vidyazafiria057Avatar border
TS
vidyazafiria057
Mengurai Faktor di Balik Lonjakan Covid China yang Buat Dunia Khawatir
Jelang akhir 2022, China dilaporkan tengah mengalami lonjakan kasus virus corona tak lama setelah melonggarkan strategi ketat Nol-Covid.
Pekan lalu sejumlah media asing seperti CNN, Financial Times, dan Bloomberg bahkan menuliskan selama 20 hari pertama Desember 2022 setidaknya 250 juta penduduk China diduga terpapar Covid-19.

Namun, jumlah itu berbanding terbalik dengan laporan resmi pemerintah China. Komisi Kesehatan Nasional (NHC) melaporkan sepanjang Desember 2022 hanya 62.592 kasus dan delapan kematian terkait virus corona di China.

Di luar itu, banyak pihak yang meragukan data resmi pemerintah mengingat rumah sakit sempat kewalahan dan berjejer jenazah diduga terinfeksi Covid-19 di krematorium.

Di salah satu provinsi China, Zhejiang, juga tengah berjuang melawan sekitar satu juta infeksi Covid-19 setiap hari. Jumlah ini disebut akan berlipat ganda di masa mendatang.

Walhasil, sejumlah negara di dunia baik barat hingga Asia lantas memberlakukan pengawasan ketat bagi para pelaku perjalanan atau pelancong dari China yang tiba di negara masing-masing. Beberapa yang telah menelurkan aturan protokol dan pengawasan ketat itu adalah Amerika Serikat, Jepang, Italia, Malaysia, dan India.

Terlepas dari itu, mengapa kasus Covid-19 di China melonjak jelang akhir 2022 ini?

Eks direktur penyakit menular Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara Tjandra Yoga Aditama mengatakan ada sejumlah faktor yang memengaruhi hal tersebut.

Tjandra membandingkan jumlah kasus di China dengan angka vaksinasi yang mencapai 89 persen.

"Efikasi vaksin mungkin sudah turun. Mungkin saja ada varian atau sub varian baru yang dapat menghindar dari proteksi vaksin," kata Tjandra saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (29/12).

Menurutnya tak menutup kemungkinan pula lonjakan penularan Covid-19 terjadi saat China mulai melonggarkan aturan.

"Walaupun cakupan vaksinasi tinggi maka penularan dapat tetap terjadi, apalagi kebijakan amat ketat dengan zero covid dan sekarang jadi longgar," ujar Tjandra.

Pakar ilmu kesehatan masyarakat Dicky Budiman juga menilai angka kasus yang tinggi di China karena angka vaksinasi terhadap orang-orang lanjut usia, selaku kelompok rentan, dinilai rendah. Epidemiolog yang berbasis di Australia itu merujuk pada data yang ada sekitar 40 juta lansia di atas 80 tahun belum divaksin.

"Itu yang membuat situasi China menjadi rawan, ditambah bahwa turunan dari sub Omicron, termasuk BF.7, semakin menunjukkan kemampuan menurunkan efikasi vaksin," tutur Dicky kepada CNNIndonesia.com, Kamis.

Media massa yang berbasis di Inggris, The Guardian melaporkan China selama ini hanya memprioritaskan vaksin untuk kelompok remaja hingga dewasa. Sejak awal pandemi Covid-19 hingga November 2021, pemerintah China di bawah Kepresidenan Xi Jinping tidak menganjurkan vaksinasi kepada orang-orang lansia itu.

Para lansia justru 'ditakut-takuti' dengan efek samping vaksin. 'Propaganda' itu kemudian berhasil membuat mereka skeptis dengan inokulasi.

Selain itu, Beijing juga menolak keras vaksin mRNA buatan Barat. Vaksin tersebut padahal dianggap lebih efektif ketimbang vaksin buatan China.

Dicky menduga penolakan vaksin berdasarkan tempat produksi itu sejauh ini masih berdasarkan sensitivitas ideologi saja.

"Orang yang mendapat booster tadi dengan Sinovac, mereka ini tidak mau memakai vaksin barat karena alasan politis lain, bukan ilmiah, itu yang membuat [efikasi vaksin] rendah tidak mampu memproteksi serangan sub varian baru," kata Dicky lagi.

Dicky juga menyinggung soal Nol Covid yang dianggap tak tepat mengatasi penyebaran virus corona.

Menurut dia, strategi ketat tersebut berdampak terhadap hybrid immunity atau kombinasi kekebalan alami dan kekebalan vaksin yang rendah. Pada akhirnya, ini mempengaruhi tingkat kematian dan keparahan penyakit.

"Hybrid immunity itu setara dengan vaksin booster Pfizer," ujar Dicky.

Epidemiolog asal Indonesia itu juga memperkirakan pemerintah Beijing sudah bisa menghitung dalam beberapa bulan mendatang penambahan kasus di China nyaris satu miliar.

"Pemerintah China sudah bisa menghitung bahwa ini akan, bahkan mendekati 800 juta terinfeksi [Covid-19] dalam dua atau tiga bulan."

Kenaikan kasus Covid-19 di China membuat sejumlah khawatir akan mutasi virus baru.

"Fakta bahwa 1,4 miliar orang tiba-tiba terpapar SARS-CoV-2 jelas menciptakan kondisi yang rawan munculnya varian baru," kata pakar kesehatan dari Institut Kesehatan Global di Universitas Jenewa, Antoine Flauhaul, dikutip dari Japantimes.

Pakar kesehatan lain juga mengatakan China bisa menjadi tempat berkembang biak yang potensial bagi virus.

https://info24jamterkini.blogspot.co...ni-volume.html
kajianinternalAvatar border
wetp794239Avatar border
wetp794239 dan kajianinternal memberi reputasi
2
1.2K
7
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Berita Luar Negeri
Berita Luar NegeriKASKUS Official
78.9KThread10.6KAnggota
Terlama
GuestAvatar border
Guest
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.