Pengaturan

Gambar

Lainnya

Tentang KASKUS

Pusat Bantuan

Hubungi Kami

KASKUS Plus

© 2024 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved

shirazy02Avatar border
TS
shirazy02
KESALAHAN
KESALAHAN

cerpen by: Shirazy02


KESALAHAN


Aku menunduk, menatap jemari kaki yang kutek kukunya hampir pudar. Sekadar mengalihkan pandang ketika hati kalut oleh sebuah pikiran. Masih memaksa betah dari sejam yang lalu. Ah ... mungkin lebih dari itu. Tetap di tempat pelampiasan yang sama, di sebuah kursi di ruang tengah. Pun dengan keadaan diri yang sama setiap harinya. Terpaku, membisu, bahkan hilang nafsu.

Sementara di seberang, berdiri sosok ibu sedang berkacak pinggang. Ekspresinya sudah menampakkan raut yang tak bersahabat sedari kuinjakkan kaki masuk ke rumah. Sedetik setelahnya, benar taksiran ... pecah sudah emosi yang ia tahan. Berbagai ungkapan batin dengan kesan tak terima, pun dipertegas bersama nada kasar yang sangat memojokkan. Tentu saja, membuat bagian tubuhku luar-dalam menangis, meski tak terwujud bersama suara.

Aku lelah Tuhan, keluhku dalam hati.

"Ingat, ya ... sekali lagi ibu memergokimu pergi berdua dengan Davis, awas saja kamu!" Itulah kata terakhir yang dilontarkan, sebelum akhirnya ibu melenggang pergi. Meninggalkanku dalam tumpahan tangis yang tak sanggup kubendung.

---

"Apa? Menikah??" Davis terperanjat menatapku dengan pandangan tak percaya. Kuanggukkan kepalaku pelan sembari menyeka air mata.

"Hanya gara-gara kemarin beli sepatu baru, ibumu marah, lalu menyuruhku menikahimu?" tandasnya lagi dengan dahi berkerut.

"Bu-bukan begitu!"

"Lalu?"

Aku terdiam sejenak, menyeka air mata kembali. kemudian berkata, "Kemarin ibu mengetahui kita jalan bersama. Itu yang tidak ia terima. Sedangkan menikah ... itu pintaku sendiri," jelasku dalam isak.

Kini giliran Davis yang terdiam. Ia membungkukkan duduknya dengan menopang kedua tangan pada paha. Menatap lurus ke depan, sambil mengambil napas dalam-dalam. "Sekarang jawab pertanyaanku! Kenapa kamu ingin menikah cepat denganku? Kok, sepertinya ada yang aneh," Ia mulai menebak-nebak, membuatku terperangah menatapnya.

"Kenapa katamu? Heeeii, kita pacaran hampir tiga tahun. Tentu aku memilih jalan terbaik daripada terus begini."

"Jalan terbaik apa? Ibumu tak menyukaiku, Rena! Lantas, menikah untuk apa?"

Aku menghela napas sejenak, kemudian berkata lirih, "Vis, kamu salah paham. Ibu bukan tak menyukaimu. Mungkin hanya takut karena aku anak perempuan satu-satunya. Kenapa kamu tak menunjukkan saja keseriusanmu, agar lega perasaan beliau?"

"Ah, omongan konyol! Aku sendiri tak pernah merasakan keseriusanmu. Kita ketemu selalu mencuri waktu. Itu pun juga terhitung waktu. Tak kurang dari se-jam kita bersama. Gimana minta diseriusin? Iya kalo nggak di luar sana kamu lagi jalan sama orang lain."

"Haaaah?" Aku semakin tak percaya mendengarnya. Setelah sekian lama menjalin hubungan, lalu baru sekarang ia meragukanku? Alasan yang tak masuk akal serta tuduhannya terhadapku benar-benar membuatku ....

"Vis, kamu tuh ..." Belum usai meluapkan perasaanku, lelaki berjanggut tipis itu lalu beranjak dari duduk. Ia menoleh sedikit, kemudian berkata, "Aku capek, pulang dulu. Nanti kita bicarakan lagi."

Setelah itu, dengan tak berperasaan, ia lalu meninggalkanku begitu saja. Sementara diriku masih bergeming di tempat. Di sebuah kursi yang ada di taman kota. Menatap kosong. Antara shock, juga rasa tak percaya.
***

Kuhempaskan tubuh ke pembaringan. Membenamkan wajah pada bantal dengan tangis tersedu liar. Baru saja sedetik lalu kaki mendarat di lantai teras, sebuah notifikasi muncul dari gawai. Setelah kubuka sebuah chat yang ternyata dari Davis, begitu bertambah rasa kagetku melihat apa yang tampak di mata. Beberapa kiriman foto yang memperlihatkan Davis bersama dengan seorang perempuan. Berpelukan, tertawa riang, bahkan berkaos couple selaras dengan segala printilannya.

Apa maksudnya semua ini?

Kupukul kasur berulang kali dengan hati sakit, begitu kesal. Entah sejak kapan, dan bagaimana bisa, sedangkan kemarin kita baru saja jalan bersama. Sungguh keterlaluan. Semua yang tampak di mata tiba-tiba mengingatkanku tentang ucapan Ghea lima hari yang lalu ....

"Jangan terlalu cinta dan percaya dengan Davis. Hubungan yang lama belum tentu berjalan manis. Hati-hati!"
Sebuah ucapan yang bukan berarti peringatan, namun sebuah pengakuan yang diungkap pelan-pelan. Sementara ia-lah orang ketiga dalam hubungan panjang kami. Seorang sahabat dan kekasih yang sudah kupercaya sekian tahun, ternyata keduanya main belakang.

Aaaarrrgghtt! Ingin sekali berteriak begitu keras, namun tak sanggup rasanya mulut membuka. Seketika teringat lagi tentang perlakuan ibu selama ini. Tak sekali dua kali aku ditinggalkan dengan alasan karena sikap ibu. Entahlah, ibu sering membuatku sedih. Ibu terlalu mengekang. Sedari aku kecil, bahkan sampai dewasa seperti ini. Jangankan untuk pergi bersama teman perempuan, main ke rumah tetangga yang hanya berjarak lima langkah, sudah marah bukan main. Intinya, aku harus berada di rumah. Itupun terkadang panas otak dan telinga karena setiap yang kukerjakan di rumah tak pernah benar di matanya.

"Kamu harus bisa bersabar dengan ibumu. Ibumu punya kepala pusing. Entah sakit apa. Bapak sudah lelah mengantarkannya berobat ke mana-mana dari kamu masih bayi." Itulah pesan almarhum bapak yang selalu kuingat. Oleh karenanya, berkicau seperti apapun ibu padaku, meski aku benar ataupun salah, kucoba untuk selalu mengalah dan bersabar. Walau terkadang stress menghadapi.

Tak mau berlarut-larut dalam kesedihan, aku langsung bersumpah, 'Setelah ini, siapapun yang mendekatiku. Dia harus menikah denganku'. Aku tahu otakku begitu labil, tapi aku ingin segera pergi dari rumah ini. Menjauh dari ibu yang selalu membuatku kehilangan teman-teman dan pacar karena sikap posesif dan sensitifnya. Intinya hanya satu, ingin tenang.

Tak lama setelah itu, aku kenal seorang lelaki, rekan kerja yang baru saja pindah dari kantor pusat. Namanya Hendra. Usianya pun bisa dibilang tua --empat puluh enam tahun-- tapi dia berkharisma. Setiap sikap yang ditorehkannya pada teman yang lain, termasuk padaku, selalu membuat segan tapi juga senang karena jiwa kepemimpinannya. Ia terlihat menyukaiku, begitu pula seperti pendapat rekan kerja yang lain. Sering sekali membawakan oleh-oleh, serta banyak mencari tahu tentangku pada mereka.

"Tua-tua gitu, duitnya banyak, lho!" Goda Sania.

"Hari gini, jangan lihat tampang! Utamakan kesejahteraan," balas Farah sambil tertawa. Sementara aku hanya tersenyum saja mendengar kata-kata mereka.

Pucuk dicita ulam pun tiba. Hendra mengutarakan perasaannya padaku. Mencuri waktu selepas briefing di rumah makan 'Bumbu Desa'. Sesuatu yang membuat jantung kian berdebar ketika ia menjanjikan sebuah keindahan dalam hidupku. Tanpa kuminta, ia menyatakan keinginannya sendiri untuk menikahi.

Seperti sebuah mimpi, namun itulah nyatanya. Hendra kemudian berkunjung ke rumah seorang diri. Ia menemui ibu dan menyatakan keinginannya untuk mempersuntingku. Beberapa kalimat ia lontarkan demi meyakinkan hati ibu. Sampai kami bertiga diam beberapa menit, tak ada tanggapan apapun dari ibu.

'Kembalilah besok. Mungkin ibu masih kaget. Aku butuh bicara dengannya' Kutuliskan sebuah chat untuknya. Saat chat itu dia baca, ia pun segera pamit.

"Siapa dia? Sejak kapan kenal?" Ibu langsung bertanya padaku, selepas kepergian Hendra.

"Dia Hendra, rekan kerjaku."

"Kok bisa kamu tiba-tiba mau dipinang? Lalu, mana Davismu itu?"

Aku diam, mengalihkan pandang.

"Kamu yang benar saja. Jangan mau jadi mainan laki-laki! Lepas sama Davis, ganti muka bapak-bapak kayak gitu. Mana duda lagi! Mikir jadi perempuan, jual mahal dikit. Terlalu grusa-grusu, takut belakangnya nanti."

Ucapan ibu sontak memancing tingkat emosiku. Aku maju selangkah, memandang ibu lekat, dan berkata, "Pernahkah ibu berpikiran positif sekali saja padaku?"

"Selama ini tahukah ibu, sikap ibu membuatku sakit hati. Masa kecil yang dikucilkan, masa remaja yang kurang bahagia, dan kini aku sudah dewasa ... apa ibu masih juga ingin membuatku sedih?" Kuhentikan bicaraku sejenak, menyeka air mata yang mulai berlinangan.

"Dulu ibu bilang, punya anak perempuan itu kudu was-was. Sekarang, aku dipinang seseorang, setidaknya membebaskan ibu dari pikiran itu. Tapi ternyata, ibu yang meminta hidupku terus seperti ini. Terus bergelut dengan pikiran aneh ibu. Sekali-sekali tolong hargai aku. Paling tidak, izinkan aku bahagia," lanjutku.

Napas terengah kesal, bersama dengan jerit hati yang sudah tak terkontrol. Melihat ibu yang diam tanpa ekspresi, membuatku semakin tak tahan untuk terus melontarkan isi hati. Namun kemudian, ibu membalikkan badan. Seperti biasa, tak pernah menggubris apa kataku. Namun dalam beberapa langkah kepergiannya, ia berucap kembali. "Terserah padamu, jika anggapanmu ibu ini perusak kebahagiaanmu. Silakan jika kau ingin teruskan hubungan itu!"

Ia pun berlalu dari hadapan. Melenggang tanpa arti. Tanpa perdebatan panjang seperti sebelum-sebelumnya.

****

Dua bulan kemudian, pesta pernikahanku digelar. Acaranya cukup meriah meski hanya dihadiri para kerabat dan sebatas teman kerja. Meski tak ada sedikit pun rasa cinta, namun hati sudah bernapas lega ketika ibu memberikan restunya. Setidaknya, kini aku bebas dari celotehannya yang setiap hari berkumandang tentang hal sepele.

Menjadi istri dari seorang Hendra Widyatmaja adalah sebuah keberuntungan bagiku. Meskipun aku resign dari tempat kerja, namun tak pernah diriku merasa kekurangan dalam hal materi dan perhatian. Seperti janjinya padaku, ia benar-benar memberikan sebuah surga dalam rumah tangga. Makan tinggal makan, karena ada pembantu yang melayani. Bepergian pun, supir siap mengantar. Begitu baiknya Hendra terhadapku, namun tak jua meluruhkan rasa sayangku untuknya.

Tiga tahun kemudian, aku bertemu dengannya kembali. Davis, lelaki masa lalu yang bahkan sudah kulupakan begitu saja perbuatannya. Aku menjumpainya tanpa sengaja di sebuah mall. Basa-basi menanyakan kabar, dan berakhir dengan bertukar nomor telepon. Entah apa yang merasukiku, sehingga pertemuan kami pun berlanjut ke pertemuan berikutnya. Kali ini aku lebih leluasa, karena tak ada lagi seorang ibu yang bisa mengekangku. Tentang Hendra? Tentu saja ia membebaskanku penuh atas dasar percaya.

"Maafkan aku yang dulu, Rena. Ghea yang menggodaku. Ia terus membicarakan tentang ibumu yang kurang waras, membuatku maju-mundur untuk serius padamu," ucapnya suatu waktu.

Ada rasa sakit menyeruak di dadaku. Sudah kuduga jika Ghea-lah yang kurang ajar pada hubungan kami. Kenapa lagi-lagi ibu yang disangkut-pautkan sebagai alasan?

"Kenapa diam saja, Rena? Kamu masih marah?" tanyanya kemudian. Membuatku tersentak dalam lamunan, dan langsung menjawab, "Ah, sudahlah. Aku sudah lupa, kok," balasku lirih.

"Kamu besok ada waktu? Besok ada konser 'Tulus', kamu mau nemenin?" tanyanya lagi. Tanpa banyak pertimbangan, kuiyakan saja tawarannya.

Entah sampai berapa kali kami bertemu. Sudah tak terhitung. Semakin hari, semakin sayang diri ini terhadapnya. Bahkan sedikit pun tak terlintas pikiranku tentang Hendra. Urusan dengannya kukesampingkan. Hubungan kami terlampau liar, sampai tak terpikirkan lagi yang namanya dosa dalam benak.
***

Cklek!

Kubuka pintu rumah pelan. Baru saja melangkahkan kaki, sebuah suara menegur, "Dari mana, Sayang?"

Spontan mata membelalak mendapati Hendra sudah duduk anteng di kursi sofa, sedang membaca koran. "Tu-tumben di rumah? Ehm, aku habis ke salon."

"Oh, ke salon. Pantes lama. Kenapa kok nggak dianter si Maman?"

"A-aku lagi sama temenku tadi."

Rasa kaget yang tak disangka, menjadikan kepalaku mendadak pening. Lengkap dengan rasa mual menerpa. Tanganku langsung berpegang pada pintu kala badan terhuyung. Terlihat Hendra cepat-cepat melempar korannya dan mendekati.

"Sayang, kamu nggak papa?" Hendra membopong tubuhku yang mulai condong. Kugelengkan kepalaku pelan sambil memegang kerongkongan. Entah dari mana mulanya, kurasakan sekujur badan menggigil seperti sedang masuk angin.

"Jangan-jangan kamu hamil?" Tebakan Hendra yang menjurus membuatku bertambah syok dan sontak hilang keseimbangan. Pandangan mulai samar, dan entah apa yang selanjutnya terjadi ....

"A-aku di mana ini?" Aku terkesiap mendapati diri sudah berganti baju di rumah yang bukan tempat tinggalku. Ini rumah ibuku!

Benar. Ibu kini ada di sebelahku, menangis sesenggukan sambil mengeratkan tangannya pada genggaman. Aku semakin bertanya-tanya melihatnya. "Bu, ada apa?" tanyaku dengan rasa yang campur aduk. Sementara di depanku, Bang Maman, supir pribadi, sedang berdiri dengan wajah bimbang. "Ada apa, Bang?" Tak segan kutanyakan langsung padanya karena penasaran.

Bang Maman menggaruk leher belakangnya. Seperti canggung. Sesaat kemudian bertanya pada ibu, "Boleh sekarang, Bu?" Cepat-cepat aku menoleh pada ibu yang sedang menangis. Ibu pun mengangguk pelan sambil menyeka air matanya dengan tisu.

"Ada apa, sih?" Aku mulai kesal menanggapi. Bang Maman lalu memutar audio dari HPnya, sambil mengencangkan volume.

"Sayangku Rena. Terima kasih telah menemaniku sampai detik ini. Aku bahagia semenjak kau menerima lamaranku, dan kutuntaskan segala janjiku padamu. Kubawakan surga untukmu, namun kau membalasnya dengan membawakanku neraka. Aku baru saja membawamu ke klinik dan mendapati kabar bahagia itu. Selamat, kau akan menjadi ibu. Kabar buruknya, aku melakukan vasektomi jauh sebelum menjadi suamimu. Karena kupikir, mempunyai tiga anak dari istri sebelumnya sudah cukup bagiku. Sekarang, kau kutalak tiga sekaligus. Aku minta maaf."

Detak jantung dan denyut nadi rasanya berhenti kala mendengar suara rekaman itu. Bahkan ucapan Bang Maman yang meminta pamit, rasanya terlewat begitu saja di telinga. Kali ini, tangisku luruh bersama rasa bersalah dan malu. Aku tak menyangka kejadiannya akan seperti ini.

"Sudah kubilang padamu sebelumnya, jangan grusa-grusu! Kamu memang butuh pengawasan sampai dewasa, Rena," celoteh ibu dengan gusar.

Sedangkan aku hanya bisa diam dalam isak tangis. Mana mungkin aku meminta pertanggung jawaban dari Davis, sementara ia sendiri juga sama berumah tangga. Kesalahan ini benar-benar membuatku jatuh harga diri. Aku juga telah berdosa menjadikan pernikahan sebuah pelampiasan. Ujung-ujungnya, kini kembali lagi di pelukan ibu.


Oh, ibu ... maafkan anakmu.


--end--
bukhoriganAvatar border
g.gowangAvatar border
g.gowang dan bukhorigan memberi reputasi
2
486
1
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Mari bergabung, dapatkan informasi dan teman baru!
Stories from the Heart
Stories from the HeartKASKUS Official
31.6KThread42.8KAnggota
Urutkan
Terlama
GuestAvatar border
Tulis komentar menarik atau mention replykgpt untuk ngobrol seru
Ikuti KASKUS di
© 2023 KASKUS, PT Darta Media Indonesia. All rights reserved.