pulang. Nana semakin mendelik. Dia tak suka suaminya batal pulang dari perantauan untuk kesekian kalinya.

"Apa? Jangan macam-macam Abang, ya! Kerjaan terus yang dijadikan alasan! Abang udah janji sama aku, ya, mau nemani lahiran! Jangan ingkar janji dong!" Nana bersungut-sungut karena emosi.

Dia bangkit dari ranjang. Napasnya mulai ngos-ngosan karena emosinya yang naik terus. Wanita yang tengah hamil tua itu pun berjalan pelan ke arah jendela kamar yang menghadap ke kebun buahnya yang tengah berbuah lebat. Dia butuh udara segar untuk menetralisirkan rasa amarah di dada.

"Siapa yang banyak alasan? Memang kenyataannya tak bisa. Mau gimana lagi coba. Kau mau Abang di denda sama atasan, hah!"

Tanpa pikir panjang, Lanang terus membantah tuduhan istrinya itu. Dia tak menyadari dengan sikapnya yang seperti itu semakin membuatnya dicurigai.

"Eh, kemana pulak muka Abang itu. Kenapa gelap kameranya. Sengaja Abang tutup, ya. Buka kameranya, Bang! Si utun masih kangen sama ayahnya ini."

Lagi dan lagi suara protes itu terus berdengung di telinga Lanang. Dia pun mulai naik pitam karena nada suara istrinya semakin tak enak didengar.

"Iya, iya, tunggu sebentar, ya! Banyak orang disini." Dengan rasa malas, Lanang membuka lagi kamera video callnya itu di seberang sana.

Nana menautkan kedua alisnya. Dia merasa heran karena suara suaminya di ujung sana sepi, seperti tak ada orang lain.

"Cepatlah! Tapi sepinya disana. Nggak ada suara apa-apa pun. Jangan bohong kau, Bang!" Nana terus membantah jawaban Lanang yang semakin tak masuk akal.

"Iya sepi loh, Ini Abang udah di kamar! Gak percaya kali sama suami kau, ya!" Lanang mendengus karena istrinya terus curiga padanya.

Dia tersenyum lebar kembali, hingga kedua matanya menyipit. Wajah suaminya terlihat kembali pada kamera ponsel canggihnya. Akan tetapi, tidak dengan Lanang, dia memutar kedua matanya malas dan tak minat sama sekali ketika melihat bentuk rupa istrinya di balik kamera ponsel itu.

Penampilan istrinya hari ini seperti Upik Abu yang terlantar. Muka kusut, rambut acak-acakkan yang tak disisir sejak seminggu kemarin, lalu daster lusuh sobek di bagian bahunya yang membuat penampilannya semakin tak enak dipandang. Lanang pun sampai mual saat menatap istrinya itu.

"Nah, gini lagi, kan, enak. Jadi terobati kangen si Utun," ujar Nana, kembali dia mendekatkan kamera ponselnya lagi pada perutnya yang membuncit besar.

"Dedek utun, ini Ayah, Nak. Jangan kangen terus, ya ... Ayah lagi cari duit disana. Jangan rewel lagi."

Seakan sudah lupa dengan kekesalannya tadi, Nana terus menarik kedua ujung bibirnya. Dia pun terus mengelus perutnya di depan kamera ponsel itu.

Lanang sedikit tertegun ketika melihat perut buncit istrinya. Mendadak rasa sesal menelusup dalam seonggok daging yang ada dalam dadanya. Lalu tanpa sadar, Lanang menggeser ponselnya, hingga kameranya menghadap pada belakang pintu kamar yang tertutup.

"Maafin Ayah yang belum bisa pulang, ya, Dedek Utun. Ayah janji bakalan pulang cepet kalau kerjaan disini cepat siap, ya."

"Abang ini gimana, sih? Abang udah janji mau pulang hari ini! Kenapa bisa berubah lagi omongannya, hah! Aku sudah waktunya lahiran ini, loh! Jangan aneh-aneh Abang, ya!" Nana mulai kesal kembali saat mengingat suaminya yang tak bisa pulang.

Karena sejak dua bulan yang lalu, dia selalu berkilah tak bisa pulang karena pekerjaannya masih banyak. Dan proyeknya yang baru gol tak bisa ditinggal begitu saja, katanya saat itu. Namun, Nana mulai meragu dengan alasan itu. Dia jadi teringat ucapan teman suaminya beberapa minggu yang lalu. Bahwa suaminya ada main disana.

Tapi, hatinya masih ragu untuk membuktikan itu semua. Dia takut, hatinya patah dan mengamuk dengan membabi buta. Rasa temperamentalnya tak bisa dikendalikan jika sudah terpancing amarah.

"Ya, mau gimana lagi atasan Abang yang tak kasih izin. Masa iya, Abang melawan nanti kalau dipecat gimana? Gak bisa kasih nafkah si Utun nanti, loh!" Lagi, Lanang berkillah dengan banyak kebohongan yang sengaja dibuat. Matanya bergulir kesana kesini tak berani menatap istrinya.

"Terus gimana, dong, Bang? Perutku udah mules terus dari tadi malam, nih. Nggak pengertian sama sekali Abang, ya, jadi suami!"

Omelan itu kembali meluncur dari bibir tipisnya. Kedua matanya mulai menganak sungai. Ia tak mau melahirkan tanpa suami di sampingnya.

"Minta antar Mamak, ya, Dek, atau Bang Sandi aja suruh ngantar! Ibu sama Ayah juga, kan, ada juga di sana. Udah, ya, Abang mau kerja lagi, nih. Abang tutup teleponnya." Jari telunjuknya bersiap mematikan sambungan video call itu.

"Eh, tunggu dulu, Bang! Kau enak kali ngomongnya minta anter orang lain. Dimana tanggung jawabmu sebagai suami, hah! Mau buntingin tapi tak mau tanggung jawab! Egois kau, ya!"

Lagi dan lagi emosi itu akhirnya tumpah karena penolakan Lanang untuk yang kesekian kalinya. Kali ini kesabarannya terkikis habis. Suaminya tak mau lagi mempertimbangkan protesannya.

"Abang, kan, lagi kerja."

"Kerja apa sampai gak bisa pulang? Hampir setahun Abang kerja di Kalimantan tapi belum pernah pulang! Sejak Abang pindah disana kok mulai agak lainnya!"

Nana terus menghardik ayah biologis dari anak yang dikandungnya itu. Dia yang semakin tak mengerti atau suaminya yang tak tau diri. Entah lah.

"Ehh, itu beha siapa yang menggantung di pintu kamarmu, Bang? Memangnya kau pakai beha, ya!" celetuk Nana dengan mata melotot sempurna.

Mendadak bibirnya kelu saat melihat benda yang selalu dipakai oleh wanita di bagian dada itu, malah menggantung di belakang pintu kamar milik suaminya. Bibirnya sudah siap memuntahkan lahar panas untuk kesekian kalinya.

"Hah, apa? Mana! Mana!" Lanang berteriak dengan panik.

Dengan cepat dia menoleh ke arah pintu dan membelalakkan kedua matanya. Benar. Di belakang pintu itu ada beha berwarna pink yang sudah menggantung indah.

"Abang gak ada main-main di belakangku, kan?"

Tanpa menjawab, Lanang mematikan video call itu sepihak. Di ujung sana degup jantungnya berpacu dengan cepat. Rasa panik dan takut berbaur menjadi satu dalam perasaannya. Bahkan dia sampai mematikan ponselnya agar istrinya tak menelponnya lagi.

"Halo, Bang! Halo, Bang Lanang! Buset malah dimatikan teleponnya! Awas kau, Bang, kalau sampai terbukti bermain di belakangku! Bakalan habis kau sama aku!" Nana menggeram marah sambil menahan nyeri di perut bawahnya.

"Aduh. Sabar Dedek Utun, sabar, ya. Jangan keluar dulu. Tunggu Pakdemu datang, ya, Sayang. Sabar."

Tanpa terasa kaca-kaca bening itu mulai keluar dari ujung netranya. Nana menengadahkan wajah ke atas agar matanya tak semakin basah.

"Sabar, ya, Sayang. Kita berjuang sama-sama setelah ini."



Bersambung ....

Ini link di kbm app.

Membalas Suami Selingkuh - Dwiratna4005
Hamil. Satu kata yang selalu diinginkan oleh setiap kaum hawa setelah menyandang status sebagai istr...

Baca selengkapnya di aplikasi KBM App. Klik link dibawah:
https://read.kbm.id/book/detail/5592...3-aa0cfcf12efb
ferist123Avatar border
Bgssusanto88Avatar border
wakikiyaAvatar border
wakikiya dan 3 lainnya memberi reputasi
0
2.7K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.5KThread41.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.